07 November 2009

Mereka yang Menginspirasi Saya Hari Ini

Jika ada orang yang hari ini mewawancara saya, dan mengajukan pertanyaan seperti ini; "Siapa orang yang menginspirasi kamu hari ini?" - maka inilah jawaban saya. Ada dua orang:


1. Bruce Dickinson - Vokalis Iron Maiden
Kenapa? Usia dia sekarang sudah melewati setengah abad, 51 tahun. Tapi tidak tampak pada dirinya ada tanda-tanda akan memperlambat ritme hidupnya, semangat hidupnya, dan antusiasmenya terhadap hidup. Itu terlihat dari bagaimana dia benar-benar menghayati profesinya sebagai vokalis sebuah band heavy metal.

Menonton Flight 666--film Dokumenter tentang perjalanan band Iron Maiden dalam tur Somewhere Back In Time tahun 2008 lalu--saya tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara energi Bruce pada video tersebut dengan energinya di 'Live After Death' video live Iron Maiden rilisan tahun 1985. Ditambah lagi pada tur tahun 2008 itu, Bruce Dickinson adalah pilot pesawat yang menjadi alat transportasi Iron Maiden sepanjang tur. Bisakah kamu bayangkan seorang laki-laki berusia 51 tahun menerbangkan sebuah Boeing 757, mendaratkannya dengan mulus, untuk kemudian tampil di hadapan puluhan ribu penonton dengan energi yang sangat prima--dan kemudian menerbangkannya kembali untuk menuju puluhan ribu penonton lain yang menantinya dengan ekspektasi tinggi di negara-negara yang lain? Luar biasa.

>> http://en.wikipedia.org/wiki/Bruce_Dickinson


2. Sam Dunn - Sutradara (Metal: A Headbanger's Journey, Global Metal, dan Flight 666)
Kenapa? Setidaknya saya sudah menonton dua dokumenter garapan Sam Dunn. Global Metal dan Flight 666--karyanya yang pertama akan segera saya cari. Dan setiap kali saya melihat karyanya, saya selalu menemukan suatu cara penyampaian dokumenter yang berbeda dengan dokumenter-dokumenter lain yang pernah saya tonton. Mungkin karena ia memiliki sebuah selera musik yang sama dengan saya, sehingga gaya komunikasi yang ia gunakan (baik dalam narasi maupun dalam visual) terasa akrab di hati saya. Seperti: tidak formal, tidak kaku, atau tidak mainstream--namun bukan berarti tidak serius dan tidak cerdas! Sam Dunn justru bisa merekam hal-hal subtil yang jarang bisa direkam oleh kamera para kamerawan umumnya. Seperti gestur-gestur orang di suatu negara, untuk kemudian menjadi aspek yang memperkuat narasi yang ia buat dalam menceritakan bagaimana penerimaan orang di daerah itu terhadap sesuatu yang asing. Wah! Itu sesuatu yang abstrak dan tidak mudah untuk divisualkan sebenarnya. Tapi Sam Dunn bisa! Menurut saya dia adalah orang yang memiliki sensitivitas tinggi dan juga ketabahan dan kesabaran dalam mempelajari realitas dari subjek yang sedang ia dokumentasikan.

Ketabahan itu juga terlihat (pada 'Global Metal') dari cukup banyaknya ia bisa menembus narasumber-narasumber penting dan kompeten di bidangnya untuk ia wawancarai. Dan itu terlihat lebih luar biasa lagi sebab para narasumber penting itu adalah personel band metal yang sudah terkenal, seperti para personil Metallica, Slayer, atau Iron Maiden.

Sam Dunn juga menyajikan dokumenter dengan cara yang saya sebut dengan 'humble-style'. Ia tidak seperti sedang mengajari kita sesuatu. Melainkan mengajak penontonnya untuk menyelediki dan mencari jawaban atau pembuktian sama-sama atas suatu pertanyaan, premis, dan asumsi. Ini satu lagi nilai lebih Sam Dunn yang membuat saya kagum padanya.

