07 November 2008

Industri

Masih ada cerita dari Fakfak, salah satu Kabupaten di Propinsi Papua Barat yang belum genap sepekan saya tinggalkan. Cerita itu kali ini mengenai air mata milik seorang lelaki. Saya lupa nama lelaki itu. Nama yang terlalu sulit untuk saya ingat. Tipikal nama-nama orang timur asli (baca: Indonesia bagian timur) yang kebanyakan memiliki konsonan dobel.Tapi saya tak pernah melupakan matanya. Mata yang telah terlanjur saya saksikan membasah pada suatu malam. Malam di mana kami hendak meninggalkan desanya, Mambunibuni.

Ia adalah seorang guru SD di satu-satunya SD yang terdapat di desanya. Ia termasuk salah satu dari orang-orang yang menyambut antusias kedatangan kami. Terbukti, selama kami berada di sana, ia begitu setia menemani. Bahkan tak jarang ia bersedia mengangkat tripod kamera saya. Bukan saya yang memintanya, melainkan ia yang langsung mengambilnya dari tangan saya seraya berkata: “biar saya bawakan, mas.”

Saya melihat kedatangan kami, sebagai orang tivi, membuatnya menjadi begitu bersemangat dalam menjalani hari-hari selama kami berada di desanya. Bukan hanya karena melihat ia yang selalu hadir di setiap lokasi pengambilan gambar, dan hanya akan pulang ke rumah setelah proses syuting selesai. Tapi saya melihat hal itu semenjak baru tiba di Mambunibuni. Tepatnya ketika dia menyambut kedatangan saya dan Andri, reporter saya, di sekolah tempat ia mengajar. Dia lah yang mempersilakan kami masuk ke ruang guru waktu itu, karena Kepala Sekolah sedang berada di Fakfak untuk suatu urusan. Dia yang menarik bangku-bangku dari belakang meja kerja guru-guru untuk kami. Dia pula yang akhirnya mengisi peran Kepala Sekolah, yang dalam hirarki organisasi paling berwenang memutuskan apakah kami diijinkan untuk ‘meminjam’ siswa-siswi sekolahnya untuk kami jadikan subjek dalam dokumenter kami. Dan, iya, dia setuju.

“Kami sangat senang mas-mas berdua datang ke desa kami. Kami yang biasanya cuma bisa nonton orang di tivi, sekarang orang yang nonton kami. Dari pihak sekolah kami akan menyediakan anak-anak sebagai pemeran film yang akan mas-mas berdua buat. Kami akan siapkan murid-murid kami berapapun yang mas-mas butuhkan.”

Mendengar dia berkata seperti itu saya merasa menjadi seorang pahlawan bagi warga desa yang haus akan bentuk perhatian dari orang luar. Ia bahkan sempat bertanya, “apakah ini akan menjadi seperti Denias?”

Perlu kau ketahui, di sana Denias seperti telah menjadi film wajib bagi orang-orang. Di setiap desa yang saya datangi di Fakfak, tak ada satu pun warganya yang mengaku belum pernah menonton film yang bercerita soal seorang anak suku pedalaman di Timika itu. Sebegitu bangganya mereka pada Denias karena merasa telah menjadi representasi diri mereka. Padahal Fakfak dan Timika letaknya cukup jauh juga. Yang satu berada di Papua Barat, sementara yang satunya lagi di Papua Tengah. Menanggapi pertanyaannya, saya hanya bisa menjawab: kurang lebih begitulah. Sebab malu juga kalau mengakui kualitas Denias pasti lebih baik daripada apa yang akan kami buat dengan peralatan minim yang kami bawa. Tapi demi untuk mempersingkat waktu saya jawab saja begitu. Dan wajahnya menjadi lebih cerah lagi ketika ia mengatakan: “berarti kalau dulu anak-anak kami yang menonton Denias, sekarang Denias yang menonton kami. Begitu, kah?”

“Kira-kira begitulah, Pak,” saya menjawab dan kemudian tertawa. Saat itu saya masih bisa tertawa.

