07 Mei 2009

Gorgom

Awalnya kedatangan saya ke situ adalah dengan membawa keinginan untuk melihat pahlawan bertopeng; entah kamen rider atau power rangers. Penasaran juga ingin melihat langsung orang-orang berpakaian glossy berwarna fancy itu beraksi seperti di tv, meski tentu saja tanpa special-effect api. Awalnya tangan saya sudah gatal untuk merekam setiap detil aksi sang pahlawan mengalahkan monster dengan kamera video yang saya bawa. Tapi pada titik itu antusiasme saya telah merosot. Kini saya jadi lebih ingin melihat mbak-mbak penjual kopi keliling berjalan lenggak-lenggok bak model cat walk. Ini karena anak-anak muda dari komunitas tokusatsu itu telah ngaret dari waktu yang telah kami sama-sama sepakati sebelumnya, jam duabelas. Dan kini sudah hampir jam dua. Saya letakkan kamera di trotoar dan mulai mengedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri, mencoba mendeteksi eksistensi mbak-mbak penjual kopi dan pop mi keliling.

Nihil.

Aneh, pikir saya. Biasanya di Parkir Timur ini selalu saja ada satu, atau dua orang, penjual kopi yang rajin menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang terlihat sedang duduk-duduk di daerah jajahan mereka. Tapi siang itu mengapa jadi sulit begini untuk menemukan satu saja. Yang dari tadi bisa saya lihat hanyalah mobil-mobil mondar-mandir di sana dengan kecepatan rendah; terkadang berhenti mendadak; terkadang pula mundur, untuk kemudian maju lagi. Mereka pasti sedang belajar mobil, saya bergumam sendiri.

Padahal dari istora terdengar sedang ada acara. Entah acara apa. Sepertinya acara pertemuan organisasi. Karena di dekat tempat saya duduk ada dua buah bis besar yang terpasang spanduk besar sedang terparkir. Orang-orangnya sudah masuk ke istora sejak tadi. Tapi aneh, tak ada satu pun penjual kopi keliling yang terlihat. Padahal biasanya mereka selalu memanfaatkan momen-momen keramaian seperti ini untuk berjualan.Yah, kalaupun peserta pertemuan itu memang sudah mendapat jatah kopi di dalam istora, minimal kan ada beberapa sopir dan kondektur bis yang butuh kopi atau pop mi mereka sebagai teman membunuh waktu. Seperti juga kami yang sedang menunggu komunitas tokusatsu itu.

Saya lihat reporter saya sudah mengambil lapak di samping pagar istora untuk berbaring. Driver saya juga tak ubahnya. Saya jadi berkata pada diri saya sendiri: jangan memilih kostum kamen rider jika akan melakukan kencan pertama. Itu akan membuat pacarmu bosan menunggu.

Saya buka pintu mobil, dan duduk di bangku sopir. Saya hidupkan mesin, dan sempat meneliti sebentar bahwa driver serta reporter saya tidak terganggu dengan suara mesin mobil ini. Sembari memasukkan gigi mundur, saya melihat ke belakang melalui semua kaca spion yang dipunyai avanza ini. Saat itu saya lihat seorang berperawakan kurus, hitam, dan berwajah agak sangar menghampiri. Saya bersiap untuk membuka jendela dan menjelaskan bahwa saya tidak akan kemana-mana; hanya ingin belajar mobil. Tapi orang sangar itu tidak berjalan mendekati saya, malahan mengilang dari frame spion avanza. Kemana dia? Entah. Maka saya mundurkan saja mobil ini. Gugup. Karena memang sudah lama juga semenjak terakhir saya mengemudikan mobil.

