27 Agustus 2007

Seri Rekaman Nyanyian Jalanan # 1

Langkah Kecil

Dan aku pada hari itu selangkah lebih dekat kepadamu, kekasih.

Maka jangan biarkan aku mundur lagi,

meski itu selangkah saja.

Maka tampar aku jika berhenti terlalu lama,

aku hanya tak ingin mati terlalu pagi.

——

Suatu Minggu siang, di bawah jembatan layang Cawang-UKI, aku berbincang dengan seseorang. Rohim, begitu ia memperkenalkan dirinya. Penampilan yang cenderung berantakan, dengan rambut gondrong dan kulit gosong, barangkali membuat orang yang pertama kali melihatnya akan segera merasa sedang berhadapan dengan orang yang kurang bersahabat. Tapi, tidak demikian halnya bagiku. Barangkali terdorong oleh niat untuk segera memulai sebuah proyek, yang akhir-akhir ini telah begitu meresahkan karena terus menerus menuntut untuk direalisasikan, semua kesan buruk yang mungkin muncul dari sosok itu secara ajaib sirna begitu saja dari pikiranku. Malahan, pada saat yang sama, seolah pikiranku mensugesti aku untuk berpersepsi bahwa dirinya adalah manusia yang tiada bedanya dengan aku dan juga sejumlah manusia lain, yang saat itu sedang berada di dalam kendaraan umum yang sama. Dan barangkali karena persepsi itulah, aku berhasil untuk menangkap segurat senyum terpoles di bibirnya saat ia sedang asyik menyanyikan sebuah tembang lawas dari Koes Plus dengan iringan gitarnya sendiri. Senyuman yang kurasa hanya aku sendiri yang bisa menyaksikannya dari sekian banyak penumpang, yang pada saat itu kulihat lebih memilih untuk mengarahkan pandangannya ke jalan raya ataupun gedung-gedung di Jalan Gatot Subroto. Senyuman yang sekaligus menjadi lampu hijau bagiku untuk mendekatinya.

Rohim naik dari Pancoran. Setelah sebelumnya aku sempat melihat ia berunding dengan laki-laki lain yang juga sama-sama menenteng sebuah gitar. Sebentar saja perundingan itu berlangsung. Sebab sepertinya mereka sadar bahwa traffic-light akan segera beralih ke lampu hijau. Maka, ketika Mayasari bernomer trayek P 57 yang kutumpangi itu mulai bergerak, dengan sigap salah satu dari mereka segera melompat naik melalui pintu belakang. Sementara yang lainnya tetap berada di sana, di bawah patung yang selalu setia menunjuk ke arah Sahardjo.

Saat itulah aku segera teringat kembali dengan proyekku yang akhir-akhir ini kian meresahkan jiwa. Beberapa waktu belakangan aku memang menyimpan satu keinginan untuk membuat sebuah film dokumenter mengenai pengamen. Mengenai apa Narrow Focus-nya, belum ingin kujabarkan sekarang. Yang pasti, aku tahu, aku tidak akan dapat maju ke satu titik yang kuinginkan apabila hanya terus-menerus mengandalkan bantuan internet sebagai bahan acuan riset. Maka berdasarkan perhitunganku, aku memang harus membuat satu langkah kecil untuk masuk ke lingkar-lingkar kelompok pengamen. Dan itu tidak akan pernah mungkin terjadi jika aku tidak juga memulai untuk menciptakan komunikasi dengan mereka, atau salah satu dari mereka.

