31 Januari 2007

Ketika Maya Mulai Membosankan

Mungkin ini tulisan terakhirku yang bisa kamu baca di sini. Oh, jangan salah menanggapi dulu. Aku bukannya sedang berniat untuk berhenti menulis sama sekali. Karena seperti yang sejak dulu telah kuikrarkan kepada diriku sendiri, bahwa aku akan terus menulis sampai aku benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk itu. Dan walau sekarang juga bukan berarti aku masih bisa terbilang produktif, tapi aku juga bukannya tidak dapat menulis sama sekali. Toh aku masih hidup. Detik ini aku masih mempunyai dua tangan yang sehat, otak yang masih bekerja—dan itu adalah segalanya. Jadi, buatku, tidak ada alasan untuk melanggar ikrar dengan benar-benar berhenti menulis sekarang. Belum.

Aku hanya akan berhenti menceritakan diriku sendiri terlalu banyak kepada kamu.

Dan seperti yang kamu juga tahu, di sini—kemarin-kemarin, aku telah terlalu banyak mengumbar soalan-soalan personalku. Aku tidak menyesalinya. Aku pikir, mungkin pada saat itu, hal tersebutlah yang memang sedang aku butuhkan. Sebaliknya, aku merasa senang karena mempunyai kawan baik seperti dirimu yang mau mendengarkan apapun yang aku bicarakan. Walau aku juga tahu, bahwa tak semua yang menarik buatku juga menarik buatmu. Tapi kamu telah mendengarkan semuanya, dan barangkali memang tanpa pretensi. Bagaimanapun itu adalah sebuah apresiasi yang sangat besar buatku pribadi. Maka ijinkanlah saat ini aku mengapresiasi balik apa yang kemarin-kemarin telah kamu lakukan untukku.

Jangan khawatirkan aku. Aku memang masih tetap menulis, kalau itu yang sebenarnya kamu ingin lihat dariku. Proyek novelku yang berikutnya masih tertahan sampai sekarang. Selain itu aku masih memegang jurnalku yang berwarna coklat muda itu. Kamu masih ingat? Iya, dan pada lembaran-lembaran jurnal itu saja aku akan menceritakan diriku sendiri sebanyak-banyaknya dalam waktu ke depan. Karena memang tidak semua yang aku percayai juga patut kamu percayai. Apalagi itu belum tentu benar. Aku memang ingin berhenti ber-propaganda. Sebenarnya sudah sejak lama hal itu ingin kulakukan. Tapi entahlah, mungkin baru sekarang saja merasa jengah dengan apa yang telah kulakukan selama ini.

Aku baru membeli buku berjudul ‘Heavier Than Heaven’. Itu adalah Biografi Kurt Cobain. Memang belum tuntas aku membacanya. Baru sampai di bab ke-lima kalau tidak salah. Tapi di bab-bab awal itu aku menangkap kesan yang kuat dari karakter Cobain, bahwa ia memang orang yang memiliki persoalan yang serius pada emosionalnya. Ternyata begitu banyak hal tentang masa lalunya yang ia ceritakan kepada khalayak tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Aku tidak ingin menceritakan apa motivasi ia di sini dalam melakukan itu. Aku tidak ingin merusak kesenangan membaca orang lain yang mungkin ingin membaca buku itu juga. Aku hanya ingin mengajakmu untuk melihat sesuatu yang terjadi di dalam diri Kurt Cobain. Bahwasanya, dengan seringnya ia menceritakan sesuatu tentang masa lalunya yang sebenarnya tidak pernah terjadi itu, lama kelamaan ia jadi mempercayai sendiri ‘kebohongan’ yang ia karang.

Iya, propaganda memang seperti iklan. Ia disampaikan dengan berulang-ulang. Dan dengan pengulangan-pengulangan itu membuat kita menjadi yakin bahwa itulah yang benar. Walau kitalah yang sebenarnya memproduksi ‘iklan’ tersebut, sesungguhnya konsumen yang pertama kali harus mempercayai ‘kebenaran’ yang kita sampaikan adalah diri kita sendiri—Sang Produsen. Karena dengan itulah baru kita bisa meyakinkan orang lain bahwa apa yang sedang kita sampaikan adalah benar.