Dari artikel-artikel yang saya baca di internet, Sam Dunn mengalami banyak kesulitan dalam pembuatan film Flight 666. Yang mana itu merupakan konsep dan ide Sam Dunn untuk mendokumentasikan perjalanan band favoritnya tersebut. Ia mendapatkan banyak halangan; seperti dari pihak bandara ketika ia masuk membawa kamera yang menyala ke area landasan (insiden ini terekam dengan baik di film), dan bahkan dari personel Iron Maiden sendiri yang kadang menolak untuk didekati. Tapi toh akhirnya film ini rampung dan meraih penghargaan di festival film SXSW di Austin, Texas, dalam nominasi “24 Beats Per Second” tahun 2009. Kamu batu, Sam Dunn! (You Rock, Sam Dunn!) :-D

>> http://en.wikipedia.org/wiki/Sam_Dunn

07 Mei 2009

Gorgom

Awalnya kedatangan saya ke situ adalah dengan membawa keinginan untuk melihat pahlawan bertopeng; entah kamen rider atau power rangers. Penasaran juga ingin melihat langsung orang-orang berpakaian glossy berwarna fancy itu beraksi seperti di tv, meski tentu saja tanpa special-effect api. Awalnya tangan saya sudah gatal untuk merekam setiap detil aksi sang pahlawan mengalahkan monster dengan kamera video yang saya bawa. Tapi pada titik itu antusiasme saya telah merosot. Kini saya jadi lebih ingin melihat mbak-mbak penjual kopi keliling berjalan lenggak-lenggok bak model cat walk. Ini karena anak-anak muda dari komunitas tokusatsu itu telah ngaret dari waktu yang telah kami sama-sama sepakati sebelumnya, jam duabelas. Dan kini sudah hampir jam dua. Saya letakkan kamera di trotoar dan mulai mengedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri, mencoba mendeteksi eksistensi mbak-mbak penjual kopi dan pop mi keliling.

Nihil.

Aneh, pikir saya. Biasanya di Parkir Timur ini selalu saja ada satu, atau dua orang, penjual kopi yang rajin menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang terlihat sedang duduk-duduk di daerah jajahan mereka. Tapi siang itu mengapa jadi sulit begini untuk menemukan satu saja. Yang dari tadi bisa saya lihat hanyalah mobil-mobil mondar-mandir di sana dengan kecepatan rendah; terkadang berhenti mendadak; terkadang pula mundur, untuk kemudian maju lagi. Mereka pasti sedang belajar mobil, saya bergumam sendiri.

Padahal dari istora terdengar sedang ada acara. Entah acara apa. Sepertinya acara pertemuan organisasi. Karena di dekat tempat saya duduk ada dua buah bis besar yang terpasang spanduk besar sedang terparkir. Orang-orangnya sudah masuk ke istora sejak tadi. Tapi aneh, tak ada satu pun penjual kopi keliling yang terlihat. Padahal biasanya mereka selalu memanfaatkan momen-momen keramaian seperti ini untuk berjualan.Yah, kalaupun peserta pertemuan itu memang sudah mendapat jatah kopi di dalam istora, minimal kan ada beberapa sopir dan kondektur bis yang butuh kopi atau pop mi mereka sebagai teman membunuh waktu. Seperti juga kami yang sedang menunggu komunitas tokusatsu itu.

Saya lihat reporter saya sudah mengambil lapak di samping pagar istora untuk berbaring. Driver saya juga tak ubahnya. Saya jadi berkata pada diri saya sendiri: jangan memilih kostum kamen rider jika akan melakukan kencan pertama. Itu akan membuat pacarmu bosan menunggu.

Saya buka pintu mobil, dan duduk di bangku sopir. Saya hidupkan mesin, dan sempat meneliti sebentar bahwa driver serta reporter saya tidak terganggu dengan suara mesin mobil ini. Sembari memasukkan gigi mundur, saya melihat ke belakang melalui semua kaca spion yang dipunyai avanza ini. Saat itu saya lihat seorang berperawakan kurus, hitam, dan berwajah agak sangar menghampiri. Saya bersiap untuk membuka jendela dan menjelaskan bahwa saya tidak akan kemana-mana; hanya ingin belajar mobil. Tapi orang sangar itu tidak berjalan mendekati saya, malahan mengilang dari frame spion avanza. Kemana dia? Entah. Maka saya mundurkan saja mobil ini. Gugup. Karena memang sudah lama juga semenjak terakhir saya mengemudikan mobil.

