19 Desember 2006

Menyapamu

Kali ini aku hanya ingin menyapamu. Hanya kamu. Karena empat hari sudah berlalu. Maka rasanya cukup wajar kalau aku sudah mulai lagi merindu. Pagi tadi aku datang lagi ke kantor itu. Mereka bilang sih untuk interview. Aku tiba di sana tepat waktu. Benar-benar tepat waktu.

Sejujurnya aku masih ingin menikmati pagi lebih lama. Menyeruput kopi seduhan sendiri dengan pikiran yang masih belum terpetakan dengan baik. Tidak ingin tergesa-gesa untuk menuju pusat kemacetan lalu-lintas ataupun berurusan dengan deadline. Aku memang masih ingin menikmati pagi-pagi yang hanya untukku sendiri. Seperti dua-tiga bulan terakhir ini. Tapi apa mau dikata, tampaknya persediaan uang yang mulai menipis membuatku mesti segera kompromi. Maka tadi aku tiba di sana tepat waktu. Benar-benar tepat waktu.

Omong-omong interview tadi, entah kenapa, aku tidak mengharap. Entah karena memang dari dalam diriku sendiri masih ingin mempertahankan pagi-pagi bermalas-malasanku. Entah karena memang aku sudah mulai berhenti berpengharapan. Entah.

Siang ini aku menantimu. Sejak tadi. Tapi hingga kini kau belum muncul juga. Entah karena memang kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu. Entah karena memang kau sedang ingin sendiri. Entah. Apapun itu, aku akan selalu mendoakanmu. Semoga kamu bisa selamat keluar dari fase yang mulai terasa berat untuk dilalui ini. Nyaris mustahil bahkan. Tapi tidak ada gunanya menyesali apa-apa yang telah menjadi pilihan kita sendiri, betul katamu semalam. Aku pun tak pernah menyesalinya. Bukankah sedari dulu aku pernah mengatakan ini: 'Aku bersyukur karena dipertemukanmu dalam hidup yang singkat ini'. Iya. Karena dengan suatu cara aku tahu sejak saat itu telah masuk ke hidup yang sebenarnya. Dimana segala hal tidaklah semudah dan sesederhana apa yang bisa dikatakan. Itulah hidup yang memang harus kita rasakan dan coba sendiri. Tidak hanya bisa didengar dari cerita-cerita.

Ini hidupmu, dan semua ada di tanganmu. Bukan di tangan siapapun. Bukan pula aku.[]

18 Desember 2006

AKHIR PEKAN YANG INDAH

“Sebodoh-bodohnya keledai takkan jatuh ke lubang yang sama. Aku jatuh ke lubang yang sama untuk kali kedua.” (Skalie – Kali Kedua)

Tak kuduga akhir pekan kali ini bisa menjadi seindah ini bagiku. Menakjubkan. Iya. Mengingat baru saja aku melewati hari-hari, atau bahkan minggu-minggu, yang benar-benar sulit untuk kunikmati. Ternyata kini aku telah mampu melihat segala sesuatu dengan cara yang tidak lagi membuat dadaku nyeri. Bagiku sendiri ini cukup menakjubkan. Lebih menakjubkan lagi ketika ternyata aku tidak perlu melarikan diri dari masalah. Aku rasa kali ini aku sudah lebih banyak belajar.

Dimulai dari malam minggu, saat aku menghampirinya sekali lagi. Saat itu, bahkan sebelum berangkat menuju tempat ia berada, aku sudah meyakinkan diriku sendiri bahwa pertemuan kali itu memang ingin kueksekusi tanpa pengharapan yang tinggi. Tentu aku bisa kapan saja mengurungkan niat bertemu apabila kutahu di dalam hatiku masih tersimpan harapan-harapan yang dulu pernah ada. Dan pertemuan malam itu terjadi juga.

Kuakui dia memang masih tetap memesona, sama seperti pertama kali aku mengenalnya. Tapi ternyata ketika aku sudah berhenti mengharap agar seluruh pesona yang ia punya hanya terpancar untukku saja, justru pesona itu semakin dapat kurasakan dengan jauh lebih baik. Mungkin karena di situ aku benar-benar bisa menikmati momen yang masih ada. Dan perasaan-perasaan lain, semacam ketakutan akan kehilangan dia, benar-benar telah sirna. Saat itulah aku baru mengerti bagaimana caranya menikmati ‘saat ini’; yakni dengan tidak terlalu mengkhawatirkan apa-apa yang belum terjadi. Memang sesederhana itu saja.

Malam itu dilanjutkan dengan obrolan bersama beberapa kawan lama di suatu bilangan Condet. Terus terang, itu adalah pertama kalinya aku melihat kawanan ini mau untuk tercebur ke dalam obrolan yang cukup dalam. Mereka yang selama ini kukenal sebagai orang-orang yang selalu menolak untuk berpelik-pelik, ternyata malam itu menjadi sama bergairahnya denganku untuk membincangkan hal-hal yang cukup bisa membuat otak kami semua terasa bekerja lebih keras. Barangkali memang sudah waktunya. Barangkali memang ini adalah saatnya manusia-manusia seumuran kami memasuki fase seperti ini. Fase ketika kami perlu berhenti sebentar untuk mencari tahu ke dalam diri sendiri dan ke luar. “Ke dalam, mempertanyakan siapa―atau apa―kita ini sebenarnya. Ke luar, mengetahui apa yang sebenarnya kita cari di sana. Dan kedua hal tersebut haruslah singkron, jika tidak kita bisa sarap (sakit jiwa―pen)”, ujar seorang kawan dalam salah satu obrolan.

