16 Desember 2006

SETELAH SEKIAN LAMA

Kawan, semoga kamu memang baik-baik saja sekarang. Aku tahu kamu manusia paling-nihil dari sekian banyak yang pernah kukenal sampai saat ini. Aku tidak menemukan perbedaan dalam nada suaramu sedikit pun saat kita sempat berbicara lewat saluran telepon semalam. Kamu masih bisa tertawa dan sedikit melucu seperti biasanya. Karena itu sebenarnya aku juga tidak tahu apakah masih ada hal yang bisa membuatmu sedih. Tapi―tetap saja―menurutku bentuk tekanan yang baru saja kamu terima semacam itu rasanya memang membutuhkan ketahanan yang besar. Entahlah. Mungkin aku egois, atau barangkali terlalu narsis, karena merefleksikan apa yang baru saja terjadi padamu ke dalam diriku sendiri saat ini. Iya, aku memang sedang merasa tidak mempunyai ketahanan lebih selain untuk sekadar bertahan hidup saat ini. Maka maaf saja kalau saat ini aku jadi terkesan agak meragukan ketahananmu.

Salah seorang kawanku di sini semalam bercerita. Lewat layar kaca, ia menyaksikan kamu dan kawan-kawanmu melakukan kontak fisik dengan aparat dan masyarakat. Dan ia bilang ada dua orang yang dibawa. Media telah berbohong lagi ya? Kamu mengatakan padaku sedikitnya ada sembilan. Tentu aku masih lebih memilih untuk mempercayaimu.

Terus terang aku agak iri padamu. Bukan. Aku bukannya sedang menganggap apa yang baru saja kamu alami sebagai sesuatu yang heroik. Walau sebenarnya aku juga tidak gentar apabila memang harus diseret ke tempat dimana kamu dan kawan-kawanmu semalam menginap. Apalagi untuk sesuatu yang cukup prinsipil seperti itu. Melainkan, aku agak iri karena melihatmu masih punya banyak kesenangan yang bisa kamu rasakan.

Berdiskusi di Ultimus bersama orang-orang yang datang dengan antusiasme beragam tentu sungguh menyenangkan. Peduli setan apapun itu yang dibicarakan. Aku tidak mengerti mengapa mereka tidak bisa melihat berdiskusi sebagai semata kegiatan bersenang-senang yang mungkin tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang di Dufan. Sehingga mereka tidak perlu repot-repot mengerahkan orang-orang untuk merusak kesenangan yang malam itu sedang kalian rasakan sama-sama. Karena tidak ada yang pernah suka kalau kesenangannya diusik, bukan?

Tapi, kawan, mungkin memang ada baiknya aku tidak berada di sana malam itu. Karena aku tahu masih ada beberapa hal yang terlebih dahulu harus kubenahi sebelum aku bisa kembali bersenang-senang bersama kamu dan juga kawan-kawan yang lain. Barangkali kalau aku hadir malam itu, aku tidak akan benar-benar ada di sana. Pikiranku yang kumaksud. Pasti dalam beberapa kesempatan kamu akan melihat kekosongan di mataku. Yang akhirnya aku akan melewatkan poin-poin yang barangkali memang pantas untuk direkam dalam ingatan.

Aku memang merasa telah melewatkan waktu sebegitu banyak dengan berdiam di satu titik. Walau sebetulnya aku setuju kalau tidak pernah ada sesuatu yang akan menjadi sia-sia. Sekian waktu yang hanya kulewatkan dengan berdiam diri seperti kemarin-kemarin, akhirnya telah bisa kulihat sebagai suatu kesempatan untukku berkontemplasi dan interospeksi jauh lebih banyak. Iya, aku bisa merasakan beberapa perubahan signifikan telah terjadi di dalam diriku. Tapi aku tahu, kalau aku memang mau untuk bisa memahami persoalan global saat ini, ada banyak hal yang harus kupelajari untuk membuatku bisa berdiri sejajar denganmu. Dan aku memang ingin sesegera mungkin mengejar ketertinggalan itu. Ah, aku malu kalau harus mengakui baru sampai mana aku belajar sejak terakhir kali kita bertemu di Jakarta. Sedangkan diskusi kemarin yang akhirnya berujung chaos itu pasti begitu kaya dengan wacana-wacana baru maupun lama.

