16 Maret 2009

The Guru # 1 - Sidik: Sport & Moustache

Namanya pendek saja. Sidik. Tidak ada kata lain yang mengikuti. Yah, setidaknya itu yang saya tahu sih. Iya, saya mengenalnya selama tiga tahun dengan nama sependek itu. Nama yang selalu membuat saya teringat pada ikon produk sebuah bank yang pada era itu cukup terkenal. Si Jempol.

Saya tidak pernah tahu apa suku bangsa dia sesungguhnya. Dia memang selalu bicara menggunakan dialek orang batak, dengan suaranya yang lantang, rada-rada serak, dan lengkap dengan butiran-butiran ludah yang sesekali menyembur. Jika saja saya tidak pernah memergoki ia sedang berbicara pada seorang guru lain pada suatu hari dengan menggunakan bahasa sunda yang fasih, pasti saya sudah berani mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa Pak Sidik adalah orang Batak.

Maka sampai sekarang pun saya tidak pernah tahu pasti, apakah ia adalah orang Sunda yang menyamar sebagai orang batak, supaya memiliki kesan angker sehingga disegani oleh murid-muridnya... ataukah ia memang orang batak yang sudah lama tinggal di Jawa Barat, sehingga mampu menggunakan bahasa Sunda dengan cukup baik. Entahlah.

Sidik adalah sosok yang ideal sebagai guru olahraga pada saat itu. Tubuhnya atletis dan terlihat lumayan berotot. Jika ia berlari, badannya tegap. Seolah-olah ia tidak akan pernah kehabisan nafas meski berlari dari Dapur Susu sampai ke Blok M. Itu kesan yang saya tangkap pada saat itu.

Dan peluit merupakan benda yang seolah menjadi hal intrinsik pada diri sidik di dalam ingatan saya. Ketika ia menyuruh kami berlari mengelilingi taman, ia tidak duduk, melainkan berdiri tegap. Itu membuat saya merasa bahwa ini adalah sesuatu yang serius dan tidak boleh dianggap main-main. Coba kau bayangkan apabila kau disuruh berlari oleh seseorang, tapi orang itu menyuruh sembari duduk dan makan pisang goreng buatan Ibu Simanjuntak (pedagang di kantin sekolah saya pada era itu). Pastilah kamu pun akan berlari dengan malas-malasan.

Tapi itu tidak dilakukan oleh Sidik. Sidik menyuruh kami berlari mengelilingi taman sembari ia berdiri dengan tegak. Kemudian suara bataknya akan terdengar lantang: "Satu-Dua-Tiga!" dan kemudian disusul oleh suara peluit yang seolah-olah selalu tersemat di bibirnya sepanjang hayatnya. PRIIIIT!!! Maka saya pun mulai berlari dengan semangat. Kami semua berlari berhamburan keluar dari pekarangan sekolah, melewati pagar sekolah yang berkarat. Saya selalu bisa merasakan senyuman mengembang di wajah saya ketika mulai berlari seperti itu. Saya merasa melayang seperti angsa. Iya, saya merasa seolah-olah saya dan kawan-kawan saya semua itu adalah koloni angsa yang sedang terbang di angkasa. Menyenangkan sekali...

Ya, saya pun pernah berpikir, jangan-jangan hanya saya sendiri yang antusias ketika disuruh berlari mengelilingi taman yang letaknya cukup jauh juga dari sekolah--kami harus mengitari satu blok rumah dahulu untuk mencapainya. Tapi ternyata tidak demikian. Saya sudah pastikan ini berkali-kali. Saya selalu menoleh ke wajah kawan-kawan saya ketika kami semua sedang melayang di angkasa seperti koloni angsa. Antusiasme yang sama pun terlihat pada wajah kawan-kawan yang lain. Luar biasa! Tidak ada satu pun nada keluhan yang sempat keluar dari mulut kami ketika kami disuruh berlari seperti itu. Malahan, tak jarang, saya dan beberapa kawan memanfaatkan momen itu sebagai ajang balapan. Iya, balapan... Kami saling adu cepat menjadi yang pertama tiba kembali di lapangan basket sekolah. Dimana di sana Sidik sudah menanti kami semua untuk segera melakukan gerakan-gerakan senam pemanasan.