Ada perasaan senang ketika mengetahui diriku berada di tempat yang tepat malam itu. Setidaknya aku tidak lagi mesti menyembunyikan apa yang tengah kupikir atau kurasa. Sehingga aku juga tidak perlu lagi merasa asing ketika kawan-kawan yang lainnya justru sedang larut bersama dalam suasana. Aku senang ketika seseorang dari mereka yang dikenal sebagai sosok yang cenderung tertutup malam itu menjadi begitu antusias menceritakan tentang dirinya sendiri lebih banyak dari biasanya. Itu tentu membuatku merasa lebih nyaman juga untuk membuka diri. Ia memang baru mendapatkan sebuah pengalaman baru di dalam hidupnya. Yakni menjalani hubungan hati yang lebih dekat dengan seorang perempuan. Pacaran, istilah populernya. Dan mungkin karena itu baru kali ini ia merasa membutuhkan orang lain untuk diajak saling berbagi.

Aku menukar ceritanya dengan menceritakan sesuatu yang sifatnya lebih umum. Entahlah. Mungkin karena masalah-masalahku yang bersifat lebih mendetil dan khusus sudah lebih dahulu aku tukarkan dengan kawan lain di hari-hari sebelumnya ketika intensitas tekanannya sedang keras-kerasnya. Mungkin.

Aku bercerita soal diriku yang akhir-akhir ini sedang lebih sering untuk berefleksi lewat lirik-lirik lagu daripada buku. Satu yang sempat kusinggung adalah lagu dari band salah seorang kawan. Skalie nama band itu. Lagu yang berjudul ‘Kali Kedua’ itu mengisahkan seseorang yang kandas hubungan asmaranya dan ia sedang mengalami patah hati. Bait pertama lagunya menggambarkan seperti itu. Tapi kemudian secara mengejutkan bait tersebut disambung langsung ke reff. Dimana di bait reff tersebut tergambar bahwa ini bukan merupakan pengalaman pertama orang tersebut mengalami hal yang sama dalam hidupnya. Dan ia menganggap dirinya sendiri lebih bodoh dari keledai karena harus mengalami kesalahan lebih dari sekali. Kawan-kawan sempat memintaku menyanyikan bait yang ingin kutekankan tersebut. Tapi aku tidak terlalu percaya dengan kemampuan vokalku sendiri. Sehingga akhirnya hanya kubacakan.

Lagu tersebut membuatku melihat ke dalam diriku sendiri. Bahwa keterpurukan yang kualami akhir-akhir ini memang bukan sesuatu yang sama sekali baru dalam hidupku. Aku pernah mengalami hal serupa sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Ditinggal pergi oleh seseorang yang selama ini kupikir aku sayangi. Sebetulnya aku tidak sedang ingin memprotes lirik lagu tersebut. Walau aku melihat bahwa Skalie ingin mencoba mengatakan bahwa orang yang bisa sampai mengalami kegagalan sama untuk kedua kalinya adalah lebih bodoh dari seekor keledai. Dan aku tidak sepenuhnya setuju dengan itu. Tapi dalam kasus lain bisa jadi demikian.

Skalie boleh saja menyebutku bodoh kalau aku sama sekali sudah tidak punya keinginan untuk belajar dari kesalahan yang pernah kubuat. Aku tidak merasa demikian. Boleh jadi saat ini aku memang masuk ke lubang yang sama. Atau boleh jadi hanya mirip. Tapi saat ini aku telah bisa melihat kejatuhanku tanpa lagi menyalahkan posisi lubang itu yang memang di sana tempatnya. Tidak seperti dahulu. Kini aku cenderung melihat tragedi yang kualami―kalau memang pantas disebut begitu―semata karena kesalahan diriku sendiri.

Maka aku rasa masuk ke lubang yang sama bukan sama sekali sesuatu yang buruk. Sebab apabila dahulu aku menyalahkan lubang itu sebagai akibatku terjatuh, kini ketika jatuh ke ‘lubang yang sama’ sekali lagi aku merasa diberi satu kesempatan untuk berpikir bahwa akulah yang sebetulnya kurang-mahir dalam berjalan. Dan dengan cara melihat yang seperti itu keinginanku untuk memperbaiki diri menjadi lahir. Motivasinya tentu supaya apabila suatu hari menemui lubang semacam ini lagi di tengah-tengah perjalanan, aku sudah tahu bagaimana cara menghadapinya dengan baik.

Itulah yang dapat kubagi pada kawan-kawan lamaku. Sejujurnya, malam itu aku sedang lebih ingin menikmati suasana baru yang bisa kudapatkan di tengah-tengah kawan-kawan lama dalam hidupku. Maka aku lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Dan kami semua baru benar-benar berhenti berbicara saat pagi. Iya. Semenyenangkan itulah.

Minggu malamnya, aku dan Dry memutuskan bertemu. Kali ini sebuah kafe di Margo City jadi tempat yang kami pilih. Sebenarnya aku merasa kurang tidur. Dia pun terlihat sama.Tapi aku tahu, mengobrol dengannya pasti bisa membuatku melupakan rasa kantuk. Biasanya memang selalu seperti itu. Benar saja, bersama kopi dan rokok yang selalu setia, kami melewatkan beberapa jam untuk membincangkan banyak hal yang tidak bisa kutulis semuanya di sini. Karena aku memang membutuhkan banyak waktu untuk bisa menuliskan hasil obrolan yang terus mengembang seperti itu. Dan sesuatu yang lebih dahulu lama terendap biasanya akan mengalir keluar begitu saja pada waktunya tanpa kurencanakan. Baik itu lewat tulisan ataupun lisan. Karena ia telah menikah dengan pemikiran-pemikiran lain yang telah lebih dahulu ada di dalam kepala. Tak akan ada yang pernah tahu, ketika aku menyampaikan suatu pemikiran, apakah itu adalah murni hasil pemikiranku sendiri atau bukan. Ah, lagipula itu bukan sesuatu yang terlalu perlu dipersoalkan.

Aku tidak yakin apa yang membuatku bisa mengkhianati otakku sendiri yang sebenarnya sejak sore sudah memerintahkan untuk cepat-cepat tidur. Kafeinkah, obrolankah, atau pantulan cahaya lampu-lampu berwarna kuning pada gerimis―yang entah kenapa malam itu menjadi terlalu sayang untuk dilewatkan. Satu yang pasti: aku tidak sedang melihat orang ini sebagai orang yang ingin kuajak berkomitmen. Aku yakin betul. Barangkali aku memang menyayanginya. Tapi, entah kenapa, tidak terbersit di dalam diriku untuk membuat komitmen apapun dengannya. Aku sudah nyaman seperti ini. Dan aku tidak mengharapkan yang lebih dari ini.