Aku sudah jengah berpropaganda—kepada orang lain ataupun kepada diriku sendiri. Tapi kalaupun hidup memang tidak bisa lepas dari ‘keyakinan’, biar aku sajalah yang meyakini keyakinanku sendiri. Memang aku sedang berusaha untuk berhenti mengeluh berkepanjangan. Karena seringnya selama ini semua itu memang berawal dari keluhan. Ketika ada satu hal yang membuatku sedih, aku menceritakan hal itu kepada orang lain—termasuk kepada kamu. Padahal sesungguhnya hanya diriku sendiri yang bisa membawaku benar-benar keluar dari kesedihan itu. Maka menceritakan ‘kesedihan-kesedihan’ kepadamu, yang selama ini (baik itu secara eksplisit maupun implisit) seringnya berbentuk keluhan, rasanya hanya akan membuatku semakin percaya bahwa aku adalah orang yang menderita dan patut dikasihani. Aku telah berniat untuk tidak akan lagi berlarut-larut dengan kesedihan dan penderitaan yang rasanya memang tidak akan pernah lepas dari hidup seorang manusia.

Mungkin aku memang tidak akan pernah selesai mengeluh sampai aku mati. Tapi aku juga tidak ingin mengeluh mengenai soalan yang sama dari waktu ke waktu. Masih banyak hal yang bisa kulakukan dalam hidup selain hanya mengeluh saja. Atau—kalau memang hidupku sebenarnya selalu berisi dengan keluhan—aku akan mencari hal-hal lain yang bisa kukeluhkan, daripada mengeluhkan satu hal saja dalam seumur hidup. Tentu saja bukan dengan lari meninggalkan satu soalan sebelum aku berhasil menyelesaikannya. Aku tahu dengan cara seperti itu tidak ada yang bisa aku dapatkan dari sana. Melainkan dengan berusaha membuka kemungkinan sebanyak-banyaknya di dalam hidup demi bisa melihat bahwa dunia tidak sesempit yang selama ini aku pikirkan. Bukankah segala hal di dunia ini bisa jadi mungkin karena kita sendirilah yang membuka kemungkinan-kemungkinan itu?

Ohya, Apabila kamu berpikir tulisan kali ini adalah semacam propaganda juga, maafkan aku. Aku sama sekali tidak sedang bermaksud untuk membuatmu ikut meyakini apapun yang saat ini sedang kuyakini. Aku hanya sedang mencoba menjawab pertanyaan yang barangkali telah—atau akan—muncul di dalam kepalamu, apabila sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tidak ada lagi tulisan baru dariku di sini.

Intinya, aku hanya ingin merdeka dari hal yang membelengguku dan membuatku tidak kemana-mana. Aku rasa kamu pun tahu apa yang kumaksud itu. Iya, perlawanan-perlawanan yang kita lihat di sekeliling kita dan juga kita lakukan ini sejatinya memang tidak akan pernah selesai. Karena apa yang kita lawan sesungguhnya tidak pernah jauh-jauh dari kita: ialah diri kita sendiri. Kemarahan, kebencian, dendam—sesungguhnya adalah perasaan yang ditujukan pada diri kita sendiri. Aku rasa orang-orang yang merdeka adalah orang-orang yang telah berhasil berdamai dengan dirinya sendiri. Karena apabila kita telah berdamai dengan diri sendiri, kita akan bisa berdamai dengan apapun. Dan mungkin untuk mencapai itu kita harus terus berjalan melewati proses demi proses yang sungguh panjang dan berat, yaitu kita tidak akan pernah berhenti perang sepanjang hayat kita. Tapi mungkin itu jauh lebih baik daripada tidak pernah kemana-mana.[]

05 Januari 2007

DONGENG DARI LUAR ANGKASA

Beberapa saat yang lalu kusadari diriku telah tertabrak sesuatu yang, aku kira, sama besarnya denganku. Mungkin lebih besar. Tentu saja sontak aku terkejut. Yang membuatku jauh lebih terkejut adalah ketika saat ini aku menyadari diriku sedang remuk. Perlahan hilang bentuk. Yah, aku hanya tak pernah menyangka diriku akan hancur dengan cara yang seperti ini. Bahkan aku pun belum sempat membayangkan bagaimana jadinya bila suatu saat aku hanyalah serpihan debu yang melayang-layang seperti ini. Dan barangkali esok aku telah menjadi bagian dari pasir di suatu pesisir pantai. Itu sangat mungkin terjadi.

