BASED ON TRUE STORY
Malam yang Terjaga
di Kota yang Tertidur Terus
Suara bass musik dangdut terdengar berdentumdentum cukup jelas dari seberang kali yang yang konon akan dibangun sebuah jalur transportasi air model futuristik; yang kalau tidak ada halangan lagi, tahun 2010 besok sudah jadi mirip Venezia. Sudah jadi rahasia umum, atau malah bukan merupakan rahasia lagi, kalau di seberang sana adalah tempat terjadinya transaksi seks murahan. Dan tidak jauh dari tempat tersebut adalah tempat mangkal para banci terpopuler di kota ini. Maka hal apa lagi yang bisa disebut ilegal di sini ketika prostitusi saja sudah diamini oleh yang mengaku mengharamkannya? Tapi kenapa kerasnya suara bass di seberang sana masih saja kalah pamor dengan degup jantungku?
Adrenalin memang tidak pernah berbohong. Ketika ia berbicara kita tahu bahwa saat itulah sesungguhnya ada suatu hal luar biasa sedang terjadi dalam hidup kita. Ah! Memang sulit untuk menjelaskan rasanya seperti apa. Tapi malam itu adrenalin telah berbicara sekali lagi padaku. Dan kali itu jauh lebih sensasional daripada yang pernah kurasakan daripada ketika aku dihempaskan oleh halilintar dunia fantasi. Karena kali ini aku benar-benar tanpa sabuk pengaman dan berada di luar lintasan rel yang telah ditentukan. Ditarik oleh bumi di atas halilintar memang menegangkan. Tapi biar bagaimanapun juga telah ada suatu kesadaran tersendiri yang berkata “tenang saja, ini semua hanya permainan, kamu nggak akan mampus” ketika itu terjadi dalam hitungan beberapa detik. Sedangkan adrenalin malam itu benar-benar berbicara dengan kata kata yang jauh berbeda;
“Apa kamu benar-benar siap melakukan ini? Siapkah kamu kalau ditangkap aparat malam ini juga?”
Sialan. Rasa takut memang sialan kadangkadang. Ia seolah hadir dengan dua sisi dalam waktu yang bersamaan. Satu sisi iamenahanku untuk tidak melanjutkan apa yang ingin kulakukan. Tapi di sisi lain ia seperti menantangku untuk menerjangnya saat itu juga, atau selamanya aku akan menjadi pecundang. Karena kesempatan untuk berhadap-hadapan langsung dengan factor rasa takut memang jarang ditemui.
Aparat memang momok yang menyeramkan biar bagaimanapun juga. Dan penjara adalah mimpi buruk bagi manusia manapun. Tapi aku pun tidak ingin pulang sebelum melakukan apa-apa. Sudah kepalang tanggung aku berada di tempat yang jauh dari rumah ini. Betapa sia-sianya semua keberanian yang sudah sedemikian rupa terkumpul di malam buta ini. Betapa sia-sianya rasa kantuk yang sejak tadi ditahan-tahan. Maka satu-satunya jalan agar semua modal tadi kembali terbayarkan adalah dengan tidak menunda-nunda lagi untuk melakukannya malam itu juga.
Aku tidak sendirian malam itu. Ada tiga orang kawan lagi yang juga sudah sama-sama memerah matanya. Dan tanpa perlu aku tanyai lagi, aku sudah tahu kalau mereka sudah mulai lelah setelah mengendarai sepeda motornya sepanjang jalan tadi dan belum menemukan tempat untuk melakukan ini. Semua tempat yang seharusnya ideal masih terlalu ramai orang. Bahkan di beberapa tempat ternyata masih dijagai oleh polisi. Maka kami terpaksa harus membatalkan untuk melakukannya di sana dan mencoba mencari tempat lain.
