tag:blogger.com,1999:blog-13169409661149822262024-03-07T13:46:27.152+07:00Dalam Diamjaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.comBlogger44125tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-34241648540939955292009-11-07T09:56:00.004+07:002009-11-07T10:03:19.361+07:00Mereka yang Menginspirasi Saya Hari IniJika ada orang yang hari ini mewawancara saya, dan mengajukan pertanyaan seperti ini; "Siapa orang yang menginspirasi kamu hari ini?" - maka inilah jawaban saya. Ada dua orang:<br /><div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"><div><br /><b>1. Bruce Dickinson - Vokalis Iron Maiden</b><br /></div><div class="clear_left"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCG4V6Dy6h7xHXk8ni9JpPhRbE29URBqTL-OTq4C4of5lYo6SENNSBpBnZKE9QQKR8ETDafI75dJXuxk6RkNMKRNigDKBPsq7AWiObHT7Y20PqwcSD9mavZKmGdRqml436htwGI47TLyo/s1600-h/220px-Bruce_Dickinson_2008.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 213px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCG4V6Dy6h7xHXk8ni9JpPhRbE29URBqTL-OTq4C4of5lYo6SENNSBpBnZKE9QQKR8ETDafI75dJXuxk6RkNMKRNigDKBPsq7AWiObHT7Y20PqwcSD9mavZKmGdRqml436htwGI47TLyo/s320/220px-Bruce_Dickinson_2008.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401191248873774306" border="0" /></a>Kenapa? Usia dia sekarang sudah melewati setengah abad, 51 tahun. Tapi tidak tampak pada dirinya ada tanda-tanda akan memperlambat ritme hidupnya, semangat hidupnya, dan antusiasmenya terhadap hidup. Itu terlihat dari bagaimana dia benar-benar menghayati profesinya sebagai vokalis sebuah band heavy metal.<br /><br />Menonton Flight 666--film Dokumenter tentang perjalanan band Iron Maiden dalam tur Somewhere Back In Time tahun 2008 lalu--saya tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara energi Bruce pada video tersebut dengan energinya di 'Live After Death' video live Iron Maiden rilisan tahun 1985. Ditambah lagi pada tur tahun 2008 itu, Bruce Dickinson adalah pilot pesawat yang menjadi alat transportasi Iron Maiden sepanjang tur. Bisakah kamu bayangkan seorang laki-laki berusia 51 tahun menerbangkan sebuah Boeing 757, mendaratkannya dengan mulus, untuk kemudian tampil di hadapan puluhan ribu penonton dengan energi yang sangat prima--dan kemudian menerbangkannya kembali untuk menuju puluhan ribu penonton lain yang menantinya dengan ekspektasi tinggi di negara-negara yang lain? Luar biasa.<br /><br />>> <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Bruce_Dickinson" onmousedown="'UntrustedLink.bootstrap($(this)," target="_blank" rel="nofollow"><span>http://en.wikipedia.org/wi</span><wbr><span class="word_break"></span>ki/Bruce_Dickinson</a><br /><br /><br /><b>2. Sam Dunn - Sutradara (Metal: A Headbanger's Journey, Global Metal, dan Flight 666)</b><br /></div><div class="clear_left"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9dFfA2R4N4zOMEcUcbj08Rm5fY64YZatVMD8Euujb0bngvkDSa_cBt9mCsY5LjRqfY43tin_4zzpcKt4SBCn8C8Y0Dpn1htUiVpYSZ_G59uY7vnPfDWbbcTwJ24qe6vwMb3OkmxGuZCs/s1600-h/220px-Sam_Dunn_in_2005.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 213px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9dFfA2R4N4zOMEcUcbj08Rm5fY64YZatVMD8Euujb0bngvkDSa_cBt9mCsY5LjRqfY43tin_4zzpcKt4SBCn8C8Y0Dpn1htUiVpYSZ_G59uY7vnPfDWbbcTwJ24qe6vwMb3OkmxGuZCs/s320/220px-Sam_Dunn_in_2005.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401191503125986578" border="0" /></a>Kenapa? Setidaknya saya sudah menonton dua dokumenter garapan Sam Dunn. Global Metal dan Flight 666--karyanya yang pertama akan segera saya cari. Dan setiap kali saya melihat karyanya, saya selalu menemukan suatu cara penyampaian dokumenter yang berbeda dengan dokumenter-dokumenter lain yang pernah saya tonton. Mungkin karena ia memiliki sebuah selera musik yang sama dengan saya, sehingga gaya komunikasi yang ia gunakan (baik dalam narasi maupun dalam visual) terasa akrab di hati saya. Seperti: tidak formal, tidak kaku, atau tidak mainstream--namun bukan berarti tidak serius dan tidak cerdas! Sam Dunn justru bisa merekam hal-hal subtil yang jarang bisa direkam oleh kamera para kamerawan umumnya. Seperti gestur-gestur orang di suatu negara, untuk kemudian menjadi aspek yang memperkuat narasi yang ia buat dalam menceritakan bagaimana penerimaan orang di daerah itu terhadap sesuatu yang asing. Wah! Itu sesuatu yang abstrak dan tidak mudah untuk divisualkan sebenarnya. Tapi Sam Dunn bisa! Menurut saya dia adalah orang yang memiliki sensitivitas tinggi dan juga ketabahan dan kesabaran dalam mempelajari realitas dari subjek yang sedang ia dokumentasikan.<br /><br />Ketabahan itu juga terlihat (pada 'Global Metal') dari cukup banyaknya ia bisa menembus narasumber-narasumber penting dan kompeten di bidangnya untuk ia wawancarai. Dan itu terlihat lebih luar biasa lagi sebab para narasumber penting itu adalah personel band metal yang sudah terkenal, seperti para personil Metallica, Slayer, atau Iron Maiden.<br /><br />Sam Dunn juga menyajikan dokumenter dengan cara yang saya sebut dengan 'humble-style'. Ia tidak seperti sedang mengajari kita sesuatu. Melainkan mengajak penontonnya untuk menyelediki dan mencari jawaban atau pembuktian sama-sama atas suatu pertanyaan, premis, dan asumsi. Ini satu lagi nilai lebih Sam Dunn yang membuat saya kagum padanya.<br /><br />Dari artikel-artikel yang saya baca di internet, Sam Dunn mengalami banyak kesulitan dalam pembuatan film Flight 666. Yang mana itu merupakan konsep dan ide Sam Dunn untuk mendokumentasikan perjalanan band favoritnya tersebut. Ia mendapatkan banyak halangan; seperti dari pihak bandara ketika ia masuk membawa kamera yang menyala ke area landasan (insiden ini terekam dengan baik di film), dan bahkan dari personel Iron Maiden sendiri yang kadang menolak untuk didekati. Tapi toh akhirnya film ini rampung dan meraih penghargaan di festival film SXSW di Austin, Texas, dalam nominasi “24 Beats Per Second” tahun 2009. Kamu batu, Sam Dunn! (You Rock, Sam Dunn!) :-D<br /><br />>> <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Sam_Dunn" onmousedown="'UntrustedLink.bootstrap($(this)," target="_blank" rel="nofollow"><span>http://en.wikipedia.org/wi</span><wbr><span class="word_break"></span>ki/Sam_Dunn</a></div></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-79648719009502523962009-05-07T10:38:00.004+07:002009-05-07T10:50:11.488+07:00Gorgom<div style="text-align: justify;"><span style="font-family:arial;">Awalnya kedatangan saya ke situ adalah dengan membawa keinginan untuk melihat pahlawan bertopeng; entah kamen rider atau power rangers. Penasaran juga ingin melihat langsung orang-orang berpakaian <span style="font-style: italic;">glossy</span> berwarna <span style="font-style: italic;">fancy</span> itu beraksi seperti di tv, meski tentu saja tanpa <span style="font-style: italic;">special-effect</span> api. Awalnya tangan saya sudah gatal untuk merekam setiap detil aksi sang pahlawan mengalahkan monster dengan kamera video yang saya bawa. Tapi pada titik itu antusiasme saya telah merosot. Kini saya jadi lebih ingin melihat mbak-mbak penjual kopi keliling berjalan lenggak-lenggok bak model cat walk. Ini karena anak-anak muda dari komunitas tokusatsu itu telah <span style="font-style: italic;">ngaret</span> dari waktu yang telah kami sama-sama sepakati sebelumnya, jam duabelas. Dan kini sudah hampir jam dua. Saya letakkan kamera di trotoar dan mulai mengedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri, mencoba mendeteksi eksistensi mbak-mbak penjual kopi dan pop mi keliling.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Nihil.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Aneh, pikir saya. Biasanya di Parkir Timur ini selalu saja ada satu, atau dua orang, penjual kopi yang rajin menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang terlihat sedang duduk-duduk di daerah jajahan mereka. Tapi siang itu mengapa jadi sulit begini untuk menemukan satu saja. Yang dari tadi bisa saya lihat hanyalah mobil-mobil mondar-mandir di sana dengan kecepatan rendah; terkadang berhenti mendadak; terkadang pula mundur, untuk kemudian maju lagi. Mereka pasti sedang belajar mobil, saya bergumam sendiri.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Padahal dari istora terdengar sedang ada acara. Entah acara apa. Sepertinya acara pertemuan organisasi. Karena di dekat tempat saya duduk ada dua buah bis besar yang terpasang spanduk besar sedang terparkir. Orang-orangnya sudah masuk ke istora sejak tadi. Tapi aneh, tak ada satu pun penjual kopi keliling yang terlihat. Padahal biasanya mereka selalu memanfaatkan momen-momen keramaian seperti ini untuk berjualan.Yah, kalaupun peserta pertemuan itu memang sudah mendapat jatah kopi di dalam istora, minimal kan ada beberapa sopir dan kondektur bis yang butuh kopi atau pop mi mereka sebagai teman membunuh waktu. Seperti juga kami yang sedang menunggu komunitas tokusatsu itu.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Saya lihat reporter saya sudah mengambil lapak di samping pagar istora untuk berbaring. Driver saya juga tak ubahnya. Saya jadi berkata pada diri saya sendiri: jangan memilih kostum kamen rider jika akan melakukan kencan pertama. Itu akan membuat pacarmu bosan menunggu.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Saya buka pintu mobil, dan duduk di bangku sopir. Saya hidupkan mesin, dan sempat meneliti sebentar bahwa driver serta reporter saya tidak terganggu dengan suara mesin mobil ini. Sembari memasukkan gigi mundur, saya melihat ke belakang melalui semua kaca spion yang dipunyai avanza ini. Saat itu saya lihat seorang berperawakan kurus, hitam, dan berwajah agak sangar menghampiri. Saya bersiap untuk membuka jendela dan menjelaskan bahwa saya tidak akan kemana-mana; hanya ingin belajar mobil. Tapi orang sangar itu tidak berjalan mendekati saya, malahan mengilang dari frame spion avanza. Kemana dia? Entah. Maka saya mundurkan saja mobil ini. Gugup. Karena memang sudah lama juga semenjak terakhir saya mengemudikan mobil.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Mundur berhasil saya lakukan. Sekarang adalah belajar maju. Saya pindahkan persneling ke gigi satu. Mulus. Mobil bisa berjalan. Ternyata saya belum benar-benar lupa caranya menyetir mobil. Puas dengan kenyataan itu, saya ingin segera parkirkan lagi saja mobil ini. Tapi tiba-tiba orang sangar tadi muncul entah dari mana. Aneh juga orang ini. Menghilang tiba-tiba, muncul tiba-tiba. Seperti Gorgom di Kamen Rider Black saja. Dan kini dia sedang berdiri di depan mobil saya seperti monster menghadang belalang tempur. Saya berhenti dan membuka jendela.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">"Lagi belajar ya, Mas?" kata orang itu.</span><br /><span style="font-family:arial;">"Ya. Kenapa?"