Eh, tapi tunggu sebentar. Sebelum aku bercerita lebih jauh tentang diriku sendiri, aku punya satu rahasia kecil yang ingin sekali kuceritakan. Karena ia terlalu besar untuk dapat kupendam sendirian. Ia terlalu indah untuk kusimpan di dalam ingatanku sendiri. Maka aku akan menceritakannya kepada seluruh isi alam semesta ini. Sekarang. Iya, sekarang. Kapan lagi? Aku sadar waktu yang kupunya sangat terbatas. Aku akan mulai mendongeng sekarang juga. Sebelum materi pembentukku benar-benar nisbi, dan dongeng pendek ini tak sempat diwariskan.

Ini adalah sebuah kisah yang akan berpusat pada satu bintang. Ia terang. Memang. Tapi begitu menggoda untuk terus menerus dipandang. Sekalipun panas, ia tidak membuat apapun yang berada di sekelilingnya mati. Sebaliknya, ia menjadi satu sumber hayati. Entah kenapa. Aku tidak tertarik lagi untuk bertanya kenapa di ujung usia ini. Aku lebih suka melihatnya sebagai misteri. Dan selama ini misteri memang selalu berhasil menjadi daya tarik tersendiri.

Iya. Seperti bintang-bintang lainnya yang kalian ketahui, ia pun mempunyai daya tarik. Gravitasi. Inilah yang membuat planet-planet―yang pada awalnya merupakan bagian dari dirinya sendiri yang terlontar akibat ledakan―akan tetap berada pada garis edarnya. Hukum kelembaman, menurut Galileo.[1] Karenanya saat ini aku tertarik sekali untuk mengatakan bahwa setiap bintang dulunya adalah pemimpi. Dan pada suatu saat yang sangat tepat, impian itu melompat keluar dari dalam diri sang pemimpi. Menjelma nyata. Maka, Alakazam, teranglah ia dan menjadi sesuatu yang punya manfaat bagi hal-hal di sekelilingnya.

Aku tahu itu semua karena aku pun pernah berada cukup dekat dengannya. Lebih dari itu, hidupku sepenuhnya ber-evolusi pada dia. Hei, apakah aku sudah sempat mengatakan bahwa ia cantik? Belum? Kalau begitu kukatakan saja sekarang. Bintangku ini lebih dari kecantikan apapun yang pernah kutahu. Atau jangan-jangan karena aku tidak pernah sekalipun memalingkan wajah darinya? Yah, apalah. Tapi aku memang telah terlanjur menganggapnya sebagai Miss Universe. Puteri Alam Semesta.

Aku memang terpikat padanya. Hm, terikat barangkali. Apapun itu, aku juga setuju kalau gravitasi memang selalu menang[2]. Tapi aku tidak merasa keterikatanku dengannya selama ini merupakan sebuah ketersiksaan. Aku malah tidak penah dapat membayangkan apa jadinya diriku tanpa dirinya. Aku malas membayangkan. Dan sepertinya itu karena aku sudah merasa memilikinya. Atau jangan-jangan ia yang sebenarnya memiliku? [3]

Egois memang diriku ini. Tapi egoku ada karena aku mempunyai kepentingan. Dan apa yang tidak mempunyai kepentingan di dalam kehidupan ini? Aku, sebagai salah satu dari puluhan―barangkali milyaran―planet di alam raya ini pun punya kepentingan selama aku masih menjadi sesuatu yang ‘hidup’. Aku sama seperti manusia-manusia yang tinggal di planet sana.

Aku pernah mendengar cerita tentang betapa seringnya mereka berperang dengan sesamanya. Baik itu perang yang berskala masif ataupun kecil. Sebuah meteor suatu kali penah mampir ke sini. Ia mendongengkan hal tersebut. Konon di sana chaos[4] terjadi setiap hari. Begitu banyak manusia yang akhirnya merasa harus saling bunuh karena kepentingan satu dengan lainnya saling berbenturan.