Mundur berhasil saya lakukan. Sekarang adalah belajar maju. Saya pindahkan persneling ke gigi satu. Mulus. Mobil bisa berjalan. Ternyata saya belum benar-benar lupa caranya menyetir mobil. Puas dengan kenyataan itu, saya ingin segera parkirkan lagi saja mobil ini. Tapi tiba-tiba orang sangar tadi muncul entah dari mana. Aneh juga orang ini. Menghilang tiba-tiba, muncul tiba-tiba. Seperti Gorgom di Kamen Rider Black saja. Dan kini dia sedang berdiri di depan mobil saya seperti monster menghadang belalang tempur. Saya berhenti dan membuka jendela.

"Lagi belajar ya, Mas?" kata orang itu.
"Ya. Kenapa?"
"Gini ya, Mas. Orang-orang di sini kalau belajar mobil biasanya ada pengertiannya lah sama kita-kita di sini."

Saya mulai bisa mendefinisikan orang ini. Dia bukan tukang parkir seperti yang saya duga sebelumnya. Dia adalah preman yang suka minta jatah pada orang-orang yang belajar mobil di sini.

"Gini ya, Mas. Saya ini cuma iseng aja, sembari nunggu temen saya ambil aja ini mobil buat belajar. Saya mau liputan, Mas," kata saya.
"Ya, tapi kalau belajar orang-orang di sini biasanya ada pengertiannya lah sama kita-kita di sini," ujar dia seperti mengulang kalimat sebelumnya.
"Ya, ya, ya. Nanti lah!" kata saya sembari menutup jendela.
"Ya, santai aja!!!" suaranya terdengar meski jendela sudah tertutup rapat.

Mobil saya jalankan lagi. "Rese!"

Brak! Saya keluar dari mobil yang sudah saya parkir di tempat awal. Saya ambil kamera saya yang tadi saya letakkan di trotoar. Saya kesal pada orang itu. Ya, saya selalu kesal pada orang-orang seperti dia yang mengandalkan wajah sangarnya untuk memeras orang-orang. Saya ingin rekam dia dari jarak dekat dan memaksanya membuat pengakuan bahwa dia adalah pemalak. Saya tahu, ini bukan sesuatu yang bijak. Tapi emosi saya pada waktu itu sudah memuncak. Saya cari dia, tapi dia sudah menghilang lagi seperti Gorgom. Lalu saya kembali pada reporter dan driver saya. Menceritakan kejadian barusan pada mereka. Driver saya hanya menertawai saya. Ini sudah kali kedua dia menertawai saya atas kegagalan saya menahan emosi.

Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu datang juga. Bukan kamen rider. Melainkan penjual kopi. Lalu saya bertanya, kenapa baru muncul?

"Males, Mas, kalo lagi ada acara. Tempat ini dikuasain sama ambon-ambon. Mereka suka ngutang sama kita. Kalau ditagih marah. Kalau kayak saya sih, dimarahin paling saya sewotin, dan mereka nggak marah. Tapi kalau yang cowok-cowok, ngelawan bisa digebukin, Mas."

Ternyata Gorgom itulah yang membuat para penjual kopi di tempat ini jadi pergi.

"Mereka berapa orang sih, Mbak?"
"Banyak, Mas... Kalo di sini yang nguasain ambon-ambon. Kalo di Parkir Selatan, arek-arek."

Banyak. Tidak lucu juga kalau tadi saya sempat berkontradiksi dengan si Gorgom itu, saya pikir. Akhirnya saya memilih diam saja, menenangkan diri sembari menyeruput kopi moka racikan simbak ini dan memandangi Gorgom-Gorgom itu mulai menyatroni mobil-mobil lain yang sedang berjalan pelan; dan terkadang mundur. Saya lihat salah seorang mengeluarkan selembar limapuluh ribu, dan sang Gorgom mengantonginya. Tiba-tiba driver saya, juga sembari ngopi, menunjukkan plang yang berdiri di dekat kami. Saya baca tulisannya: DILARANG BELAJAR MOBIL DI AREA INI.