</span><br /><span style="font-family:arial;">"Gini ya, Mas. Orang-orang di sini kalau belajar mobil biasanya ada pengertiannya lah sama kita-kita di sini."</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Saya mulai bisa mendefinisikan orang ini. Dia bukan tukang parkir seperti yang saya duga sebelumnya. Dia adalah preman yang suka minta jatah pada orang-orang yang belajar mobil di sini.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">"Gini ya, Mas. Saya ini cuma iseng aja, sembari nunggu temen saya ambil aja ini mobil buat belajar. Saya mau liputan, Mas," kata saya.</span><br /><span style="font-family:arial;">"Ya, tapi kalau belajar orang-orang di sini biasanya ada pengertiannya lah sama kita-kita di sini," ujar dia seperti mengulang kalimat sebelumnya.</span><br /><span style="font-family:arial;">"Ya, ya, ya. Nanti lah!" kata saya sembari menutup jendela.</span><br /><span style="font-family:arial;">"Ya, santai aja!!!" suaranya terdengar meski jendela sudah tertutup rapat.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Mobil saya jalankan lagi. "Rese!"</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Brak! Saya keluar dari mobil yang sudah saya parkir di tempat awal. Saya ambil kamera saya yang tadi saya letakkan di trotoar. Saya kesal pada orang itu. Ya, saya selalu kesal pada orang-orang seperti dia yang mengandalkan wajah sangarnya untuk memeras orang-orang. Saya ingin rekam dia dari jarak dekat dan memaksanya membuat pengakuan bahwa dia adalah pemalak. Saya tahu, ini bukan sesuatu yang bijak. Tapi emosi saya pada waktu itu sudah memuncak. Saya cari dia, tapi dia sudah menghilang lagi seperti Gorgom. Lalu saya kembali pada reporter dan driver saya. Menceritakan kejadian barusan pada mereka. Driver saya hanya menertawai saya. Ini sudah kali kedua dia menertawai saya atas kegagalan saya menahan emosi.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu datang juga. Bukan kamen rider. Melainkan penjual kopi. Lalu saya bertanya, kenapa baru muncul?</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">"Males, Mas, kalo lagi ada acara. Tempat ini dikuasain sama ambon-ambon. Mereka suka ngutang sama kita. Kalau ditagih marah. Kalau kayak saya sih, dimarahin paling saya sewotin, dan mereka nggak marah. Tapi kalau yang cowok-cowok, ngelawan bisa digebukin, Mas."</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Ternyata Gorgom itulah yang membuat para penjual kopi di tempat ini jadi pergi.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">"Mereka berapa orang sih, Mbak?"</span><br /><span style="font-family:arial;">"Banyak, Mas... Kalo di sini yang nguasain ambon-ambon. Kalo di Parkir Selatan, arek-arek."</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Banyak. Tidak lucu juga kalau tadi saya sempat berkontradiksi dengan si Gorgom itu, saya pikir. Akhirnya saya memilih diam saja, menenangkan diri sembari menyeruput kopi moka racikan simbak ini dan memandangi Gorgom-Gorgom itu mulai menyatroni mobil-mobil lain yang sedang berjalan pelan; dan terkadang mundur. Saya lihat salah seorang mengeluarkan selembar limapuluh ribu, dan sang Gorgom mengantonginya. Tiba-tiba driver saya, juga sembari ngopi, menunjukkan plang yang berdiri di dekat kami. Saya baca tulisannya: DILARANG BELAJAR MOBIL DI AREA INI.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">O la la, Senayan... Senayan...[]<br />_____<br /><br />Catatan:<br />Penyebutan suku di atas bukan untuk mendiskreditkan suku tersebut, melainkan karena itu yang disebut oleh narasumber.<br /></span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-74303144228569278772009-04-19T19:34:00.001+07:002009-04-19T19:42:41.420+07:00[CERPEN] GELAP<div style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Untungnya aku tidak terlalu relijius. Ada semacam kelegaan tersendiri yang terus-terusan menyejukkan rongga dadaku tanpa henti seketika aku menyadari hal itu. Sudah sekitar satu jam sejak kereta yang kami tumpangi ini bergerak meninggalkan Gambir. Dari jendela yang sedikit retak dan berdebu di sisi kiriku ini aku bisa tahu kalau di luar sudah gelap. Sepertinya tadi ada adzan yang sayup-sayup suaranya masuk selintas ke dalam gerbong untuk kemudian segera tertinggal di suatu tempat, Bekasi atau Kranji, aku tidak yakin di mana itu. Tepatnya, aku tidak ingat. Aku tidak terlalu ambil pusing. Melainkan hanya sebuah tangkapan otomatis oleh indera pendengaranku.<br /><br />Kalau sedikit saja aku lebih yakin dengan agama yang tertera di KTP-ku, mungkin suasana di antara tiga manusia yang sekarang tengah duduk di bangku nomor 3A-3B dan 4A-4B―yang sengaja kami buat berhadap-hadapan demi mendapatkan suasana privasi―ini tidak akan menjadi nyaman. Mungkin, dengan sebab yang sama, aku akan membuat semacam dominasi keyakinan di sini sementara yang lainnya merasakan dirinya menjadi minoritas. Untuk itulah aku lega merasa tidak punya apapun yang kubela.<br /><br />Lagipula ini perjalanan dalam rangka menghabiskan akhir pekan. Maka bersenang-senang seharusnya adalah tema utamanya. Bukan konflik atau juga obrolan yang pelik.<br /><br />Memang juga tidak semudah itu untuk bersikap biasa-biasa saja dan dengan berani menantang mata mereka, apabila salah satu dari mereka sudah mulai menyebut-nyebut suatu nama atau hanya kata yang identik dengan agamanya. Bukan semacam risih atau alergi. Tapi lebih kepada perasaan khawatir bahwa akan munculnya semacam rasa gusar di dalam hati yang lainnya.<br /><br />Ini bukan tentang aku dan perasaanku. Ini tentang mereka berdua dan perasaan keduanya. Mereka, yang duduk di bangku seberangku ini, adalah sahabatku. Dan aku menyayangi keduanya. Dan ini juga tentang acara liburan kami bertiga yang kuingin jadikan seindah mungkin bagi kita semua; khususnya mereka.<br /><br />Ada satu beban juga yang kupilih untuk aku tanggung sendiri semenjak siang tadi. Mereka tidak tahu hal ini. Beban itu sebetulnya hanya berupa serentetan dialog yang sampai sekarang masih juga belum lepas dari ingatan.<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;">***</span><br /></div><span style="font-size:100%;"><br />“Jadi ke Bandung?”<br /><br />Saat itu hanya aku yang ada di teras rumah itu. Maka kalimat suara yang menampung pertanyaan itu pasti tertuju untukku. Aku langsung menutup novel yang sedang kubaca seperempat dari jumlah halaman buku itu keseluruhan.<br /><br />“Jadi, Tante,” jawabku dalam nada lembut yang aku rasa lumayan kontras dengan picingan mataku akibat terpaan silau. Tembok rumah itu putih sekali. Sehingga semua sinar matahari yang jatuh di atasnya seperti memantul dan masuk ke dalam mataku sebanyak mereka datang pertama kali.<br /><br />“Sama Ema?” ia mengambil tempat di kursi sebelah kananku sembari meletakkan sebotol air dingin dan sebuah mug kosong di atas meja bundar yang memisahkan kursiku dengan kursinya.<br /><br />Saat itu semua menjadi terasa begitu cepat. Sebelum sempat lagi aku memikirkan jawaban yang tepat, mulutku sudah terlanjur mengeluarkan bunyi. “Iya, ini Roni lagi jemput Ema” ucapku lalu tertawa. Sebuah tawa yang bahkan saat itu juga aku tahu kalau itu adalah sebuah tawa yang hanya mungkin keluar dari orang panik atau gugup.<br /><br />Dia terlihat mengangguk-angguk kecil selama beberapa kali. Aku lega saat itu. Aku pikir sudah berakhir. Tidak ada komentar lagi darinya, maka itu artinya aku bisa tenang untuk sementara waktu. Setidaknya, bila ia hanya ingin menyudahi pembicaraan kami dengan anggukan ambigu seperti itu, itu akan menjadi akhir dari pembicaraan kami.<br /><br />Tapi baru saja aku berniat untuk membuka novel yang masih kupegang, tanpa aku menoleh padanya, aku merasa perempuan separuh baya ini hendak mengangkat bicara lagi.<br /><br />“Tante kasihan sama Roni. Sama Ema juga. Roni susah untuk dikasih tahu. Dia malah akhir-akhir ini jadi giat mencari buku-buku yang bilang kalau pernikahan beda agama itu diperbolehkan. Tapi…”<br /><br />Ia berbicara terus tanpa putus. Sehingga aku hanya merasa diberi ijin untuk menggumam, berdehem, dan tersenyum.<br /><br />“Menurut kamu sendiri bagaimana? Kamu bisa kasih tahu Roni nggak, untuk jangan ngeyel gitu?” akhirnya ia memberiku kesempatan.<br /><br />“Setahu saya, ini pertama kalinya Roni bisa dekat dengan seorang perempuan. Dan itu sesuatu yang buat saya sendiri membahagiakan.”<br /><br />“Tapi, kan, mereka beda agama,” ia menyela sehingga aku merasa kehilangan kekuatan yang tadi sudah kuhimpun untuk mengutarakan semua yang ada di kepalaku. Dan aku harus mulai lagi dari nol.<br /><br />“Iya, itu betul,” aku berusaha untuk tetap tenang, “tapi saya rasa pasti mereka berdua bisa menemukan jalan yang terbaik buat mereka. Mereka sudah besar. Lagipula belum tentu juga ada niat dari mereka berdua untuk melanjutkan hubungan ini ke pernikahan.”<br /><br />“Tante cuma kasihan aja sama mereka. Kalau mereka sudah terlanjur sayang…”<br /><br />Hanya senyum yang bisa kulakukan. Aku merasa tidak punya cukup hak untuk terus menerus menyangkal semua yang ia katakan. Ia orangtuanya. Mungkin ia memang berhak untuk memikirkan itu semua. Dan terlepas dari itu, dalam beberapa hal, apa yang ia ungkapkan ada benarnya.<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;">***</span><br /></div><span style="font-size:100%;"><br />Kurang dari dua jam lagi kereta ekspres Parahyangan ini akan memasuki Stasiun Hall. Dua orang di depanku ini sedang tertidur, dengan sang perempuan bersandar pada bahu lelakinya. Aku pun segera mengalihkan pandangan ke kegelapan di balik jendela. Tidak ada yang bisa kulihat di sana. Tapi kekosongan seperti itu selalu menjadi semacam media yang bisa kugambari sesuka hati.<br /><br />Tak lama kemudian, aku pun merasa lelah berkutat dengan pikiran dan beban yang kubawa dari Jakarta tadi. Imajinasi-imajinasi sudah bertumpang tindih di atas media yang awalnya kosong. Benang-benang pikiran juga sudah kusut, semrawut di atasnya.<br /><br />Ketika aku baru saja mau mencoba memejamkan mata untuk menemukan kekosongan lain yang bisa kugambari, Roni membuka matanya. Pandangan mata kami bertemu pada satu titik. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengajak berbicara. Itu sama sekali bukan soal bagiku. Aku juga tidak ingin mengeluarkan suara yang bisa membuat Ema terbangun dari tidurnya.<br /><br />Roni tersenyum kecil. Entah untuk apa. Aku tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Maka, seperti mati gaya, aku mengeluarkan novel dari dalam ransel. Dan sebelum kubuka pada seperempat buku, aku menatap keluar jendela lagi.<br /><br />Gelap. Gelap sekali. Dan kusut benang tadi masih juga ada di sana. Tiba-tiba aku menyadari kemungkinan lain; mungkin Roni bisa menggambar dengan lebih baik di atas kegelapan yang sama ini. Dan mungkin untuk itulah senyuman kecilnya tadi. Kalau memang benar demikian, dia baru saja mengejek coret-coretanku ini.