18 Mei 2007

Anti-Komunis Atau Anti-Kapitalis, Jangan Asal Bicara

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

(Teks Pembukaan UUD 45, paragrap pertama)

Saya mulai risih dengan eksistensi orang-orang yang senang melabeli orang lain, dan sudah tentu pada dirinya sendiri, dengan label yang tampaknya tidak mereka mengerti betul. Bukan apa-apa. Dengan masih eksisnya orang-orang seperti mereka, atau paradigma mereka yang semacam itu, saya merasa eksistensi saya sedang terancam. Siapakah yang tidak ingin merdeka? Kemudian siapakah yang ingin eksistensinya sebagai manusia harus terberangus, seiring terberangusnya kemerdekaan untuk berpikir serta menentukan sendiri hidup seperti apa yang pantas untuk dijalani?

Saya tahu kalau tidak ada satu pun individu di dunia ini yang bisa benar-benar bebas. Sebab kebebasan satu individu selalu dibatasi oleh kebebasan individu-individu lainnya. 'Garis' yang melintang di antara kebebasan satu individu dengan individu lainnya saya sebut dengan 'toleransi'. Ini artinya apabila satu individu telah, dengan sengaja ataupun tidak, mengusik kebebasan individu yang lain--yang apabila mengacu pada analogi 'garis toleransi' tadi, seorang individu telah melangkahi garis tersebut--maka kebebasan tadi tak ubahnya seperti penjajahan.

Insiden pembubaran diskusi filsafat sosial dan ekonomi politik di toko buku Ultimus, Bandung, akhir tahun lalu salah satunya. Tindakan yang dilakukan oleh Permak (Persatuan Masyarakat Anti Komunis)--gabungan ormas Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI/Polri (FKPPI), dan Angkatan Muda Siliwangi--itu mengindikasikan bahwa penjajahan atas kebebasan untuk berpikir, berpendapat dan berkumpul di negeri ini sesungguhnya masih eksis.

Memang benar bahwasanya diskusi yang diadakan pada tanggal 14 Desember 2006 oleh Ultimus, Hima HI Unpas, dan Rumah Kiri tersebut bertemakan Gerakan Marxis Internasional. Tapi apakah hanya dengan label 'Marxis' yang menempel, yang di negeri ini telah terlanjur diidentikkan dengan stigma terhadap paham komunisme yang dahulu sempat hidup, itu maka mereka serta-merta memperoleh legitimasi untuk memberangus kegiatan diskusi tersebut? Apakah sebuah ketidaksepahaman memang tidak dapat termediasikan ke dalam sebuah diskursus sehingga selalu harus diselesaikan dengan jalan kekerasan?

Saya pikir, kekerasan dalam upayanya untuk menyikapi perbedaan cara pandang adalah sebuah manifestasi dari kedangkalan seseorang, ataupun satu kelompok, di dalam memandang perbedaan itu. Kekerasan selalu merupakan jalan terpendek untuk menghapuskan perbedaan tanpa melaluin proses dialektika.

Saya memang tidak tahu, apakah orang-orang yang pada akhir tahun lalu melakukan pembubaran diskusi dengan jalan kekerasan itu memang sudah benar-benar memahami apa sesungguhnya yang tidak mereka sepakati? Dan dengan melihat tendensi mereka dalam menyikapi segala sesuatu yang berbau Marxis/Komunis itu, apakah mereka memang terlebih dahulu mengkaji pemikiran Marx dan apa yang Marx tawarkan sebelum mereka memilih untuk mengambil sikap penolakan? Saya memang tidak tahu. Tapi alangkah dangkalnya apabila mereka datang ke sana pada malam itu untuk menghentikan secara paksa aktifitas yang sedang berlangsung tanpa mengenal tesis apa yang sedang ingin mereka kontradiksikan. Dan justru jauh lebih dangkal lagi apabila mereka datang ke sana secara beramai-ramai tanpa mempunyai anti-tesis yang bisa mereka tawarkan. Alangkah banalnya.

Kita memang perlu terlebih dahulu menyamakan persepsi atas suatu label sebelum kita bisa melabeli seseorang dengan label tersebut ataupun mengafirmasi ketika dilabeli oleh orang lain. Atau jauh lebih baik tidak perlu ada pelabelan tersebut, meski konon pelabelan atau penilaian merupakan konsekwensi logis dari sebuah relasi sosial. Sebab umumnya pemberian label hanya akan membuat orang berhenti melihat sebatas label itu saja, sementara enggan untuk melihat apa yang dimuatnya. Apalagi label tersebut telah menjadi stigma di masyarakat mayoritas.

