24 April 2007

How Can We Be Friend, Fascist?

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!

dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang!

(Widji Thukul, Bunga & Tembok)



Kunto adalah batu. Sekarang aku menyebutnya begitu. Tapi jauh sebelum itu, aku melihatnya sebagai harimau. Ia bicara dengan auman, terkadang disertai cakar. Begitu cara harimau itu berbicara menyatakan dirinya. Terkadang ia menakutkanku. Namun yang lebih menakutkanku sebenarnya adalah rasa takut yang muncul di dalam diriku. Iya, aku takut ketika aku mulai merasa takut. Sebab seringkali rasa takut membuatku kehilangan kendali atas diriku sendiri dan memungkinkan hal terburuk yang sangat kutakutkan terjadi: marah. Dan bukannya tidak mungkin dengan rasa takut itu aku juga akan menjadi harimau. Aku tidak mau menjadi harimau.

Ia harimau semenjak pertama kali aku mengenalnya. Ia harimau setiap kali menyambangi aku di pagi hari, siang hari, bahkan di dalam mimpi. Ia memang telah sekali mendatangiku lewat mimpi. Sialan. Sefokus itukah aku pada manifestasinya sehingga ia telah mengambil satu tempat di bawah sadarku? Sebenci itukah aku pada eksistensinya? Sebegitu inginnyakah aku membuat ia hilang dari kenyataan?

Sesungguhnya aku ingin berkawan dengan Kunto. Aku ingin kita berdua bisa berbicara dengan bahasa yang sama-sama kita sukai. Walau mungkin untuk menemukan bahasa itu, kita berdua harus melalui satu proses yang panjang. Mencari apa yang masing-masing kita sukai, kita tidak sukai, dan apa yang masing-masing kita takuti. Aku selalu ingin tahu apa yang sebenarnya ia takuti sehingga ia bisa menjadi sebegitu menakutkan.

Aku tidak ingin menjadi menakutkan. Tapi aku tahu, dengan rasa takutku yang masih sering datang ketika aku berhadapan dengannya, bukannya tidak mungkin suatu saat aku akan jadi sama menakutkannya. Aku ingin sekali mengatasi rasa takut ini.

Setiap kita memiliki rasa takut. Dan rasa takut terbesar dimiliki oleh ia yang paling menakutkan. Dengan rasa takut kita bertahan. Dengan rasa takut kita melindungi diri mati-matian: dari kesalahan, dari kegagalan, dari apapun yang bisa membuat kita mati. Kita semua punya ketakutan yang sama pada kematian. Kunto aku yakin juga demikian.

Akhirnya, untuk memastikannya aku bertanya padanya kemarin. Aku bertanya di depan wajahnya mengenai apa sebenarnya yang membuat ia menjadi sedemikian menakutkan. Apa yang sebenarnya ia takutkan. Dan aku kini sudah punya jawabannya;

Kunto takut membuat kesalahan yang bisa membuatnya mati. Kunto takut dunia yang ia jaga dan bentengi akan runtuh. Dan Kunto takut kalau harus memulai semuanya dari awal lagi.

***

Kunto adalah batu. Kunto adalah penakut yang sama seperti diriku. Rasa takut itu mengejawantah batu-batu yang ia bangun sebagai tembok di sekelilingnya untuk melindungi dirinya dari bahaya. Sebenarnya aku berharap tembok itu runtuh. Aku hanya ingin berkawan dengannya. Aku hanya ingin membangun dunia bersamanya. Bukan terus menerus membangun dunia kami masing-masing yang terpisah. Namun Kunto adalah batu. Ia tidak akan mengubah sikapnya, politiknya; karena ia pikir itu yang terbaik dan teraman bagi dirinya.

Sebentar lagi Kunto datang, dan ia mungkin akan tetap harimau. Ia akan tetap berbicara dengan auman, dan mungkin disertai cakar. Ia tidak ingin mengubah caranya meski kini ia sudah tahu aku tidak menyukai cara itu. Ia ingin aku bisa menerima ia yang seperti itu. Tapi ia tidak ingin menerima aku yang seperti ini. Padahal saat ini dunia kami bersinggungan cukup banyak. Sayang sekali. Entah sampai kapan kami harus hidup dengan cara seperti ini.