Dan di sinilah pada akhirnya kami menepikan sepeda motor. Di sebuah tempat yang miskin cahaya lampu jalanan. Namun mungkin justru itulah yang membuatnya semakin ideal. Karena semakin kami tidak terlihat, maka semakin leluasalah kami dalam beraksi. Selain itu, adanya pembangunan bus way di dekat tempat kami berdiri ini menyempurnakan semuanya. Bukan apa-apa. Tapi memang inilah sasaran kami kali ini.
Kalau saja kami tidak mempunyai kesamaan rasa muak akibat pembangunan bus way yang semakin mengganas itu, mungkin kami tidak akan berada di tempat asing ini. Kalau saja kami lebih bias menerima kebusukan sebagai sesuatu yang wajar, mungkin kami lebih memilih untuk bergumul bersama bantal-guling sejak beberapa jam yang lalu. Tapi kami memang tidak pernah bisa tinggal diam ketika merasa dirugikan oleh apapun.
Kami sebal dengan jalanan kota ini beberapa waktu belakangan. Kemacetan terasa seperti berlipat ganda. Jalur yang ‘dipersempit’, walau dengan jumlah mobil yang tidak bertambah, tentu saja akan membuatnya mampat. Logika anak SD pun akan membenarkan hal yang simpel semacam itu. Tapi entah jalur logika apa yang digunakan oleh orang-orang itu sehingga seolah-olah mengacuhkan begitu saja konsekuensi yang harus ditanggung oleh banyak orang, untuk tetap bersikukuh melanjutkan ‘proyek pengeksklusifan jalan’.
Konon ini semua hanya sementara. Karena katanya jalanan nantinya akan dilebarkan.
Kami tahu apa itu artinya ‘pelebaran jalan’. Pelebaran jalan selalu berakhir dengan penggusuran. Dan dengan empati yang kami punyai seadanya pun kami sudah bisa merasakan bahwa akan banyak kesedihan yang tercipta di hari-hari esok apabila ini semua terus berlanjut. Sudah terbayang ada puluhan bahkan ratusan kepala keluarga harus kehilangan lahan pekerjaan mereka yang memang di jalanan dalam tempo sesingkatsingkatnya. Itu berarti akan muncul kemungkinan terburuk meningkatnya jumlah pengangguran baru. Dan pengangguran memang identik dengan kriminalitas. Bagaimana tidak? Ketika orang-orang yang kemampuan finansialnya benar-benar terpuruk dihadapkan pada standar hidup tinggi yang entah ditetapkan oleh siapa, ada berapa cara rasional dan legal yang dapat mereka lakukan untuk itu? Padahal kita juga tahu, seinovatif apa sih orang-orang yang modal pendidikannya jauh di bawah standar aneh itu?
Sementara itu, tanpa peduli ada orang-orang yang bisa menjadi tidak waras karena merasa tidak mampu membeli mimpi-mimpi yang dijual, sinetron-sinetron dan reklame masih tetap berisik menggaungkan kemewahan.
Berharap perubahan keadaan datang dari tangan pemerintah sudah lama kami anggap sebagai mimpi yang tidak pernah akan jadi nyata. Cita-cita untuk merebut kekuasaan dari tangan mereka dan kemudian membuat sistem baru juga sudah lama kami anggap seperti dongeng pengiring tidur yang jauh lebih klise daripada cerita-cerita 1001 malam. Tapi bukan berarti lantas kami akan menyerahkan begitu saja nasib hidup kami ke tangan mereka. Karena, walau mungkin kami memang berada di dalam genggaman mereka, kami tetap menggeliat.
Kami tidak ingin terlelap pada malam-malam yang melelahkan raga kami setelah bekerja seharian, yang menyebabkan otak kami sudah merasa enggan lagi untuk berpikir apa-apa selain memikirkan anggaran belanja bulan ini. Pun kami tidak ingin terlelap pada saat siang hari ketika kami sedang terbangun.
