15 Juni 2008

Kontrol

Barusan, waktu saya nengok ke layar televisi lagi ada sinetron. Adegannya begini:

cewek cantik: (nahan kesal sambil megang gelas berisi minuman berwarna merah)
cowok ganteng: (berdiri di belakang si cewek) Udahlah, cinta emang nggak cocok buat gue. Cinta cuma cocok buat orang-orang yang nggak bisa ngontrol dirinya sendiri.
Beberapa detik kemudian si cewek cantik itu udah asik nusuk-nusukin badan itu cowok pake piso yang saya nggak tau dari mana asalnya. Jeb, jeb, jeb, tiga kali. Si cowok ganteng mati.

Saya nanya ke ibu saya yang kelihatannya dari tadi ngikutin sinetron itu. Kenapa dia dibunuh?

"Abis dia jahat sih..." kata ibu saya dengan nada suara yang mengandung emosi. Seolah emosi si cewek cantik itu udah ikut merasuk ke dalam darah ibu saya.
"Jahatnya kenapa?"
"Ya, jahat lah! Cewek itu korban dia yang keempat, cuma dijadiin taruhan aja,"
"Oh, gitu? Pantesan tu cewek kesel."

Padahal tadinya saya pikir dia itu adalah cowok keren, yang sadar kalau manusia nggak butuh pacaran atau nikah kalau cuma buat ngebuktiin sama diri sendiri bahwa dirinya kuat--kuat karena ngerasa bisa mengontrol orang lain. Iya, saya percaya, kehausan kontrol dan dominasi atas segalanya emang sebuah pengejawantahan dari ketidakmampuan manusia dalam mengontrol dirinya sendiri.[]

07 Juni 2008

Televisi

Segmen 1:

Jadi ingat, dulu, waktu Angga pernah sangat nggak suka pada televisi. Bukan, dia bukan seorang Anti-Tivi. Dia suka kok nonton MTV, dan cukup hapal nama-nama VJnya. Yang cantik-cantik aja sih emang. Tapi itu artinya kan dia bukan orang yang segitu ekstrimnya ngebenci tivi, sampai-sampai nggak tau perkembangan dunia sama sekali. Dan itu juga bukan karena ia emang tinggal di sebuah keluarga yang langganan Kompas.

Angga cuma nggak suka dengan 'kebiasaan buruk' televisi dalam mensensor. Kalau apa yang disensor adalah adegan-adegan berbau pornografi, barangkali itu nggak jadi persoalan yang terlalu besar buat Angga. Yang jadi soal baginya adalah ketika sensor-menyensor itu juga dilakukan dalam pemberitaan. Dengan itu televisi telah melakukan korupsi bahkan manipulasi fakta. Dan Angga menyalahkan orang-orang di balik perusahaan-perusahaan media televisi itu yang seakan punya siasat untuk membodohi publik dengan memberikan kebohongan terus menerus.


Saya berpikir saat itu Angga terlalu berlebihan. Angga terlalu ketakutan dan terlalu tidak percaya pada orang lain. Sehingga ia menjadi paranoid.

"Lo boleh deh sebut gue paranoid. Tapi jangan paksa gue untuk percaya sama apa yang lo percaya," kata Angga dulu, padahal saya belum pernah menyebutnya seperti itu.


Segmen 2:

Jadi ingat, dulu, waktu Angga mewanti-wanti agar saya berhati-hati, ketika saya berkata padanya bahwa saya akan bekerja di perusahaan media televisi. Ia mengingatkan supaya saya tidak menjadi sama seperti orang-orang kuno dan konservatif itu, yang selalu ia duga berada di belakang semua perusahaan media televisi.

Saya berjanji padanya untuk mengusahakan perubahan. Tapi ia, masih dengan paranoia itu, berkata: "Iya, tapi hati-hati. Lo nggak akan pernah tau siapa kawan lo, siapa lawan lo. Salah-salah bisa lo yang dieksekusi."

Saya cuma ketawa saat itu. Ketawa karena menganggap Angga masih sama aja. Masih terlalu berlebihan. Dan dia sepertinya nggak terima dengan perlakuan yang didapatnya.

"Yee... malah ketawa. Lo nggak tau sih betapa sucksnya di penjara, atau diculik dan kemudian disiksa ampe mati. Lo nggak tau. Apa lo siap ama semua resiko itu?"