Sebenarnya aku ingin berkawan dengannya. Setidaknya kami bisa menjadi lawan. Tapi ternyata ia adalah batu. Dan aku tidak mengerti bagaimana caranya berkawan ataupun melawan batu. Aku tidak ingin menjadi batu supaya bisa menjadi kawannya, pun tidak ingin menjadi batu agar bisa melawan kekuatannya. Aku tidak ingin menjadi batu.

Untuk sementara aku cukup memaklumi keinginannya dan ketidakinginannya. Karena Kunto adalah penanam modal di sini. Kunto adalah bossku. Entah sampai kapan.[]

19 April 2007

Revolusi dan Anarki yang Tidak Pernah Diajarkan di Sekolah

Siapa bilang revolusi itu tidak akan pernah ada? Kita semua sedang melakukannya. Revolusi adalah perubahan yang terjadi dengan sangat cepat. Sehingga kadangkala kita tidak menyadari keberlangsungannya. Sama seperti kita yang terkadang tidak menyadari bahwa hingga pada detik ini jantung kita masih berdetak dan memompakan darah ke seluruh pembuluh di dalam tubuh kita dengan kecepatan yang kita sendiri tidak pernah bayangkan. Sama seperti kita yang terkadang tidak menyadari bahwa kita sedang berdiri di atas sebuah planet yang masih terus berrotasi hingga detik ini. Sama seperti kita yang tidak pernah bertanya untuk apa mata kita berkedip. Sama seperti kita yang mungkin belum tahu bahwa di dunia ini ada 5 manusia yang terlahir dalam satu detik, sementara 2 lainnya menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali.

Revolusi yang berhasil adalah revolusi yang anarkis; revolusi yang tidak pernah membutuhkan komando untuk menggerakan semua hal ke dalam satu misi. Ia hanya membutuhkan kesadaran penuh akan andil yang dipunyai oleh seluruh substansi di dalam sistim yang sedang bergerak maju. Tanpa ada sesuatu pun yang diam, setiap hal berkontribusi untuk perubahan yang nyata. Dan sementara ia dianggap suatu kondisi yang kacau takterkendali, anarki justru adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat terelakkan. Seperti batu besar yang menghantam bumi pada suatu ketika dan menewaskan mahluk-mahluk raksasa, yang pada jutaan tahun berikutnya diberi nama “dinosaurus” oleh mahluk-mahluk berakal yang tidak akan pernah ada tanpa didahului oleh kejadian mengenaskan itu. Seperti tsunami yang menewaskan jiwa-jiwa di Aceh, Yogyakarta, dan Pangandaran; karena bumi bergerak untuk memperbaiki dirinya sendiri akibat ulah tangan manusia yang mengganggu keseimbangannya. Seperti kau yang tidak peduli lagi akan amarah bossmu karena pekerjaan belum selesai pada waktu yang telah ditentukan, dan kau memutuskan untuk tidur di kantor karena memang mengantuk akibat telah begadang semalam suntuk demi menyelesaikan pekerjaan itu. Seperti aku yang kentut di tengah-tengah jamuan makan malam antar direksi yang sangat formil.

Tahukah kamu kalau ada keseimbangan yang terganggu apabila kau tidak mengembalikan apa yang sudah kau ambil dalam jumlah yang sama, apabila kau tidak mengeluarkan apa yang sudah kau masukkan dalam ukuran yang setara? Tahukah kamu kalau anarki telah terjadi pada setiap milidetik di atas planet ini di saat ada keseimbangan yang terusik, bahkan di dalam tubuhmu sendiri? Dan tahukah kau bahwa tidur di saat jam kerja dan kentut di sebuah jamuan makan malam yang formil adalah sesuatu yang sama anarkisnya dengan perjuangan para Zapatista di Chiapas atau para insurgen di Papua yang menuntut kembali hak mereka?