Dan satu hal lagi yang luar biasa. Tidak ada satu anak pun yang curang. Sekali pun itu anak yang terkenal paling bandel di kelas. Tidak ada yang curang. Tidak ada satu pun anak yang mengambil jalan pintas. Padahal tanpa pengawasan seperti itu--dimana Sidik tetap berada di lapangan basket sekolah ketika kami berlari--sangat banyak peluang bagi kami untuk melakukan kecurangan-kecurangan, seperti: tidak mengitari taman untuk membeli jajanan di depan SD, ataupun main gimbot (baca: game watch) yang disewakan oleh abang-abang sebentar saja sementara yang lain sedang susah payah mengitari taman. Tidak ada, Kawan! Kami semua berlari mengitari taman dengan semangat 90an (semangat 45 rasanya sudah terlalu oldskull).

Sidik adalah guru yang humoris. Meski humornya seringkali menjurus porno. Tapi tak mengapa. Toh, itu yang kita semua sukai. Dan tampaknya Sidik tahu itu. Iya, Sidik dan kami seperti sama-sama tahu: Sidik tahu apa yang kami suka... Joke Porno dan slapstick (salah satu hal lagi yang merupakan keahliannya pada saat itu), dan kami tahu apa yang Sidik suka... disiplin dan sportif. Tidak mengambil jalan pintas untuk bermain gimbot ketika disuruh berlari mengelilingi taman. Sidik dan kami seperti saling menjaga satu sama lain. Menjaga hubungan yang semacam itu.

Tapi jika saya pikir-pikir kembali, hubungan semacam itu rasanya tidak akan pernah tercipta jika saja Sidik tidak memelihara kumisnya yang seperti Andi Malarangeng itu (Ah, kumis Andi Malarangeng yang seperti Sidik... Kan dulu Malarangeng belum ada apa-apanya). Dengan kumis itu, ia tampak berwibawa, tampak serius ketika menyuruh kami mengelilingi taman, bukan main-main, bukan basa-basi. Serius! Kumis dan sebuah benda yang menyembul di depannya dan mengeluarkan suara melengking, mampu membuat kami berdedikasi pada olahraga, pada track yang mesti kami lalui ketika berlari... tidak boleh curang!

Sebab pernah suatu hari Sidik muncul tanpa kumisnya itu. Dan kau tau apa yang terjadi? Kami semua tak henti-hentinya menahan tawa, bahkan ketika Sidik sudah mulai berbicara. Itu kacau, Kawan. Kacau... Hubungan yang selama ini telah terjaga menjadi kacau. Sidik kehilangan wibawa, anak-anak kehilangan faktor yang mendorong mereka untuk berpikir bahwa ini semua bukan main-main. Padahal, selama itu Sidik telah berhasil memadukan antara keseriusan dengan kesenangan. Lihat saja bagaimana kami bisa menjadikan sebuah determinasi untuk mengelilingi taman (itu bukan jarak yang dekat lho) sebagai sebuah permainan. Kami jadikan kesusahan itu sebagai kesenangan. Kami balap lari... Asyik kan?

Maka Sidik harusnya tahu, bahwa kumisnya itu merupakan faktor penting yang membawa kami semua melampaui titik-titik penting dalam hidup kami, hingga sampai di titik sekarang ini. Kami telah berhasil, Pak Sidik. Kami telah berhasil mengitari taman dengan perasaan senang. Kami telah berhasil menyelesaikan sekolah di SMP 37, juga dengan perasaan senang. Dan di luar sini, Pak Sidik, Bapak boleh bangga pada kami... Di luar sini kami juga telah menjadi orang-orang yang berhasil, Pak... Entah apa hasilnya... pokoknya berhasil, dan pokoknya senang.[]