***

Di sisi seberangnya, tidak sedikit pula orang yang mengaku membenci kapitalisme namun tidak benar-benar memahami apa 'kapital' itu sendiri. Yang menjadi memalukan adalah fenomena ini terdapat di dalam kelompok-kelompok atau subkultur yang terlihat bertendensi untuk mengakhiri kapitalisme. Pemahaman yang masih terbatas tersebut mungkin bisa dimaklumi mengingat sumber-sumber referensi mengenai ini sangat tertutup pada zaman Soeharto. Sehingga walau sudah kurang-lebih sepuluh tahun berselang, usia tersebut masih terbilang dini untuk bisa memahami sesuatu yang pada zaman itu sangat dilarang.

Ketika pada kenyataannya, salah satu analisa mengenai kapitalisme justru dilakukan oleh seorang Karl Marx, yang ia dokumentasikan dalam tiga jilid buku (Das Kapital), Marx sendiri telah diidentikkan dengan stigma-stigma atas atas paham komunisme yang dahulu sempat hidup di negeri ini. Pembelokan pada sisi ateisme, penghidupan phobia pada PKI sebagai pihak yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan para jendral pada 1 Oktober 1965, menyebabkan kebencian kepada Marx dan komunis secara tidak proporsional. Walhasil, bahkan sampai sekarang, Das Kapital--yang semurninya ilmiah--hanya menjadi simbol semata bagi mereka yang terjebak pada paradigma bentukan Orde Baru tersebut. Baik itu bagi mereka yang anti-komunis, atau yang anti-kapitalis; kedua-duanya akan tetap beradu argumen kosong selama mereka tidak mulai menelaah terlebih dahulu, apa sesungguhnya yang mereka lawan ataupun mereka perjuangkan.

Hal ini jadi terkesan wajar-wajar saja mengingat distorsi semacam itu juga pernah terjadi bahkan di kalangan sosialis sendiri. Di Uni Soviet, misalnya, para ahli menjadikan naskah Das Kapital semacam 'kitab suci' yang dipreteli bagian-bagiannya dan dilepaskan dari konteksnya, untuk menjadi rangkaian kutipan yang bisa dipakai untuk bermacam-macam keperluan. Mulai dari membenarkan kebijakan negara yang sebenarnya korup sampai pada menggertak lawan bicara dalam perdebatan.

Di Tiongkok karya Marx itu juga tidak disentuh. Kader dan massa dianggap cukup untuk membaca beberapa jilid pikiran Mao Tse Tung atau 'buku merah' yang berisi kutipan dari berbagai karyanya. Dan di Indonesia pada 1960-an, Das Kapital hanya muncul dalam catatan kaki para pemimpin PKI seperti DN Aidit, dan nampaknya tidakpernah dibahas secara mendalam. Para pemimpin partai atau organisasi massa tidak pernah menjadikan Das Kapital sebagai acuan perjuangan, dan politik partai pun lebih banyak mencerminkan doktrin Marxisme-Leninisme--yang menjadi ideologi resmi dari partai-partai komunis, terutama di masa dominasi Uni Soviet. Hal ini menjadikan Das Kapital menyandang status nyaris seperti jimat yang dianggap suci, dan karena itu tidak disentuh apalagi dibaca secara kritis. Padahal, menurut Marx, Das Kapital dapat menjadi senjata di tangan kaum pekerja. Karena memang ia menelanjangi proses produksi kapitalis yang menimbulkan kesengsaraan bagi mereka, dan menciptakan kekayaan bagi kaum kapitalis itu sendiri di sisi seberangnya.

***

Beberapa hari yang lalu saya menemui Bilven di Ultimus. Saya hanya ingin mencari tahu bagaimana caranya membuka sebuah toko buku alternatif berbasis komunitas seperti Ultimus. Ia memberikan beberapa masukan yang sangat berarti, sekaligus, ia pun menawarkan bantuan kerjasama dalam bentukkonsinyasi apabila nanti saya tertarik untuk menjualkan buku-buku terbitan Ultimus. Saya senang sekali. Akan tetapi kemudian perasaan saya menjadi tidak menentu setelah saya memberitahu di daerah mana hendak membuka toko itu.