Sebetulnya pria gondrong, yang sudah mulai bernyanyi di antara ganasnya deruman mesin bis itu, bukanlah profil terbaik dari sekian banyak pengamen yang pernah kutemui dalam sepanjang riwayatku menumpang kendaraan umum. Dari segi penampilan, ia terlihat nyaris sama menakutkannya dengan sosok penodong-penodong di bis kota yang punya modus operandi: naik ke bis secara beramai-ramai (minimal berdua), membacakan sebuah deklamasi pendek dengan suara lantang dan nada seperti membentak, kemudian selalu ditutup dengan kalimat seperti, “daripada kami menjadi pencopet atau penodong, lebih baik kami seperti ini, Bapak-Ibu!”. Sementara dari segi musik yang dibawakannya, ia tidak bisa disejajarkan dengan pengamen-pengamen di Bandung yang seringkali membawakan lagu-lagu band cafĂ©, ataupun pengamen-pengamen di KRL Jabotabek yang terlihat lebih all-out dengan membawa perangkat musik lengkap—seperti Drum, Keyboard, bahkan Bass Betot. Singkatnya, ia terlihat biasa-biasa saja. Maka apabila saat itu aku sedang berada di bawah penugasan kantor untuk mencari berita mengenai kehidupan pengamen di ibukota, hasil liputan mengenai orang ini sudah pasti tidak akan naik tayang. Sebab ia memang tidak unik. Sehingga sukar betul untuk menemukan apa yang menarik dari seorang pengamen berpenampilan cenderung berantakan yang memainkan lagu Koes Plus. Lagipula apa pentingnya kehidupan seorang pengamen seperti dia bagi orang banyak. Dan sudah barang tentu cerita mengenai dirinya tidak bisa dikategorikan sebagai berita, semenjak sesuatu baru bisa dianggap berita apabila ia memenuhi minimal satu dari dua syarat: penting dan menarik.

Tapi tak ada alasan lain yang membuatku yakin bahwa saat itu merupakan saat yang tepat bagiku untuk mulai maju selangkah demi merealisasikan keinginanku. Tak ada alasan lain yang membuatku bergegas meruntuhkan segala prasangka buruk atas seorang pengamen yang terlihat tidak terlalu ramah ini. Alasan itu adalah momentum.

Sebetulnya, sehari sebelumnya, di dalam bis kota yang sedang mengantarkanku menuju kantor, aku menjumpai tiga orang pengamen yang jauh lebih menarik daripada pria gondrong ini. Selain berpenampilan rapi, mereka juga memainkan lagu bernuansa reliji dengan kemampuan bermusik yang menurutku tidak kalah dengan band-band terkenal. Tapi, alangkah sayangnya, saat itu aku sedang mengejar waktu supaya tidak terlambat tiba di kantor. Sehingga saat itu aku membiarkan mereka berlalu begitu saja setelah mereka menyudahi pertunjukan, tanpa sempat lagi aku mengajak berbincang-bincang. Maka Minggu siang itu jadi momen yang tepat bagiku untuk memulai semuanya. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang. Karenanya tak ada sesuatu apapun yang perlu kukejar, selain waktu untuk beristirahat.

Mayasari P 57 sempat berhenti cukup lama di Stasiun Cawang. Pengamen incaranku sudah sejak beberapa menit sebelumnya menyelesaikan satu-satunya lagu yang ia bawakan kali itu dan ia sedang berdiri di dekat jendela bagian belakang bis sembari melamun. Saat itu aku masih menimbang-nimbang, apakah perbincangan ini akan kulakukan di atas kendaraan ini juga, atau menunggu beberapa saat lagi ketika ia turun dari bis dan aku pun mengikutinya turun. Karena bagaimanapun juga, aku tidak ingin terlalu mengejutkan ia yang saat itu sedang melamun dengan menghampirinya—secara tiba-tiba ataupun perlahan-lahan—dan kemudian mengajaknya berkenalan. Meski memang belum tentu ia akan seterkejut yang kubayangkan. Namun, bukan berarti kemungkinan itu tidak ada. Aku tidak ingin mengusiknya. Maka saat itu juga aku memutuskan untuk mengambil pilihan yang kedua. Yaitu, nanti saja, ketika ia turun dari bis ini.

Analisaku mengatakan, jika ia tidak segera turun setelah menyelesaikan ‘pekerjaannya’, pastilah ia hendak menumpang bis ini untuk sampai di satu tempat tujuan. Dan saat itu aku berharap tempat tujuannya adalah Cawang-UKI. Tempat aku juga harus turun untuk berganti kendaraan.