Suatu hari nanti, ketika setiap orang sudah menyadari bahwa ia memang bagian dari sebuah revolusi yang terjadi secara berkesinambungan, ketika setiap individu menyadari bahwa ia mempunyai andil yang sama di dalam alam semesta; saat itu tidak akan ada lagi penguasa yang perlu dijatuhkan. Tidak akan ada lagi pemimpin yang dibutuhkan. Yang perlu dilawan adalah sifat-sifat yang membuat substansi-substansi di dalamnya jauh dari kesadaran akan eksistensinya sebagai bagian dari satu sistim yang tanpa sekat. Dan yang perlu memimpin diri kita adalah diri kita sendiri dengan kesadaran akan tanggungjawab dan potensi yang kita sadari sama-sama kita punya.

Suatu hari nanti revolusi bukan lagi sebuah pisau berujung meruncing, yang berusaha ditusukkan pada apapun yang dibenci oleh sipemegang pisau. Ia akan kembali pada wujud utuh sebuah kesadaran universal yang satu dari seluruh elemen yang saling beraksi-reaksi. Dan seperti bumi yang sedang menyeimbangkan diri dengan cara yang kita sebut sebagai “bencana”, kesadaran universal pun sedang menuju ke arah keseimbangan dengan cara-caranya yang kontradiktif. Saat itu tidak ada lagi polarisasi nilai. Yang ada hanyalah null. Tidak adanya kepemilikan berarti telah menjadikan seluruh alam raya ini adalah milik kita semua. Tidak adanya positif dan negatif telah mengembalikan semua sistim dan hukum ke dalam satu sistim dan satu hukum alam semesta yang hanya eksis untuk satu kepentingan: Kosmos. Keteraturan.

Maka dia yang menganggap revolusi adalah sesuatu yang tidak akan pernah ada, berarti dia telah menafikkan takdirnya sebagai bagian dari alam semesta yang terus bergerak. Dia yang menganggap revolusi adalah sebuah lelucon, berarti telah melupakan betapa lebih lucunya badut-badut Ronald Mc Donald yang bisa membuat orang-orang di 62 negara percaya bahwa makanan sampah (junkfood) adalah makanan yang berkelas, atau Mc Morran yang telah membuat berhektar-hektar tanah di papua kehilangan fertilitasnya akibat merkuri.

Dan mereka yang menganggap bahwa revolusi adalah sebuah angan-angan akan masa depan, sesungguhnya mereka tidak akan pernah kemana-mana. Karena revolusi yang mereka tunggu sebenarnya tengah berlangsung, bahkan di dalam diri mereka sendiri. Mereka yang menanti datangnya revolusi sesungguhnya telah menghabiskan waktu yang bisa mereka pergunakan untuk memahami fungsi diri mereka sendiri di dalam keteraturan (Kosmos) dan kontribusi apa yang bisa mereka berikan pada keberlangsungannya.

Sekarang kalau revolusi dan anarki tidak pernah diajarkan di mana-mana–baik itu saat kita masih duduk di bangku sekolah ataupun kuliah–jawabannya hanya satu: kita terlalu takut untuk kehilangan kemapanan yang kita rasa telah punyai. Padahal, apakah kau bisa menyebutkan satu saja hal yang sifatnya statis di alam semesta ini?

Maka apa yang lebih kontra-revolusioner dan tiran daripada apa yang sudah kita perbuat terhadap diri kita sendiri?
__________

Catatan:

1. Tulisan ini pernah di-publish di blog saya terdahulu yang telah hilang disapu 'keniscayaan sistem'.
2. Tulisan ini juga pernah ikut di-republish oleh beberapa kawan di scrapman.wordpress.com dan harisx.wordpress.com; terimakasih kawan-kawan

15 April 2007

Kesepian

"I have climbed highest mountain. I have run through the fields. Only to be with you. Only to be with you. I have run I have crawled. I have scaled these city walls, These city walls. Only to be with you. But I still haven't found what I'm looking for."
―U2, I Still Haven't Found What I'm Looking For



Barangkali benar kita adalah orang-orang yang hanya sekedar berpapasan di tengah jalan. Sebab kalau bukan, bisakah kamu jelaskan, mengapa kita tidak pernah benar-benar terlepas dari rasa kesepian?