***

Pada suatu hari Kamis, hujan lebat mengguyur Mambunibuni nyaris sepanjang hari. Saya yang pada hari itu sudah terlanjur pergi bersama anak-anak ke pinggir sungai untuk melakukan syuting, dengan pasrah hanya bisa menunggu dan berharap hujan segera berhenti. Saya membiarkan enam anak yang mulai merasa dekat dengan saya itu memain-mainkan rambut saya. Memelintir-melintir rambut saya. Menarik-nariknya, bahkan sampai berani menggerak-gerakkan kepala saya hingga seperti orang yang sedang headbanging. Saya menyalahkan Andri untuk yang terakhir itu. Sebab semenjak pertama kali ia menyetel Dugem vs Metal dengan ponselnya, sembari ia mengangguk-anggukan kepalanya, anak-anak itu jadi memaksa saya untuk ikut mengangguk-angguk bersama Andri. Padahal saat itu saya sedang pusing melihat hujan yang tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Dan Andri terus menerus mengulang-ulang lagu itu. Sehingga anak-anak terus-menerus punya kesempatan untuk memperlakukan kepala saya dengan semena-mena.

Saat itu sebenarnya saya mulai merasa kesakitan. Tapi karena di luar sana hujan belum juga reda, saya tak punya pilihan lain. Saya tak bisa lari dari mereka, maupun mengusir mereka untuk menjauh dari saya. Saya tak mau kehujanan, dan saya juga tak ingin mereka kehujanan. Karena saat itu kami berdelapan, duduk berdesak-desakan di bawah sebuah atap daun-daun kelapa yang disusun sedemikian rupa sehingga hujan tidak dapat merembes dan mengenai kami. Pak Guru yang antusias itulah pembuatnya. Sejak pagi-pagi sekali ia telah datang bersama enam orang muridnya ke rumah Kepala Desa, tempat kami bermalam selama di sana. Dengan semangatnya ia menjemput kami, menunjukkan lokasi yang bagus, mencarikan gedebong pisang untuk properti syuting, hingga akhirnya ia juga yang membuatkan atap darurat saat ia melihat hujan pasti akan turun. Saat itu ia berada di atap daun kelapa yang berbeda. Sesekali tersenyum ke arah saya seraya mengacungkan jempolnya ketika enam murid didikannya tengah menyiksa saya. Memelintir-melintir rambut saya. Menarik-nariknya, menggerak-gerakkan kepala saya hingga seperti orang yang sedang headbanging.

Senyum dan acungan jempol itulah yang kemudian membuat saya menyadari satu hal yang tadinya sempat tak saya syukuri. Sepertinya ia tengah memuji saya. Barulah saya ingat betapa intovertnya enam anak ini tadi sebelum hujan turun. Betapa pendiamnya mereka. Dan betapa pemalunya mereka. Kini, selang beberapa jam saja, mereka sudah bisa asyik bermain-main dengan rambut saya. Hal yang rasanya tak akan berani mereka lakukan pada kakak kandung mereka sendiri apalagi pada orangtua mereka.

Sembari menahan sakit akibat salah satu anak menarik cambang saya, saya mencoba menoleh ke Andri yang masih setia memutarkan lagu Project Pop yang terkutuk itu. Hanya penasaran apakah ia masih mengangguk-anggukkan kepala seperti tadi. Ternyata tidak sedang headbanging, ia sedang tersenyum dan kemudian mengacungkan jempolnya. Lalu ia membisikkan sesuatu: “ternyata ada untungnya juga kan hujan seharian? Anak-anaknya bisa jadi lebih dekat sama kita nih, bro.”

Ya, benar. Kamu jenius, ndri! Dan hujan tak kunjung berhenti sampai matahari tenggelam.

***

Lima hari kami berada di Mambunibuni. Pasti itu terlalu lama bagi produser yang mengharapkan kami bisa membawa empat episode dalam waktu sembilanbelas hari yang kami punya untuk berada di Fakfak. Ini juga merupakan pengerjaan-satu-episode terlama yang pernah saya alami. Terlalu lama memang kalau untuk membuat satu episode saja sampai harus memakan waktu lima hari. Pikiran dan perasaan keburu basi apabila terlalu lama berada di satu lokasi, memikirkan satu episode saja. Namun, apa mau dikata, hujan terus menerus turun di Mambunibuni. Saya juga tidak ingin memaksakan mengambil gambar pada saat hujan turun. Fatal akibatnya. Kamera rusak terciprat air. Saya bisa kena SP.

Tapi kelihatannya lima hari itu terlalu sebentar bagi Pak Guru yang antusias dengan kehadiran kami di tengah-tengah mereka. Dia menahan kami supaya pulang setelah tanggal 7 November saja. Sebab tanggal tujuh akan ada festival perahu di Fakfak. Saya tertawa. Saya bilang padanya bahwa saya bisa dipecat kalau begitu. Dan dia pun tertawa.