Barangkali aku sudah mulai tertular keabu-abuan kalian, Dry… Du… Tapi aku tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang buruk―walau nyata-nyata barusan aku menggunakan kata ‘tertular’ yang konotatif. Karena, terus terang, ini indah sekali memang. Dan rasanya aku ingin berada di sini selamanya.

Oh, untuk menutup tulisan kali ini, aku ingin menyapa beberapa kawan:

Dry, terimakasih banyak buat obrolan-obrolan panjang kita yang membuat gue merasa nyaris ngga terbersit keinginan untuk cepat-cepat mengakhirinya bila itu udah terlanjur dimulai. Sebetulnya masih banyak lagi alasan bagi gue untuk berterimakasih sama lo. Tapi nanti lo akan bosan bila kata itu terus menerus terucap dari mulut gue. Walau kenyataannya emang sebanyak itulah gue merasa perlu untuk menghaturkannya.

Dew, sepertinya saya ngga membutuhkan waktu setahun untuk berputar kembali demi menyelesaikan satu rangkaian proses keikhlasan seperti yang udah kamu lakukan duluan.

Du, saya pernah bertaruh sama diri saya sendiri. Mana yang lebih dulu hilang, rasa sakit di hati atau di kaki saya. Kalau ternyata jawabannya adalah kaki, berarti saya emang pantas disebut lebih bodoh dari keledai. Dan sekarang kaki saya belum sembuh total. Tapi saya udah mulai bisa jalan lagi.

Hari, maaf kalau udah bikin kamu nungguin proses novel kedua yang ternyata sangat lamban. Iya, saya sepertinya emang udah mulai ‘normal’ lagi, seperti kata kamu tadi. Dan terimakasih untuk dukungannya. Walau saya juga sebenernya kurang yakin, tadi kamu menyebut ‘Keep fighting’ atau ‘Keep writing’. Saya tadi agak terburu-buru pulang, untuk menuliskan ini semua. Maaf.

Yoga, band lo udah gue promosiin nih. Jangan lupa ‘bayarannya’ ya. Yah, minimal tiket gratis gig lo lah. Hehe. :P[]


Depok, 18 Desember 2006
1:56 WIB

16 Desember 2006

SETELAH SEKIAN LAMA

Kawan, semoga kamu memang baik-baik saja sekarang. Aku tahu kamu manusia paling-nihil dari sekian banyak yang pernah kukenal sampai saat ini. Aku tidak menemukan perbedaan dalam nada suaramu sedikit pun saat kita sempat berbicara lewat saluran telepon semalam. Kamu masih bisa tertawa dan sedikit melucu seperti biasanya. Karena itu sebenarnya aku juga tidak tahu apakah masih ada hal yang bisa membuatmu sedih. Tapi―tetap saja―menurutku bentuk tekanan yang baru saja kamu terima semacam itu rasanya memang membutuhkan ketahanan yang besar. Entahlah. Mungkin aku egois, atau barangkali terlalu narsis, karena merefleksikan apa yang baru saja terjadi padamu ke dalam diriku sendiri saat ini. Iya, aku memang sedang merasa tidak mempunyai ketahanan lebih selain untuk sekadar bertahan hidup saat ini. Maka maaf saja kalau saat ini aku jadi terkesan agak meragukan ketahananmu.

Salah seorang kawanku di sini semalam bercerita. Lewat layar kaca, ia menyaksikan kamu dan kawan-kawanmu melakukan kontak fisik dengan aparat dan masyarakat. Dan ia bilang ada dua orang yang dibawa. Media telah berbohong lagi ya? Kamu mengatakan padaku sedikitnya ada sembilan. Tentu aku masih lebih memilih untuk mempercayaimu.

Terus terang aku agak iri padamu. Bukan. Aku bukannya sedang menganggap apa yang baru saja kamu alami sebagai sesuatu yang heroik. Walau sebenarnya aku juga tidak gentar apabila memang harus diseret ke tempat dimana kamu dan kawan-kawanmu semalam menginap. Apalagi untuk sesuatu yang cukup prinsipil seperti itu. Melainkan, aku agak iri karena melihatmu masih punya banyak kesenangan yang bisa kamu rasakan.

Berdiskusi di Ultimus bersama orang-orang yang datang dengan antusiasme beragam tentu sungguh menyenangkan. Peduli setan apapun itu yang dibicarakan. Aku tidak mengerti mengapa mereka tidak bisa melihat berdiskusi sebagai semata kegiatan bersenang-senang yang mungkin tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang di Dufan. Sehingga mereka tidak perlu repot-repot mengerahkan orang-orang untuk merusak kesenangan yang malam itu sedang kalian rasakan sama-sama. Karena tidak ada yang pernah suka kalau kesenangannya diusik, bukan?

Tapi, kawan, mungkin memang ada baiknya aku tidak berada di sana malam itu. Karena aku tahu masih ada beberapa hal yang terlebih dahulu harus kubenahi sebelum aku bisa kembali bersenang-senang bersama kamu dan juga kawan-kawan yang lain. Barangkali kalau aku hadir malam itu, aku tidak akan benar-benar ada di sana. Pikiranku yang kumaksud. Pasti dalam beberapa kesempatan kamu akan melihat kekosongan di mataku. Yang akhirnya aku akan melewatkan poin-poin yang barangkali memang pantas untuk direkam dalam ingatan.