<br /><br />Sial kau, Ron. []<br /></span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-48360749773051229852009-03-16T08:04:00.005+07:002009-03-16T08:13:58.930+07:00The Guru # 1 - Sidik: Sport & Moustache<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVFwNunjFoAF2IM16bSjiRv9NukrUTtpn3RZ0l1kgZIFf3bN_M7h-IrbG8nnwFewovTPSWhaLL68ik26QTTtxfmSt9msDMemPbXOar7n0kjBv3NyCrldcYxkiCvw1MhFynDSz9WYd1nto/s1600-h/The+Sidik%212.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 262px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVFwNunjFoAF2IM16bSjiRv9NukrUTtpn3RZ0l1kgZIFf3bN_M7h-IrbG8nnwFewovTPSWhaLL68ik26QTTtxfmSt9msDMemPbXOar7n0kjBv3NyCrldcYxkiCvw1MhFynDSz9WYd1nto/s400/The+Sidik%212.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5313587520855892898" border="0" /></a>Namanya pendek saja. Sidik. Tidak ada kata lain yang mengikuti. Yah, setidaknya itu yang saya tahu sih. Iya, saya mengenalnya selama tiga tahun dengan nama sependek itu. Nama yang selalu membuat saya teringat pada ikon produk sebuah bank yang pada era itu cukup terkenal. Si Jempol.<br /></div><div face="arial" style="text-align: justify;"><div style="text-align: justify;"><br />Saya tidak pernah tahu apa suku bangsa dia sesungguhnya. Dia memang selalu bicara menggunakan dialek orang batak, dengan suaranya yang lantang, rada-rada serak, dan lengkap dengan butiran-butiran ludah yang sesekali menyembur. Jika saja saya tidak pernah memergoki ia sedang berbicara pada seorang guru lain pada suatu hari dengan menggunakan bahasa sunda yang fasih, pasti saya sudah berani mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa Pak Sidik adalah orang Batak.<br /><br />Maka sampai sekarang pun saya tidak pernah tahu pasti, apakah ia adalah orang Sunda yang menyamar sebagai orang batak, supaya memiliki kesan angker sehingga disegani oleh murid-muridnya... ataukah ia memang orang batak yang sudah lama tinggal di Jawa Barat, sehingga mampu menggunakan bahasa Sunda dengan cukup baik. Entahlah.<br /></div><br />Sidik adalah sosok yang ideal sebagai guru olahraga pada saat itu. Tubuhnya atletis dan terlihat lumayan berotot. Jika ia berlari, badannya tegap. Seolah-olah ia tidak akan pernah kehabisan nafas meski berlari dari Dapur Susu sampai ke Blok M. Itu kesan yang saya tangkap pada saat itu.<br /><br />Dan peluit merupakan benda yang seolah menjadi hal intrinsik pada diri sidik di dalam ingatan saya. Ketika ia menyuruh kami berlari mengelilingi taman, ia tidak duduk, melainkan berdiri tegap. Itu membuat saya merasa bahwa ini adalah sesuatu yang serius dan tidak boleh dianggap main-main. Coba kau bayangkan apabila kau disuruh berlari oleh seseorang, tapi orang itu menyuruh sembari duduk dan makan pisang goreng buatan Ibu Simanjuntak (pedagang di kantin sekolah saya pada era itu). Pastilah kamu pun akan berlari dengan malas-malasan.<br /><br />Tapi itu tidak dilakukan oleh Sidik. Sidik menyuruh kami berlari mengelilingi taman sembari ia berdiri dengan tegak. Kemudian suara bataknya akan terdengar lantang: "Satu-Dua-Tiga!" dan kemudian disusul oleh suara peluit yang seolah-olah selalu tersemat di bibirnya sepanjang hayatnya. PRIIIIT!!! Maka saya pun mulai berlari dengan semangat. Kami semua berlari berhamburan keluar dari pekarangan sekolah, melewati pagar sekolah yang berkarat. Saya selalu bisa merasakan senyuman mengembang di wajah saya ketika mulai berlari seperti itu. Saya merasa melayang seperti angsa. Iya, saya merasa seolah-olah saya dan kawan-kawan saya semua itu adalah koloni angsa yang sedang terbang di angkasa. Menyenangkan sekali...<br /><br />Ya, saya pun pernah berpikir, jangan-jangan hanya saya sendiri yang antusias ketika disuruh berlari mengelilingi taman yang letaknya cukup jauh juga dari sekolah--kami harus mengitari satu blok rumah dahulu untuk mencapainya. Tapi ternyata tidak demikian. Saya sudah pastikan ini berkali-kali. Saya selalu menoleh ke wajah kawan-kawan saya ketika kami semua sedang melayang di angkasa seperti koloni angsa. Antusiasme yang sama pun terlihat pada wajah kawan-kawan yang lain. Luar biasa! Tidak ada satu pun nada keluhan yang sempat keluar dari mulut kami ketika kami disuruh berlari seperti itu. Malahan, tak jarang, saya dan beberapa kawan memanfaatkan momen itu sebagai ajang balapan. Iya, balapan... Kami saling adu cepat menjadi yang pertama tiba kembali di lapangan basket sekolah. Dimana di sana Sidik sudah menanti kami semua untuk segera melakukan gerakan-gerakan senam pemanasan.<br /><br />Dan satu hal lagi yang luar biasa. Tidak ada satu anak pun yang curang. Sekali pun itu anak yang terkenal paling bandel di kelas. Tidak ada yang curang. Tidak ada satu pun anak yang mengambil jalan pintas. Padahal tanpa pengawasan seperti itu--dimana Sidik tetap berada di lapangan basket sekolah ketika kami berlari--sangat banyak peluang bagi kami untuk melakukan kecurangan-kecurangan, seperti: tidak mengitari taman untuk membeli jajanan di depan SD, ataupun main <span style="font-style: italic;">gimbot</span> (baca: game watch) yang disewakan oleh abang-abang sebentar saja sementara yang lain sedang susah payah mengitari taman. Tidak ada, Kawan! Kami semua berlari mengitari taman dengan semangat 90an (semangat 45 rasanya sudah terlalu oldskull).<br /><br />Sidik adalah guru yang humoris. Meski humornya seringkali menjurus porno. Tapi tak mengapa. Toh, itu yang kita semua sukai. Dan tampaknya Sidik tahu itu. Iya, Sidik dan kami seperti sama-sama tahu: Sidik tahu apa yang kami suka... <span style="font-style: italic;">Joke</span> Porno dan <span style="font-style: italic;">slapstick</span> (salah satu hal lagi yang merupakan keahliannya pada saat itu), dan kami tahu apa yang Sidik suka... disiplin dan sportif. Tidak mengambil jalan pintas untuk bermain <span style="font-style: italic;">gimbot</span> ketika disuruh berlari mengelilingi taman. Sidik dan kami seperti saling menjaga satu sama lain. Menjaga hubungan yang semacam itu.<br /><br />Tapi jika saya pikir-pikir kembali, hubungan semacam itu rasanya tidak akan pernah tercipta jika saja Sidik tidak memelihara kumisnya yang seperti Andi Malarangeng itu (Ah, kumis Andi Malarangeng yang seperti Sidik... Kan dulu Malarangeng belum ada apa-apanya). Dengan kumis itu, ia tampak berwibawa, tampak serius ketika menyuruh kami mengelilingi taman, bukan main-main, bukan basa-basi. Serius! Kumis dan sebuah benda yang menyembul di depannya dan mengeluarkan suara melengking, mampu membuat kami berdedikasi pada olahraga, pada <span style="font-style: italic;">track</span> yang mesti kami lalui ketika berlari... tidak boleh curang!<br /><br />Sebab pernah suatu hari Sidik muncul tanpa kumisnya itu. Dan kau tau apa yang terjadi? Kami semua tak henti-hentinya menahan tawa, bahkan ketika Sidik sudah mulai berbicara. Itu kacau, Kawan. Kacau... Hubungan yang selama ini telah terjaga menjadi kacau. Sidik kehilangan wibawa, anak-anak kehilangan faktor yang mendorong mereka untuk berpikir bahwa ini semua bukan main-main. Padahal, selama itu Sidik telah berhasil memadukan antara keseriusan dengan kesenangan. Lihat saja bagaimana kami bisa menjadikan sebuah determinasi untuk mengelilingi taman (itu bukan jarak yang dekat lho) sebagai sebuah permainan. Kami jadikan kesusahan itu sebagai kesenangan. Kami balap lari... Asyik kan?<br /><br />Maka Sidik harusnya tahu, bahwa kumisnya itu merupakan faktor penting yang membawa kami semua melampaui titik-titik penting dalam hidup kami, hingga sampai di titik sekarang ini. Kami telah berhasil, Pak Sidik. Kami telah berhasil mengitari taman dengan perasaan senang. Kami telah berhasil menyelesaikan sekolah di SMP 37, juga dengan perasaan senang. Dan di luar sini, Pak Sidik, Bapak boleh bangga pada kami... Di luar sini kami juga telah menjadi orang-orang yang berhasil, Pak... Entah apa hasilnya... pokoknya berhasil, dan pokoknya senang.[]</div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-5851676707216192242009-01-27T11:31:00.003+07:002009-01-27T13:48:21.700+07:00Hak Politik, Bukan Hak Pilih!<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipcrnc981Vyc3DBQcOaW1P9dfdHOZIb_16WOB1XGX6Y6mC2YZcdBliL5pcE19U1MGSuJXUQwc7SoF7-FV4Q9OedncCBtXi8JMNhdlTeC6gzVXdSNDsoxkuUYnjxSx5QO4ux0tsHkVyomM/s1600-h/Warkop.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 236px; height: 166px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipcrnc981Vyc3DBQcOaW1P9dfdHOZIb_16WOB1XGX6Y6mC2YZcdBliL5pcE19U1MGSuJXUQwc7SoF7-FV4Q9OedncCBtXi8JMNhdlTeC6gzVXdSNDsoxkuUYnjxSx5QO4ux0tsHkVyomM/s400/Warkop.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5295838996562935922" border="0" /></a><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Politik. Kata yang dewasa ini sepertinya sudah tak lagi menjadi barang mewah bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak seperti pada era orde baru—ketika ‘demokrasi’ belum menjadi seperti hari-hari belakangan ini—kata ini kerap dikorelasikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan kekuasaan negara. Serta merta politik pun menjadi barang eksklusif, yang hanya boleh disentuh oleh orang-orang <i style="">terpilih</i>. Lalu para <i style="">kroco</i> seperti kita yang tidak pernah mendapat kesempatan menjadi bagian dari kekuasaan, sehingga dianggap tidak memiliki kompetensi untuk membincangkan soalan tersebut, hanya bisa membicarakan politik secara samar-samar dan di tempat-tempat yang ‘aneh’. Di warung kopi misalnya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Ngobrol di warung kopi, nyentil sana dan sini, sekedar suara rakyat kecil, bukannya mau usil…”</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > Masih ingat <st1:state st="on"><st1:place st="on">kan</st1:place></st1:state> dengan <i style="">jingle</i> legendaris Warkop DKI (salah satu grup lawak yang mulai tenar di era 70an akhir itu)? Dengan lagu itu, mereka terdengar seperti ingin menyapa penguasa di jamannya. Lihatlah bagaimana Dono dan kawan-kawan sepertinya bisa dibilang sudah melakukan upaya-upaya aktivisme politik, dengan terkadang menyisipkan isu-isu sosial-politik ke dalam materi lawakan mereka (coba dengarkan <i style="">Pengen Melek Hukum</i> atau <i style="">Semua Bisa Diatur</i>—saya punya file MP3-nya). Lucunya, jika kita mendengar sekali lagi itu semua di era sekarang ini, sepertinya apa yang sedang mereka lakukan saat itu seolah tidak memiliki pengaruh apapun pada kekuasaan, dan malahan cenderung terdengar dangkal saja. Represifitas penguasa pada jaman itu tentu bisa menjadi apologi.