Malam harinya, tawa itu tak lagi ada. Suasana tiba-tiba berubah menjadi sangat serius ketika kami semua berkumpul di rumah Kepala Desa untuk perpisahan. Suasana formil yang kurang saya sukai. Saya menyaksikan wajah orang-orang yang ada di ruangan itu satu persatu ketika Kepala Desa sedang berbicara. Wajah enam anak bengal yang sempat menarik-narik rambut saya itu satu persatu. Salah satu dari mereka sudah ada yang bisa mengangkat-angkat salah satu alisnya ketika pandangannya beradu dengan saya. Saya tertawa sendiri dan segera menunduk menahan tawa itu. Khawatir Pak Kades merasa tidak dihargai karena tidak didengarkan pembicaraannya. Maaf, Pak. Tapi, hei… Pak Kades, lihat! Saya yang mengajari anak itu mengangkat alisnya, lho! Ah, tidak penting. Yang terpenting kini mereka sudah tidak se-introvert waktu pertama kali bertemu saya; yang bahkan untuk menyuruh mereka mengangkat wajahnya saat berbicara saja susahnya setengah mati.

Tiba giliran Pak Guru selaku pengajar anak-anak itu untuk berbicara. Saya mencoba berusaha untuk bisa bersikap dewasa kali ini. Lupakan dulu canda ria dengan anak-anak itu. Toh, juga sebentar lagi sudah akan meninggalkan mereka. Jangan membuat mereka merasa semakin sulit melupakanmu. Kasihan. Rindu itu sering menyesakkan dada.

Saya menanti Pak Guru mulai berbicara sejak tadi saya mulai bertekad untuk bersikap dewasa. Tapi beberapa detik sudah berlalu, dan belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut orang antusias itu. Bahkan ia pun menunduk. Menunduk, seperti anak-anak introvert itu ketika saya baru tiba di desa ini lima hari sebelumnya. Seluruh hadirin yang ada di ruangan diam. Hanya suara desing hening yang terdengar selama beberapa detik itu. Hingga akhirnya ada suara lain yang mengusik hening. Suara isak tangis yang tertahan. Siapa yang menangis, tanya saya dalam hati. Pak Guru mengangkat wajahnya. Matanya sudah membasah. Saya terenyuh menyaksikan pemandangan itu.

Saya ingin bertanya ‘kenapa, pak, kok sedih?’, tapi khawatir dianggap naif oleh orang-orang yang sedang bersikap formal pada malam itu. Termasuk Andri. Semuanya diam saja. Maka saya pun urung bertanya. Hingga akhirnya Pak Guru berbicara.

"Selama ini Indonesia yg kami saksikan di tivi adalah Indonesia yg sama sekali asing sama kami... Kami tidak pernah melihat anak-anak kami sendiri muncul di situ... Tapi kedatangan Mas-Mas berdua ini bikin saya sekarang jadi merasa kalau kami juga bagian dari Indonesia. Terimakasih, Mas-Mas berdua."

Hati saya hancur mendengarnya. Perasaan saya kacau dan pikiran saya berantakan, sehingga saya tidak dapat mengidentifikasi rasa apa yang tengah ada di hati saya malam itu. Yang saya ingat, saya merasa sangat bersalah karena justru telah datang ke sana. Seandainya dia tahu bahwa saya tidaklah seheroik yang ia pikir. Saya datang ke desa itu bukanlah untuk mereka. Tapi sejujurnya hanyalah dalam rangka ditugaskan oleh sebuah perusahaan di ibukota negara sana untuk mencari yang unik-unik untuk bisa dijual! Iya, pemilik perusahaan tempat kami bekerja bahkan tidak peduli kalau mereka ada. Yang ia pedulikan hanya satu: apakah suatu acara bisa membuat rating&share perusahaan televisi ini naik, sehingga para pengiklan akan berani membayar mahal untuk memasang iklannya pada jam tayang acara tersebut?