Bis kembali bergerak setelah mengambil beberapa penumpang di Stasiun Cawang. Penantian sang sopir selama itu tidaklah sia-sia. Aku pun mulai berdoa supaya harapanku tadi, agar pengamen ini juga turun di tempat yang sama denganku, bisa terwujud. Meski aku juga sudah membuat rencana alternatif bila ternyata nantinya ia turun sebelum ataupun setelah Cawang-UKI. Yakni, aku juga akan ikut turun di sana dan segera memanggilnya. Pada saat yang sama aku juga memikirkan cara seperti apa yang terbaik untuk memanggil orang yang belum kukenal. Apakah hanya dengan suara saja, “Mas, Mas…”, ataukah disertai dengan tepukan di bahunya, aku belum sempat memastikan itu. Hingga akhirnya aku mendengar suara kondektur meneriakkan ‘Cawang-UKI’ secara repetitif, aku pun bersiap bangkit dari tempat duduk. Pucuk dicinta ulam tiba, pengamenku terlihat tengah bersiap melompat ke aspal ketika aku sedang berjalan menuju pintu belakang.

Dia turun lebih dulu, dan aku beberapa detik sesudahnya. Karena di sana bukan hanya aku dan pengamen itu saja yang hendak turun. Ketika kedua kakiku sudah berada di atas aspal, aku segera mempercepat langkahku agar tidak kehilangannya. Aku melihat ia bercelingukan ketika jarak di antara kami semakin menipis. Saat itu juga aku memanfaatkan kesempatan untuk memulai komunikasi. “Mau langsung ngamen lagi ya, Mas?”

Beruntung suaraku tidak kalah oleh deruman mesin Mayasari tadi yang saat itu sedang berada persis di samping kami dan berbelok menuju By Pass. Ia menoleh ke arahku seraya memberikan senyum, “Iya, nih,” jawabnya.

Dan barangkali itu adalah keberuntunganku untuk yang kesekian kalinya. Bahwa orang asing yang sedang kuajak berkomunikasi ini ternyata tidaklah segarang kelihatannya. Maka aku pun mulai memperkenalkan diri padanya. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Rohim. Berikutnya aku sudah meminta waktunya untuk mengobrol. “Di mana?” tanyanya. Aku menunjuk ke arah dimana biasanya aku mencari mobil tumpanganku selanjutnya, di kolong jembatan layang.

Rohim mengaku tinggal di Tangerang bersama dengan istri dan anaknya. Saat itu juga, yang pertama terbayang di benakku adalah rute yang harus ia tempuh setiap harinya untuk melakukan pekerjaan ini. Berikutnya yang muncul barulah keingintahuan; apakah dengan bermata pencaharian sebagai pengamen seperti yang ia jalani itu bisa untuk menghidupi sebuah keluarga. Maka aku pun ingin tahu, apakah mengamen merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya. “Ada kerjaan laen,” ujar Rohim mantap.

Penasaran, aku pun bertanya pekerjaan apa yang ia lakukan selain mengamen. Ia menjawab, “Dangdutan.”

“Maksudnya?” tanyaku betul-betul tidak mengerti.

“Iya, maen musik keliling.”

Oalah. Maksud Rohim adalah Orkes Keliling. Grup musik yang membawa peralatan berupa sound system—dengan sumber listrik accu (baca: aki)—dan alat-alat musik seperti gitar, bass, gendang, dan lain-lain. Orkes keliling atau sering juga disebut orkes dorong mempunyai daya tarik berupa biduan-biduan perempuan berpenampilan seksi yang akan menghibur mereka, yang sengaja memanggil grup ini untuk dihibur. Mereka yang ikut berjoget bersama para biduan harus merogoh kantong untuk membayar kesenangan yang mereka dapatkan. Tradisi semacam ini disebut dengan saweran.

“Biasanya kita dipanggil sama tongkrongan-tongkrongan yang lagi minum-minum,” Rohim menjelaskan.

Saat itu aku berpikir: lucu juga jika Rohim menganggap perlu adanya pembedaan penyebutan antara bermain musik di atas bis kota dengan bermain musik keliling bersama grupnya. ‘Ngamen’ untuk yang di atas bis, dan ‘dangdutan’ untuk yang berkeliling. Mengingat kedua profesi yang ia jalani itu adalah sama-sama bermain musik dengan harapan ada orang yang mau memberikan apresiasi dalam bentuk uang, dalam jumlahnya yang sukarela.