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tempo hari saya baru mendengar kabar bahwa band Efek Rumah Kaca sudah mulai mengisi rubrik di Kompas saban Sabtu. Konon nama rubriknya “Obrolan Politis”. Yah, saya memang tidak rajin membaca koran. Tapi dari nama rubriknya saja sudah bisa saya terka apa yang akan mereka bicarakan. Dengan bekal persepsi atas mereka sebagai band indie label yang memuat kritik sosial dalam lagunya, saya sudah bisa menduga apalagi yang akan mereka bawa kali ini melalui tulisan di Kompas: apalagi? Ya, pasti kritik sosial juga…<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tenang, saya bukan sedang ingin mempromosikan apalagi mengglorifikasi band itu. Saya hanya menjadikan mereka sebagai sebuah sampel dari representasi kegelisahan generasi. Toh, hal serupa juga pernah dilakukan oleh musisi-musisi atau artis-artis (tentunya dengan definisi yang paling benar; <i style="">art-ist</i> = seniman) sebelum mereka. Warkop DKI tadi menurut saya adalah salah satunya, meskipun muatan politisnya terasa ecek-ecek. Kemudian, di jaman yang sedikit berbeda, ada juga seorang pria berkumis bernama Iwan Fals; yang kita ketahui bersama juga sempat menjadi ikon musisi kritis di negri ini. <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Jadi, ini bukan mengenai Iwan Fals yang lebih kritis daripada Dono CS. Bukan pula E.R.K. yang lebih berani daripada Om Iwan. Bukan itu. Semua ada masanya. Kata Einstein, <i style="">The only reason for <em><span style="font-family:Arial;">time</span></em> is so that everything doesn't happen at once</i>. Artinya, ini soal “orang yang tepat di waktu yang tepat”. Relevansi, sebut saja begitu. Apabila kita menilai wacana yang diusung oleh Warkop DKI dangkal untuk ukuran jaman sekarang, maka sebaliknya, ‘obrolan politis’ Efek Rumah Kaca pasti akan sangat rumit untuk ukuran logika orang-orang bercelana cutbray di era Indro masih kurus. Padahal, apa yang mereka bicarakan sama-sama berada di tataran politik yang non-partisipatif. Artinya, pembicaraan politik dalam karya-karya mereka, bukanlah upaya untuk mengajak orang-orang untuk berpartisipasi di dalam politik kenegaraan. Dengar saja lagi, adakah Warkop DKI, atau Iwan Fals (dulu), atau E.R.K. mengajak kita untuk memilih salah satu partai politik melalui karya-karya mereka? Rasa-rasanya tidak. Tapi dengan membicarakan politik dengan <st1:city st="on"><st1:place st="on">gaya</st1:place></st1:city> yang justru cenderung sinis dan apolitis, mereka juga tidak bisa dibilang apatis. Sebaliknya, saya melihat mereka sebagai orang-orang yang memiliki kepedulian besar pada perpolitikan di negri ini. Bahkan jauh lebih besar daripada kepedulian kebanyakan politisi di gedung dewan yang hanya peduli pada kepentingan kekuasaan belaka. Kasusnya jadi agak mirip dengan ambivalensi paradoksal ateis: Ateis seringkali dianggap tidak pernah memikirkan agama dan Tuhan. Padahal bila dilihat dengan cara yang lain, justru mereka menjadi ateis karena terlalu serius memikirkan agama dan Tuhan. <i style="">In some awful, strange, paradoxical way, atheist tend to take religion more seriously than practitioners,</i> kata Jonathan Miller.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ditarik kembali pada konteks politik, apolitis menjadi semacam hak untuk berpikir bebas, ketika berpikir itu sendiri telah ada platform yang sudah ditentukan kadarnya: tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Jika tak sesuai kadarnya, <span style=""> </span>dianggap apolitis bahkan berdosa. Ngomong-ngomong soal dosa, tahun ini MUI lagi-lagi mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan partisipasi umat pada pesta politik yang tak lama lagi akan berlangsung. Dalam fatwa kali ini, MUI berfatwa, bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, atau tidak memilih sama sekali, padahal masih ada calon yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud, hukumnya haram. Dan tentu saja, syarat yang mereka maksudkan adalah: <i style="">beriman dan bertakwa, jujur, bisa dipercaya dan aspiratif terhadap umat Islam, serta mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.</i> Kenapa ini jadi terdengar konyol ya bagi saya? Kamu?<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Maka buat saya, menjadi apolitis di negri ini merupakan sikap paling politis yang bisa saya lakukan dengan kapasitas yang saya miliki. Karena ada satu kesamaan antara saya, almarhum Dono, Iwan Fals (dulu), dan Cholil; kami semua bukan bagian dari kekuasaan, dan karenanya seperti tidak memiliki kompetensi untuk membawa wacana-wacana pada tataran praktis. Tapi kami juga memiliki suara. Seperti juga kamu. Jadi tidaklah aneh ketika lagu n<i style="">gobrol di warung kopi</i> tercipta, atau lagu <st1:place st="on"><st1:city st="on"><i style="">surat</i></st1:city></st1:place><i style=""> buat </i>w<i style="">akil rakyat</i> sampai tercipta; dikarenakan memang alam demokrasi pada saat itu seolah membungkam suara mereka, sedang mereka memiliki kepedulian pada politik meski tidak dengan ketertarikan yang sama dengan para politisi akan kekuasaan. <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Kini, ketika Kompas membuka ruang khusus bagi band E.R.K untuk berbicara mengenai politik dalam sudut pandang anak muda yang dianggap mewakili generasinya, itu hanyalah sebuah konsekuensi dari perkembangan alam demokrasi yang memang masih terus mencari format terbaik. Perkembangan ini memang semakin mengakrabkan kita pada politik, politik tak lagi menjadi barang yang terlalu mewah. Meski juga belum bisa dikatakan kita bisa berpolitik praktis di luar platform yang dibakukan oleh hukum. Dan menurut saya, ini belum bisa disebut demokrasi. Masih adanya suara-suara yang tidak terwakili, jelas-jelas bukanlah demokrasi.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Karena sejatinya demokrasi sampai saat ini baru sampai pada tataran cita-cita. Belum sampai pada tahap ‘tercapai’. Karya-karya seni bermuatan politis yang terus menerus lahir dari para seniman itu bisa menjadi sebuah indikasi, bahwa suara rakyat masih belum mendapat tempat terbaik di tataran praktis. Itulah kenapa kebutuhan masyarakat akan <i style="">warung kopi</i> menjadi sedemikian besar: sesungguhnya kita juga memiliki hak untuk berpolitik. Bukan sekadar hak untuk memilih. Apalah gunanya kita memilih <i style="">wakil</i> kita, jika kita merasa mereka tidak dapat mewakili suara kita?[]<o:p></o:p></span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-45340265090616706842009-01-22T00:35:00.014+07:002009-01-27T22:36:52.649+07:00KENANG-KENANGAN<div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Kata Pengantar</span></span><br /></div><span style="font-family:arial;"><br /><span style="font-weight: bold;">Kenang-Kenangan</span> adalah sebuah kumpulan tulisan. Sudah dua tahun lebih usianya. Tapi saat ini saya ingin mem<span style="font-style: italic;">publish</span>nya di blog ini. Bukan karena memang tulisan ini tidak pernah saya <span style="font-style: italic;">publish</span> di blog atau situs web manapun sebelumnya. Bukan karena dulu saya merasa malu untuk mempublikasikannya karena tulisan ini terlalu sentimentil, sedang sekarang saya merasa tidak perlu malu lagi. Bukan pula sekadar untuk mengisi kealpaan blog ini dari tulisan baru. Bukan itu. Melainkan karena ketika saya tadi menemukannya di dalam salah satu cakram vidio digital (DVD), tempat dimana file-file tua saya tersimpan dengan tak rapi, dan kemudian saya membacanya lagi, saya merasa seperti ditampar oleh salah satu kalimat dalam "Dunia dari Balik Jendela": <span style="font-style: italic;">Dan untuk itulah rasanya saya pantas untuk ditampar-tampari terus menerus agar saya tidak terlena hidup di dalam satu dunia kecil saja.</span> Gila, pikir saya, ternyata saya belum banyak berubah. Ataukah memang benar, sejarah itu selalu berulang?<br /><br />Karena itulah saya merasa tulisan tahun 2006 ini perlu untuk saya angkat lagi. Agar saya menyadari bahwa saya sekarang tengah berada pada fase yang sama: takut kehilangan, sehingga saya harus segera melakukan sesuatu untuk melampaui fase ini.<br /><br />Tulisan-tulisan di dalam Kenang-Kenangan ini memang berbicara seputar kehilangan. Siapa yang tidak pernah kehilangan? Siapa yang tidak akan pernah kehilangan? Saya, kamu, kita semua; pasti pernah dan akan berada di fase itu. Karena itu, mungkin kumpulan tulisan ini memiliki relevansi juga untuk orang lain selain saya. Kalau kamu mau membaca versi lengkapnya, silakan unduh pada link yang tersedia di bagian akhir postingan ini.<br /><br />Akhir kata, selamat membaca. Semoga bermanfaat.[]<br /><br /></span><div face="arial" style="text-align: center;"><div style="text-align: left;"><div style="text-align: center;">***<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpucAoSPzP-tuxtIyFDe2JCYk_-AvjHK8mUE7uBwVXZWFzVWHdmyQZmsZ9bz-lzMNWRz1a11zTGF-ThHsUbIkjUWa2-yfIfqsv2sXlkjuZsJAqdvNnuB5-ezGNMX6FUahgAq53_s54yJ4/s1600-h/KK_logo.bmp"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 322px; height: 58px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpucAoSPzP-tuxtIyFDe2JCYk_-AvjHK8mUE7uBwVXZWFzVWHdmyQZmsZ9bz-lzMNWRz1a11zTGF-ThHsUbIkjUWa2-yfIfqsv2sXlkjuZsJAqdvNnuB5-ezGNMX6FUahgAq53_s54yJ4/s400/KK_logo.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5293945461321442450" border="0" /></a><div style="text-align: left;">Siang hari akhir-akhir ini Jakarta terasa panas sekali. Saya benar-benar dapat merasakannya ketika weekend telah tiba. Karena pada saat-saat seperti itu saya sama sekali tidak berada di bawah atap kantor dan jauh dari AC ruangannya yang sejuk. Dan besok-besok mungkin itulah yang sudah menjadi rutinitas baru saya. Dari yang tadinya saya rutin untuk datang ke kantor pada pagi hari dan pulang baru sore harinya, besok-besok boleh jadi saya sudah punya rutinitas baru yang suatu hari saya yakin pasti akan kembali membuat saya muak sendiri.<br /><br />Saya memang begitu. ‘Aneh’ kata sebagian orang, dan ‘tidak pernah bersyukur’ kata beberapa teman dekat; dan semua judgement semacam itu saya terima saja mengingat saya sendiri juga tahu saya ini seperti apa. Mungkin dunia ini memang baik-baik saja, dan tidak ‘sakit’ seperti yang selalu saya pikir begitu. Mungkin sayalah yang tidak baik-baik saja dan untuk itu selalu merasa perlu mencari cara dalam membuat segalanya menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.<br /><br />Saya ingat betul pada suatu hari ketika seorang teman berkata pada saya bahwa mungkin untuk membuat kita berdua mulai bisa melupakan idealisme yang semakin lama semakin absurd ini, kita harus segera menikah!<br /><br />Saya hanya tertawa menanggapi ucapannya saat itu. Karena itu bisa jadi benar, tapi bisa juga salah sama sekali. Cukup banyak juga teman-teman saya lainnya yang sudah memasuki fase berumah tangga tapi mereka tetap meneruskan pengejaran yang sama. Jadi saya belum mau mengambil konklusi apa-apa dari ungkapan hati teman saya itu.<br /><br />Saat tulisan-tulisan ini sudah selesai saya ketik dan tidak akan saya edit-edit lagi, lalu kemudian ada yang membacanya untuk pertama kali, mungkin saya sudah tidak berada di tempat yang sama dengan sekarang ketika saya masih menekan-nekan tuts keyboard. Mungkin saya sudah ada di tengah laut lepas, ataupun sedang terbang melintasi angkasa menuju tempat yang indah.