Saya hanyalah bagian dari mereka, Pak Guru, andai kau tahu itu. Dan kalian ini hanyalah menjadi semacam bahan baku yang saya masukkan ke dalam keranjang belanja bernama ‘kaset’, untuk kemudian saya serahkan pada sang koki ‘editor’ untuk diolah menjadi masakan yang nantinya dimakan oleh konsumen bernama ‘penonton’. Dan, iya, kita adalah bagian dari sistem banal ini. Dengan atau tanpa kita sadar bahwa kita adalah bagian dari sistem seperti ini, semua pergerakan kita bertujuan untuk membuat roda sistem ini terus berputar. Permasalahannya, jumlah yang tidak sadar itu terlalu banyak. Dan mereka ada di setiap bagian yang saya sebutkan tadi. Mereka ada di dekat Pak Guru selama ini. Iya, anak-anak didik Pak Guru itu. Anak-anak yang lincah; yang kulitnya hangus terbakar matahari; yang tidak pernah mengenakan alas kaki meski berlari-lari di aspal panas; yang bisa melakukan salto di air terjun. Mereka, anak-anak yang masih sangat murni dan kosong. Mereka bahkan belum menyadari eksistensi dirinya sendiri. Bagaimana mereka mungkin bisa menyadari bahwa mereka berada di dalam sistem ini? Jauh di sana, Pak Guru, di tempat yang orang-orangnya terlalu sibuk untuk pergi berekreasi karena rutinitas harian mereka yang tak mungkin bisa mereka lepaskan, ada orang-orang yang merasakan secuil sensasi kembali ke alam hanya dengan menyaksikan anak-anak lincah bermain-main di alam bebas. Mereka menonton acara-acara petualangan memang karena benar-benar sebagai pelarian dari ketiadaberdayaan mereka meninggalkan rutinitas harian mereka. Padahal di lubuk hatinya yang terdalam, mereka sangat ingin pergi ke tempat-tempat seindah desa Pak Guru ini. Seringkali juga mereka tidak sadar bahwa mereka merupakan bagian dari sistem ini. Sebab jika mereka tidak ada, acara-acara tentang alam pun tidak akan pernah ada yang mau memproduksi. Siapa yang mau makan? Dan yang terakhir, barangkali yang terjahat, adalah kami Pak Guru. Kami yang datang jauh-jauh dari Jakarta sana ke desa Pak Guru yang terpencil ini hanya untuk merekam sesuatu yang nantinya bisa ditonton oleh para penonton. Bukan untuk bersilaturahim! Hubungan di antara kita hanyalah hubungan produksi, Pak Guru. Itu saja. Tak lebih, tak kurang.

Maka kalau malam ini Pak Guru menangis seperti itu dan merasa terharu karena merasa telah menjadi bagian dari Indonesia, menjadi bagian dari kami, saya pikir itu salah… Justru saya sedang mengusahakan agar Indonesialah yang menjadi bagian dari kalian. Lihat, di sini kalian masih punya barter[1], yang mana Indonesia tak gunakan lagi. Alam kalian masih begitu asri, yang mana di kota besar sana orang-orang hanya bisa melihat itu lewat layar kaca saja. Justru apa yang saya inginkan adalah membuat penonton tersadar bahwa: “hei, ini lho… ternyata masih ada lho orang yang memakai barter dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bisa, kan? Mungkin, kan?” Begitu, Pak Guru…

Lagipula, Pak Guru tidak tahu sih apa artinya diperhatikan oleh Pemerintah. Pak Guru merasa bukan bagian dari kami karena merasa tidak diperhatikan, bukan? Karena desa ini hanya memiliki satu sekolah saja, karena satu-satunya akses ke desa ini jalanannya rusak berat, dan karena belum semua rumah di sini memiliki WC. Kan? Pak Guru tidak tahu apa artinya ‘diperhatikan’. Jika suatu daerah diperhatikan oleh pemerintah, artinya daerah itu memiliki potensi. Entah potensi alam, potensi wisata, atau potensi apalagi entah. Dan jika suatu daerah sudah disadari memiliki potensi maka apa yang akan mereka lakukan berikutnya, Pak Guru? Iya, eksploitasi! Bukan hanya alam, tapi juga manusia. Anak-anak didik Pak Guru yang bengal-bengal ini akan mereka eksploitasi menjadi pekerja mereka. Menjadi budak-budak pabrik yang akan diperas keringatnya. Mungkin Pak Guru berpikir menjadi buruh pabrik lebih baik daripada menjadi petani keladi. Karena digaji oleh orang lain itu lebih keren? Begitu, Pak? Salah, Pak.[2]

Pak Guru seharusnya bersyukur karena saat ini desa Pak Guru belum diperhatikan oleh Pemerintah. Karena nanti, apabila tiba saatnya desa Pak Guru mendapatkan giliran apa yang mereka sebut dengan ‘Pembangunan’, Pak Guru baru akan menyadari sekaya apa Pak Guru dahulu.