Aku menemukan sisi menarik dari pribadi Rohim ketika bertanya apakah penghasilan dari dangdutan lebih besar daripada ngamen, sehingga ia merasa perlu untuk menjalani dua-duanya.

Nggak juga. Kalo ngamen, saya dari jam sepuluh sampai jam dua siang. Abis itu saya pulang. Paling saya bawa uang limabelas sampe duapuluh ribu. Lumayan buat dapur. Nah, malemnya saya ama temen-temen dangdutan. Bisa sampe jam dua – jam tiga. Besoknya saya berangkat lagi ngamen. Bukan soal duitnya. Kalo dangdutan itu soalnya kan pake gitar listrik. Jadi lebih… lebih… lebih asik aja.”

Luar biasa, pikirku. Di dunia dimana nyaris semua orang berbondong-bondong memberhalakan materi, aku menemukan seseorang yang bisa melihat bahwa uang bukanlah segala-galanya. Dan orang itu adalah Rohim, orang yang mengaku tidak memiliki pekerjaan lain selain ngamen dan dangdutan. Dua pekerjaan yang belum mendapat tempat terhormat di negri ini. Dari cerita Rohim juga, kekerasan masih sering mereka alami dari aparat Negara. Tak jarang, mereka yang terkena razia harus pasrah ketika alat musiknya dihancurkan, ataupun diri mereka digebuki kemudian ditahan.

Namun, Rohim sepertinya termasuk salah satu orang yang terus memperjuangkan hidupnya. Seperti yang dilakukan siapa saja apabila kehilangan haknya atas hidup. Anggaplah kondisi di negri ini telah terlanjur membuat orang-orang seperti Rohim menjadi korban dengan berada pada strata sosial yang rendah. Tapi apakah kondisi ini juga yang pada akhirnya harus menghapus hak hidup mereka? Bagaimana ketika Rohim dan kawan-kawannya mengamen ataupun dangdutan bukan hanya untuk uang semata, tapi juga untuk mendapatkan hal lain—seperti yang disebut oleh Rohim dengan ‘asik’?

Terlepas dari mengkritik regulator yang masih gagal untuk menanggulangi kemiskinan, eksistensi manusia-manusia seperti Rohim seharusnya menjadi bahan renungan bagi siapa saja. Bahwa apabila mengamen menjadi suatu profesi alternatif bagi mereka yang tidak berkesempatan untuk memperoleh pekerjaan lain, sudah semestinya profesi ini juga mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lain di masyarakat. Paling tidak pemerintah pun turut melindungi hak mereka untuk hidup, bukannya malah membunuh hidup mereka, yang notabene merupakan manifestasi dari kegagalan pemerintah sendiri dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yah, paling tidak orang-orang seperti Rohim bisa tetap mendapatkan ‘asik’-nya dengan tetap bisa mendapat tempat untuk hidup. Hidup yang sehidup-hidupnya. Yakni, memperoleh apa yang memang menjadi haknya. Sebab sekecil apapun hak itu, hak tetaplah hak. Meski hak itu hanyalah hak yang menurut orang lain remeh, tapi barangkali tidak bagi orang-orang seperti Rohim, yang telah berhasil melihat kebahagiaan dunia bukan hanya terbatas pada uang.

Merasa telah menyita waktu Rohim terlalu lama, aku pun memutuskan untuk menyudahi obrolan. Meski sebenarnya masih banyak yang ingin kutanyakan seputar ruang hidup pengamen. Barangkali lain waktu obrolan ini bisa berlanjut. Karena bagiku pun, ini masih merupakan satu langkah kecil untuk benar-benar memasuki dunia yang sebenarnya. Dunia yang setiap saat aku inginkan untuk berada di sana. Sebab sampai saat ini aku masih percaya, bahwa aku tidak akan bisa membuat perubahan. Tapi aku bisa melakukan perubahan.