O la la, Senayan... Senayan...[]
_____

Catatan:
Penyebutan suku di atas bukan untuk mendiskreditkan suku tersebut, melainkan karena itu yang disebut oleh narasumber.

19 April 2009

[CERPEN] GELAP

Untungnya aku tidak terlalu relijius. Ada semacam kelegaan tersendiri yang terus-terusan menyejukkan rongga dadaku tanpa henti seketika aku menyadari hal itu. Sudah sekitar satu jam sejak kereta yang kami tumpangi ini bergerak meninggalkan Gambir. Dari jendela yang sedikit retak dan berdebu di sisi kiriku ini aku bisa tahu kalau di luar sudah gelap. Sepertinya tadi ada adzan yang sayup-sayup suaranya masuk selintas ke dalam gerbong untuk kemudian segera tertinggal di suatu tempat, Bekasi atau Kranji, aku tidak yakin di mana itu. Tepatnya, aku tidak ingat. Aku tidak terlalu ambil pusing. Melainkan hanya sebuah tangkapan otomatis oleh indera pendengaranku.

Kalau sedikit saja aku lebih yakin dengan agama yang tertera di KTP-ku, mungkin suasana di antara tiga manusia yang sekarang tengah duduk di bangku nomor 3A-3B dan 4A-4B―yang sengaja kami buat berhadap-hadapan demi mendapatkan suasana privasi―ini tidak akan menjadi nyaman. Mungkin, dengan sebab yang sama, aku akan membuat semacam dominasi keyakinan di sini sementara yang lainnya merasakan dirinya menjadi minoritas. Untuk itulah aku lega merasa tidak punya apapun yang kubela.

Lagipula ini perjalanan dalam rangka menghabiskan akhir pekan. Maka bersenang-senang seharusnya adalah tema utamanya. Bukan konflik atau juga obrolan yang pelik.

Memang juga tidak semudah itu untuk bersikap biasa-biasa saja dan dengan berani menantang mata mereka, apabila salah satu dari mereka sudah mulai menyebut-nyebut suatu nama atau hanya kata yang identik dengan agamanya. Bukan semacam risih atau alergi. Tapi lebih kepada perasaan khawatir bahwa akan munculnya semacam rasa gusar di dalam hati yang lainnya.

Ini bukan tentang aku dan perasaanku. Ini tentang mereka berdua dan perasaan keduanya. Mereka, yang duduk di bangku seberangku ini, adalah sahabatku. Dan aku menyayangi keduanya. Dan ini juga tentang acara liburan kami bertiga yang kuingin jadikan seindah mungkin bagi kita semua; khususnya mereka.

Ada satu beban juga yang kupilih untuk aku tanggung sendiri semenjak siang tadi. Mereka tidak tahu hal ini. Beban itu sebetulnya hanya berupa serentetan dialog yang sampai sekarang masih juga belum lepas dari ingatan.

***

“Jadi ke Bandung?”

Saat itu hanya aku yang ada di teras rumah itu. Maka kalimat suara yang menampung pertanyaan itu pasti tertuju untukku. Aku langsung menutup novel yang sedang kubaca seperempat dari jumlah halaman buku itu keseluruhan.

“Jadi, Tante,” jawabku dalam nada lembut yang aku rasa lumayan kontras dengan picingan mataku akibat terpaan silau. Tembok rumah itu putih sekali. Sehingga semua sinar matahari yang jatuh di atasnya seperti memantul dan masuk ke dalam mataku sebanyak mereka datang pertama kali.

“Sama Ema?” ia mengambil tempat di kursi sebelah kananku sembari meletakkan sebotol air dingin dan sebuah mug kosong di atas meja bundar yang memisahkan kursiku dengan kursinya.

Saat itu semua menjadi terasa begitu cepat. Sebelum sempat lagi aku memikirkan jawaban yang tepat, mulutku sudah terlanjur mengeluarkan bunyi. “Iya, ini Roni lagi jemput Ema” ucapku lalu tertawa. Sebuah tawa yang bahkan saat itu juga aku tahu kalau itu adalah sebuah tawa yang hanya mungkin keluar dari orang panik atau gugup.