Saya nggak ketawa lagi.


Segmen 3:

Jadi ingat, beberapa bulan lalu di kantor, saya melihat Sugi sedang terlihat sibuk di salah satu bilik. Saya hampiri dia cuma untuk menyapa dan menanyakan kabar. Karena semenjak saya ditempatkan sebagai kameramen program yang lebih banyak melakukan liputan di luar kota, kesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawan kantor lainnya adalah kesempatan yang sangat langka.

Kayaknya waktu itu dia nggak sadar kalau saya udah berdiri di belakangnya. Telunjuk kanannya masih asyik muter-muterin scroll-wheel mouse, sementara matanya masih menatap lurus ke depan, ke arah monitor 14 inch yang sedang menampilkan Wikipedia.

Sebenernya waktu itu saya nggak tega bahkan untuk sekadar manggil namanya. Khawatir bikin dia keganggu, kaget, atau semacamnya. Tapi karena apa yang sedang dia baca di Wikipedia itu bikin saya tertarik, jadi juga saya menyapanya, pake menepuk bahunya segala pula. Dan betul dugaan saya, dia sedikit tersentak.

Untungnya dia langsung tersenyum. Nggak nonjok atau maki-maki saya karena kaget. Sugi emang bukan orang yang seperti itu sih. Dia tipikal pendiam yang banyak senyum. Wajahnya pun seolah dirancang untuk selalu siap tersenyum.

Setelah bertukar kabar, saya langsung nanya mengenai yang tengah ia baca di Wikipedia saat itu. Saya bertanya, apakah Kupas Tuntas (program dimana Sugi ditempatkan pada waktu itu) sedang ingin mengangkat soal Anarkisme? Sebab saat itu dia sedang membaca mengenai Anarkisme. Dia bilang, iya.

Wah, saat itu saya cukup senang. Akhirnya ada juga televisi yang berniat mengembalikan makna anarki pada tempatnya, pikir saya waktu itu. Semenjak semua televisi seolah sepakat menggunakan kata tersebut untuk memaknai tindakan kekerasan atau brutal yang dilakukan sekelompok orang.

Saya bilang sama Sugi waktu itu: bikin yang bagus. Saya cuma bisa berpesan begitu ke Sugi, kayak orang yang mesen nasi goreng nggak pake lama ke penjualnya. Karena saat itu saya nggak punya kapasitas untuk ngelakuin hal yang laen lagi. Saya nggak ditempatkan di program yang memberi kemungkinan untuk ngebahas hal-hal semacam itu. Melainkan di program anak-anak.


Segmen 4:

Beberapa hari lalu saya ketemu Sugi lagi di kantor. Kali ini nggak sedang menggerak-gerakan telunjuk kanannya di atas scroll-wheel mouse. Nggak sedang menatap monitor 14 inch di balik bilik. Malahan, kini dia yang menghampiri saya. Dia menanyai kabar saya, tentunya tanpa lupa tersenyum. Sebagai hadiah atas senyum itu, saya ajak dia untuk makan siang bareng. Dia setuju. Maka berangkatlah kami ke lantai bawah tanah; tempat semacam food-court berada.

Di lift yang sedang bergerak turun, saya membuka obrolan dengan manusia pendiam itu. Saya bertanya, apakah dia masih di program Kupas Tuntas. Dia bilang tidak. Dia bilang sekarang sudah di Redaksi. Lalu saya ingat kalau waktu itu Kupas Tuntas akan membahas soal Anarkisme. Saya tanya padanya, apakah jadi Kuptun melakukannya?

"Jadi tapi cuma tentang masyarakat Saminnya aja."

Lalu Anarkismenya? tanya saya.

"Enggak," jawabnya pendek. Saya kecewa. Saya katakan padanya saya kecewa. Padahal dulu saya udah berharap banyak. Dia hanya tersenyum. Tapi kali ini senyum yang tampak di wajahnya bukan senyum yang selama ini identik dengan dirinya. Itu seperti sebuah senyum... sinis?

"Aku juga heran lho. Padahal Niki Charles, produser Redaksi Sore tau
kan, dia itu dulunya aktivis. Masa dia masih ngegunain kata anarki di setiap berita soal kerusuhan."