Aku paham mengenai apa yang selalu kau keluhkan dari waktu ke waktu; mengenai dunia tempatmu hidup saat ini yang nyaris tidak lagi menyisakan keramah-tamahan bagimu, mengenai kekecewaan-kekecewaan pada kenyataan yang terus menyudutkan mimpi-mimpi indah di dalam benakmu ke sudut-sudut yang tak dapat kau gapai lagi. Aku paham karena aku tak pelak merasakannya juga. Namun, siapa yang tidak? Hidup ini adalah sebuah kesepian yang harus dijalani seumur hidup oleh kita semua yang telah terlahir ke dunia ini.

Apa yang kamu punya ketika kamu baru saja keluar melalui lubang vagina ibumu? Sayang sekali ya kita tidak bisa mengingat dengan baik apa yang terjadi pada hari istimewa itu. Saat tubuh kita dilempar ke sini pertama kalinya. Saat kulit halus kita mulai merasakan sentuhan dari tangan-tangan kasar yang kita bahkan tidak tahu siapa pemiliknya. Saat spektrum cahaya mulai menyerobot masuk ke dalam mata dan kita jadi bisa melihat dunia fisik―juga untuk pertama kalinya. Dan kita cukup terguncang oleh semua hal yang benar-benar baru kita alami pada saat itu. Kita menangis. Siapa yang tidak?

Kurang lebih sembilan bulan lamanya kita berada di dalam satu ruangan yang nyaris lautan. Sembilan bulan kita hidup tidak berbeda seperti ikan[1]. Sembilan bulan. Kurun waktu yang cukup untuk membuat satu individu beradaptasi dengan dunia tempat ia hidup dan merasa mapan. Dan ketika baru saja kamu merasa nyaman, semua itu hilang, berganti dengan dunia baru yang harus kamu tempati. Dunia asing dengan orang-orang asing. Kamu menangis. Kamu tidak berharap perubahan itu terjadi. Setidaknya tidak secepat itu. Tapi apa pernah kamu menanti sebuah revolusi pada saat kamu merasa mapan?

Kamu menangis ketika kamu merasa kecewa pada kenyataan. Kamu marah sejadi-jadinya, walau kamu juga sering gagal untuk menjelaskan kalau saja ada orang yang saat itu bertanya padamu 'kamu marah sama siapa?'. Kamu kesal karena kenyataan telah mengganggu mimpi indahmu yang panjang. Sesungguhnya kamu hanya tidak mengerti bahwa tidak ada satu pun yang mapan di dalam kehidupan. Perubahan-perubahan yang kamu berusaha tolak dengan sekuat tenaga sesungguhnya adalah suatu keniscayaan. Sesuatu yang tak dapat terhindarkan. Semua hanya persoalan 'kapan'. Tapi pernahkah kamu bertanya, kapan kamu akan kehilangan semua keindahan yang sedang kamu rasakan?

Kamu tidak akan menangis, pada saat itu, jika saja kamu sudah paham sebelumnya bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kamu tidak akan menangis, pada saat itu, jika saja kamu sudah mengerti bahwa kamu adalah mahluk yang paling istimewa di alam semesta ini. Kamu adalah manusia. Kamu mempunyai kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan kondisi dan situasi seperti apapun. Buktinya, walau tangisan yang kamu ledakkan waktu baru saja keluar dari rahim ibumu sedemikian dahsyatnya, sampai pada detik ini kamu masih bisa bertahan hidup di dunia ini bukan?

Adaptasi pada dasarnya adalah upaya yang kamu lakukan dalam menciptakan kenyamanan. Aku yakin kamu telah melakukannya. Iya. Kamu melakukannya dalam hampir setiap detik yang kamu lalui. Memang tidak selalu sukses. Gagal terkadang. Tapi ketika itu berhasil, hidup terasa indah. Kenyataan terasa indah. Tapi pernahkah kamu bertanya, kapan kamu akan kehilangan semua keindahan yang sedang kamu rasakan?