Aku tidak dapat membayangkan tempat tinggal seperti apa yang mereka huni itu. Karena, selama yang kutahu, di atas sini semua sedemikian teratur. Semua bergerak di dalam kosmos[5]. Aku yang terus berputar pada sumbuku sendiri. Aku yang mengelilingi bintangku pada garis edar. Dan aku tidak mungkin bergerak melawan semua hukum yang telah ditetapkan ini. Karena selain aku tidak mempunyai hawa nafsu seperti mereka, gravitasi selalu menang (eh, aku sudah mengatakan ini ya tadi?).

Tapi… Yah, baiklah aku mengaku. Di sini memang tidak setenang itu juga. Kadang para pendongeng itu datang terlalu sering. Sehingga kadang aku harus bekerja lebih keras agar diriku tidak terganggu oleh mereka yang kadang terlalu menggebu itu. Iya, aku pernah dihujani dongeng semalaman suntuk. Sampai-sampai aku bosan mendengarnya. Dan para manusia tak tahu diri itu seolah mensyukuri kepayahan kami. Dengan suka cita mereka memanggilnya ‘hujan meteor’. Ah, mereka tidak tahu saja kalau yang baru saja mereka kagumi itu adalah sesuatu yang bisa fatal. Itu sebenarnya adalah chaos. Karena sepengetahuanku para meteor pendongeng itu sebenarnya tidak pernah punya semacam garis yang menuntun mereka kemana semestinya bergerak. Tidak seperti aku yang memang telah mempunyai garis edarku sendiri.

Mereka mungkin punya kepentingan juga. Hanya saja, tak lebih dari kepentingan untuk menjadi nisbi. Mereka hanya butuh tempat yang mau mendengarkan dongeng mereka sampai tamat sebelum mereka benar-benar mati. Kamilah, para planet, yang seringkali jadi tempat peraduan mereka. Walau juga tak jarang bintangku juga ditabrak oleh mereka. Tapi, ah, hal sekecil itu bukan tandingan bintangku yang agung. Cahaya bintang tentu jauh lebih terang daripada cahaya yang bisa tercipta oleh meteor ketika ia memasuki lapisan atmosfirku.

Para meteor mungkin adalah pendongeng yang boleh dipuji. Tapi bintang tetap pujaanku. Karenanya aku tidak pernah mengerti kenapa para pendongeng itu bisa disebut sebagai bintang jatuh. Sungguh salah kaprah.

Omong-omong, berapa lama lagi ya waktu yang kupunya? Apakah kamu masih setia mendengarkanku, Bumi?

Aku juga tidak pernah mengira kalau akhir hidupku bisa seperti ini. Rasanya baru saja aku masih bisa merasakan hangatnya berada di dekat bintang pujaanku yang selama ini menjadi pusat hidupku. Tapi ternyata ada suatu kekuasaan lain yang seolah-olah tidak menghendakiku terus berada di sana. Aku percaya variabel lain itu kadang berperan di dalam perubahan hidup kita. Seperti batu besar yang beberapa saat lalu menghantamku. Aku tidak yakin kalau ia juga pendongeng biasa-biasa saja seperti yang lainnya. Barangkali ia memang sudah sejak awal diciptakan seperti itu; sebagai pendongeng besar. Barangkali ia juga diciptakan dengan tujuan untuk menghancurkan egoku pada suatu ketika. Iya, suatu ketika yang baru saja terjadi. Tidak seperti aku yang baru menjadi pendongeng setelah menyadari ternyata waktuku sudah hampir habis.

Batu besar itu barangkali akan hancur saat menabrak bintangku. Pendongeng itu mungkin baru akan bisa mendongeng ketika ia masuk ke permukaan Miss-Universeku. Dengan itu ia akan menghujani bintang pujaanku dengan dongeng-dongeng terhebat yang jauh lebih hebat dari dongengku sekarang. Tapi bisa jadi juga tidak. Bisa jadi bintangku pun akan luluh lantah oleh hantaman pendongeng hebat itu, sementara batu besar itu akan mencari tempat lain untuk ia berpulang. Namun―entah di mana, entah kapan, atau bagaimana caranya―batu besar itu pun akan menemui akhir perjalanannya. Hilang bentuk seperti aku sekarang. Ini bukan semacam sumpah serapah, wahai Bumi―pendengar setiaku, aku sedang berbicara tentang keniscayaan. Bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Kamu percaya Kiamat kan?