***

Petang itu, Video Munarman yang mengenakan Kafiyah berwarna merah itu sedang dipreview oleh orang-orang penting di kantor. Di video itu Munarman menyatakan tidak akan menyerahkan diri sebelum Ahmadiyah dibubarkan. Di depan monitor kecil itu, mereka--ada Kepala Departemen juga di situ--mencermati baik-baik setiap kata yang disampaikan oleh Munarman.

Saya tertarik dengan pernyataan Munarman di video yang berdurasi lumayan panjang itu. Ia dengan lantang menyatakan bahwa ada pihak-pihak imperialis yang mendanai AKKBB. Saat itu saya tidak memikirkan apakah itu merupakan suatu fakta atau bukan. Melainkan yang langsung terpikir oleh saya adalah ternyata FPI tidak sedangkal yang saya kira selama ini, yang hanya bisa maen pukul. Karena ternyata Munarman, individu yang notabene termasuk ke dalam organisasi itu, setidaknya pernah lah menekuri wacana soal imperialisme; meski saya nggak tahu seberapa banyaknya. Baiklah, mungkin nggak adil juga kalau saya menggeneralisir seluruh person di FPI sama seperti Munarman yang (sedikit atau banyak, saya nggak tau) memahami soal imperialisme. Tapi dengan ikut mendengarkan apa yang Munarman sampaikan di video itu, saya jadi tahu bahwa di dalam organ yang saya kira hanya paham bagaimana caranya memecahkan kepala orang itu, ada satu orang yang punya niat untuk mempelajari soalan lain yang lebih luas dari bagaimana caranya memecahkan kepala orang.

Itu nggak bikin saya kemudian jadi mendukung FPI ataupun Munarman sih. Karena saya juga nggak pernah membenarkan cara kekerasan apapun alasannya. Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh untuk memecahkan masalah. Maka memecahkan masalah dengan jalan memecahkan kepala orang lain, saya pikir merupakan suatu bentuk kefrustasian.

“Alaaah! Apaan sih dia? Pake ngomong-ngomong soal anti-zionis segala. Udah, Mbak, kita pakai awal-awalnya aja. Sedikit aja,” saya kenal suara itu. Itu adalah suara dari produsernya Sugi dulu sewaktu masih di program Kupas Tuntas. Saat itu juga saya kepingin sekali menelpon Angga untuk mengatakan: Angga, ternyata dugaanmu tentang televisi yang punya ‘kebiasaan buruk’ itu benar-benar nyata.


Segmen 5:

Tadi malam, saya dan Awan baru dari JMC untuk menjenguk seorang kawan yang terkena DBD. Di dalam perjalanan pulang, di atas Vixion Awan yang dilajukan dengan cukup kencang, saya memanggil namanya. Merasa dipanggil, ia pun mengurangi kecepatan, kemudian membuka kaca helm monyetnya. “Kenapa?” tanyanya.

Saya bertanya padanya, apakah selama ini ia pernah melakukan tugas reporter, menulis naskah. Awan adalah seorang kamerawan. Tapi karena di perusahaan tempat kami bekerja ini menjadi kamerawan bukan alasan bagi seseorang untuk tidak bisa menulis naskah, maka saya pikir mungkin saja Awan pernah menulis naskah.

“Pernah. Kenapa emang?”
“Pernah liputan soal demo yang rusuh gitu nggak?” tanya saya.
“Enggak. Kenapa emang?”
“Oh… Tapi kalo suatu hari kamu meliput demo yang rusuh, apakah kamu akan menggunakan kata anarki untuk ngegambarin kerusuhan itu?” tanya saya lagi.
“Tergantung kerusuhannya. Kalau cuma dorong-dorongan sama polisi… enggak. Tapi kalo sampe ngebakar mobil orang laen, terus nyambit-nyambitin pertokoan, iya, itu anarkis.”

Cukup panjang juga akhirnya dialog yang terjadi di atas Vixion yang sedang melaju itu. Pendeknya, Awan berpendapat bahwa tindakan apapun yang melanggar aturan, itu bisa dikatakan anarkis. Ia mengacu pada kata Anarki yang berasal dari kata A (tidak) dan Archia (Pemerintahan). Tidak ada pemerintahan. Meskipun tidak mengakui adanya pemerintahan tidaklah sama dengan ‘melanggar aturan’, kata saya. Tapi ia berkata, bisa dikaitkan. Caranya begini: kalau kamu melanggar aturan yang dibuat pemerintah, itu kan sama artinya dengan kamu tidak mengakui pemerintah.

