Aida: Wilderness
Pulau itu tidak kuketahui namanya. Aku juga beberapa kali mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan orang-orang kampung ketika mereka bertanya, “tadi habis dari mana?”. Hanya jawaban tak memuaskan yang bisa kuberikan pada mereka: pulau yang pasirnya putih itu. Itu tentu tak menjawab pertanyaan mereka, semenjak mereka telah lama tinggal di Kepulauan Togian itu, dan telah ‘hafal mati’ bahwa hampir semua pulau yang memiliki pantai di sana pasti pasirnya berwarna putih. Tapi mudah saja bagiku untuk membuatmu tahu pulau mana yang kumaksud. Aku tinggal mengatakan: pulau yang pasirnya pernah kau tulisi wilderness. Ya. Di pulau itulah kau telah membuatku kembali menyadari bahwa aku tidak boleh kembali melakukan kesalahan yang dulu pernah kuperbuat.
Aku pernah merasa mencintai seseorang. Aku menyelipkan kata ‘merasa’ dalam kalimat itu, karena belakangan aku tahu, bahwa orang itu sama sekali tidak merasa dicintai dengan caraku mencintainya. Dengan caraku yang meleset itu, alih-alih memberikannya perasaan nyaman, aku malah membuatnya merasa tersiksa. Aku telah memaksanya menjadi jinak hanya karena aku takut ia bisa pergi kapan saja ia mau.
Kini aku merasa mencintaimu, Aida. Aku menyelipkan kata ‘merasa’ di situ, karena aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang mewah padamu, apabila ternyata ini hanyalah emosi yang sama yang pernah muncul di dadaku dulu ketika aku melihat wujudnya. Bagiku ini sebuah kemajuan. Setidaknya kini aku sudah bisa menahan diriku sendiri untuk tidak tergesa-gesa menyimpulkan. Kurasa aku sudah cukup bisa lebih bersabar ketimbang dulu.
Seperti ketika aku bersabar memperhatikan tangan mungilmu tengah mengukir satu persatu huruf-huruf di atas pasir putih itu; aku menunggu kata apa yang kiranya hendak kau tulis. Tak bertanya kau sedang menulis apa. Aku menunggu kau menyelesaikannya. Pun setelah kau selesai menulisnya aku tidak bertanya apa maksudnya. Aku hanya memandangi tulisan itu, mencoba memaknainya sendiri, sementara kau sudah kembali asyik bermain-main dengan ikan-ikan badut yang lucu di laut.
Wilderness. Entah apa tujuanmu menulis itu sebetulnya. Aku tidak ingin bertanya dan mengusik kegembiraanmu bermain siang itu. Kata yang kau tulis itu sudah cukup untuk membuatku berpesan pada diri sendiri agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang dulu pernah kuperbuat: terburu-buru. Mungkin kata itu kau tulis di sana untuk membuatku mengerti bahwa kau memang hutan belantara. Liar dan bebas. Kau telah menstimuli aku lagi untuk terlibat dalam sebuah perang suci. Menaklukkan hasrat untuk mengontrol dan mendominasi. Membiarkan sinar matahari, udara, air, makanan atau apapun juga yang ada di atas bumi ini tetap gratis bagi setiap materi yang membutuhkannya. Dan memang bukan hanya aku seorang yang ingin berada di dekatmu, Aida.
Aku pernah merasa mencintai seseorang. Aku menyelipkan kata ‘merasa’ dalam kalimat itu, karena belakangan aku tahu, bahwa orang itu sama sekali tidak merasa dicintai dengan caraku mencintainya. Dengan caraku yang meleset itu, alih-alih memberikannya perasaan nyaman, aku malah membuatnya merasa tersiksa. Aku telah memaksanya menjadi jinak hanya karena aku takut ia bisa pergi kapan saja ia mau.
Kini aku merasa mencintaimu, Aida. Aku menyelipkan kata ‘merasa’ di situ, karena aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang mewah padamu, apabila ternyata ini hanyalah emosi yang sama yang pernah muncul di dadaku dulu ketika aku melihat wujudnya. Bagiku ini sebuah kemajuan. Setidaknya kini aku sudah bisa menahan diriku sendiri untuk tidak tergesa-gesa menyimpulkan. Kurasa aku sudah cukup bisa lebih bersabar ketimbang dulu.
Seperti ketika aku bersabar memperhatikan tangan mungilmu tengah mengukir satu persatu huruf-huruf di atas pasir putih itu; aku menunggu kata apa yang kiranya hendak kau tulis. Tak bertanya kau sedang menulis apa. Aku menunggu kau menyelesaikannya. Pun setelah kau selesai menulisnya aku tidak bertanya apa maksudnya. Aku hanya memandangi tulisan itu, mencoba memaknainya sendiri, sementara kau sudah kembali asyik bermain-main dengan ikan-ikan badut yang lucu di laut.
Wilderness. Entah apa tujuanmu menulis itu sebetulnya. Aku tidak ingin bertanya dan mengusik kegembiraanmu bermain siang itu. Kata yang kau tulis itu sudah cukup untuk membuatku berpesan pada diri sendiri agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang dulu pernah kuperbuat: terburu-buru. Mungkin kata itu kau tulis di sana untuk membuatku mengerti bahwa kau memang hutan belantara. Liar dan bebas. Kau telah menstimuli aku lagi untuk terlibat dalam sebuah perang suci. Menaklukkan hasrat untuk mengontrol dan mendominasi. Membiarkan sinar matahari, udara, air, makanan atau apapun juga yang ada di atas bumi ini tetap gratis bagi setiap materi yang membutuhkannya. Dan memang bukan hanya aku seorang yang ingin berada di dekatmu, Aida.
2 tanggapan:
simply gloomy yet packed with wild thoughts.....
Life is so fast
Aku menyelipkan kata ‘merasa’ dalam kalimat itu, karena belakangan aku tahu, bahwa orang itu sama sekali tidak merasa dicintai dengan caraku mencintainya.
- * -
Maaf, mungkin dugaanmu terhadap ketahuanmu belakangan ini tak sepenuhnya benar.
Aku bisa merasai cintamu.
Bahkan sampai detik ini.
Posting Komentar