<br /><br />Sengaja tulisan ini saya jadikan sebagai bagian dari diri saya yang saya tinggalkan. Karena saya sangat setuju dengan Pram, bahwa manusia akan hilang begitu saja kalau ia tidak menulis apa-apa. Ya, kira-kira begitu kata-katanya. Saya juga tidak menghapalnya.<br /><br />Saya hanya ingin berbagi lewat tulisan-tulisan ini. Tentang perasaan saya sebulan terakhir di tempat yang telah saya pijaki setelah sekian lama. Juga tentang harapan-harapan akan hari esok yang masih ingin saya bangunkan. Sungguh, jika ada yang berpikir kalau ini semua semacam surat wasiat sebelum saya melakukan bunuh diri, rasanya ia terlalu banyak nonton film. Saya tidak akan membunuh hidup saya sendiri. Apalagi karena punya masalah. Tapi justru sangat besar kemungkinannya saya akan menghabisi hidup saya sendiri kalau saya sudah merasa hidup saya terlalu hampa.<br /><br />Permasalahan hidup justru membuat saya yakin kalau saya masih hidup. Karena hidup tidak akan pernah terlepas daripada itu. Saya tidak berniat untuk menghantam apapun dalam tulisan-tulisan saya di sini. Saya hanya ingin berbicara jujur dan apa adanya. Karena tidak ada yang lebih tinggi nilainya daripada kebenaran (Haq). Dan kebenaran adalah sesuatu yang akan bertahan, walau orang jujur itu kebanyakan ‘hancur’.<br /><br />Maka biarlah kenangan menjadi kenangan. Dan ijinkan saya mempersembahkan kenang-kenangan ini. Untuk Anda…yang hingga detik ini masih berbaik hati mau menjadi tempat berbagi. Walau kita hanya berdialog secara imajiner.<br /><br /><div style="text-align: right;">Kenang-Kenangan - Copyleft 2006<br /><br /><div style="text-align: center;"><div style="text-align: left;"><div style="text-align: center;">***<br /></div><br /><p class="MsoNormal">“DUNIA DARI BALIK JENDELA”<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p>Saat saya menulis baris ini, jarum detik jam weker berwarna kuning saya yang mungil baru saja berhasil melakukan putaran tigaratus-enampuluh derajatnya sekali lagi. Dan kali ini, secara niscaya, putaran kodrati itu telah mengakibatkan jarum menitnya bergeser lagi sedikit. Satu hal kecil yang akhir-akhir ini nyaris luput dari pengamatan saya karena selalu disibukkan dengan hal-hal besar, yang setelah saya coba renungkan kembali ternyata tidaklah lebih punya harga daripada kotoran saya sendiri. Seringkali apa-apa yang pernah saya kejar dan perjuangkan memang tidak lama kemudian dapat bernasib sama seperti tahi-tahi di dalam septictank, atau mungkin yang sudah disedot oleh mobil penyedot tinja dan sudah dibuang entah ke laut mana. Sesuatu yang bahkan saya pun tidak lagi pernah memikirkannya.<o:p></o:p><br /></p><p class="MsoNormal">Banyak orang begitu risih melihat saya yang terlalu memikirkan hal-hal yang mereka anggap sepele dan tidak perlu diperbesar. Tapi penghakiman semacam itu pada akhirnya selalu saya telan sendirian, walau pahit memang, karena memang saya tidak merasa perlu untuk melawan apapun yang mereka yakini. Saya tahu keyakinan terkadang dipertahankan oleh seseorang oleh karena ia tidak akan punya apa-apa lagi yang bisa disangkal apabila keyakinan tersebut dilepaskan dari genggaman.<o:p></o:p><br /></p><p class="MsoNormal">Saya sudah bertekad untuk berhenti melakukan penyangkalan atas apa-apa. Atau mungkin karena memang saya tidak punya sesuatu yang saya pertahankan? Entahlah. Tapi saya tahu persis seperti apa rasanya ketika kecintaan saya pada sastra ataupun langit senja dianggap sebagai sesuatu yang sepele. Karenanya saya tidak akan pernah melakukan penghakiman yang sama pada siapapun juga. Apabila seseorang memang harus menyadari bahwa apapun yang ia perjuangkan adalah merupakan sesuatu yang sepele—langit senja, gaji tinggi, hobi, kekasih, jabatan, indielabel, instansi, pernikahan, problematika apapun, apapun!—menurut saya hanya orang itu sendiri saja yang berhak untuk menghakimi. Karena saling menyepelekan dan menghakimi adalah sesuatu<o:p></o:p> yang percuma sama sekali.</p> <p class="MsoNormal">Sedemikian rupa saya kini dengan sendirinya menyadari bahwa ternyata telah ada begitu banyak kesepelean yang seringkali membuat saya harus membanting tulang untuk mendapatkannya. Dan yang lebih konyolnya lagi, saya baru saja bisa mengerti bahwa ketika orangtua saya dahulu menggunakan istilah ‘banting tulang’ sebagai pengganti kata ‘bekerja’, itu memang bukan sesuatu yang didramatisir.<o:p></o:p><br /></p> <p class="MsoNormal">Persepsi atas sesuatu memang selalu akan menjadi lebih utuh apabila kita berhadapan dengannya langsung, dan dapat dirasai dengan seluruh indera yang kita punyai. Siapa yang tahu seperti apa rasanya jadi pekerja kantoran yang seharian penuh duduk di depan komputer, kalau selama itu ia hanyalah seorang penganggur yang sama sekali tidak pernah mendaratkan bokongnya di bangku kerja? Dan bagaimana seorang yang sudah merasa mapan bekerja sebagai pekerja kantoran dapat tahu seperti apa rasanya hidup sebagai seorang penganggur pada saat ini juga, ketika ia saja bahkan belum diberi tanda-tanda akan diberhentikan dari pekerjaannya?<o:p></o:p><br /></p> <p class="MsoNormal">Dunia yang besar ini mengajarkan saya relatifitas, dengan memperkenalkan kepada saya ada begitu banyak dunia kecil di dalamnya dan kemudian dengan suatu cara menyedot saya pula untuk masuk melalui setiap lubang pintu-pintunya yang terbuka. Dengan menyadari kenyataan yang semacam ini, saya seolah dituntut untuk tetap menjaga kesadaran saya sendiri untuk tidak terbius, terlena, dan akhirnya memberi efek rasa malas untuk beranjak pergi dari dalam satu dunia kecil yang saya masuki. Karena saya tahu, dunia ini sungguh besar. Lalu mengapa saya harus terus menerus bertahan dalam satu ruang sempit. Saya tidak pernah berkeinginan untuk menjadi seorang pengecut yang terlalu takut untuk beranjak kemanapun karena merasa telah dapat berpijak kuat. Saya ingin hidup sebagai seorang pemberani. Dengan keberanian yang kita pergunakan ketika memutuskan untuk masuk ke dalam suatu dunia, tanpa ketakutan akan kenyataan bahwa suatu hari kita harus meninggalkannya lagi.</p> <p class="MsoNormal">Alam raya ini adalah sekolah yang sebenarnya. Dan seringkali kita menjadi murid yang terlalu bebal untuk menerima pelajaran-pelajaran yang tertulis di depan mata kita. Ataupun kita terlalu enggan untuk belajar karena telah merasa terlalu pintar untuk melakukannya lagi. Saya sendiri merasa sudah nyaris buta untuk dapat melihat ke depan. Bukan hanya itu: Saya nyaris buta untuk dapat melihat kemanapun lagi!</p><p class="MsoNormal">Hal seperti ini selalu dimulai dengan pertama kali saya memasuki suatu dunia, dan kemudian diiringi dengan peletakkan batu-batu di sekeliling saya secara berkesinambungan, hingga akhirnya mereka semua sedikit demi sedikit mulai menghalangi saya dari dunia di luar <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place>; Tidak ada lagi langit malam berbintang dan rembulannya yang selalu mengagumkan itu. Karena semenjak dunia ini telah menjadi kubus sempurna, saya hanya dapat melihat langitlangit dengan warnanya yang tidak semenarik rasi bintang yang paling membosankan sekalipun. Sayapun harus puas untuk mulai hidup di dalam dunia yang terlalu sempit untuk bisa berlari, melompat, atau sekadar menyanyikan lagu kemerdekaan. Saya juga harus puas untuk hidup dengan sepotong asa yang hanya mampu saya nikmati dari balik jendela yang hanya<o:p></o:p> menampakkan satu sisi dunia saja. Dan saya harus mulai bisa menganggap bahwa ‘dunia dari balik jendela’ yang hanya dapat saya lihat, tanpa dapat saya gapai itu adalah dimana saya hidup. Konyolnya, saya tidak benar-benar berada di luar <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city>. Melainkan saya tetap berada di bawah langitlangit dengan warna yang membosankan sementara langit di atas <span style=""> </span><st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city> mungkin sedang bermain-main dengan spektrum yang memesonakan. Saya tidak pernah tahu itu. Karena itu semua sudah menjadi suatu hal yang terlewatkan begitu saja.</p><p class="MsoNormal">Tapi entah kenapa hidup ini memang terlalu baik pada saya. Saya seolah-olah selalu diberi kesempatan untuk terus bereksperimen dan bereksperimen. Untuk selalu mencobai seperti apa rasanya bila hari ini hidup di satu dunia kecil dan keesokan sorenya saya harus pindah lagi ke dunia kecil lainnya. Saya mungkin memang orang yang terlalu bebal dalam belajar. Dan untuk itulah rasanya saya pantas untuk ditampar-tampari terus menerus agar saya tidak terlena hidup di dalam satu dunia kecil saja. Lalu akhirnya saya pun akan merasa takut untuk melihat kemungkinan bahwa kapan saja saya harus meninggalkan tempat ini, dengan siap atau tidak. Takut untuk melihat bahwa dunia kecil ini sesungguhnya bisa saja terlalu sepele untuk saya pertahankan terus menerus ataupun untuk membuat saya bertahan lebih lama lagi di dalamnya. Takut dan kemudian menyangkal apa-apa saja yang sebenarnya mungkin merupakan kebenaran lain yang patut dipertimbangkan. Penyangkalan memang rasa takut yang mengejawantah. Jadi apa yang masih perlu saya takuti kalau tidak ada apapun lagi yang dipertahankan?</p> <p class="MsoNormal">Apapun, semakin kuat kita mempertahankannya semakin kuat pula rasa takut kita untuk kehilangannya. Tidak ada yang lebih sepele daripada keyakinan itu sendiri. Hanya saja sesuatu akan terlihat begitu prinsipil oleh karena kita telah menahun hidup di bawah langit-langit yang itu-itu saja. Sehingga hal lainnya akan terlihat begitu kecilnya, dan pantas untuk dilihat sebelah mata atau bahkan tidak dianggap ada sama sekali.</p> <p class="MsoNormal">Seperti saya yang telah nyaris buta untuk melihat kemanapun lagi, karena selama ini saya hidup di bawah langit-langit yang itu-itu saja, di dalam dunia kecil yang sama. Sehingga saya pun hampir lupa bahwa dunia sebenarnya tidaklah sesempit itu. Dan tidak ada yang patut ditakuti apabila suatu hari kita memang harus meninggalkan tempat ini. Karena kemungkinan itu selalu ada. Sayangnya, dengan hidup di dalam satu dunia kecil dapat membuat kita lupa bahwa kita memang selalu punya banyak kesempatan lain selain hanya untuk hidup di dalamnya dan memandang dunia luar hanya dari balik jendela.</p><p class="MsoNormal">Kalau dunia ternyata memang sebesar itu dan saya masih diberi kesempatan untuk melihat adanya pilihan-pilihan lain yang bisa saya ambil dengan bebas, mungkin sekarang memang saat yang tepat bagi saya untuk melanjutkan hidup saya di dunia ini. Karena hidup ini selalu koma. Hingga nanti akhirnya menemukan satu tanda akhirnya cerita: titik.<o:p></o:p></p><br /><p style="text-align: right;" class="MsoNormal"><i style="">Di bulan yang ceria, menurut Vina Panduwinata.