Kamu tidak mengenal siapa laki-laki dan atau perempuan yang menyambut kehadiranmu ke dunia ini. Tapi kamu segera merasa nyaman berada di dekat mereka. Sebab mereka memancarkan aura yang hangat dan sangat bersahabat. Mereka memberikanmu makanan. Mereka memberikanmu pakaian. Mereka memberikanmu nama. Dan kamu segera mengenal mereka dengan nama: orangtua. Kamu mulai merasa terbiasa. Kamu mulai beradaptasi dengan kenyataan. Kamu mulai merasa mapan.

Dalam kemapananmu, kau merasa memiliki apa-apa yang ada di dekatmu dan bisa kau jamah. Dalam kemapananmu, kau merasa menjadi raja bagi dunia kecil yang kau jaga. Dalam kemapananmu, tersimpan rasa cemas, pun takut, akan kehilangan semua hal yang kau rasa punya. Kemudian rasa takutmu mengejawantah amarah[2]. (Bayangan) masadepan selalu mengajarkanmu tentang rasanya menjadi kesepian[3]. Masadepan menyadarkanmu bahwa sejatinya kau sedang menjalani sebuah kehidupan sendirian. Masadepan menyadarkan bahwa apapun yang saat ini masih bisa kau nikmati, cepat atau lambat akan raib. Kau menolaknya sekuat tenaga. Kau ingin ini semua: keindahan ini, kenyamanan ini, kemapanan ini; ada untuk selama-selamanya.

Kesadaranmu yang terdalam tahu bahwa itu semua adalah sesuatu yang mustahil. Kau sadar bahwa segalanya akan kembali menjadi nihil. Untuk itu kau mulai mengibur dirimu sendiri dengan berbagai cara. Kau mulai mengisi hidupmu dengan apapun sebanyak-banyaknya. Kau mengisi kekosongan-kekosongan yang jiwamu rasakan dengan mencari teman sebanyak-banyaknya, memasukkan barang ke dalam kereta belanjaanmu sebanyak-banyaknya, bercinta sebanyak-banyaknya, membaca buku sebanyak-banyaknya, pergi ke tempat indah di seluruh dunia sebanyak-banyaknya. Tapi, bisakah kau menjelaskan, mengapa kau tidak pernah benar-benar terlepas dari rasa kesepian?

Saat ini mungkin kehilangan demi kehilangan telah membuatmu terbiasa. Kau tidak lagi menangis ketika kenyataan merenggut mimpi indahmu yang panjang, kenyamananmu, kemapananmu. Kau sudah mulai mengerti pola hidup ini seperti apa. Yakni semua hal datang dan pergi tanpa permisi tanpa peduli suasana hatimu[4]. Kau sudah mampu membendung air mata ketika gelombang revolusi mulai datang lagi dan menghancurkan istana pasir yang telah kau bangun. Tapi apakah memang kau telah benar-benar kuat atau hanya sekadar memalingkan muka?

Kita sedang berpapasan kali ini. Kamu ingin kemana? Aku ingin ke sana. Kamu tidak harus mengikuti langkahku jika ini bukan jalan yang kau kehendaki. Kamu tidak harus pergi ke titik yang aku tuju jika ia bukanlah tujuan yang sedang kau capai. Bukan Haq kita saling memaksa; aku menyeretmu ke jalanku, atau kau menyeretku ke jalanmu. Kita ditakdirkan menjalani hidup sendirian. Kita tak akan bisa menolak untuk merasakan kesepian hidup, menjumpai keterasingan. Jika aku memang tidak memiliki apa-apa semenjak keluar melalui lubang vagina ibu, apakah aku berhak untuk menyebutmu 'perempuanku' dan kemudian menyeret-nyeretmu kemanapun aku mau agar aku tidak merasakan kesepian itu? Aku rasa bukan Haq juga untuk menetapkan diriku sebagai 'lelakimu'.