“Iya, Pak Guru, Sama-sama,” hanya itu saja kata-kata yang benar-benar bisa terucap dari mulut saya malam itu. Itu pun meniru apa yang Andri ucapkan. Hati saya masih gamang ketika keluar dari pintu rumah Pak Kades malam itu. Di luar gelap sekali. Barangkali bulan mati. Saya mengeluarkan ponsel dari kantong celana. Menghidupkannya sembari berjalan pelan-pelan.

“Ngapain lo, bro? Belom ada sinyal di sini,” Andri meledek saya.

“Enak aja. Buat senter nih. Gelap, takut kesandung,” cahaya seadanya dari senter ponsel saya cukup untuk menerangi jalan setapak di depan. Tiba-tiba saya teringat seorang perempuan yang saat itu sedang berada jauh dari sini. Aida. Benar juga Andri, saya rindu dia. Sudah beberapa hari terakhir ini saya tak berkomunikasi dengan dia, lantaran di desa ini tak ada sinyal. Waktu itu saya pikir saya bisa mati sesak jika tidak mendengar suaranya sekali dalam sehari. Ternyata saya bisa melaluinya dengan selamat.[]

___

[1] Bacaan Lebih Lanjut: Another World is Not Only Possible!

[2] Bacaan Lebih Lanjut: Kebebasan Memang Sesuatu yang Harus Kita Raih Sendiri.

05 November 2008

Demokrasi

1
Ayah saya bukan orang yang akan mengganti saluran televisi apabila menemukan saluran tersebut sedang menayangkan berita. Tapi entah kenapa kemarin pagi ia sewot melihat televisi kita jadi gencar menayangkan update seputar proses pemilihan Presiden AS. “Heran, orang Amerika yang pemilu, kenapa kita jadi yang ikut-ikutan sibuk,” ujarnya seraya mengecilkan volume.

Saya menawarkan pandangan saya padanya. Bahwasanya, pemilihan presiden Amerika itu jadi relevan bagi seluruh umat di dunia, karena orang-orang ingin tahu siapa berikutnya orang yang akan menentukan hidup mereka. Karena selama ini memang demikian seringnya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara Adi Kuasa tersebut mempengaruhi negara-negara lain yang berada di bawah dominasinya.


Ayah saya mengangguk setuju. Televisi ia matikan.

2
Sore hari di dunia maya, seorang teman berkata pada saya, bahwa manusia ditakdirkan untuk menjadi tergesa-gesa. Pemikirannya ini berdasar pada pengamatannya, bahwa terlalu lama untuk seorang manusia bisa berfikir dan berusaha untuk saling mengerti dan memberi pengertian ke sekitarnya.

Saya berkata padanya: “Oh. Pantas saja orang-orang percaya bahwa dengan voting jutaan atau milyaran aspirasi bisa terwakili. Kemudian mereka dengan tergesa-gesa juga menyimpulkan bahwa inilah demokrasi… Ya, ya, ya.”


3
Malamnya sesaat sebelum tidur, saya mengenang ulang ucapan seorang teman di balai kota Bandung sekitar empat tahun silam. Menurutnya, jikalau pemilu memang bisa membawa perubahan, berarti pemilu itu adalah sesuatu yang ilegal. Kenapa? Sebab… adakah perubahan signifikan yang pernah benar-benar terjadi semenjak kita berada di bawah sistem yang justru mempertahankan kemapanan? Cobalah satu kali engkau tawarkan sebuah sistem alternatif--yang benar-benar baru--kepada penguasa. Kau pasti taulah apa reaksi mereka. Kau pun sudah pernah diingatkan oleh sebuah iklan rokok, bahwa hanya yang tua boleh bicara. Jadi perubahan apa yang bisa kita harapkan terjadi dari sebuah pemilihan umum? Adakah perubahan yang bisa ditolerir oleh para kaum tua penyembah kemapanan?

Terngiang lagu Wyclef Jean, if I was a president, di telinga saya. Membayangkan ucapan Wyclef itu akan terjadi apabila Barack memang benar-benar orang yang sedang memperjuangkan sebuah change, sebuah perubahan. Mungkin apa yang dikatakan dalam lagu itu akan menjadi kenyataan: …I'd get elected on Friday, assasinated on Saturday, and buried on Sunday.

