19 April 2009

[CERPEN] GELAP

Untungnya aku tidak terlalu relijius. Ada semacam kelegaan tersendiri yang terus-terusan menyejukkan rongga dadaku tanpa henti seketika aku menyadari hal itu. Sudah sekitar satu jam sejak kereta yang kami tumpangi ini bergerak meninggalkan Gambir. Dari jendela yang sedikit retak dan berdebu di sisi kiriku ini aku bisa tahu kalau di luar sudah gelap. Sepertinya tadi ada adzan yang sayup-sayup suaranya masuk selintas ke dalam gerbong untuk kemudian segera tertinggal di suatu tempat, Bekasi atau Kranji, aku tidak yakin di mana itu. Tepatnya, aku tidak ingat. Aku tidak terlalu ambil pusing. Melainkan hanya sebuah tangkapan otomatis oleh indera pendengaranku.

Kalau sedikit saja aku lebih yakin dengan agama yang tertera di KTP-ku, mungkin suasana di antara tiga manusia yang sekarang tengah duduk di bangku nomor 3A-3B dan 4A-4B―yang sengaja kami buat berhadap-hadapan demi mendapatkan suasana privasi―ini tidak akan menjadi nyaman. Mungkin, dengan sebab yang sama, aku akan membuat semacam dominasi keyakinan di sini sementara yang lainnya merasakan dirinya menjadi minoritas. Untuk itulah aku lega merasa tidak punya apapun yang kubela.

Lagipula ini perjalanan dalam rangka menghabiskan akhir pekan. Maka bersenang-senang seharusnya adalah tema utamanya. Bukan konflik atau juga obrolan yang pelik.

Memang juga tidak semudah itu untuk bersikap biasa-biasa saja dan dengan berani menantang mata mereka, apabila salah satu dari mereka sudah mulai menyebut-nyebut suatu nama atau hanya kata yang identik dengan agamanya. Bukan semacam risih atau alergi. Tapi lebih kepada perasaan khawatir bahwa akan munculnya semacam rasa gusar di dalam hati yang lainnya.

Ini bukan tentang aku dan perasaanku. Ini tentang mereka berdua dan perasaan keduanya. Mereka, yang duduk di bangku seberangku ini, adalah sahabatku. Dan aku menyayangi keduanya. Dan ini juga tentang acara liburan kami bertiga yang kuingin jadikan seindah mungkin bagi kita semua; khususnya mereka.

Ada satu beban juga yang kupilih untuk aku tanggung sendiri semenjak siang tadi. Mereka tidak tahu hal ini. Beban itu sebetulnya hanya berupa serentetan dialog yang sampai sekarang masih juga belum lepas dari ingatan.

***

“Jadi ke Bandung?”

Saat itu hanya aku yang ada di teras rumah itu. Maka kalimat suara yang menampung pertanyaan itu pasti tertuju untukku. Aku langsung menutup novel yang sedang kubaca seperempat dari jumlah halaman buku itu keseluruhan.

“Jadi, Tante,” jawabku dalam nada lembut yang aku rasa lumayan kontras dengan picingan mataku akibat terpaan silau. Tembok rumah itu putih sekali. Sehingga semua sinar matahari yang jatuh di atasnya seperti memantul dan masuk ke dalam mataku sebanyak mereka datang pertama kali.

“Sama Ema?” ia mengambil tempat di kursi sebelah kananku sembari meletakkan sebotol air dingin dan sebuah mug kosong di atas meja bundar yang memisahkan kursiku dengan kursinya.

Saat itu semua menjadi terasa begitu cepat. Sebelum sempat lagi aku memikirkan jawaban yang tepat, mulutku sudah terlanjur mengeluarkan bunyi. “Iya, ini Roni lagi jemput Ema” ucapku lalu tertawa. Sebuah tawa yang bahkan saat itu juga aku tahu kalau itu adalah sebuah tawa yang hanya mungkin keluar dari orang panik atau gugup.