Bukan berarti ketidaksetiaan. Lagipula untuk apakah kita saling setia ketika kita adalah individu-individu yang mempunyai jalan masing-masing? Lupakanlah kesetiaanmu padaku. Kesetiaanmu padaku atau pada dunia hanya akan melahirkan kekecewaan-kekecewaan baru. Karena memang tak ada yang benar-benar diam selama semesta ini masih bergerak. Karena memang bisa saja secara tiba-tiba salah satu dari kita harus berbelok pada satu titik di mana itu akan memberi jarak pada kita berdua.

Tidak usah setia padaku. Setialah pada semangat revolusioner untuk menjadi lebih baik[5]. Jika berjalan bersamaku membuatmu merasa semakin menjauh dari tujuanmu, menjauhkanmu dari diri sendiri, membuat dirimu semakin hilang dan lupa pada tujuanmu; mungkin memang inilah waktunya kita untuk berpisah. Tidak perlu ragu. Orang yang setia tidak pernah ragu pada tujuannya.

Kita bisa berpisah di sini. Aku tahu kau tidak akan menangis kali ini. Tapi semoga tidak turunnya bulir-bulir air mata itu bukan karena penghiburan-penghiburan lain yang juga sama fananya denganku. Melainkan karena kau memang sudah mengerti bahwa hidup memang sepi, bahwa kau memang sendirian di dalam hidup ini, dan bahwa kesepian hidup adalah sesuatu yang niscaya. Sehingga kau telah mampu menghadapi dan menerima segala sesuatu yang takterhindarkan. Bukannya terus menerus menghibur diri dengan berbagai cara dan menolak kenyataan yang hanya akan membuatmu tidak beranjak kemana-mana.

Kita berpisah di sini. Atau kita berpisah nanti. Itu tidak ada bedanya. Semua hanya persoalan 'kapan'. Kita adalah orang-orang yang hanya sekedar berpapasan di tengah perjalanan.[]
_______

Catatan Kaki:

[1] Menyadur dari novel karya Kang Jamal, Fetussaga, halaman 6
[2] Ucapan Master Yoda dalam Star Wars
[3] "The future teaches you to be alone"; baris pertama lagu If You Tolerate This Your Children Will Be Next-nya Manic Street Preachers
[4] Mengadopsi salah satu baris dalam lagu Letto, Sampai Nanti Sampai Mati
[5] Di dalam konsep dialektika Hegel tidak mempercayai adanya satu kebenaran yang absolut. Setiap tesis akan selalu mempunyai anti-tesis, sebelum melahirkan sintesis. Yang absolut dalam berdialektika adalah semangat revolusionernya untuk terus menemukan yang terbaik

11 April 2007

A City Walker

Sedikitnya ada dua orang teman yang beranggapan bahwa pilihan saya untuk berjalan kaki adalah karena alasan tidak punya uang. Mereka orang-orang baik. Mereka sayang pada saya. Mereka selalu bertanya, "masih punya duit nggak?" Saya bilang masih. saya tidak bohong.

Akhir-akhir ini saya memang lebih banyak berjalan kaki. Saya suka dengan kelelahan yang saya rasakan di tengah-tengah perjalanan. Saya suka dengan keringat yang membasahi kaos. Saya suka dengan jalanan yang tidak pernah berekspektasi pada saya; kapanpun saya membutuhkannya ia ada, dan kapanpun saya tidak membutuhkannya ia tidak menunggu saya.

Ini semua berawal dari keinginan saya untuk mengusir mood buruk pada suatu hari. Saat itu saya sudah membuat semacam janji pada seorang teman untuk singgah di rumahnya sepulang saya kerja. Saya tidak ingin tiba di depan pintu rumahnya dengan wajah yang terlihat murung. Saya memang tidak pandai menyembunyikan perasaan. Semua orang pasti tahu kapan mood saya sedang baik dan kapan tidak hanya dengan melihat wajah saya. Dan sayangnya, mood saya akan semakin memburuk apabila ada yang bertanya, "lo lagi ada masalah apa sih?" Sial. Saya sebetulnya tidak ingin dunia selalu tahu apa yang sedang saya alami. Tapi saya sering gagal untuk menutupinya. Kegagalan itulah yang pada akhirnya selalu membuat saya merasa belum kuat dalam menghadapi persoalan hidup, sehingga masih harus melibatkan orang lain dalam masalah saya.