</i></p><br /><div style="text-align: center;">***<br /><br /><div style="text-align: left;">AKUNG<br /><br />Seminggu terakhir ini saya merasa pergerakan saya jauh melambat. Rasanya seperti sepeda motor saya yang tadi siang tiba-tiba saja mati mesinnya di lampu merah Menteng, setelah sebelumnya jalannya terasa sedikit lebih berat. Yang setelah saya pastikan bahwa memang karena tangki bensinnya kosong. Atau juga seperti ketika saya ikut mengangkat kurun batang Akung menuju ke tempat peristirahatannya yang terakhir persis seminggu yang lalu; yang semakin mendekati ke liang lahat rasanya menjadi semakin berat. Saya tidak ingin peduli akan takhyul takhyul yang menghubung-hubungkan hal tersebut dengan amal perbuatan almarhum semasa hidupnya.<br /><br />Semuanya memang berjalan seperti biasa. Bahkan seorang kawan di kantor saya pun tetap dapat mengajak bercanda dengan bahan kelakarnya yang pasti menurut dia sangat lucu. Cukup sulit memang untuk bisa ikut tertawa bersama dunia pada saatsaat seperti yang sedang saya alami ini. Dan terlalu cengeng juga untuk meminta mereka mengerti bahwa saat ini saya tidak sedang ingin diajak tertawa. Yang pada akhirnya saya pun mencoba untuk kembali memulihkan diri sendiri di tengahtengah dunia yang tetap bergerak seperti biasa.<br /><br />Meski demikian adanya, entah kenapa saya tetap merasa bertanggungjawab atas kekacauan-kekacauan yang terjadi dikarenakan kecerobohan saya sendiri yang tidak mampu bersikap normal untuk menjaga dunia ini tetap berjalan dengan normal pula. Mungkin saya memang konformis. Mungkin juga saya tidak suka membuat orang lain kecewa lantaran kekurangan yang saya punya. Karena kalau tidak begitu, kenapa saya jadi tetap merasa harus mengerjakan animasi dalam rangka membantu project teman saya, padahal saya sendiri tahu bahwa saat ini tidak sedang dalam kondisi mental yang baik untuk itu.<br /><br />Beberapa kali saya harus meminta maaf pada teman-teman yang mengharapkan partisipasi saya secara intens dalam rencana-rencana yang mereka galang. Seperti ketika client-nya teman saya itu mengajukan banyak komplain padanya karena ternyata masih terdapat banyak error dalam program animasi yang saya buat. Atau seperti ketika Jeri menitipkan dua buah kaset mini DV berisi rekaman mengenai perkampungan nelayan Kamal Muara untuk di-capture. Dan saya pun hanya bisa mengembalikan ekspektasi kedua teman saya tersebut dengan berkata: “sori yah kalau saya agak lambat. Akhir-akhir ini kondisi saya sedang kurang bagus.”<br /><br />Dan hal ini sepertinya diperparah dengan kesombongan saya yang tidak ingin kelihatan terlalu membutuhkan orang lain. Hidup ternyata memang lebih berat ketika problemaproblemanya harus ditanggung sendirian.<br /><br />Sementara dunia di sekitar saya berjalan seperti biasa, hidup saya sendiri seolah-olah masih mau menetap pada suatu waktu ketika hal-hal yang menurut saya tidak enak belum sempat terjadi. Maka jadilah saya seperti orang yang sedang trance di tengah-tengah mereka yang sedang sibuk-sibuknya mengakumulasi kapital. Konyol pastinya.<br /><br />Memang tidak mudah bagi saya untuk berjalan dengan normal ketika ada hal-hal yang tiba-tiba terlepas begitu saja dari diri saya. Apalagi hal buruk memang bukan sesuatu yang pernah direncanakan oleh saya. Antisipasi memang ada. Tapi seringkali sesuatu yang sudah kita susun dalam menghadapi hal-hal buruk sama sekali tidak berjalan sesuai harapan. Apalagi ketika ternyata saya harus menerima beberapa hal buruk secara bertubi-tubi. Saya tidak akan pernah tahu apa yang harus saya lakukan untuk mengantisipasi hal buruk kedua ketika saya hanya mempersiapkan diri untuk satu hal buruk saja.<br /><br />Tapi saya cukup bisa merasa lega karena masih ada seseorang yang mau sedikit demi sedikit membantu saya kembali menerima hidup ini memang begini adanya. Walau hubungan kami sempat kacau sebentar. Itu pun dikarenakan kelambatan saya dalam menyesuaikan diri dengan kenyataan. Saya juga senang karena dengan uang gaji bulanan yang pas-pasan masih bisa menyisihkan sedikit untuk membeli sekaleng atau dua kaleng pilox. Sehingga saya masih bisa meneruskan cita-cita muluk saya untuk menggerakkan hati orang-orang agar tidak terbius dengan <span style="font-style: italic;">gimmick-gimmick</span> para tiran yang ingin mendominasi kosmos, ketika mereka membaca coretan grafiti yang saya titipkan besar-besar di sudut-sudut yang anomali. Dan untuk saat ini rasanya kaleng-kaleng cat semprot itu punya peran untuk membuat saya tetap dapat berdiri tegak menantang tembok, dan tidak tergolek depresif di sudut-sudutnya.<br /><br />Saya tidak pernah takut kehilangan pekerjaan. Walau sebenarnya itu memang bukan suatu hal yang akan bisa saya terima dengan perasaan biasa-biasa saja. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan bahwa mulai esok pagi saya tidak lagi berjumpa setiap hari dengan teman-teman kantor yang selama ini baik pada saya. Walau demikian saya juga telah berkali-kali berandaiandai kalau suatu hari saya tidak lagi dibutuhkan.<br /><br />Tapi mungkin sayalah yang belum sampai melibatkan emosi dalam melakukan simulasi berandai-andai itu. Ketika hanya logika saja yang selama ini saya pergunakan untuk itu―tentang apa yang harus saya lakukan pertama-tama kalau saya sudah tidak dibutuhkan lagi, saya harus kemana lagi setelah dari sini, dan lain-lain―saya baru berpikir dan belum sempat merasakan. Oleh karenanya ketika hal itu telah benar-benar terjadi, masih banyak tugas yang ternyata belum saya selesaikan. Masih begitu banyak hal yang membutuhkan penyesuaian-penyesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan. Dan itu semuatidak mudah karena saya ternyata tidak pernah mengukur sedalam apa perasaan saya sendiri.<br /><br />Saya tidak pernah mengira sebelumnya seperti apa perasaan saya ketika sepuluh hari yang lalu saya dipanggil kedalam suatu ruangan dan di sana diberitahukan bahwa mulai bulan depan saya bukan lagi pegawai perusahaan mereka. Rasanya ada satu bagian di dalam kepala saya yang tidak dapat merespon hal itu dengan baik, yang akhirnya menyebabkan saya tidak mampu berkata-kata selain menyembunyikan apapun dengan senyuman.<br /><br />Semuanya terasa jelas. Bahkan mungkin terlalu jelas dari apa-apa yang tadinya samar dan hanya ada sebagai andai-andai. Sayangnya, perasaan saya tidak sempat saya ikut sertakan untuk berandai-andai. Maka itulah pertama kalinya saya mengenal seperti apa rasanya diberhentikan dari pekerjaan.<br /><br />Mulai hari itu dunia di sekitar saya mulai terasa bergerak lebih cepat. Karena hidup saya masih tertinggal bersama kenangan-kenangan manis yang saya lewati bersama kawan-kawan; di Puncak, Kawah Putih, pesta barbeque di roof kantor, atau di restoran-restoran yang menaungi kebersamaan kami semua yang tanpa dilandasi kepentingan bisnis. Sementara itu saya dituntut untuk segera menerima kenyataan bahwa itu semua hanyalah merupakan bagian dari masa lalu yang sudah sepatutnya ditinggalkan jauh di belakang sana. Jujur saja, ini memang tidak mudah bagi saya.<br /><br />Tiga hari setelahnya ternyata saya harus menelan sesuatu yang lebih pahit dari itu. Di suatu pagi yang sesungguhnya telah saya janjikan kepada seseorang, ternyata ia harus kehilangan pagi itu. Saya kehilangan Akung (baca: Mbah Kakung) saya. Segera menyerbu perasaan bersalah saya karena telah menjanjikan padanya bahwa pada hari ini ia pasti sudah jauh lebih sehat dari minggu lalu ketika saya meninggalkannya terbaring di ranjang rumah sakit polisi di Bandung. Juga teringat akan janji saya untuk kembali menjenguknya pada hari itu dengan membawakannya oleh-oleh dari Jakarta, entah apapun itu.<br /><br />Tapi pagi itu telah terlanjur menuturkan cerita yang sama sekali tidak ingin saya dengar. Dan pagi itu juga melukiskan sebuah pemandangan yang belum siap saya lihat. Di tengah-tengah pria-pria yang sedang membacakan ayat-ayat yang tidak pernah saya hapal, beliau terbaring kaku. Sungguh sulit untuk mengusir perasaan aneh, bahwa sepertinya baru saja kemarin saya mendengarnya masih berbicara dengan saya dan menyebut saya ‘hebat’ karena mau menggendongnya ke kamar mandi. Tapi hari itu saya seperti sudah dilarang oleh segenap alam semesta untuk berharap bisa mendengar sepatah kata darinya. Dan entahlah apakah di suatu tempat ia masih menyebut saya ‘hebat’ ketika saya ikut mengangkatnya di atas kurun batang menuju tempat peristirahatannya yang terakhir dan menggotongnya masuk ke lubang sedalam enam kaki yang sekarang sudah tertutup. Atau justru ia kecewa karena saya tidak menepati janji-janji saya padanya.<br /><br />Sungguh aneh ketika saya harus menerima bahwa sesuatu yang tadinya ada kini harus benar-benar tidak ada lagi. Maka itu saya butuh waktu yang cukup lama untuk mulai kembali mengejar ketertinggalan saya atas realita. Karena saya pun butuh waktu untuk mulai berjalan lagi ke depan dan tidak menetap pada masa-masa lalu yang pada akhirnya terasa seperti mimpi saja.<br /><br />Saya juga butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menulis lagi seperti kemarin-kemarin. Dan sepertinya hari ini saya sudah mulai siap lagi untuk kembali mengejar cita-cita muluk saya.<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /><br /><div style="text-align: left;"> <p class="MsoNormal" style="font-family:times new roman;"><span style="font-size:100%;"><b><span style="">BASED ON TRUE STORY</span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-weight: bold;font-family:times new roman;"><span style="font-size:180%;"><span style="">Malam yang Terjaga<o:p></o:p><br />di Kota yang Tertidur Terus</span></span></p><p class="MsoNormal" style=""><br /><b><span style=""><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style=""><b><span style=""><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style=";font-family:TrebuchetMS;font-size:9;" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Suara bass musik dangdut terdengar berdentumdentum cukup jelas dari seberang kali yang yang konon akan dibangun sebuah jalur transportasi air model futuristik; yang kalau tidak ada halangan lagi, tahun 2010 besok sudah jadi mirip Venezia. Sudah jadi rahasia umum, atau malah bukan merupakan rahasia lagi, kalau di seberang <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city> adalah tempat terjadinya transaksi seks murahan. Dan tidak jauh dari tempat tersebut adalah tempat mangkal para banci terpopuler di <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> ini. Maka hal apa lagi yang bisa disebut ilegal di sini ketika prostitusi saja sudah diamini oleh yang mengaku mengharamkannya? Tapi kenapa kerasnya suara bass di seberang <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city> masih saja kalah pamor dengan degup jantungku?