Aku memang merasa telah melewatkan waktu sebegitu banyak dengan berdiam di satu titik. Walau sebetulnya aku setuju kalau tidak pernah ada sesuatu yang akan menjadi sia-sia. Sekian waktu yang hanya kulewatkan dengan berdiam diri seperti kemarin-kemarin, akhirnya telah bisa kulihat sebagai suatu kesempatan untukku berkontemplasi dan interospeksi jauh lebih banyak. Iya, aku bisa merasakan beberapa perubahan signifikan telah terjadi di dalam diriku. Tapi aku tahu, kalau aku memang mau untuk bisa memahami persoalan global saat ini, ada banyak hal yang harus kupelajari untuk membuatku bisa berdiri sejajar denganmu. Dan aku memang ingin sesegera mungkin mengejar ketertinggalan itu. Ah, aku malu kalau harus mengakui baru sampai mana aku belajar sejak terakhir kali kita bertemu di Jakarta. Sedangkan diskusi kemarin yang akhirnya berujung chaos itu pasti begitu kaya dengan wacana-wacana baru maupun lama.

Begitu inginnya aku mengejar ketertinggalan setelah sekian lama hanya bisa menyaksikan kamu dan kawan lainnya terus melangkah. Tidak perlu berlari memang. Seperti yang kawanku ucapkan padaku beberapa hari yang lalu, “semua orang tumbuh, seperti pohon, tidak harus tergesa-gesa.” Dan menurutku sudah waktunya sekarang aku menemukan kesenangan lain. Rasanya itu cukup efektif untuk membuatku melepaskan apa-apa yang selama ini membuatku tidak pernah kemana-mana. Bukan pelarian. Tapi semacam cara untuk mengalihkan diri secara perlahan-lahan dari mengurusi satu hal saja kepada hal-hal lain yang barangkali sebenarnya memang lebih menarik untuk dilakukan. Sebab juga mulai tidak menyenangkan berada di tempat yang sama terus-menerus. Terlebih lagi di setiap sudut tempat ini terdapat serpihan-sepihan dari masa lalu yang membuatku kesulitan untuk melihat ke arah lain selain ke belakang. Aku ingin pindah. Hijrah.

Eh iya, aku ingin meluruskan: Aku tidak iri dengan seberapa jauh jarak yang sudah kamu tempuh. Aku tidak iri dengan seberapa terkonsepnya sudah ide-ide yang ada di dalam kepalamu kini. Seperti yang tadi sebenarnya sudah kubilang, aku hanya agak iri melihatmu yang masih punya banyak kesenangan. Bahkan rasanya kamu juga sudah bisa menganggap keterpaksaanmu mendekam satu hari satu malam di tempat terkutuk itu sebagai suatu kesenangan tersendiri. Walau aku juga tidak tahu apakah kamu sempat diintimidasi secara fisik atau tidak. Tapi, kalaupun iya, toh semalam kamu masih bisa tertawa. Itu bisa jadi bukti bahwa kamu memang sedang bersenang-senang dengan itu semua. Dan itu juga yang menjadi alasanku untuk bisa kembali bernafas lega sekarang.

Mungkin, sebelum bisa menjadi seperti ini, kamu dulu memang sudah pernah berada di fase yang sama denganku sekarang. Fase dimana kamu merasa menjadi nihil sebagai sesuatu yang tidak mudah. Makanya aku pikir, suatu hari aku akan berada di fase kamu berada sekarang. Fase dimana aku bisa memandang tragedi sebagai suatu lelucon yang lebih enak untuk ditertawakan. Barangkali kamu masih ingat pernah berkata padaku waktu itu, ‘orang justru harusnya bisa menemukan hal yang sama sekali baru setelah ia kehilangan semuanya’. Dan rasanya aku telah memulai satu langkah kecil.

Iya. Semalam aku sudah mampu tertawa lepas bersama dua orang kawan. Duduk berjam-jam berbincang tanpa menyadari sudah bergelas-gelas teh manis kutandas habis. Saat ini aku memang sedang lebih tertarik untuk membicangkan soalan-soalan personal. Tapi bukannya aku sudah sama sekali tidak ingin lagi untuk berdiskusi soalan sosial seperti yang pernah kita lakukan dulu. Mungkin tidak sekarang. Nanti. Kalau aku sudah mengejar ketertinggalanku. Mungkin bukan lagi di Ultimus. Entah di mana. Hei, omong-omong, benar ya tempat itu sudah tidak ada lagi?[]


Depok, 16 Desember 2006
4:10 WIB

BEBAL

Kamu mengaku sudah tak lagi berharap apa-apa. Aku percaya itu. Walau mungkin kepercayaan yang baru benar-benar dapat kuberikan padamu sekarang sudah tidak punya arti apa-apa lagi bagimu. Tapi sungguh, tanpa niatan apapun, memang begitu inginnya aku untuk mulai mempercayaimu.

Juga aku percaya saat kamu mengatakan masih suka kangen aku. Seperti malam itu, saat aku baru saja mencoba untuk melepaskan apa-apa sejenak demi meredakan kinerja otak―kamu meneleponku. Dan aku mendengar suaramu lagi. Padahal itu adalah satu hari yang telah berhasil kulalui tanpa menghubungimu sama sekali. Tapi kalau kamu memang ingin tahu yang sesungguhnya, itu adalah duapuluh-empat jam usaha meredam rindu yang setengah-mati beratnya. Karena itu juga mungkin kamu bisa mendengar hatiku yang memanggil-manggilmu terus. Bukankah kamu masih percaya bahwa hati kita masih bisa saling bicara dan mendengar satu sama lain? Rasanya masih. Kalau tidak untuk apa kamu masih bertanya padaku ‘apakah kamu baik-baik saja’ saat sesak tiba-tiba terasa di dadamu? Maaf, aku bukannya ingin membuatmu kewalahan untuk bisa melupakanku sama sekali dengan cara memanggil-manggili tanpa henti. Hanya saja, memang tidak mudah mengeluarkanmu dari kedalaman ini.

Dan aku percaya saat nyaris di akhir pembicaraan kamu mengaku bahwa kamu menelponku cuma karena kangen. Cuma kangen. Aku percaya itu karena aku pun merasakan hal yang sama. Kalau saja sejak dulu aku bisa mempercayaimu seperti malam itu, rasanya kita tidak perlu terlalu banyak bicara untuk meyakinkan satu sama lain bahwa rasa ini memang ada, bukan?