Capek. Sebenarnya saya udah capek untuk berdebat soal ini lagi. Tapi beberapa hari terakhir ini saya sedang banyak mengingat Angga. Angga yang pernah mengingatkan supaya saya tidak menjadi sama seperti orang-orang kuno dan konservatif itu, yang selalu ia duga berada di belakang semua perusahaan media televisi. Saya pun mencoba memberikan perlawanan.

“Ya, kalo dikait-kaitkan sih, semua bisa aja…”
“Ya, nggak bisa lah! Nggak semua,” tukas Awan.
“Bisa! Nih ya. Kamu mau nggak, karena kamu saya lihat sebagai orang yang suka memberi pada orang miskin, suka memberikan kekayaan kamu pada mereka, lalu saya sebut kamu komunis?”
“Ah! Itu sih jauh banget…”
“Ya kalo gitu saya juga bisa bilang kalo antara anarki dan melanggar aturan itu jauh banget…”
“Apa hubungannya komunis sama memberi ke orang miskin?”

Saya hanya tertawa dan kemudian enggan meneruskan perdebatan. Merasa bahwa ini semua sangat lucu. Betapa lucunya bisa sampai ada orang-orang yang masih ragu pada definisi sebuah kata bisa mempublikasikan sebuah berita yang berisi kata itu. Dan betapa lucunya kenyataan bahwa kini saya bekerja di perusahaan media, tapi hingga kini saya belum bisa mengubah apapun seperti yang saya janjikan ke Angga dulu; bahkan itu sekadar mengubah ‘kebiasaan buruk’ kawan-kawan yang masih suka serampangan menggunakan kata.[]

___

Bacaan lebih lanjut:
Anarchy (Wikipedia)
Anarkisme (Wikipedia)
Ajaran Samin (Wikipedia)
Masyarakat Samin dan Anarkisme
Revolusi dan Anarki yang Tak Pernah Diajarkan di Sekolah

04 Juni 2008

Para Pemimpi

Seperti biasa, seperti bulan-bulan sebelumnya, di ujung bulan saya baru kembali lagi ke Jakarta. Jakarta masih sama. Masih punya panas sekaligus pengap, lengkap. Tapi hari itu jalanan nggak macet. Mungkin karena masih agak pagi dan hari Minggu pula; masih banyak yang tidur di rumahnya masing-masing sembari mimpi pergi jauh meninggalkan kota yang makin sesak ini. Padahal anak-anak kecil di Desa Mondu, Sumba Timur (desa yang baru aja saya liput) bilang sama saya kalo mereka kepingin datang ke kota ini. Dan pastinya mereka cuma sedikit dari banyak orang di luar sana yang punya mimpi untuk bisa datang ke Jakarta. Aneh.

Satu-satunya yang kelihatan beda pada wajah kota yang udah tua ini adalah adanya tanggul-tanggul beton yang lagi dibangun di kilometer 26-27 jalan tol bandara. Beton-beton tinggi itu tampaknya merupakan bentuk tindaklanjut pemda atas jebolnya tanggul seadanya pada awal Mei kemaren. Mungkin dengan beton, pemda pengen nunjukin kalo kali ini mereka lebih serius kerjanya. Tanggul-tanggul dari bambu kemaren emang keliatan kayak tanggul maenan sih; cuman pake bambu sama tanah. Jadi inget sepupu kecil saya, si Zaidan, yang suka maen-maen tanah bikin rumah-rumahan di depan rumahnya. Mana bisa berdiri rumah yang cuma dibangun dari tanah? Gampang ancur lah. Gampang roboh lah. Ketendang kucing juga rusak. Tapi Zaidan kan anak kecil. Jadi logikanya bisa dimaklumin lah.