Perbincangan pun kami tutup dengan sebuah janji kecil. Janji untuk bertemu lagi pada suatu malam di Tangerang. Janji untuk berjoget bersama dengan diiringi permainan Rohim DKK, ditemani para biduan seksi. Asiiik…[]

09 Agustus 2007

Memilih Hidup

Some set their hearts on a rocking chair. The better to sleep out the days. But I'm looking for a reason to kick and scream. I don't want to fade away.

Chumbawamba, Fade Away (I Don’t Want To)


Setelah mengajak Yana ber-high five, aku dan Edi segera meninggalkan kantor. Meninggalkannya yang tampaknya akan menetap lagi malam ini. Sembari berjalan menuju lift, aku menyempatkan diri menoleh ke belakang sekali lagi. Kemudian merasa high five tadi tidak cukup berhasil. Kelelahan itu masih kentara di wajahnya, meski ia telah mengusahakan sebuah senyuman saat telapak tangannya dan telapak tanganku tadi berjumpa di udara.

Aku maklum jika ia lelah. Pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali, memang menjadi suatu konsekwensi yang telah dijalaninya akhir-akhir ini semenjak terpilih sebagai salah satu orang yang akan dipersiapkan menjadi presenter.

“Anjir, kasian banget tu anak,” kata Edi, ketika kami sama-sama memasuki pintu lift yang sudah siap mengantar ke lantai dasar.

Untuk itulah aku mengajaknya ber-high five. Aku tidak suka merasa kasihan pada seseorang tanpa berbuat sesuatu apapun untuk berusaha menolongnya. Tapi kali ini, aku sungguh-sungguh merasa tidak bisa berbuat banyak. Karena bagaimanapun juga, apapun yang tengah kita masing-masing hadapi saat ini adalah konsekwensi yang harus kita terima setelah memilih untuk bekerja di sini. Maka rasa kasihanku itu hanya bisa terejawantahkan ke dalam suatu ajakan untuk tetap kuat. Kuat untuk menyongsong setiap konsekwensi dari pilihannya sendiri.

Bagiku, yang terpenting pada saat-saat seperti ini—ketika waktu hidup dalam duapuluh empat jam hanya dapat diisi dengan bekerja dan tidur—adalah bagaimana caranya mengusahakan pekerjaan menjadi sesuatu yang benar-benar dapat kunikmati. Apabila tidak, itu sama artinya aku tidak akan menikmati hidup itu sendiri, sama sekali.

“Apalagi kalo dateng ke kantor udah sampe bikin muntah-muntah, berak-berak… Itu sih udah nyiksa banget, men!” ujar Edi sembari wajahnya terlihat meringis.

Ketika mobil Kijang yang kami tumpangi melaju di jalan Gatot Subroto yang sudah lengang, Edi mulai bercerita mengenai seorang temannya yang pernah bekerja di E&Y. Aku mendengarkan kisahnya sembari menikmati rokok yang sudah kunyalakan sejak di tempat parkir.

Di perusahaan itu, ungkap Edi, ia telah berada pada suatu pencapaian yang lebih dari lumayan. Penghasilan lima juta rupiah sebulan. Tapi bekerja di perusahaan akuntan publik terkemuka semacam itu membuat hari-harinya hanya dipenuhi dengan imaji akan uang-uang yang tidak pernah menjadi miliknya. Keuntungan puluhan perusahaan besar yang bernilai puluhan milyar rupiah, hanya bisa singgah di pelupuk matanya sebagai akuntan, tanpa bisa ia mengenyam nilai sebanyak itu. Kecuali itu, ia merasa tidak pernah mempunyai banyak waktu untuk melakukan hal lain selain bekerja dan tidur. Sebab mengurusi keuangan satu perusahaan saja, bisa memakan waktu sampai dua minggu. Pada saat-saat itulah—ketika ia sudah tidak dapat menikmati detik demi detik yang ia jalani, ketika pekerjaannya membuatnya merasa terasing dari apa yang ia kerjakan, dan ketika ia datang ke kantor hanya karena keharusan belaka—tubuhnya pun mulai berontak.

“Muntaber maksud lo, Ed?”