Begitu inginnya aku mengejar ketertinggalan setelah sekian lama hanya bisa menyaksikan kamu dan kawan lainnya terus melangkah. Tidak perlu berlari memang. Seperti yang kawanku ucapkan padaku beberapa hari yang lalu, “semua orang tumbuh, seperti pohon, tidak harus tergesa-gesa.” Dan menurutku sudah waktunya sekarang aku menemukan kesenangan lain. Rasanya itu cukup efektif untuk membuatku melepaskan apa-apa yang selama ini membuatku tidak pernah kemana-mana. Bukan pelarian. Tapi semacam cara untuk mengalihkan diri secara perlahan-lahan dari mengurusi satu hal saja kepada hal-hal lain yang barangkali sebenarnya memang lebih menarik untuk dilakukan. Sebab juga mulai tidak menyenangkan berada di tempat yang sama terus-menerus. Terlebih lagi di setiap sudut tempat ini terdapat serpihan-sepihan dari masa lalu yang membuatku kesulitan untuk melihat ke arah lain selain ke belakang. Aku ingin pindah. Hijrah.

Eh iya, aku ingin meluruskan: Aku tidak iri dengan seberapa jauh jarak yang sudah kamu tempuh. Aku tidak iri dengan seberapa terkonsepnya sudah ide-ide yang ada di dalam kepalamu kini. Seperti yang tadi sebenarnya sudah kubilang, aku hanya agak iri melihatmu yang masih punya banyak kesenangan. Bahkan rasanya kamu juga sudah bisa menganggap keterpaksaanmu mendekam satu hari satu malam di tempat terkutuk itu sebagai suatu kesenangan tersendiri. Walau aku juga tidak tahu apakah kamu sempat diintimidasi secara fisik atau tidak. Tapi, kalaupun iya, toh semalam kamu masih bisa tertawa. Itu bisa jadi bukti bahwa kamu memang sedang bersenang-senang dengan itu semua. Dan itu juga yang menjadi alasanku untuk bisa kembali bernafas lega sekarang.

Mungkin, sebelum bisa menjadi seperti ini, kamu dulu memang sudah pernah berada di fase yang sama denganku sekarang. Fase dimana kamu merasa menjadi nihil sebagai sesuatu yang tidak mudah. Makanya aku pikir, suatu hari aku akan berada di fase kamu berada sekarang. Fase dimana aku bisa memandang tragedi sebagai suatu lelucon yang lebih enak untuk ditertawakan. Barangkali kamu masih ingat pernah berkata padaku waktu itu, ‘orang justru harusnya bisa menemukan hal yang sama sekali baru setelah ia kehilangan semuanya’. Dan rasanya aku telah memulai satu langkah kecil.

Iya. Semalam aku sudah mampu tertawa lepas bersama dua orang kawan. Duduk berjam-jam berbincang tanpa menyadari sudah bergelas-gelas teh manis kutandas habis. Saat ini aku memang sedang lebih tertarik untuk membicangkan soalan-soalan personal. Tapi bukannya aku sudah sama sekali tidak ingin lagi untuk berdiskusi soalan sosial seperti yang pernah kita lakukan dulu. Mungkin tidak sekarang. Nanti. Kalau aku sudah mengejar ketertinggalanku. Mungkin bukan lagi di Ultimus. Entah di mana. Hei, omong-omong, benar ya tempat itu sudah tidak ada lagi?[]


Depok, 16 Desember 2006
4:10 WIB

1 tanggapan:

Unknown mengatakan...

karena mungkin setiap orang bosan untuk berada di satu titik terlalu lama, semisal perasaan nihil itu sendiri. dan penderitaan tak lebih dari peristiwa menyenangkan yang mengakrabi kita setiap hari.