Dia terlihat mengangguk-angguk kecil selama beberapa kali. Aku lega saat itu. Aku pikir sudah berakhir. Tidak ada komentar lagi darinya, maka itu artinya aku bisa tenang untuk sementara waktu. Setidaknya, bila ia hanya ingin menyudahi pembicaraan kami dengan anggukan ambigu seperti itu, itu akan menjadi akhir dari pembicaraan kami.

Tapi baru saja aku berniat untuk membuka novel yang masih kupegang, tanpa aku menoleh padanya, aku merasa perempuan separuh baya ini hendak mengangkat bicara lagi.

“Tante kasihan sama Roni. Sama Ema juga. Roni susah untuk dikasih tahu. Dia malah akhir-akhir ini jadi giat mencari buku-buku yang bilang kalau pernikahan beda agama itu diperbolehkan. Tapi…”

Ia berbicara terus tanpa putus. Sehingga aku hanya merasa diberi ijin untuk menggumam, berdehem, dan tersenyum.

“Menurut kamu sendiri bagaimana? Kamu bisa kasih tahu Roni nggak, untuk jangan ngeyel gitu?” akhirnya ia memberiku kesempatan.

“Setahu saya, ini pertama kalinya Roni bisa dekat dengan seorang perempuan. Dan itu sesuatu yang buat saya sendiri membahagiakan.”

“Tapi, kan, mereka beda agama,” ia menyela sehingga aku merasa kehilangan kekuatan yang tadi sudah kuhimpun untuk mengutarakan semua yang ada di kepalaku. Dan aku harus mulai lagi dari nol.

“Iya, itu betul,” aku berusaha untuk tetap tenang, “tapi saya rasa pasti mereka berdua bisa menemukan jalan yang terbaik buat mereka. Mereka sudah besar. Lagipula belum tentu juga ada niat dari mereka berdua untuk melanjutkan hubungan ini ke pernikahan.”

“Tante cuma kasihan aja sama mereka. Kalau mereka sudah terlanjur sayang…”

Hanya senyum yang bisa kulakukan. Aku merasa tidak punya cukup hak untuk terus menerus menyangkal semua yang ia katakan. Ia orangtuanya. Mungkin ia memang berhak untuk memikirkan itu semua. Dan terlepas dari itu, dalam beberapa hal, apa yang ia ungkapkan ada benarnya.

***

Kurang dari dua jam lagi kereta ekspres Parahyangan ini akan memasuki Stasiun Hall. Dua orang di depanku ini sedang tertidur, dengan sang perempuan bersandar pada bahu lelakinya. Aku pun segera mengalihkan pandangan ke kegelapan di balik jendela. Tidak ada yang bisa kulihat di sana. Tapi kekosongan seperti itu selalu menjadi semacam media yang bisa kugambari sesuka hati.

Tak lama kemudian, aku pun merasa lelah berkutat dengan pikiran dan beban yang kubawa dari Jakarta tadi. Imajinasi-imajinasi sudah bertumpang tindih di atas media yang awalnya kosong. Benang-benang pikiran juga sudah kusut, semrawut di atasnya.

Ketika aku baru saja mau mencoba memejamkan mata untuk menemukan kekosongan lain yang bisa kugambari, Roni membuka matanya. Pandangan mata kami bertemu pada satu titik. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengajak berbicara. Itu sama sekali bukan soal bagiku. Aku juga tidak ingin mengeluarkan suara yang bisa membuat Ema terbangun dari tidurnya.

Roni tersenyum kecil. Entah untuk apa. Aku tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Maka, seperti mati gaya, aku mengeluarkan novel dari dalam ransel. Dan sebelum kubuka pada seperempat buku, aku menatap keluar jendela lagi.

Gelap. Gelap sekali. Dan kusut benang tadi masih juga ada di sana. Tiba-tiba aku menyadari kemungkinan lain; mungkin Roni bisa menggambar dengan lebih baik di atas kegelapan yang sama ini. Dan mungkin untuk itulah senyuman kecilnya tadi. Kalau memang benar demikian, dia baru saja mengejek coret-coretanku ini.

Sial kau, Ron. []