“Ha-ha! Bukan muntaber. Tapi muntah-muntah dan berak-berak karena udah muak ama apa yang dia kerjain,” terang Edi.

Pikiranku pun serta-merta mengenang beberapa kawan di perusahaan tempatku bekerja saat ini, yang beberapa hari belakangan sempat mengeluh padaku. Mereka mulai merasa keberatan dengan sistem perusahaan ini karena jam kerjanya yang tidak menentu. Sesuatu yang membuatku tak habis pikir kenapa dulu mereka memilih profesi yang, seperti dikatakan oleh Luwi Ishwara dalam bukunya: Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, “wartawan, entah yang bekerja di surat kabar; majalah, radio, televisi, maupun yang di internet beroperasi 365 hari setahun dan 24 jam sehari. Seseorang tidak berhenti menjadi wartawan setelah pukul 5 sore seperti layaknya orang yang bekerja di kantor.”

Aku memerhatikan batang rokokku yang sengaja tak kutempatkan di dalam badan mobil, tapi tersemat di sela-sela jemari tangan kiriku yang tersodor ke luar jendela. Gesekan angin membuat rokok itu terbakar lebih cepat tanpa harus kuhisap. Saat itu juga aku merasakan relatifitas waktu. Waktu akan terasa lebih cepat mengikis habis ragaku, saat aku tidak dapat bersahabat dengannya dan menikmatinya. Sebisa mungkin aku harus segera menemukan kenikmatan dari apapun yang kukerjakan saat ini, apabila tidak ingin menemui ragaku sendiri berontak membunuhku.[]

06 Agustus 2007

Kontemplasi Ruang Tunggu

"Ilmu tidak boleh menjadi kesukaan diri sendiri. Mereka yang beruntung mampu mencurahkan dirinya kepada pengudian ilmu, harus yang pertama-tama menempatkan pengetahuan mereka untuk mengabdi umat manusia. Bekerjalah untuk umat manusia."

Kutipan ucapan Karl Marx oleh Paul Lafargue, Reminiscences of Marx

"Sukar sekali, jika tak hendak dikatakan tak mungkin, untuk memberikan introduksi tentang filsafat materialisme dialektik dan historis dalam satu kali kuliah. Tetapi saya yakin, bahwa kian hari akan kian banyak propagandis di Indonesia sini, karena hanya dengan populernya filsafat pembaruan itulah usaha pembaruan masyarakat Indonesia dipermudah."

— Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, halaman 14




Pukul tujuh petang. Kantor masih dipenuhi orang. Tidak aneh, sebab ini kantor berita. Aku yang terbilang baru di sini, masih agak kikuk untuk menentukan apa yang mesti kukerjakan. Pun produserku dan tim liputannya tengah berada di Bali saat ini. Jadilah aku dan beberapa orang kawan, yang notabene sama statusnya denganku sebagai pekerja baru, berusaha mencari kesibukan masing-masing supaya tidak terlihat terlalu kontras dengan para reporter yang sibuk menulis naskah ataupun mem-preview gambar.

Ruang televisi lantai lima, yang konon juga merupakan ruang kumpul para camera-person, menjadi salah satu tempat favoritku selama seminggu terakhir—selain balkon di lantai tiga yang selalu kujadikan tempat untuk membakar rokok sembari menikmati permainan spektrum warna langit senja. Di tempat ini aku biasa mendaratkan bokong di atas sofa yang lumayan empuk sembari menyaksikan tayangan-tayangan National Geographic ataupun HBO. Tapi bukan saluran tivi kabel itu yang menjadikan tempat ini sebagai tempat favoritku. Melainkan, di sini, aku bisa sedikit menyingkir dari pergerakan orang-orang yang memang telah mengemban tugas dari para koordinator liputan.

Agak iri melihat Bam yang tiga bulan ke depan kebagian jatah posisi di Departemen Bulletin. Selama sepekan terakhir ini, ia nyaris tidak pernah terlihat berpangku tangan. Berangkat meninggalkan kantor pada pagi harinya, dan baru kembali lagi menjelang senja dengan membawa berita. Ia sudah mendapat kesempatan untuk melakukan liputan sekaligus merangkai naskah yang dipersiapkan untuk naik tayang; meski memang masih harus diedit lagi oleh produser. Tidak pasti tayang, memang. Maklumlah, sebagai pekerja pekerja baru, Bam juga masih harus menyesuaikan gaya menulisnya dengan standar yang dipakai oleh media ini.