Hari itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi mengumbar persoalan personal saya pada siapapun. Saya ingin ketika tiba di rumah teman saya itu, ia hanya melihat keceriaan saya. Tapi saya juga tidak suka munafik. Iya, menutup-nutupi kesedihan dan berpura-pura ceria buat saya juga tidak sehat. Dan siapa yang bisa menyangka dengan memutuskan berjalan kaki dari kantor saya ke rumah teman pada malam itu membuat saya menemukan formula untuk memperbaiki mood.

Ternyata berjalan kaki membuat saya menemukan beberapa hal. Saya menemukan rasa lelah. Saya menemukan rasa nyeri otot. Saya menemukan tubuh saya bercucur peluh. Pada saat-saat seperti itu terkadang datang perasaan mengasihani diri sendiri karena dari ratusan orang yang saya temui di jalanan, tidak ada satupun orang yang mengenal saya. Datang keinginan-keinginan untuk menyudahi semuanya dengan segera menyetop kendaraan umum. Tapi ternyata keinginan itu bisa terhapus dengan pikiran:

Alah! Kenyataan emang kayak gini kaliii... sedih, sepi... Siapa sih yang nggak ngerasain sedih? Siapa sih yang nggak ngerasain kesepian? Semua orang ngerasain itu. Hidup nyata itu emang sepi dan sedih. Semua orang juga tau. Kamu terlempar ke dalam hidup ini dengan konsekwensi-konsekwensi itu semua. Kamu nggak akan pernah bisa bahagia di manapun atau sama siapapun kalau kamu nggak bisa bahagia sama diri kamu sendiri, kalau kamu nggak bisa bahagia dengan kesepianmu. Apa sih yang kamu miliki dalam hidup ini? Kamu nggak pernah memiliki apa-apa. Orangtua, keluarga, temen, kekasih ... itu semua dateng dan pergi. Mereka nggak bisa selalu ada buat kamu. Kamu juga nggak harus selalu ada buat mereka. Karena kamu dan mereka emang harus ngebangun kehidupan masing-masing. Kamu nggak pernah bener-bener memiliki mereka, sebaliknya mereka nggak pernah memiliki kamu. Kita semua orang merdeka, sebelum kita mengenal kepemilikan. Hidup itu nggak keras. Jakarta nggak keras. Jakarta ya kayak gini ini. Kalo kamu emang nggak kuat, akuin aja kalo kamu nggak kuat. Jangan nyalahin ruang hidupmu yang terlalu keras. Mengakui dirimu itu adalah suatu cara untuk kenal ama diri sendiri. Kamu tau apa yang kamu bisa, apa yang enggak. Kalo kamu belom kenal ama diri sendiri, nggak usah ngaku kamu kenal sama orang laen. Coba urus diri kamu sendiri dulu. Karena itu satu-satunya yang bener-bener kamu punya. Bukan dunia ini. Bukan orang-orang di dalamnya. Bukan apapun. Rebut kembali apa yang selama ini hilang: dirimu.

Dan saya berjalan terus hingga tiba di Condet. Pikiran-pikiran seperti itu membuat saya jadi tidak perlu untuk menutupi kesedihan di hadapan teman saya. Karena ketika saya tiba di rumahnya, kesedihan itu memang sudah reda. Saya merasa bahwa membesar-besarkan perasaan sedih atau kesepian adalah sesuatu yang konyol. Sebab itu adalah sesuatu yang wajar. Semua orang merasakannya. Justru kebahagiaanlah sesuatu yang istimewa dalam hidup. Kebahagiaan adalah sesuatu yang sering orang remehkan. Seketika saya merasa salut dengan orang-orang yang bisa menyimpan air matanya. Saya salut dengan mereka yang menangis justru ketika merasa bahagia. Itu tidak mudah. Karena saya mungkin masih termasuk mereka yang suka mengasihani diri sendiri.