Aku juga seharusnya tidak perlu mencurigaimu ketika kamu menginginkan ruang dan waktu untukmu sendiri, tanpa perlu aku ada di situ, sebagai usaha untuk pergi dariku. Karena ternyata benar apa yang selalu kamu katakan dulu, “Kamu ada di sini, aku ada di situ. Coba rasain deh.” Ah. Iya, aku memang masih bisa merasakanmu di sini.

Sekarang aku percaya padamu, dengan kepercayaan yang belum bisa membuatku lega tapi. Apakah aku memang harus lega ketika aku mengetahui bahwa kamu sudah tidak berharap apa-apa lagi? Yang berarti kamu juga sudah mengubur semua angan masa depan yang dulu sesekali sempat kita rancang berdua. Iya, aku percaya kamu memang sudah menguburnya. Dan aku percaya kamu tidak sedang mengkhianati hatimu. Kamu memang diserang semacam trauma pada sosok aku di masa lalu yang banyak menindas kemerdekaanmu sehingga menjadi diri yang jauh dari utuh. Karena itu kini kamu ingin melakukan sebuah eksperimen dengan memisahkan hidupmu dari hidupku, bukan?

Iya. Aku percaya bahwa ini semua memang bukan disebabkan oleh kedatangan orang ketiga, malaikat, ataupun setan belang manapun ke tengah-tengah kita berdua. Aku percaya bahwa kamu berhenti berharap memang karena kamu menggunakan kehendak-bebasmu. Aku percaya, bahwa untuk segala kekacauan ini, tak ada yang pantas aku salahkan selain diriku sendiri. Tapi rupanya aku baru bisa mempercayaimu justru di saat kamu tak lagi mempunyai energi untuk percaya padaku.

Sejak dulu aku sering mendengar semacam pepatah: tidak ada kata terlambat. Tapi bagiku kepercayaanku padamu memang lahir terlambat. Karena kepercayaan ini tak bisa dimanfaatkan selagi kamu masih percaya bahwa aku adalah satu-satunya tempat yang paling nyaman di dunia ini. Masih ingat dulu aku sering berkata ‘Kepercayaan bukan diciptakan, melainkan dilahirkan’? Artinya memang dibutuhkan waktu untuk bisa melahirkan sebuah kepercayaan pada sesuatu dari dalam diri. Tapi sudahlah. Mungkin aku memang tipikal pembelajar yang bebal dalam menerima pelajaran. Sehingga dibutuhkan waktu lebih lama dari yang sewajarnya untuk bisa mencapai pemahaman yang lebih baik, bahkan itu untuk kebaikanku sendiri. Setidaknya kini aku sudah mengerti seperti apa seharusnya memperlakukan orang yang kuklaim sebagai orang yang kusayangi.

Hm. Sebentar. Atau barangkali ini adalah semacam kesempatan bagiku untuk mengukur apakah aku memang benar menyayangimu. Dan itu akan terbukti kalau aku sudah bisa lega ketika membayangkanmu yang sedang berbahagia bersama orang lain. Itulah kepercayaan terluhur; bahwa kamu memang manusia independen yang masih bisa terus menjalani hidup sekalipun aku tiada. Iya ya.

Ohya. Mohon maaf apabila kamu menemukan sekian banyak pertentangan antara satu pernyataan dengan yang lain dalam tulisan kali ini. Tapi bukankah kamu juga yang mendorongku untuk berkontemplasi dan interospeksi pada saat-saat seperti ini? Nah, aku baru saja melakukannya.[]


Depok, 14 Desember 2006
19:49 WIB

14 Desember 2006

KENANGAN DAN IMPIAN

Kenangan itu terbuat dari apa? Sedang impian dari apa pula?
Message From:
0888197XXXX
Time:
Tue 12/12 08:38P

Sebuah pesan-pendek masuk ke ponselku Selasa malam itu. Aku membaca nomor pengirimnya pertama-tama: Ah, kamu. Segera dua rasa yang sangat kontras teraduk-aduk di dalam dada. Antara sesak dan lega. Mereka silih berganti dalam hitungan kurang dari detik. Membuatku tidak yakin bagaimana semestinya perasaanku saat itu. Aku memang belum bisa menanggapi ini semua dengan wajar. Entahlah. Ini sudah terlalu lama sejak aku merasa seperti ini pertama kali.

Rasanya aku telah menghabiskan waktu lebih dari yang sewajarnya untuk membaca pesan sependek itu. Kubaca berulang-ulang. Tapi seolah tiada pernah akan puas, aku membacanya lagi dan lagi. Tanpa ada keinginan untuk segera membalasnya. Terlalu banyak alasan bagiku untuk tidak melakukannya. Sedikitnya ada dua. Pertama, pulsaku sudah habis sejak malam sebelumnya. Dan kedua, aku sudah berkata padamu—juga di malam sebelumnya—bahwa sms yang kukirim padamu di malam itu adalah sms terakhir. Aku hanya tidak ingin ingkar lagi pada komitmenku sendiri. Aku hanya ingin menjadi sebenarnya lelaki saat ini. Lelaki yang sebenarnya, temanku pernah berkata pada suatu kali, adalah lelaki yang selalu menepati janji.

Mungkin memang benar, alasan kedua adalah alasan yang paling kuat untuk membuatku menahan diri. Aku sempat membayangkan: bahkan mungkin apabila malam ini ponselku penuh pulsa, aku pun tidak akan segera membalasnya. Aku hanya tidak ingin terus menerus berputar-putar[1].