Lain halnya denganku yang kebagian jatah posisi di Departemen Magazine. Aku masih belum pergi kemana-mana. Sepanjang hari aku hanya berada di dalam gedung ini, mencari kesibukan, supaya tidak terlihat terlalu kontras dengan orang-orang seperti Bam yang sibuk menulis naskah ataupun mem-preview gambar. Satu-satunya penugasan yang kuperoleh dari produserku dua hari lalu, sebelum ia berangkat ke Bali menyusul tim liputan yang sedang syuting di sana, adalah: riset. Aku kebagian tugas untuk mencari tahu mengenai Nanggroe Aceh Darussalam. Aku diminta untuk mencari kesenian khas Aceh yang unik dan layak untuk diangkat.

Awalnya, ini pekerjaan yang menggugah. Menelusuri narasumber hingga menemukan narasumber primer, tanpa kutahu harus mulai dari mana, adalah sesuatu yang menantang. Untuk itu aku jadi giat menjelajahi dunia maya. Mencari nama-nama instansi ataupun individu yang sekiranya bisa membawaku semakin dekat pada apa yang kutuju. Mempergunakan telepon pun tidak dilarang di kantor ini. Entah berapa ratus ribu rupiah sudah kuhabiskan untuk menelpon ke Serambi Mekah. Dan memang menggugah melakukan pendekatan dengan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah kukenal demi mencari informasi. Berbincang via telepon dengan Marzuki Hasan—dosen IKJ yang konon paling sering bolak-balik Aceh-Jakarta—hingga dengan orang Dewan Kesenian Aceh Tengah. Aku merasa seperti seorang detektif.

Namun, sensasi itu tidak bertahan terlalu lama. Hari ini saja aku sudah mulai merasa jenuh untuk terus-terusan berada di dalam kantor, semenjak salah satu alasanku dalam memilih Pewarta sebagai profesi karena aktivitasnya yang lebih banyak dilakukan di luar sana.

Aku ingin menginjak aspal panas. Aspal yang juga diinjak oleh guru-guru, yang menuntut realisasi 20% anggaran pendidikan dari APBN. Aku ingin tersengat matahari. Matahari yang juga membakar kulit para buruh PT. NASA dan PT. HASI, yang menggugat NIKE karena ingin menghentikan orderannya pada dua pabrik tersebut. Aku juga ingin melihat kokohnya pagar besi gedung-gedung instansi, yang selalu berdiri di depan mata rakyat kecil setiap kali mereka datang untuk menyampaikan aspirasi. Aku ingin bersama mereka. Aku ingin berada di samping mereka, seraya mengatakan: hatiku selalu bersama kalian semua. Meski kata-kata itu hanya bisa termanifestasi dalam aktivitasku merekam apapun yang sedang kalian lakukan, dan menyampaikan kepada yang lainnya dengan seaktual dan sefaktual mungkin; agar setiap orang tahu bahwa kita memang tidak sedang baik-baik saja.

Saluran National Geographic tiba-tiba beralih ke AXN tanpa aku melihat lagi siapa yang memegang remote-control. Mungkin salah satu kawan di sampingku yang juga belum mendapat penugasan sepertiku. Atau mungkin seorang camera-person senior yang sejak tadi memang duduk di pojok ruangan ini untuk beristirahat. Aku tidak ambil pusing. Sejak tadi pun aku tidak terlalu berniat untuk menyaksikan apapun di dalam kotak televisi tersebut. Aku masih sibuk memikirkan apa lagi yang bisa kukerjakan, ketika para contact-personku meminta untuk ditelepon kembali baru keesokan pagi.