***

Semalam saya berjalan lagi. Tidak sejauh jarak Cawang ke Condet. Saya memang sudah lumayan mengenal diri saya sendiri. Saya sudah tahu, apabila saya pernah menempuh jarak yang lebih jauh, maka saya bisa menempuh jarak yang lebih dekat. Kaki saya dengan suatu cara sudah bisa mengira-ngira jarak.

Semalam saya mampir ke tempat tinggal Fitri. Saya hanya ingin mengatakan satu kalimat: "I'm a City Walker." Hahaha. Konyol. Bukan, bukan itu yang utama. Sebetulnya saya hanya kangen sama dia. Tapi ternyata sampai di sana saya disambut dengan pertanyaan: 'Kok kamu bau sih?'.

Iya. Inilah kenyataan yang sering orang-orang lari daripadanya. Bau, capek, dan sakit. Kita sering lari dari itu semua dan memilih untuk menutupinya dengan parfum, kendaraan, make-up. Kita manusia. Kita punya pori-pori. Kita punya keringat. Kita punya bau. Apabila kita terus menerus lari dari diri sendiri, kapan kita berkenalan dengannya?

02 April 2007

Sampai Kapan Kita Berdialektika?

Tempo hari aku masih ceria. Ia ada di sana. Kami memuji-muji langit senja bersama, dan berkata 'senja akhir-akhir ini demikian memesona'. Hatiku berbisik, 'ini semua sempurna, karena kau ada di sini'. Sesekali jemari mungilnya menggelitiki perutku yang buncit dan aku pun tertawa. Bahagia. Tapi bukan hari ini.

Tempo hari aku masih ceria. Ia belum lagi ada di sana. Aku dan keluarga menikmati senja di Pantai Marina. Aku dan adek membangun sebuah istana. Sebelumnya istana itu tak ada. Kami penciptanya. Dalam perjalanan pulang aku cemas, karena aku tahu ombak akan membuat istana itu kembali tiada. Tapi Ayah membelikanku campina. Dan secepat itu aku mampu kembali ceria. Tapi bukan hari ini.

Tempo hari aku belum lagi ada di sini. Entah di mana. Barangkali saat itu Ayah dan Ibu sedang mempersiapkan sebuah nama. Mungkin sedang memuji-muji langit senja berdua. Atau bahkan belum lagi bersua dan masih sibuk menyelesaikan pe-er matematika. Tapi bukan hari ini.

Hari ini aku melihat Ayah, Ibu, dan adekku masih ada. Mereka semua memang semakin menua. Rupa mereka tak lagi sama. Tapi mereka masih punya raga. Ruap-ruap keringat yang khas masih bisa kucium dari pori-pori tubuh mereka. Tapi belum tentu hari esok.

Hari ini juga aku tak merasakan gelitikan di perutku yang buncit oleh tangan-tangan mungil yang kusuka. Senja hari ini adalah senja yang kulalui dengan menyusuri jalan-jalan ibukota sendirian dengan perasaan belum lagi terbiasa. Tapi belum tentu hari esok.

Hari ini aku masih menapaki dunia. Mataku masih terbuka dan menangkapi semua citra. Jantungku masih berdegup seolah menghitung mundur hingga saat yang tak pernah kuduga. Tapi belum tentu hari esok.

Tapi ... tempo hari, hari ini, dan hari esok aku adalah seorang pembelajar yang dalam proses untuk menjadi lebih baik. Huh, ucapan yang klise dari mulut seorang manusia. Tapi entah kenapa itu tak semudah ketika terucap. Iyah. Mungkin benar bahwa 'ada kedalaman yang tak bisa kuselami, ada ketinggian yang tak bisa kulintasi'. Mengaku memang satu hal yang paling berat. Padahal dengan mengaku aku bisa mengenali diri sendiri. Apa yang aku bisa dan apa yang tak. Dan dengan mengenal diri sendiri aku bisa mengenal siapa yang maha bisa. Mengakulah hei aku! Mengaku! Asyhadu anlaa... (Ya ampun beratnya).


Tempo hari aku berkata, 'mungkin ini tulisan terakhirku di sini'. Tapi bukan hari ini.