Bumi, tolonglah, aku tidak sedang mendongeng untuk menjadikanmu fatalis. Tapi kamu pun tidak ingin menganggap bahwa chaos adalah suatu koinsidensi, bukan? Kenapa kamu masih saja terus menerus mempertanyakan misteri? Demi langit, kamu tidak akan mengetahui apa-apa selain ketidaktahuanmu itu sendiri[6]. Waktu, Bumi, waktu yang akan menjawab semua keresahanmu itu. Sudah. Tak usah kau tanya-tanya lagi, coba kau hayati peranmu.[7] Oh, mungkin kau harus hancur lebur dulu seperti aku saat ini. Meruntuhkan egomu sendiri, atau diruntuhkan pada waktunya. Itu sama saja. Iya. Pada akhirnya kita semua pun akan pasrah sekaligus ikhlas. Karena kita hanya akan melihat satu jalan di depan mata kita; jalan pulang. Dan kita tidak ingin kemana-mana lagi karena memang tidak ada lagi yang perlu dicari atau dipertahankan.

Hmm, seperti aku yang saat ini merasa sangat ringan. Setelah kehilangan begitu banyak masaku sendiri dan kini hanyalah menjadi sebutir debu yang perlahan sedang menembus satu persatu lapisan-lapisan atmosfir, menuju surga yang sungguh luas. Oh apakah benar yang kulihat itu pesisir pantai? Syukurlah. Aku pulang.[]


Depok, 5 Januari 2007
7:33 WIB

Catatan Kaki:

[1] Hukum Kelembaman; Sebuah benda akan tetap berada dalam keadaannya, diam atau bergerak, selama tidak ada kekuatan luar yang memaksanya berubah. (Sumber: Dunia Sophie - Hal. 227)

[2] “But gravity always wins.”; dikutip dari lirik salah satu lagu Radiohead yang berjudul ‘Fake Plastic Trees’

[3] “Apa yang kau miliki, pada akhirnya akan memilikimu”; dikutip dari kata-kata Tyler Durden dalam Fight Club

[4] Chaos = Kekacauan

[5] Kosmos = Keteraturan

[6] “Orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dia tidak tahu” ― Socrates

[7] “Tak usah kau tanya-tanya lagi, coba kau hayati peranmu.”; dikutip dari salah satu lagu Dewa 19 yang berjudul ‘Aku Di Sini Untukmu’

04 Januari 2007

Sakit Sendiri

“Lo pernah siap mati buat seseorang?”

Semua praduga Elektra tadi gugur berantakan. Jawabannya keluar tersendat, tanda ketidaksiapan mengantisipasi. “Belum, kayaknya . . .”

“Bagus. Memang lebih bagus jangan,” sahut Bong sungguh-sungguh. “Kalo ada apa-apa dengan mereka, kita bakal ngerasain dua kali lipatnya. Mereka bahagia, kita lebih bahagia. Mereka merana, kita lebih-lebih lagi kayak tai. Kebayang, nggak?”

(Dee, Supernova 2.2 Hal. 199)


Terus terang, pada saat-saat tertentu aku menyukai penyakit ini. Walau memang pada awalnya selalu membuatku kesal karena harus merasakan sakit di bagian kepala dan melakukan inhale dengan tidak lancar. Tapi setelah fase itu berhasil kulewati, yang bagiku biasanya hanya dibutuhkan waktu semalaman untuk bergumul selimut, aku tinggal melewati fase penyembuhan dari batuk dan pilek. Influensa nama penyakit ini. Penyakit yang pada zaman dahulu kala dipercaya merupakan pengaruh dari roh-roh jahat yang bersemayam di langit. Karena itulah namanya begitu. Influence, berarti 'pengaruh'. Satu hal yang selalu dapat kunikmati di sela-sela meriang dan suhu badan meninggi seperti ini, adalah perubahan yang terjadi pada suaraku.