Tiba-tiba seorang kawan perempuan yang tengah dipersiapkan untuk menjadi presenter, memasuki ruang televisi dan mengambil tempat di sampingku. Wajahnya kelihatan sedikit lebih lesu dari biasanya. Meski memang ia memiliki perangai yang tidak ceria, dan cenderung dingin, tapi kali ini aku bisa melihat sesuatu yang berbeda pada raut wajahnya. Aku berpersepsi ia tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik untuk diajak bicara. Tapi keegoisanku seolah mengabaikan persepsi itu. Aku membuka pembicaraan karena aku memang sedang butuh teman bicara. Aku membukanya dengan bertanya kenapa.

“Lagi bete nih gue. Masa gue musti…”

Ternyata dugaanku sedikit meleset. Ia memang sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Tapi tampaknya ia justru memang sedang butuh untuk berbicara. Maka jadilah aku seorang pendengar yang baik. Mendengarkan ia berkeluh kesah soal beberapa hal yang tidak menyenangkan hatinya. Mendengarkan semuanya dengan seksama sembari memerhatikan sorot matanya yang terkesan galak. Sorot mata yang memang selalu seperti itu semenjak aku mengenalnya.

Ia menarik nafasnya setelah merasa cukup berbicara. Aku menanti beberapa detik, memberi kesempatan baginya apabila ia memang masih ingin melanjutkan. Tapi tampaknya ia memberi kesempatan itu padaku.

“Kita akan berdialektika kok,” ucapku hati-hati kemudian. Hati-hati karena beberapa hari yang lalu ia sempat menuduhku sebagai orang kiri. Aku khawatir dengan membuka wacana mengenai materialisme dialektik dan historis seperti yang baru saja kulakukan memberi ia afirmasi bahwa dugaannya itu benar.

“Maksud lo?” tanyanya dengan wajah bingung.

“Iya, A ketemu B harus jadi C. Itu dialektika. Seorang lo ketemu dengan sebuah perusahaan, itu harus menghasilkan sebuah nilai yang baru. Itu dialektika. Begitu juga dengan datangnya lo di perusahaan ini. Nggak bisa A itu harus tergerus dan B yang tetep eksis, pun sebaliknya. Harus ada gaya permainan baru yang dihasilkan dari pernikahan atara lo dan perusahaan ini. Gaya permainan yang nantinya dipake sama kedua pihak.”

“Tapi katanya kan kita musti nurut dulu sekarang. Nggak boleh ngelawan. Ngikutin standar.”

“Ya, iya sih…,” aku bingung harus melanjutkan apa lagi sebetulnya. Aku berusaha keras menemukan kalimat yang bisa menjadi penutup dari pembicaraan ini. Sebab aku sendiri merasa tidak pantas untuk berlagak bijak padanya, mengingat aku sendiri pun sedang merasakan kegelisahan yang tidak jauh berbeda dari dirinya. “Memang kita sekarang musti nurut dulu. Tapi pertahanin karakter lo aja. Karakter lo itu keras. Menurut gue itu bagus. Dengan itu lo jadi punya sikap. Nantinya orang-orang di sini akan ngeliat, dan lo sendiri juga akan tau, lo sebenernya cocok untuk ada di program acara yang kayak gimana. Soft News atau Hard News.”

Memang pandai sekali aku kalau bicara. Sedangkan menyelesaikan masalah sendiri pun aku belum berhasil. Aku sendiri masih berusaha melepaskan diri dari suasana hati yang buruk karena hingga kini belum ditugaskan untuk pergi kemana-mana. Kini aku sudah berlagak seperti seorang penasihat spiritual.

“Iya sih… Ah, tapi udahlah. Gue aja kali yang lagi mau dapet. Jadinya bete gini. He-he-he. Nggak usah dianggep lah omongan gue tadi,” ujarnya dengan gestur yang seolah ingin memberi impresi bahwa ia bukan seorang perempuan cengeng. Dan ia pun langsung meninggalkan ruang televisi.

Ah, iya. Sama-sama. Tidak perlu dipikirkan juga segala nasihat tadi. Sesungguhnya kata-kata itu lebih ditujukan kepada diriku sendiri. Selalu seperti itulah setiap nasihat yang tersaji lewat media bernama ‘mulut manusia’.[]