Dia terlihat mengangguk-angguk kecil selama beberapa kali. Aku lega saat itu. Aku pikir sudah berakhir. Tidak ada komentar lagi darinya, maka itu artinya aku bisa tenang untuk sementara waktu. Setidaknya, bila ia hanya ingin menyudahi pembicaraan kami dengan anggukan ambigu seperti itu, itu akan menjadi akhir dari pembicaraan kami.

Tapi baru saja aku berniat untuk membuka novel yang masih kupegang, tanpa aku menoleh padanya, aku merasa perempuan separuh baya ini hendak mengangkat bicara lagi.

“Tante kasihan sama Roni. Sama Ema juga. Roni susah untuk dikasih tahu. Dia malah akhir-akhir ini jadi giat mencari buku-buku yang bilang kalau pernikahan beda agama itu diperbolehkan. Tapi…”

Ia berbicara terus tanpa putus. Sehingga aku hanya merasa diberi ijin untuk menggumam, berdehem, dan tersenyum.

“Menurut kamu sendiri bagaimana? Kamu bisa kasih tahu Roni nggak, untuk jangan ngeyel gitu?” akhirnya ia memberiku kesempatan.

“Setahu saya, ini pertama kalinya Roni bisa dekat dengan seorang perempuan. Dan itu sesuatu yang buat saya sendiri membahagiakan.”

“Tapi, kan, mereka beda agama,” ia menyela sehingga aku merasa kehilangan kekuatan yang tadi sudah kuhimpun untuk mengutarakan semua yang ada di kepalaku. Dan aku harus mulai lagi dari nol.

“Iya, itu betul,” aku berusaha untuk tetap tenang, “tapi saya rasa pasti mereka berdua bisa menemukan jalan yang terbaik buat mereka. Mereka sudah besar. Lagipula belum tentu juga ada niat dari mereka berdua untuk melanjutkan hubungan ini ke pernikahan.”

“Tante cuma kasihan aja sama mereka. Kalau mereka sudah terlanjur sayang…”

Hanya senyum yang bisa kulakukan. Aku merasa tidak punya cukup hak untuk terus menerus menyangkal semua yang ia katakan. Ia orangtuanya. Mungkin ia memang berhak untuk memikirkan itu semua. Dan terlepas dari itu, dalam beberapa hal, apa yang ia ungkapkan ada benarnya.

***

Kurang dari dua jam lagi kereta ekspres Parahyangan ini akan memasuki Stasiun Hall. Dua orang di depanku ini sedang tertidur, dengan sang perempuan bersandar pada bahu lelakinya. Aku pun segera mengalihkan pandangan ke kegelapan di balik jendela. Tidak ada yang bisa kulihat di sana. Tapi kekosongan seperti itu selalu menjadi semacam media yang bisa kugambari sesuka hati.

Tak lama kemudian, aku pun merasa lelah berkutat dengan pikiran dan beban yang kubawa dari Jakarta tadi. Imajinasi-imajinasi sudah bertumpang tindih di atas media yang awalnya kosong. Benang-benang pikiran juga sudah kusut, semrawut di atasnya.

Ketika aku baru saja mau mencoba memejamkan mata untuk menemukan kekosongan lain yang bisa kugambari, Roni membuka matanya. Pandangan mata kami bertemu pada satu titik. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengajak berbicara. Itu sama sekali bukan soal bagiku. Aku juga tidak ingin mengeluarkan suara yang bisa membuat Ema terbangun dari tidurnya.

Roni tersenyum kecil. Entah untuk apa. Aku tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Maka, seperti mati gaya, aku mengeluarkan novel dari dalam ransel. Dan sebelum kubuka pada seperempat buku, aku menatap keluar jendela lagi.

Gelap. Gelap sekali. Dan kusut benang tadi masih juga ada di sana. Tiba-tiba aku menyadari kemungkinan lain; mungkin Roni bisa menggambar dengan lebih baik di atas kegelapan yang sama ini. Dan mungkin untuk itulah senyuman kecilnya tadi. Kalau memang benar demikian, dia baru saja mengejek coret-coretanku ini.

Sial kau, Ron. []