Kalau memang ada orang yang harus dibangunkan dan dibuat untuk tetap terjaga terus menerus, itu adalah diri kami sendiri. Kami memang tidak pernah ingin terlelap dalam kehangatan telapak yang menggenggam kami semua. Karena hanya kesadaran sajalah yang mampu membuat kami tetap memegang kendali atas diri sendiri.
Pinokio pada akhirnya berhasil menanggalkan takdirnya sebagai boneka kayu untuk menjadi manusia, karena ia memulainya dengan melupakan kodrat bahwa boneka harus selalu dikendalikan oleh tangan Gepeto (sang pencipta Pinokio) untuk dapat bergerak. Ia juga harus belajar bahwa Kebenaran adalah berada di atas segalanya, dengan tidak berkata bohong kalau tidak mau hidungnya menjadi panjang.
Dengan berbekal kesadaran yang sama dengan Pinokio lah kami tetap menggeliat merebut nasib kami yang telah tercuri. Kami menuntut kembali nasib kami agar dapat kembali berada di tangan kami sendiri. Bukan di tangan siapasiapa.
Proyek pembangunan bus way ini pun sepertinya mengindikasikan sesuatu yang tidak mengenakkan. Bahwa sebentar lagi akan ada suatu pengaturan hidup manusia atas manusia yang entah untuk keberapa kalinya tidak melalui usaha pencapaian kesepakatan yang melibatkan setiap orang yang berhak untuk itu. Dan sekali lagi Demokrasi akan menjadi tinggal mimpi.
Untuk itulah kami berada di tepi jalan malam itu. Bukan untuk orang lain. Bukan dalam rangka melakukan sesuatu yang heroik untuk siapapun juga. Tapi karena kami merasa punya suara yang tidak pernah boleh dibungkam oleh kekuatan macam apapun. Dan kalau memang benar ‘kata’ itu masih dianggap sebagai sesuatu yang agung; kami juga ‘RAKYAT’.
Juga karena kami percaya setiap manusia berhak untuk menyampaikan suaranya.
Karena kami pun sudah jenuh dengan model Demokrasi yang hanya menerima suara melalui kotak-kotak suara; dimana sebenarnya suara-suara kami tidak pernah benar-benar terwakilkan seutuhnya di sana, apakah kemudian salah apabila malam itu kami memilih media lain untuk bersuara?
Lagipula di sini kami hanya akan memberi pertanyaan saja. Bukan pernyataan. “Solusi?” cukup satu kata itu saja yang akan kami sampaikan. Dibubuhi tanda tanya memang. Dan kami tahu hal itu tidak terlalu menyenangkan. Karena tanda tanya selalu punya potensi untuk membuat apa-apa yang sepertinya sudah cukup mapan bisa dengan seketika goyah. Iklan rokok itu sepertinya ikut bertanggungjawab karena sudah mengajarkan anak-anak muda kita untuk bertanya secara kritis, dengan tanggungjawab yang lebih besar daripada tanggungjawab akan ‘pembodohan’ untuk menghisap racun.
Maka tanpa ingin ditunda lebih lama lagi, kami titipkan suara kami di situ, di atas properti kalian semua. Dan sekali lagi, ini bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk mengajak para banci di atas jembatan sana atau orang-orang yang sedang bergoyang mengikuti hentakan bass dangdut di seberang kali sana untuk mengikuti apa yang kami katakan. Bukan untuk membangunkan kota yang terus menerus tertidur ini; yang ironisnya sedang bercita-cita menyamai NewYork yang punya julukan ‘kota yang tidak pernah tidur’.
Ini semua kami lakukan untuk menjaga diri kami agar tetap dalam keadaan sadar. Untuk itulah malam malam kami yang terjaga, dengan hanya bermodalkan beberapa kaleng Pilox di tangan, penutup wajah untuk menghindari rekaman CCTV, kaki yang kuat untuk lari dari kejaran POL PP, dan tentu saja adrenalin.
***