Mundur berhasil saya lakukan. Sekarang adalah belajar maju. Saya pindahkan persneling ke gigi satu. Mulus. Mobil bisa berjalan. Ternyata saya belum benar-benar lupa caranya menyetir mobil. Puas dengan kenyataan itu, saya ingin segera parkirkan lagi saja mobil ini. Tapi tiba-tiba orang sangar tadi muncul entah dari mana. Aneh juga orang ini. Menghilang tiba-tiba, muncul tiba-tiba. Seperti Gorgom di Kamen Rider Black saja. Dan kini dia sedang berdiri di depan mobil saya seperti monster menghadang belalang tempur. Saya berhenti dan membuka jendela.

"Lagi belajar ya, Mas?" kata orang itu.
"Ya. Kenapa?"
"Gini ya, Mas. Orang-orang di sini kalau belajar mobil biasanya ada pengertiannya lah sama kita-kita di sini."

Saya mulai bisa mendefinisikan orang ini. Dia bukan tukang parkir seperti yang saya duga sebelumnya. Dia adalah preman yang suka minta jatah pada orang-orang yang belajar mobil di sini.

"Gini ya, Mas. Saya ini cuma iseng aja, sembari nunggu temen saya ambil aja ini mobil buat belajar. Saya mau liputan, Mas," kata saya.
"Ya, tapi kalau belajar orang-orang di sini biasanya ada pengertiannya lah sama kita-kita di sini," ujar dia seperti mengulang kalimat sebelumnya.
"Ya, ya, ya. Nanti lah!" kata saya sembari menutup jendela.
"Ya, santai aja!!!" suaranya terdengar meski jendela sudah tertutup rapat.

Mobil saya jalankan lagi. "Rese!"

Brak! Saya keluar dari mobil yang sudah saya parkir di tempat awal. Saya ambil kamera saya yang tadi saya letakkan di trotoar. Saya kesal pada orang itu. Ya, saya selalu kesal pada orang-orang seperti dia yang mengandalkan wajah sangarnya untuk memeras orang-orang. Saya ingin rekam dia dari jarak dekat dan memaksanya membuat pengakuan bahwa dia adalah pemalak. Saya tahu, ini bukan sesuatu yang bijak. Tapi emosi saya pada waktu itu sudah memuncak. Saya cari dia, tapi dia sudah menghilang lagi seperti Gorgom. Lalu saya kembali pada reporter dan driver saya. Menceritakan kejadian barusan pada mereka. Driver saya hanya menertawai saya. Ini sudah kali kedua dia menertawai saya atas kegagalan saya menahan emosi.

Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu datang juga. Bukan kamen rider. Melainkan penjual kopi. Lalu saya bertanya, kenapa baru muncul?

"Males, Mas, kalo lagi ada acara. Tempat ini dikuasain sama ambon-ambon. Mereka suka ngutang sama kita. Kalau ditagih marah. Kalau kayak saya sih, dimarahin paling saya sewotin, dan mereka nggak marah. Tapi kalau yang cowok-cowok, ngelawan bisa digebukin, Mas."

Ternyata Gorgom itulah yang membuat para penjual kopi di tempat ini jadi pergi.

"Mereka berapa orang sih, Mbak?"
"Banyak, Mas... Kalo di sini yang nguasain ambon-ambon. Kalo di Parkir Selatan, arek-arek."

Banyak. Tidak lucu juga kalau tadi saya sempat berkontradiksi dengan si Gorgom itu, saya pikir. Akhirnya saya memilih diam saja, menenangkan diri sembari menyeruput kopi moka racikan simbak ini dan memandangi Gorgom-Gorgom itu mulai menyatroni mobil-mobil lain yang sedang berjalan pelan; dan terkadang mundur. Saya lihat salah seorang mengeluarkan selembar limapuluh ribu, dan sang Gorgom mengantonginya. Tiba-tiba driver saya, juga sembari ngopi, menunjukkan plang yang berdiri di dekat kami. Saya baca tulisannya: DILARANG BELAJAR MOBIL DI AREA INI.

O la la, Senayan... Senayan...[]
_____

Catatan:
Penyebutan suku di atas bukan untuk mendiskreditkan suku tersebut, melainkan karena itu yang disebut oleh narasumber.