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Adrenalin memang tidak pernah berbohong. Ketika ia berbicara kita tahu bahwa saat itulah sesungguhnya ada suatu hal luar biasa sedang terjadi dalam hidup kita. Ah! Memang sulit untuk menjelaskan rasanya seperti apa. Tapi malam itu adrenalin telah berbicara sekali lagi padaku. Dan kali itu jauh lebih sensasional daripada yang pernah kurasakan daripada ketika aku dihempaskan oleh halilintar dunia fantasi. Karena kali ini aku benar-benar tanpa sabuk pengaman dan berada di luar lintasan rel yang telah ditentukan. Ditarik oleh bumi di atas halilintar memang menegangkan. Tapi biar bagaimanapun juga telah ada suatu kesadaran tersendiri yang berkata </span><span style="font-size:100%;"><i><span style="">“tenang saja, ini semua hanya</span></i></span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;"><i><span style="">permainan, kamu nggak akan mampus” </span></i></span><span style="font-size:100%;">ketika itu terjadi dalam hitungan beberapa detik. Sedangkan adrenalin malam itu benar-benar berbicara dengan kata kata yang jauh berbeda;<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><i><span style="">“Apa kamu benar-benar siap melakukan ini? Siapkah kamu kalau ditangkap aparat malam ini juga?”<o:p></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Sialan. Rasa takut memang sialan kadangkadang. Ia seolah hadir dengan dua sisi dalam waktu yang bersamaan. Satu sisi iamenahanku untuk tidak melanjutkan apa yang ingin kulakukan. Tapi di sisi lain ia seperti menantangku untuk menerjangnya saat itu juga, atau selamanya aku akan menjadi pecundang. Karena kesempatan untuk berhadap-hadapan langsung dengan factor rasa takut memang jarang ditemui.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Aparat memang momok yang menyeramkan biar bagaimanapun juga. Dan penjara adalah mimpi buruk bagi manusia manapun. Tapi aku pun tidak ingin pulang sebelum melakukan apa-apa. Sudah kepalang tanggung aku berada di tempat yang jauh dari rumah ini. Betapa sia-sianya semua keberanian yang sudah sedemikian rupa terkumpul di malam buta ini. Betapa sia-sianya rasa kantuk yang sejak tadi ditahan-tahan. Maka satu-satunya jalan agar semua modal tadi kembali terbayarkan adalah dengan tidak menunda-nunda lagi untuk melakukannya malam itu juga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Aku tidak sendirian malam itu. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> tiga orang kawan lagi yang juga sudah sama-sama memerah matanya. Dan tanpa perlu aku tanyai lagi, aku sudah tahu kalau mereka sudah mulai lelah setelah mengendarai sepeda motornya sepanjang jalan tadi dan belum menemukan tempat untuk melakukan ini. Semua tempat yang seharusnya ideal masih terlalu ramai orang. Bahkan di beberapa tempat ternyata masih dijagai oleh polisi. Maka kami terpaksa harus membatalkan untuk melakukannya di <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city> dan mencoba mencari tempat lain.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Dan di sinilah pada akhirnya kami menepikan sepeda motor. Di sebuah tempat yang miskin cahaya lampu jalanan. Namun mungkin justru itulah yang membuatnya semakin ideal. Karena semakin kami tidak terlihat, maka semakin leluasalah kami dalam beraksi. Selain itu, adanya pembangunan </span><span style="font-size:100%;"><i><span style="">bus way </span></i></span><span style="font-size:100%;">di dekat tempat kami berdiri ini menyempurnakan semuanya. Bukan apa-apa. Tapi memang inilah sasaran kami kali ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Kalau saja kami tidak mempunyai kesamaan rasa muak akibat pembangunan </span><span style="font-size:100%;"><i><span style="">bus way </span></i></span><span style="font-size:100%;">yang semakin mengganas itu, mungkin kami tidak akan berada di tempat asing ini. Kalau saja kami lebih bias menerima kebusukan sebagai sesuatu yang wajar, mungkin kami lebih memilih untuk bergumul bersama bantal-guling sejak beberapa jam yang lalu. Tapi kami memang tidak pernah bisa tinggal diam ketika merasa dirugikan oleh apapun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Kami sebal dengan jalanan <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> ini beberapa waktu belakangan. Kemacetan terasa seperti berlipat ganda. Jalur yang ‘dipersempit’, walau dengan jumlah mobil yang tidak bertambah, tentu saja akan membuatnya mampat. Logika anak SD pun akan membenarkan hal yang simpel semacam itu. Tapi entah jalur logika apa yang digunakan oleh orang-orang itu sehingga seolah-olah mengacuhkan begitu saja konsekuensi yang harus ditanggung oleh banyak orang, untuk tetap bersikukuh melanjutkan ‘proyek pengeksklusifan jalan’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Konon ini semua hanya sementara. Karena katanya jalanan nantinya akan dilebarkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Kami tahu apa itu artinya ‘pelebaran jalan’. Pelebaran jalan selalu berakhir dengan penggusuran. Dan dengan empati yang kami punyai seadanya pun kami sudah bisa merasakan bahwa akan banyak kesedihan yang tercipta di hari-hari esok apabila ini semua terus berlanjut. Sudah terbayang ada puluhan bahkan ratusan kepala keluarga harus kehilangan lahan pekerjaan mereka yang memang di jalanan dalam tempo sesingkatsingkatnya. Itu berarti akan muncul kemungkinan terburuk meningkatnya jumlah pengangguran baru. Dan pengangguran memang identik dengan kriminalitas. Bagaimana tidak? Ketika orang-orang yang kemampuan finansialnya benar-benar terpuruk dihadapkan pada standar hidup tinggi yang entah ditetapkan oleh siapa, ada berapa cara rasional dan legal yang dapat mereka lakukan untuk itu? Padahal kita juga tahu, seinovatif apa </span><span style="font-size:100%;"><i><span style="">sih </span></i></span><span style="font-size:100%;">orang-orang yang modal pendidikannya jauh di bawah standar aneh itu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Sementara itu, tanpa peduli ada orang-orang yang bisa menjadi tidak waras karena merasa tidak mampu membeli mimpi-mimpi yang dijual, sinetron-sinetron dan reklame masih tetap berisik menggaungkan kemewahan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Berharap perubahan keadaan datang dari tangan pemerintah sudah lama kami anggap sebagai mimpi yang tidak pernah akan jadi nyata. Cita-cita untuk merebut kekuasaan dari tangan mereka dan kemudian membuat sistem baru juga sudah lama kami anggap seperti dongeng pengiring tidur yang jauh lebih klise daripada cerita-cerita 1001 malam. Tapi bukan berarti lantas kami akan menyerahkan begitu saja nasib hidup kami ke tangan mereka. Karena, walau mungkin kami memang berada di dalam genggaman mereka, kami tetap menggeliat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Kami tidak ingin terlelap pada malam-malam yang melelahkan raga kami setelah bekerja seharian, yang menyebabkan otak kami sudah merasa enggan lagi untuk berpikir apa-apa selain memikirkan anggaran belanja bulan ini. Pun kami tidak ingin terlelap pada saat siang hari ketika kami sedang terbangun. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Kalau memang ada orang yang harus dibangunkan dan dibuat untuk tetap terjaga terus menerus, itu adalah diri kami sendiri. Kami memang tidak pernah ingin terlelap dalam kehangatan telapak yang menggenggam kami semua. Karena hanya kesadaran sajalah yang mampu membuat kami tetap memegang kendali atas diri sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Pinokio pada akhirnya berhasil menanggalkan takdirnya sebagai boneka kayu untuk menjadi manusia, karena ia memulainya dengan melupakan kodrat bahwa boneka harus selalu dikendalikan oleh tangan Gepeto (sang pencipta Pinokio) untuk dapat bergerak. Ia juga harus belajar bahwa Kebenaran adalah berada di atas segalanya, dengan tidak berkata bohong kalau tidak mau hidungnya menjadi panjang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Dengan berbekal kesadaran yang sama dengan Pinokio lah kami tetap menggeliat merebut nasib kami yang telah tercuri. Kami menuntut kembali nasib kami agar dapat kembali berada di tangan kami sendiri. Bukan di tangan siapasiapa. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Proyek pembangunan </span><span style="font-size:100%;"><i><span style="">bus</span></i></span><span style="font-size:100%;"> </span><span style="font-size:100%;"><i><span style="">way </span></i></span><span style="font-size:100%;">ini pun sepertinya mengindikasikan sesuatu yang tidak mengenakkan. Bahwa sebentar lagi akan ada suatu pengaturan hidup manusia atas manusia yang entah untuk keberapa kalinya tidak melalui usaha pencapaian kesepakatan yang melibatkan setiap orang yang berhak untuk itu. Dan sekali lagi Demokrasi akan menjadi tinggal mimpi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Untuk itulah kami berada di tepi jalan malam itu. Bukan untuk orang lain. Bukan dalam rangka melakukan sesuatu yang heroik untuk siapapun juga. Tapi karena kami merasa punya suara yang tidak pernah boleh dibungkam oleh kekuatan macam apapun. Dan kalau memang benar ‘kata’ itu masih dianggap sebagai sesuatu yang agung; kami juga ‘RAKYAT’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Juga karena kami percaya setiap manusia berhak untuk menyampaikan suaranya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Karena kami pun sudah jenuh dengan model Demokrasi yang hanya menerima suara melalui kotak-kotak suara; dimana sebenarnya suara-suara kami tidak pernah benar-benar terwakilkan seutuhnya di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place>, apakah kemudian salah apabila malam itu kami memilih media lain untuk bersuara? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Lagipula di sini kami hanya akan memberi pertanyaan saja. Bukan pernyataan. “Solusi?” cukup satu kata itu saja yang akan kami sampaikan. Dibubuhi tanda tanya memang. Dan kami tahu hal itu tidak terlalu menyenangkan. Karena tanda tanya selalu punya potensi untuk membuat apa-apa yang sepertinya sudah cukup mapan bisa dengan seketika goyah. Iklan rokok itu sepertinya ikut bertanggungjawab karena sudah mengajarkan anak-anak muda kita untuk bertanya secara kritis, dengan tanggungjawab yang lebih besar daripada tanggungjawab akan ‘pembodohan’ untuk menghisap racun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Maka tanpa ingin ditunda lebih lama lagi, kami titipkan suara kami di situ, di atas properti kalian semua. Dan sekali lagi, ini bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk mengajak para banci di atas jembatan <st1:city st="on">sana</st1:city> atau orang-orang yang sedang bergoyang mengikuti hentakan bass dangdut di seberang kali <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city> untuk mengikuti apa yang kami katakan. Bukan untuk membangunkan <st1:city st="on">kota</st1:city> yang terus menerus tertidur ini; yang ironisnya sedang bercita-cita menyamai NewYork yang punya julukan ‘<st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> yang tidak pernah tidur’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Ini semua kami lakukan untuk menjaga diri kami agar tetap dalam keadaan sadar. Untuk itulah malam malam kami yang terjaga, dengan hanya bermodalkan beberapa kaleng Pilox di tangan, penutup wajah untuk menghindari rekaman CCTV, kaki yang kuat untuk lari dari kejaran POL PP, dan tentu saja adrenalin.