03 November 2008

Another World is Not Only Possible!

Ada semacam perlawanan pada kapitalisme yang dilakukan tanpa kesadaran akan eksistensi kapitalisme, pun tanpa pemahaman yang komprehensif mengenai kapitalisme itu sendiri. Meski perlawanan model seperti ini tampaknya terlalu jauh dari kemungkinan untuk bisa benar-benar menumbangkan musuh, bahkan terlalu sulit untuk bertahan lama. Bagaimana mungkin seseorang dapat memenangkan pertempuran apabila ia tidak pernah mengenal musuhnya? Kata Sun Tzu, “Dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri takkan pernah beresiko dalam seratus pertempuran; Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko dalam setiap pertempuran.”

Di Mambunibuni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak; saya menemukan sebuah kegiatan ekonomi sebelum kapitalisme populer, masih berjalan sampai dengan hari ini. Barter. Di desa itu, saban Sabtu pagi masyarakatnya menyelenggarakan sebuah pasar. Mereka senang menyebutnya dengan ‘Pasar Barter’. Sebab memang di pasar tersebut, orang-orang melakukan aktivitas tukar-menukar barang untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Barang-barang yang bisa ditukar memang hanya terbatas pada hasil kebun dan hasil laut. Sedangkan, apabila kamu membutuhkan sebatang pensil, kamu tak diperbolehkan untuk menukarkannya dengan keladi hasil kebunmu meski satu tomang (tas rajut yang biasa dipakai untuk membawa hasil kebun) banyaknya. Saya juga tidak mengerti kenapa. Jawaban mereka pun terlalu abstrak saat saya bertanya: “Karena pensil ini nilainya uang.” Tapi kamu boleh menukarkan setengah tomang keladimu dengan heikijap (ikan laut yang telah diasapi dan dijepitkan pada kayu) sebanyak satu kijabwor (alat penjepit ikan itu).

Melihat kenyataan masyarakatnya yang masih jauh dari bisa disebut ‘maju’, serta mengetahui cara mereka merekrut guru SD yang saya nilai ‘serampangan’—belakangan saya tahu bahwa salah satu guru di satu-satunya SD di desa itu adalah mantan petani keladi yang belum pernah memperoleh pendidikan standar untuk menjadi seorang guru; yang langsung diterima jadi guru hanya atas dasar kesediaannya saja—rasanya terlalu jauh dari bayangan bahwa masyarakat di desa itu mengerti apa itu kapitalisme. Jadi apabila mereka masih mempertahankan kegiatan barter, pastilah bukan dengan tendensi menjatuhkan sistem ekonomi raksasa itu. Lalu, apa?

“Untuk ajang silaturahmi, Mas. Karena dengan tetap mempertahankan tradisi barter ini, warga-warga yang tinggal di pesisir dan warga-warga yang di gunung, jadi selalu punya kesempatan untuk bertemu setiap hari Sabtu,” itu jawaban yang saya peroleh dari salah seorang warga.

Mungkin mereka memang tidak mengenal apa itu kapitalisme. Tapi motivasi mereka dalam mempertahankan barter sebagai tradisi, tampak begitu praksis. Silaturahmi. Bukankah ‘silaturahmi’ merupakan sesuatu yang tidak eksis di dalam kapitalisme? Bukankah hubungan yang eksis dalam masyarakat kapitalis hanyalah hubungan produksi yang menghasilkan kapital, meskipun seringkali harus menafikkan sisi-sisi kemanusiaan. Bukankah karena itulah cinta menjadi subversif bagi kapitalisme?

Mungkin yang mereka lakukan adalah biasa-biasa saja bagi kita yang giat melakukan diskusi-diskusi filsafat dan sospol dengan referensi buku-buku ilmiah yang tak terhitung lagi banyaknya. Atau bagi kita yang tak terbilang lagi seringnya berjibaku dengan aparat di depan gedung dewan, depan Kejari, Kejati, di depan Wisma Bakrie; memperjuangkan nasib orang-orang tertindas. Tapi bukan berarti mereka bukanlah apa-apa. Setidaknya eksistensi mereka bisa menjadi semacam afirmasi bagi kita, bahwa: dunia yang lain itu bukan hanya mungkin, tapi ada.[]