Duapuluh hari ditinggalin, ternyata Jakarta nggak banyak berubah. Lagian apa sih yang mau diharapin dari duapuluh hari? Padahal banyak tuh yang mimpi supaya Jakarta jadi lebih baik. Supaya mereka nggak perlu lagi mimpi meninggalkan kota yang semakin sesak itu. Biar ruang mimpinya bisa diisi sama mimpi-mimpi yang laen. Tapi jangankan jadi lebih baik, berubah pun enggak. Oke, berubah dikit sih; sekarang udah ada beton-beton di kilometer 26-27 jalan tol bandara itu…

Orang-orangnya aja masih sama. Masih suka marah-marah. Stress kali ya karena terlalu banyak impiannya yang nggak bisa jadi nyata. Atau justru terlalu sibuk sama mimpi-mimpinya sendiri, sampe-sampe udah nggak punya toleransi lagi sama apa yang nyata. Sehingga ketika kenyataan nggak sesuai sama mimpi mereka, mereka udah males untuk berdialektika sama kenyataan itu dengan cara yang sehat. Mendingan berantem. Mendingan destruktif. Putus asa kali ya?

Baru sehari aja kembali ke Jakarta saya udah nemuin lagi orang-orang kayak gitu. Masuk tivi malah. Mereka lagi mukul-mukulin kepala orang-orang di Monas. Pake kayu lho. Berdarah lho. Jadi inget si John, Si Bolang Nusa Sumba Timur, yang mukul kepala Maxi pake dayung sampe si Maxi nangis. Nggak tau sih kenapa si John tega begitu. Apapun alasannya, mukul kepala orang pake dayung itu nggak bisa dibenerin. Kan bisa mati. Otak ada di situ soalnya. Apakah orang yang mukul kepala orang laen dengan benda keras itu adalah orang yang nggak punya otak, jadi mereka pikir kepala orang laen juga isinya bukan otak, jadi nggak apa-apa dipukul? Tapi kayaknya kenyataan bahwa si John adalah anak kecil yang sekolah di desa terpencil--yang untuk sampe di sekolahnya harus jalan kaki jauh, dan di sekolah belom dapet pelajaran biologi tentang otak--bisa bikin saya sedikit maklumin perbuatan tololnya itu.

Di bis-bis, di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, dari kantor ke rumah, saya juga nemuin orang-orang yang marah-marah. Marah-marah karena ketika ngasih ongkos ke kondektur, mereka disuruh nambahin gopek. Biasanya duaribu jauh-dekat. Kondekturnya juga jadi marah-marah. Sekarang sudah naik, jadi duaribu limaratus. Saya mau marah-marah juga sebenernya, tapi males. Abisnya nggak tau marahnya sebenernya sama siapa. Penumpang yang marah itu juga kali. Marah ke kondektur gara-gara ongkos naek, tapi dalam hatinya sebenernya nggak yakin apakah marahnya emang harus ke kondektur. Kondektur juga gitu; marah ke penumpang gara-gara dimarahin, tapi dalam hati sebenernya kasihan juga sama penumpangnya karena sekarang harus bayar lebih banyak. Padahal gaji mereka juga masih sama aja kali. Mau marah-marah sama pemerintah, tapi takut. Abis pemerintahnya juga suka marah-marah sih. Marah-marahnya nggak langsung sih. Tapi diwakilin sama baton-baton polisi, sama sel-sel penjara yang siap menanti. Ngeri.

Mungkin enggak semua pemimpi itu keren. Kalau nggak punya pengetahuan yang cukup mengenai materi, jadinya kayak nggak serius untuk membangun kenyataan yang baru. Kayak Zaidan yang ngebangun rumah dari tanah.
Kalau nggak tau cara mendialektikakan mimpi-mimpi kita sama kenyataan dengan cara yang sehat, akhirnya cuma jadi pemarah. Pemarah yang suka mukul kepala orang. Kayak Si John yang mukul kepala Maxi. Atau jadi pemarah yang nggak jelas marah sama siapa. Kayak Ipang, sepupu saya yang laen, yang dulu marah-marah ke papanya gara-gara Play Stationnya rusak. Padahal rusaknya itu bukan karena papanya keseringan maen winning eleven. Melainkan karena waktu itu rumah mereka yang di Bekasi listriknya emang suka naik turun. Tapi dulu Ipang masih terlalu kecil untuk bisa mengeja Pe-El-En. Jadinya bisa dimaklumin kalo dia baru bisa marah-marah ke papanya aja.[]