Aku membaca lagi pesan-pendek yang masih terpampang di layar ponselku. Mengapa pertanyaan itu seperti menjadi semacam sindiran untukku? Khususnya kalimat pertama; ‘kenangan itu terbuat dari apa?’ Aku sadar—setidaknya sedang berusaha untuk sadar—bahwa kamu dan semua hal yang telah kita lewati bersama di hari-hari lalu memang telah menjadi semacam kenangan. Tentu saja aku tidak pernah menyadari ini kalau saja kamu masih mudah untuk kutemui seperti dulu, kalau saja aku masih bisa mendengar suaramu kapan saja aku menghendaki, kalau saja aku masih bisa menyentuh sosok ragamu kapan saja aku mau. Tapi kini keadaan sudah tidak sama lagi. Dan kamu pun tahu itu.

Beberapa hari yang lalu kamu menyebutku ‘pengecut’, karena kamu menganggap aku tidak mau berusaha. Kamu salah. Justru semua yang sedang kulakukan sekarang adalah usahaku untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Kamu tentu tidak ingin kita tetap berputar-putar di atas lingkaran yang stagnan bukan? Seperti itulah jadinya jika aku tetap melakukan pengejaran dengan cara yang sama atas dirimu.

Kita akan selalu terjebak pada situasi dimana aku menuntutmu untuk bisa membalas rasa sayang yang aku berikan padamu dengan jumlah yang sama. Kita akan selalu terjebak pada konflik-konflik tanpa akhir dimana aku mengharapkan kamu peduli padaku dengan cara yang sama seperti aku mempedulikanmu. Sedangkan kita sama-sama tahu, kini keadaan sudah berbeda. Kamu tentu tidak ingin bila aku memintamu meninggalkan dia—dia yang kusebut-sebut sebagai kekasih barumu itu—sama sekali bukan?

Kini kamu mencintainya. Subconscius-mu[2] sudah berkali-kali bicara soal ini. Dan aku menyaksikannya. Aku tidak mengapa, sungguh. Tapi kuharap kamu tidak lagi memintaku untuk melihatmu sebagai sosok yang sama. Sehingga aku bisa tetap memberi perlakuan yang sama padamu seperti di hari-hari yang lalu. Sungguh. Sebaiknya kita jangan berputar-putar saja.

Aku mencoba menyadari kini bahwa kamu tak lebih dari sekadar kenangan saja. Karena kenangan adalah imaji yang tersimpan di dalam ingatan. Imaji yang sempat terbentuk dari persepsi yang utuh atas suatu objek. Dan persepsi ini didapat dari pengalaman panca indera kita.

Aku masih bisa mengingat seperti apa rasanya jus stroberi yang sempat kita minum berdua di suatu kedai. Aku masih bisa mengingat seperti apa rasanya ketika aku sempat menggenggam jari-jarimu yang mungil. Aku masih bisa mengingat ‘suara malammu’ yang dulu sangat kugandrungi. Aku juga masih bisa mengingat harum parfummu yang bercampur dengan aroma otentik tubuhmu. Iya, aku masih bisa mengingat itu semua dengan sangat baik. Tapi sebaik apapun itu, itu tak lagi bisa kuperoleh. Karena kenangan memang akhirnya hanya ada di dalam kepala kita saja. Kenangan pada akhirnya hanya menjadi imaji—yang tak bisa kita lihat dengan mata kepala, sentuh, ataupun cium. Namun, tidak usah kamu takut. Aku tidak akan pernah melupakannya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar ingin kulupakan?

Tapi coba kita lihat di mana dan kapan kita berada sekarang. Kita berada pada saat ini dan di sini. Entah di manapun kau berada pada saat aku menulis ini sekarang. Aku sekarang berada pada suatu dimensi ruang dan waktu yang mengharuskanku untuk sadar bahwa aku tidak boleh lagi berfokus pada apa-apa yang sudah lalu. Akal sehatku mengatakan, bahwa aku harus hidup dengan kenyataan. Dan kenyataan bagiku adalah saat ini. Detik ini. Kenyataan adalah sesuatu yang saat ini benar-benar ada di hadapanku dan bisa kusentuh. Bila saat ini di dekatku tidak ada siapa-siapa yang bisa kusentuh selain diriku sendiri, ya berarti itulah kenyataannya. Aku adalah satu-satunya yang nyata saat ini. Sedang kamu hanya ada di dalam kepalaku. Kamu tidak nyata.

Lalu kalau kamu memintaku untuk datang menemuimu besok pagi, misalkan, aku bisa saja menyanggupi. Tapi aku akan berusaha untuk tidak kembali terlarut dengan perasaan yang dulu pernah ada. Karena, sekali lagi, aku tidak ingin berputar-putar. Menurutku kita harus sama-sama fokus pada apa yang nyata. Kamu dengan masa-kinimu dan aku dengan masa-kiniku. Aku tidak sedang membunuh perasaan. Aku hanya berusaha untuk berpikir logis. Bahwa aku sudah tidak ingin lagi membuat kita berdua stagnan pada keadaan yang membuat kita tidak pernah kemana-mana. Bukankah kamu ingin kita sama-sama berkembang?

Biarkan kenangan menjadi imaji. Karena ia memang seperti itu. Aku tidak akan bisa hidup dengan imaji-imaji saja, alasannya pertama-tama tentu karena perbedaan dimensi. Imaji atau image memang sesuatu yang hanya bisa kita lihat. Maka tak jarang image bisa menjebak persepsi. Untuk bisa membentuk persepsi yang utuh, kita harus menggunakan seluruh panca indera kita. Image atas seseorang, misalkan. Kita seringkali sudah terlanjur menilai kepribadian seseorang minus dari penampilan luarnya yang tidak rapi. Tapi ternyata setelah kita berkenalan lebih jauh, kita justru mengetahui bahwa penilaian kita selama ini salah. Itu karena persepsi awal yang terbentuk dari hanya melihat belumlah utuh. Sedang kita hidup di dunia yang tidak hanya kita lihat saja. Kita hidup di dalam dunia yang memiliki banyak dimensi.

