12 Juli 2008

Nangalidam

Suatu pagi yang dingin saya terbangun di Nangalidam. Sembari menyeruput teh panas buatan Bang Ical, saya merenungkan betapa menyenangkannya hidup saya akhir-akhir ini yang bisa berada di tempat berbeda hampir pada setiap kali bangun tidur. Padahal kemarin masih di Sumbawa besar, seminggu sebelumnya di Mataram. Sebelum-sebelumnya Waingapu, Manurara, Mondu, Weda, dan banyak nama tempat lain yang saya sendiri sudah nyaris lupa. Tapi pagi itu… Nangalidam; sebuah kampung nelayan di kabupaten Sumbawa Besar yang terpencil. Terpencil akibat satu-satunya jalan akses ke kampung tersebut masih belum layak untuk dilewati oleh mobil-mobil kota yang manja. Saking terpencilnya tak banyak juga orang Sumbawa sendiri yang tahu keberadaan kampung itu. Dan saking terpencilnya, informasi soal Nangalidam tidak bisa kamu telusuri dengan Google. Dengan kondisi kampung yang tidak begitu dekat dengan kota, dan otomatis budayanya, Nangalidam menjadi agak berbeda dengan kota. Ya karakter orang-orangnya, ya mata pencahariannya… Tapi satu hal yang sangat berbeda, saya temui di pagi yang dingin itu.

Di manapun saya terbangun, selalu ada hal sama yang saya rasakan pada pagi hari. Sakit perut. Satu-satunya rasa sakit yang selalu dapat saya syukuri karena saya sadar tidak semua orang memiliki sistem sirkulasi perncernaan sebaik saya. Sembari menyeruput teh panas itu dengan sangat perlahan, saya menoleh ke Bang Ical—orang yang rumahnya saya tumpangi untuk bermalam di kampung itu—sembari meringis. Iya, seingat saya sih sembari meringis; karena saya tidak pernah melihat ekspresi saya sendiri saat berkomunikasi dengan orang lain. Entah bagaimana caranya, saat itu Bang Ical langsung mengerti. “Kenapa, pingin berak?”. Saya mengangguk.

“Ambil air terus jalan ke sana,” katanya sembari menunjuk ke suatu arah. Secara otomatis, mata saya langsung mencari-cari titik mana yang sekiranya Bang Ical tunjuk. Saya tidak menemukan satu pun bangunan di sana yang menyerupai WC. Saya bertanya lagi akhirnya, di mana? “Di situ loh, di bawah pohon asem itu.”

Dengan perasaan ragu-ragu saya melangkah juga ke sana sembari menenteng ember yang sudah terisi air. Tentu saya bukan takut pada mitos pohon asem yang konon merupakan sarang kuntilanak. Saya hanya ragu untuk melakukan ritual pagi saya itu di tempat yang tidak biasa. Tidak biasa bagi saya. Tapi sepertinya biasa-biasa saja bagi Bang Ical maupun seluruh orang Nangalidam. Buktinya ia dengan santainya menyuruh saya melakukannya di situ.

Masih dengan ragu-ragu saya berdiri di bawah pohon asem itu. Rumah Bang Ical masih kelihatan dari sini. Saya menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa siapa tahu ada orang yang sedang berada di sekitar situ. Masih ragu-ragu, saya menyesali kenapa semalam saya makan begitu banyak kepiting hasil tangkapan Bang Ical. Hingga akhirnya segala perasaan ragu dan takut itu terkalahkan juga oleh keteraturan dalam tubuh yang melarang saya untuk menunda-nunda lagi ritual pagi itu. Ah, persetan lah dengan peradaban!

***

Nangalidam hanyalah sebuah kampung. Kampung saja. Tanpa perlu saya embel-embeli ‘miskin’ di belakangnya, meski saya merasakan betapa sulitnya untuk melakukan ritual pagi di kampung tersebut. Tapi toh hal itu adalah sesuatu yang lumrah bagi Bang Ical maupun orang-orang Nangalidam lainnya. Sama sekali bukan kesulitan yang berarti. Buang air besar di tempat terbuka, di bawah pohon asem, sembari memandangi hutan bakau yang mungkin saja ditinggali oleh buaya rawa, dan juga sembari ditunggui oleh anjing-anjing kampung yang bersiap-siap untuk menyantap kotoran kita dengan lahap; itu sama sekali bukan kesulitan yang berarti. Lalu kenapa manusia tipikal orang kota seperti saya harus memandang hal itu secara berlebihan dengan menganggap itu sebagai suatu kesulitan? Begitu pula dengan antusiasme saya ketika Bang Ical membawa pulang belasan kepiting hidup yang ia tangkap sendiri. Bagi mereka antusiasme saya itu adalah sesuatu yang berlebihan. Sebab bagi mereka itu hanyalah sebuah cara untuk hidup. Sama seperti berak.

Nangalidam memang tidak perlu embel-embel ‘miskin’ meski orang-orangnya tidak memiliki WC. Terpencil iya. Tapi rasanya dengan kondisi terpencil itulah mereka akan selalu tetap kaya dan lestari. Sebelum pemda menyadari kekayaan yang mereka punyai dan mulai melakukan eksploitasi. Sebelum budaya kota menjadi dekat dengan Nangalidam. Sebelum cara pikir orang kota mulai merasuk ke dalam kepala mereka; cara pikir yang berlebihan dalam melihat segala sesuatu dan tidak sederhana. Dan mungkin karena itu orang kota senang juga dengan gaya hidup yang berlebihan dan tidak sederhana. Mungkin.[]