Aku jadi teringat sekitar tiga tahun ke belakang, ketika aku juga sedang mengalami penyakit rutinku ini. Saat itu aku sedang harus menyelesaikan satu proyek band soloku. Karena itu betul-betul proyek solo, yang artinya 'sendiri', maka aku sendirilah yang mengambil semua bagian di dalam band tersebut. Dan... iya, ehem, termasuk vokal tentunya. Ya, ya, ya. Kamu boleh tertawa sekarang. Kamu pasti juga sudah tahu kan kemampuan bernyanyiku yang maha pas-pasan. Tapi asal kamu tahu, aku telah melewati konflik batin yang cukup serius sehingga akhirnya berani membaptis diriku sendiri menjadi vokalis. Karena ini adalah proyek egois. Mau disebut proyek idealis juga rasanya nggak ideal-ideal amat. Kenyataannya aku sendiri sadar masih banyak orang lain yang suaranya lebih ideal untuk bernyanyi.

Sebabnya, aku merasa mempunyai sebuah konsep musik yang ingin kurealisasikan. Tapi mengingat satu-satunya band yang kubentuk bersama tiga orang kawan adalah band yang terbiasa membawakan musik hardcore/punk, aku jadi agak malu untuk mengajukan konsep ini pada mereka. Karena, selain dari segi musik yang memang ngepop abis, liriknya pun agak cinta-cintaan gitu deh... Makanya aku ragu: Apa iya personil bandku mau merubah warna sound dari yang sangar bin gahar menjadi merdu binti sendu? Merubah lirik dari yang bicara tentang busuknya sistem menjadi tentang indahnya jatuh cinta?

Akhirnya aku memutuskan untuk menjalankan projek ini sendirian. Tujuan utamanya jelas, konsep yang sudah kususun ini tidak ingin ada banyak tangan yang mencampurinya. Biarkan semua resiko aku sendiri yang tanggung. Termasuk resiko suara vokalis yang akan jadi bulan-bulanan siapapun yang mendengar nantinya. Yang penting semua yang ada di kepalaku bisa tersalurkan seutuhnya. Biar itu setaik apapun. Makanya ini memang begitu pantas disebut proyek egois.

Hmh, tadi sampai mana ya? Ohtadi aku sedang ingin menceritakan soal tiga tahun yang lalu. Iya, jadi pengerjaan proyek tersebut saat itu bertepatan dengan kedatangan penyakit rutinku. Waktu itu aku sempat panik. Rekaman belum selesai. Tapi fisikku sudah memberontak untuk diajak bekerja lebih banyak. Untungnya hanya tinggal vokal yang belum. Dengan sisa energi yang kurasa masih ada, menyanyilah aku. Sungguh, aku tidak pernah menyangka kalau hasilnya bisa seperti itu. Aku yang sadar akan kemampuan vokalku yang berada di bawah garis kemiskinan, saat itu tercengang ketika melihat hasil rekaman suaraku sendiri yang ternyata menjadi semirip Chris Martin (vokalis Coldplay). Eh, ini betul! Aku tidak mengada-ada. Okelah, mungkin memang tidak mirip sekali. Tapi aku berani mengatakan kalau suaraku saat itu menjadi jauh berbeda dengan suaraku selama ini.

Ternyata pilek membuat suaraku berubah. Cairan yang mampat di hidung membuat aksenku menjadi seperti aksen british yang sengau. Dan aku menyukai suaraku saat itu. Walau aku akhirnya harus sadar, dan sedikit menyesal, bahwa itu bukan suara asliku. Aku juga akhirnya sadar bahwa rekaman dengan suara yang bukan suara asli itu tidak sah untuk diperbanyak. Karena bagaimana caraku mempertanggungjawabkan apabila suatu hari band ini harus bermain live? Bisa-bisa para penonton akan heran, kenapa suara vokalisnya berbeda sekali dengan yang di album? Karena itulah proses rekaman akhirnya diundur hingga aku sembuh. Dan karena itulah aku juga tidak bisa membuktikan padamu kalau suaraku pernah semirip Chris Martin.

Kamu tadi menelponku saat aku sedang menonton ‘Love Actually’ di televisi bareng keluarga. Aku sempat bertanya padamu, 'kamu nggak sakit, kan?'. Aku hanya mencoba memastikan. Karena seringnya kita sakit bareng-bareng. Kayak anak kembar, kata Budi. Sebetulnya aku lega mengetahui kamu tidak sedang sakit juga. Walau jauh di dasar hati ini ada pertanyaan yang timbul ketika mengetahui saat ini kamu tidak ikut sakit: 'apakah kamu memang masih sedekat dahulu?'[]


Bandung, 27 Desember 2006
03:50 WIB