Ada dimensi yang hanya bisa kita lihat saja tanpa bisa kita sentuh. Contohnya: gambar-gambar di majalah, komik, gambaran dunia di televisi, dan semacamnya. Kita tidak hidup di dalam dunia tersebut. Serealistik apapun imaji yang disajikan oleh komik, majalah, atau televisi—kita belumlah bisa menganggap itu semua sebagai suatu kenyataan. Misal, akan sangat naïf apabila kita sudah menganggap persepsi kita atas suatu kasus yang disajikan oleh infotainment sebagai persepsi yang utuh. Karena, hei, kita tidak benar-benar hidup di sana. Lebih naïf lagi bila akhirnya kita sudah cukup puas dengan mempercayai semua yang hanya bisa kita lihat saja—tanpa kita benar-benar hidup di sana—sebagai sebuah kebenaran. Kita seharusnya bisa lebih otonomis dalam beropini.

Ah, sudahlah. Kita kembali pada soalan kita saja. Itu tadi hanya sebagai gambaran bahwa imaji atau image memang seringkali menjebak persepsi kita. Sehingga kita merasa puas dengan persepsi yang sudah terbentuk, walaupun nyata-nyata tidaklah utuh. Aku pun tidak ingin terus terjebak pada imaji. Aku tidak ingin terpaku pada sesuatu yang tidak nyata. Dan kita akan terus menerus kembali pada masalah yang sama apabila aku—atau kamu—masih tetap menginginkan kita berdua bisa bersikap seperti dulu, seolah-olah memang tidak sedang terjadi apapun saat ini. Tidak bisa.

Kita memang harus bisa melihat apa yang sudah lalu sebagai kenangan dan kenangan sebagai imaji. Karena sesudah itu kita baru bisa mulai menyadari bahwa kita hidup di saat ini. Semanis apapun kenangan itu, kita seharusnya tidak berharap untuk bisa tetap berada di sana. Waktu terus berjalan. Dan kita tidak pernah punya kuasa untuk menghentikannya. Kecuali satu, kita membuat dimensi sendiri dimana kita bisa hidup di situ selamanya. Sendirian dan terpisah dari dunia luar.

Aku memang sedang mencoba untuk menikmati hidup saat ini. Walau tanpa kamu, tapi memang itulah kenyataannya. Menikmati hidup berarti secara utuh berada di ruang dan waktu dimana aku berada pada saat ini. Beberapa saat yang lalu aku seringkali melayang entah kemana, padahal aku berada di tengah teman-temanku. Salah seorang temanku menyebutku ‘tidak menikmati hidup’[3]. Ia benar. Sebab kalau aku memang menikmati hidup seharusnya aku bisa menyatu dengan dimensi dimana aku berada. Bukan hanya ragaku saja yang ada di sana sedang jiwa atau pikiranku tidak. Menikmati hidup berarti nyaman dengan saat ini. Dan aku sedang mencoba untuk itu. Sudah cukup lama juga aku terjebak dengan imaji kenangan itu sehingga membuatku tidak kemana-mana. Aku beri tahu kamu: itu melelahkan. Iya, aku baru tahu sekarang. Bahwa lelah bukan selalu merupakan akibat dari seberapa jauh sudah kita berjalan. Tapi bisa juga karena kita tidak pernah kemana-mana, sedangkan kita mempunyai sesuatu yang besar di dalam diri untuk diaktualisasikan.

Ohya, kamu juga bertanya tentang impian. Aku rasa kamu pun sudah tahu jawabannya. Ia pun hanya imaji. Bedanya ia tidak terbuat dari pengalaman. Melainkan dari ide-ide yang terlahir karena ketidakpuasan akan kenyataan. Yah, pada saatnya kita memang selalu ingin melompat keluar dari kenyataan. Walau itu sejenak. Tapi mungkin dengan itulah kita menemukan hal-hal baru dalam hidup ini. Walau, katanya, dunia ini sendiri hanya berisi pengulangan-pengulangan.[]


Bandung, 12 Desember 2006
23.19 WIB


Catatan Kaki:

[1] Berputar-putar; saya adopsi dari salah satu tulisan teman saya di blognya: http://secret-silence.blogspot.com

[2] Subconscius; istilah yang saya dapat dari teman saya (yang mungkin tidak akan mau disebutkan namanya, tapi saya sebut saja salah satu personil band Bahasa Bayi), untuk menyebutkan sesuatu yang kita lakukan atau ucapkan tanpa kita sadari karena sebenarnya hal tersebut adalah bawaan dari bawah sadar kita.

[3] ‘Tidak menikmati hidup’; kalimat paling menohok abad ini yang dilontarkan oleh teman saya, Dry, kepada saya pada suatu hari.

Hidup Memang Berat atau Aku yang Tidak Cukup Kuat?

Aku tak menyangkal saat kamu menyebutku lemah tempo hari. Karena memang aku rasa benar demikian adanya. Aku pun baru bisa mengamini itu sebagai sebuah kebenaran akhir-akhir ini. Tampaknya egoku memang berbicara terlalu banyak di hari-hari lalu.

Mungkin benar seperti apa yang dikatakan oleh Tyler Durden[1], kita tidak akan pernah tahu kekuatan kita bila tidak pernah berkelahi. Ya, kira-kira seperti itu. Aku memang tidak cukup pandai dalam mengingat. Tapi kalau kamu berpikir saat ini aku sedang ingin meninju batang hidung seseorang hingga patah dan berharap ia akan membalas seranganku dengan merontokkan beberapa gigi depanku demi sebuah pembuktian kekuatan diri, kamu salah. Walau tidak ingin kusangkal bahwa akhir-akhir ini hal itu sebenarnya juga cukup menggoda untuk kulakukan tanpa merasa perlu menemukan alasan yang cukup tepat. Melainkan, yang kumaksudkan adalah suatu perkelahian yang aku lakukan sendirian. Sebuah penghancuran diri lebih tepatnya.

Kau tahu, beberapa malam terakhir ini aku mengalami kesulitan untuk tidur di malam hari. Dan rasanya ini bisa saja akan menjadikanku seorang penderita Insomnia akut kelak, persis seperti dirimu. Tapi kini kulihat kau sudah bisa hidup dengan itu. Malahan, kau seperti telah mampu menikmatinya. Aku tahu kegemaranmu berkeliaran sepanjang malam untuk sekadar minum kopi bersama seorang teman sembari membincangkan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah menjadi apa-apa. Sedangkan aku belum mencapai fase dimana kau berada sekarang.