"Wah di situ sih harus siap-siap aja dipukul, Bung. Di situ kan dekat dengan kantor salah satu partai Islam," ujar Bilven.

Oh la la ... Kapan ya kita bisa hidup bersosial tanpa harus dihantui oleh rasa takut itu sendiri?[]


16 Mei 2007

Apa Sebetulnya yang Mereka Takutkan?

"Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah."
-Friedrich Nietzsche



Mereka ngeri. Mereka buru-buru menyibukkan diri saat melihatku datang menghampiri. Mereka cepat-cepat bicara saat melihat bibirku siap terbuka. Sesungguhnya mereka hanya tidak menginginkan aku menjadi suara bagi telinga mereka. Saat aku hendak menghantam tembok yang mereka sebut sebagai 'dunia', sebagian dari mereka lekas-lekas memalingkan muka. Sementara sebagian lagi maju menghampiri, memukuli, menghujaniku dengan kaki, dengan tahi.

Mereka memilih dekadensi. Iya kah? Ataukah jangan-jangan mereka sama sekali tidak pernah memilih? Pada hidup, mereka tidak pernah berani mengafirmasi. Pada saat yang sama sesungguhnya mereka telah menolak hidup mereka sendiri. Akhirnya, mereka terjebak selamanya di sana. Pada dekadensi yang berkepanjangan.

Mereka ngeri pada hidup mereka sendiri. Mereka lebih suka melihatnya dalam bentuk yang elok; dalam patung-patung, dalam dewa-dewi, atau dalam tulisan-tulisan seperti ini. Kemudian perlahan mereka mulai mengacuhkan isi. Pada saat yang sama mereka telah mengacuhkan hidup mereka sendiri.

Namun, impuls itu tak pernah benar-benar mati. Ia akan terus bergerak-gerak di dalam diri. Mendesak mereka untuk menabrak tembok yang mereka sebut 'dunia'. Impuls itu terus menerus menggugat. Menuntut sesuatu yang tidak mungkin. Menciptakan resah tanpa akhir. Resah. Dan akan selamanya resah. Hingga mereka menjawab panggilannya.

Mereka memiliki tanda tanya yang besar di dalam diri. Besar sekali. Tapi apa lagi yang perlu dipertanyakan saat mereka percaya bahwa semua jawaban telah tersedia di dunia mereka yang absolut. Mereka ngeri dengan tanda tanya itu sendiri. Sebab tanda tanya memang mempunyai bentuk yang mengerikan. Seperti sebuah senjata. Tajam. Serupa arit.

Sementara dekadensi perlahan membuat semuanya tumpul. Tumpul. Setumpul imajinasi mereka yang diakibatkan oleh kepasifan mereka dalam menghayati hidup.

Apa lagi yang bisa dikreasikan oleh mereka yang mengalami ketumpulan imajinasi? Nihil. Nihilisme pasif. Pada saat itu mereka tidak mempunyai pilihan selain mengkonsumsi apa-apa yang telah tersedia.

Ah, aku melihat sebagian dari mereka mulai mendengar suaraku. Mereka mulai kembali terusik oleh impuls yang ada di dalam diri mereka masing-masing. Tanda tanya yang besar itu mulai kembali ada di genggaman mereka. Tapi aku melihat mereka kebingungan. Aku melihat mereka bertanya: apa yang selanjutnya harus kulakukan?

Di tangan mereka telah tergenggam tanda tanya. Mereka telah memegang senjata. Tapi mereka masih takut untuk meruntuhkan tembok yang mereka sebut 'dunia'. Mereka akan selamanya seperti itu, bahkan akan kembali pada dekadensi, apabila mereka masih memuja patung-patung; dewa-dewi; atau tulisan-tulisan seperti ini. Sebatas itu saja. Tak ada dialektika.

Mereka akan selamanya seperti itu, apabila mereka tidak segera menghantam tembok yang mereka sebut 'dunia', apabila mereka tidak segera meruntuhkan absolutisme dengan tubuh mereka sendiri. Sebab tanda tanya itu tidaklah cukup. Mereka harus mengubah tubuh mereka sendiri serupa palu. Tidak bisa tidak.[]