03 November 2008

Another World is Not Only Possible!

Ada semacam perlawanan pada kapitalisme yang dilakukan tanpa kesadaran akan eksistensi kapitalisme, pun tanpa pemahaman yang komprehensif mengenai kapitalisme itu sendiri. Meski perlawanan model seperti ini tampaknya terlalu jauh dari kemungkinan untuk bisa benar-benar menumbangkan musuh, bahkan terlalu sulit untuk bertahan lama. Bagaimana mungkin seseorang dapat memenangkan pertempuran apabila ia tidak pernah mengenal musuhnya? Kata Sun Tzu, “Dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri takkan pernah beresiko dalam seratus pertempuran; Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko dalam setiap pertempuran.”

Di Mambunibuni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak; saya menemukan sebuah kegiatan ekonomi sebelum kapitalisme populer, masih berjalan sampai dengan hari ini. Barter. Di desa itu, saban Sabtu pagi masyarakatnya menyelenggarakan sebuah pasar. Mereka senang menyebutnya dengan ‘Pasar Barter’. Sebab memang di pasar tersebut, orang-orang melakukan aktivitas tukar-menukar barang untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Barang-barang yang bisa ditukar memang hanya terbatas pada hasil kebun dan hasil laut. Sedangkan, apabila kamu membutuhkan sebatang pensil, kamu tak diperbolehkan untuk menukarkannya dengan keladi hasil kebunmu meski satu tomang (tas rajut yang biasa dipakai untuk membawa hasil kebun) banyaknya. Saya juga tidak mengerti kenapa. Jawaban mereka pun terlalu abstrak saat saya bertanya: “Karena pensil ini nilainya uang.” Tapi kamu boleh menukarkan setengah tomang keladimu dengan heikijap (ikan laut yang telah diasapi dan dijepitkan pada kayu) sebanyak satu kijabwor (alat penjepit ikan itu).

Melihat kenyataan masyarakatnya yang masih jauh dari bisa disebut ‘maju’, serta mengetahui cara mereka merekrut guru SD yang saya nilai ‘serampangan’—belakangan saya tahu bahwa salah satu guru di satu-satunya SD di desa itu adalah mantan petani keladi yang belum pernah memperoleh pendidikan standar untuk menjadi seorang guru; yang langsung diterima jadi guru hanya atas dasar kesediaannya saja—rasanya terlalu jauh dari bayangan bahwa masyarakat di desa itu mengerti apa itu kapitalisme. Jadi apabila mereka masih mempertahankan kegiatan barter, pastilah bukan dengan tendensi menjatuhkan sistem ekonomi raksasa itu. Lalu, apa?

“Untuk ajang silaturahmi, Mas. Karena dengan tetap mempertahankan tradisi barter ini, warga-warga yang tinggal di pesisir dan warga-warga yang di gunung, jadi selalu punya kesempatan untuk bertemu setiap hari Sabtu,” itu jawaban yang saya peroleh dari salah seorang warga.

Mungkin mereka memang tidak mengenal apa itu kapitalisme. Tapi motivasi mereka dalam mempertahankan barter sebagai tradisi, tampak begitu praksis. Silaturahmi. Bukankah ‘silaturahmi’ merupakan sesuatu yang tidak eksis di dalam kapitalisme? Bukankah hubungan yang eksis dalam masyarakat kapitalis hanyalah hubungan produksi yang menghasilkan kapital, meskipun seringkali harus menafikkan sisi-sisi kemanusiaan. Bukankah karena itulah cinta menjadi subversif bagi kapitalisme?

Mungkin yang mereka lakukan adalah biasa-biasa saja bagi kita yang giat melakukan diskusi-diskusi filsafat dan sospol dengan referensi buku-buku ilmiah yang tak terhitung lagi banyaknya. Atau bagi kita yang tak terbilang lagi seringnya berjibaku dengan aparat di depan gedung dewan, depan Kejari, Kejati, di depan Wisma Bakrie; memperjuangkan nasib orang-orang tertindas. Tapi bukan berarti mereka bukanlah apa-apa. Setidaknya eksistensi mereka bisa menjadi semacam afirmasi bagi kita, bahwa: dunia yang lain itu bukan hanya mungkin, tapi ada.[]

2 tanggapan:

Anonim mengatakan...

Dalam barter ada beberapa inti pelajaran hidup, diantaranya: keadilan, keikhlasan, kebersahajaan, amanah, mengambil hanya yang kita butuhkan -bukan yang kita inginkan-...

Ada lagi?

Anonim mengatakan...

kadang aku perlu belajar dari orangorang itu, kawan