Aku tahu semua memang butuh waktu. Aku tahu bahwa ini semua adalah proses. Dan karena itu aku juga tahu jika aku mau sedikit lagi lebih bersabar melewati proses ini, waktu juga yang akan memberiku jawaban. Entah itu akan memuaskanku atau tidak sama sekali. Kau pun mengatakan hal itu padaku.

Kau menyarankanku untuk segera mengembalikan logika dan keluar dari situasi ini. Iya, tentu saja aku mau. Siapa yang tidak? Siapa yang betah hidup berlama-lama dengan rasa sakit? Aku tahu, aku tahu. Kamu peduli padaku. Sehingga kamu merasa tidak tega melihatku menderita seperti ini.

Tapi, hei, aku bercerita padamu tentang semua yang sedang kualami sekarang bukan untuk membuatmu kasihan padaku. Tentang tangan dan kakiku yang bengkak karena sudah berapa kali entah tembok kamar kuhajar. Tentang berapa malam sudah kuhabiskan dengan hanya berdiam saja di depan komputer tanpa satupun tulisan bisa kuhasilkan. Tentang bait demi bait lagu ‘The Hardest Part’[2] yang akhir-akhir ini menjadi sering kuulang-ulang di dalam benak layaknya dzikir. Tentang betapa sulitnya aku berhenti mengharapkan hatinya akan kembali seutuhnya padaku. Itu semua kuungkapkan―bukan untuk membuatku terlihat cengeng. Aku hanya ingin mengatakan bahwa temanmu satu ini sekarang sedang berada pada fase yang sama denganmu dulu. Walau mungkin akan berbeda cara melewatinya. Tapi yakinlah, cepat atau lambat aku pun pasti akan bisa keluar dari sini.

Aku sudah akui tadi kalau aku memang lemah. Makanya aku tak malu-malu lagi untuk menceritakan itu semua kepadamu. Karena kamu pernah mengalami ini. Sekarang jangan lagi kasihani aku. Beri saja aku waktu untuk mengatasi rasa sakitku ini dengan cara seperti ini. Dengan membuat diriku semakin hancur oleh rasa sakitku sendiri. Tapi itu bukan lantas aku tidak mendengar apa yang kau katakan padaku tempo hari. Aku mencermati setiap katanya. Namun, inilah hasil terjemahanku.

Aku memang tidak seperti laki-laki lain yang kamu bilang harusnya bisa mudah mencari media lain berupa perempuan juga untuk melupakan yang telah lewat. Dan untuk itu kamu menyebutku ‘kurang jail’. Betapa lucunya predikat itu bagiku omong-omong. Tapi justru hal itu yang membuatku merasa bahwa aku punya cara tersendiri untuk melewati fase ini.

Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa aku harus menghadapi ini semua, dan jangan lari dari kenyataan. Sudah. Tidak mencari pelampiasan berupa perempuan lain atau tidak menenggak alkohol untuk membuatku senang dalam beberapa jam, aku rasa sudah membuktikan bahwa aku tidak sedang melarikan diri. Aku justru sedang menghadapi rasa sakit ini. Aku menyongsongnya.

Ah, aku tahu. Barangkali yang kau maksud dengan ‘hadapi’ itu adalah semacam ikhlas menerima semua kenyataan ini. Benar begitu?

Ya, ya, ya. Aku baru sadar sekarang bahwa kita mempunyai semacam perbedaan mendasar yang membuat kita tidak bisa singkron melihat bagaimana seharusnya permasalahan semacam ini diakhiri. Yakni, aku memang tidak sekuat kamu. Kuat yang dalam arti bisa menerima begitu saja ketika orang yang dulu kamu cintai ternyata telah mencintai orang lain, lalu kamu bisa dengan tenang mencari orang lain untuk kamu cintai. Aku akui itu memang kuat. Aku memang salut pada orang-orang sepertimu. Kalian memang tahan banting. Sungguh. Ini bukan sinisme.

Tapi, sekali lagi, aku menyadari bahwa aku adalah orang yang lemah. Dan untuk menemui kesadaran semacam itu aku harus hancur terlebih dahulu baru aku bisa mengatakan, ‘oh, ternyata aku selemah itu’.

Intinya, yang sedang kamu lihat sekarang bukanlah sebuah akhir. Proses. Aku tahu mungkin ini agak menjengkelkan buatmu. Karena kamu harus melihat temanmu sendiri kelihatan seperti seseorang yang sebenarnya membutuhkan perawatan medis. Tapi jika aku memang pada akhirnya harus menjadi kuat, maka proses seperti inilah yang tampaknya harus kulewati. Aku saja yakin masa kau tidak?

Jikalau kemarin aku adalah tembok raksasa, maka kini aku sedang hancur berkeping-keping. Barangkali esok atau lusa aku sudah menjadi suatu bentuk baru yang jauh lebih kuat. Sesuatu yang tidak dapat dibelah lagi. Sesuatu yang sekecil debu atau barangkali atom. Dan bila saat itu sudah datang, jangan salahkan kalau nyaris setiap malam aku akan mengajakmu minum kopi di emperan toko sembari membicarakan soalan-soalan sepele hidup yang ternyata tidak sepele. Walau itu mungkin akan membuat pacar atau istriku kelak―kalau aku sempat punya―kesal karena punya laki-laki yang masih suka keluyuran sampai pagi dengan teman perempuannya. Tapi semua orang memang harus jadi kuat bukan?[]

Catatan Kaki:

[1] Tyler Durden adalah karakter di dalam novel Fight Club yang ditulis oleh Chuck Palahniuk. Di dalam film, karakter ini diperankan oleh Brad Pitt.

[2] The Hardest Part adalah single band Coldplay dari album X & Y.