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">***</span></span><br /></div></div></div></div><br /><div style="text-align: left;"><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaDF96J6GaXf0gfLkVi8XhPpGnBbEFOK1Xmvctwz1crDw-8QbB8_TiKqqmzUC323iX1PX-0j49wDvllkI3Nritz5gAeL12Km-DVWuuKmPIhRWRpMA4zpaCmbmM6nyQ_6e0cP3yupbd9mw/s1600-h/KK2006_preview.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 306px; height: 203px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaDF96J6GaXf0gfLkVi8XhPpGnBbEFOK1Xmvctwz1crDw-8QbB8_TiKqqmzUC323iX1PX-0j49wDvllkI3Nritz5gAeL12Km-DVWuuKmPIhRWRpMA4zpaCmbmM6nyQ_6e0cP3yupbd9mw/s400/KK2006_preview.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5293842257086584290" border="0" /></a><a href="http://www.megaupload.com/?d=JGWZF238">Unduh Versi Lengkapnya dalam Format PDF</a><br /><span style="font-size:8;"></span></p></div></div></div></div></div></div></div></div></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-18217175723180668802008-12-21T23:55:00.003+07:002008-12-22T00:11:18.917+07:00Kematian<span style="font-family: arial; font-style: italic;">Mana yang lebih kamu takuti dari kematian: kehilangan apa-apa yang kamu miliki sekarang, atau ketidaktahuanmu pada apa yang akan kamu hadapi setelahnya?</span>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-37135655894925725212008-11-07T02:30:00.014+07:002008-11-08T17:34:28.221+07:00Industri<p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;">Masih ada cerita dari Fakfak, salah satu Kabupaten di Propinsi Papua Barat yang belum genap sepekan saya tinggalkan. Cerita itu kali ini mengenai air mata milik seorang lelaki. Saya lupa nama lelaki itu. Nama yang terlalu sulit untuk saya ingat. Tipikal nama-nama orang timur asli (baca: Indonesia bagian timur) yang kebanyakan memiliki konsonan dobel.Tapi saya tak pernah melupakan matanya. Mata yang telah terlanjur saya saksikan membasah pada suatu malam. Malam di mana kami hendak meninggalkan desanya, Mambunibuni.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ia adalah seorang guru SD di satu-satunya SD yang terdapat di desanya. Ia termasuk salah satu dari orang-orang yang menyambut antusias kedatangan kami. Terbukti, selama kami berada di sana, ia begitu setia menemani. Bahkan tak jarang ia bersedia mengangkat tripod kamera saya. Bukan saya yang memintanya, melainkan ia yang langsung mengambilnya dari tangan saya seraya berkata: “biar saya bawakan, mas.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya melihat kedatangan kami, sebagai <i>orang tivi</i>, membuatnya menjadi begitu bersemangat dalam menjalani hari-hari selama kami berada di desanya. Bukan hanya karena melihat ia yang selalu hadir di setiap lokasi pengambilan gambar, dan hanya akan pulang ke rumah setelah proses syuting selesai. Tapi saya melihat hal itu semenjak baru tiba di Mambunibuni. Tepatnya ketika dia menyambut kedatangan saya dan Andri, reporter saya, di sekolah tempat ia mengajar. Dia lah yang mempersilakan kami masuk ke ruang guru waktu itu, karena Kepala Sekolah sedang berada di Fakfak untuk suatu urusan. Dia yang menarik bangku-bangku dari belakang meja kerja guru-guru untuk kami. Dia pula yang akhirnya mengisi peran Kepala Sekolah, yang dalam hirarki organisasi paling berwenang memutuskan apakah kami diijinkan untuk ‘meminjam’ siswa-siswi sekolahnya untuk kami jadikan subjek dalam dokumenter kami. Dan, iya, dia setuju.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Kami sangat senang mas-mas berdua datang ke desa kami. Kami yang biasanya cuma bisa nonton orang di tivi, sekarang orang yang nonton kami. Dari pihak sekolah kami akan menyediakan anak-anak sebagai pemeran film yang akan mas-mas berdua buat. Kami akan siapkan murid-murid kami berapapun yang mas-mas butuhkan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Mendengar dia berkata seperti itu saya merasa menjadi seorang pahlawan bagi warga desa yang haus akan bentuk perhatian dari orang luar. Ia bahkan sempat bertanya, “apakah ini akan menjadi seperti Denias?” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Perlu kau ketahui, di sana Denias seperti telah menjadi film wajib bagi orang-orang. Di setiap desa yang saya datangi di Fakfak, tak ada satu pun warganya yang mengaku belum pernah menonton film yang bercerita soal seorang anak suku pedalaman di Timika itu. Sebegitu bangganya mereka pada Denias karena merasa telah menjadi representasi diri mereka. Padahal Fakfak dan Timika letaknya cukup jauh juga. Yang satu berada di Papua Barat, sementara yang satunya lagi di Papua Tengah. Menanggapi pertanyaannya, saya hanya bisa menjawab: kurang lebih begitulah. Sebab malu juga kalau mengakui kualitas Denias pasti lebih baik daripada apa yang akan kami buat dengan peralatan minim yang kami bawa. Tapi demi untuk mempersingkat waktu saya jawab saja begitu. Dan wajahnya menjadi lebih cerah lagi ketika ia mengatakan: “berarti kalau dulu anak-anak kami yang menonton Denias, sekarang Denias yang menonton kami. Begitu, kah?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Kira-kira begitulah, Pak,” saya menjawab dan kemudian tertawa. Saat itu saya masih bisa tertawa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Pada suatu hari Kamis, hujan lebat mengguyur Mambunibuni nyaris sepanjang hari. Saya yang pada hari itu sudah terlanjur pergi bersama anak-anak ke pinggir sungai untuk melakukan syuting, dengan pasrah hanya bisa menunggu dan berharap hujan segera berhenti. Saya membiarkan enam anak yang mulai merasa dekat dengan saya itu memain-mainkan rambut saya. Memelintir-melintir rambut saya. Menarik-nariknya, bahkan sampai berani menggerak-gerakkan kepala saya hingga seperti orang yang sedang <i>headbanging</i>. Saya menyalahkan Andri untuk yang terakhir itu. Sebab semenjak pertama kali ia menyetel <i>Dugem vs Metal</i> dengan ponselnya, sembari ia mengangguk-anggukan kepalanya, anak-anak itu jadi memaksa saya untuk ikut mengangguk-angguk bersama Andri. Padahal saat itu saya sedang pusing melihat hujan yang tak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Dan Andri terus menerus mengulang-ulang lagu itu. Sehingga anak-anak terus-menerus punya kesempatan untuk memperlakukan kepala saya dengan semena-mena. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saat itu sebenarnya saya mulai merasa kesakitan. Tapi karena di luar sana hujan belum juga reda, saya tak punya pilihan lain. Saya tak bisa lari dari mereka, maupun mengusir mereka untuk menjauh dari saya. Saya tak mau kehujanan, dan saya juga tak ingin mereka kehujanan. Karena saat itu kami berdelapan, duduk berdesak-desakan di bawah sebuah atap daun-daun kelapa yang disusun sedemikian rupa sehingga hujan tidak dapat merembes dan mengenai kami. Pak Guru yang antusias itulah pembuatnya. Sejak pagi-pagi sekali ia telah datang bersama enam orang muridnya ke rumah Kepala Desa, tempat kami bermalam selama di sana. Dengan semangatnya ia menjemput kami, menunjukkan lokasi yang bagus, mencarikan gedebong pisang untuk properti syuting, hingga akhirnya ia juga yang membuatkan atap darurat saat ia melihat hujan pasti akan turun. Saat itu ia berada di atap daun kelapa yang berbeda. Sesekali tersenyum ke arah saya seraya mengacungkan jempolnya ketika enam murid didikannya tengah menyiksa saya. Memelintir-melintir rambut saya. Menarik-nariknya, menggerak-gerakkan kepala saya hingga seperti orang yang sedang <i>headbanging</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Senyum dan acungan jempol itulah yang kemudian membuat saya menyadari satu hal yang tadinya sempat tak saya syukuri. Sepertinya ia tengah memuji saya. Barulah saya ingat betapa intovertnya enam anak ini tadi sebelum hujan turun. Betapa pendiamnya mereka. Dan betapa pemalunya mereka. Kini, selang beberapa jam saja, mereka sudah bisa asyik bermain-main dengan rambut saya. Hal yang rasanya tak akan berani mereka lakukan pada kakak kandung mereka sendiri apalagi pada orangtua mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;">Sembari menahan sakit akibat salah satu anak menarik cambang saya, saya mencoba menoleh ke Andri yang masih setia memutarkan lagu Project Pop yang terkutuk itu. Hanya penasaran apakah ia masih mengangguk-anggukkan kepala seperti tadi. Ternyata tidak sedang headbanging, ia sedang tersenyum dan kemudian mengacungkan jempolnya. Lalu ia membisikkan sesuatu: “ternyata ada untungnya juga kan hujan seharian? Anak-anaknya bisa jadi lebih dekat sama kita nih, <i>bro</i>.”</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ya, benar. Kamu jenius, ndri!</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > Dan hujan tak kunjung berhenti sampai matahari tenggelam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;">Lima hari kami berada di Mambunibuni. Pasti itu terlalu lama bagi produser yang mengharapkan kami bisa membawa empat episode dalam waktu sembilanbelas hari yang kami punya untuk berada di Fakfak. Ini juga merupakan pengerjaan-satu-episode terlama yang pernah saya alami. Terlalu lama memang kalau untuk membuat satu episode saja sampai harus memakan waktu lima hari. Pikiran dan perasaan keburu basi apabila terlalu lama berada di satu lokasi, memikirkan satu episode saja. Namun, apa mau dikata, hujan terus menerus turun di Mambunibuni. Saya juga tidak ingin memaksakan mengambil gambar pada saat hujan turun. Fatal akibatnya. Kamera rusak terciprat air. Saya bisa kena SP.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tapi kelihatannya lima hari itu terlalu sebentar bagi Pak Guru yang antusias dengan kehadiran kami di tengah-tengah mereka. Dia menahan kami supaya pulang setelah tanggal 7 November saja. Sebab tanggal tujuh akan ada festival perahu di Fakfak. Saya tertawa. Saya bilang padanya bahwa saya bisa dipecat kalau begitu. Dan dia pun tertawa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Malam harinya, tawa itu tak lagi ada. Suasana tiba-tiba berubah menjadi sangat serius ketika kami semua berkumpul di rumah Kepala Desa untuk perpisahan. Suasana formil yang kurang saya sukai. Saya menyaksikan wajah orang-orang yang ada di ruangan itu satu persatu ketika Kepala Desa sedang berbicara. Wajah enam anak bengal yang sempat menarik-narik rambut saya itu satu persatu. Salah satu dari mereka sudah ada yang bisa mengangkat-angkat salah satu alisnya ketika pandangannya beradu dengan saya. Saya tertawa sendiri dan segera menunduk menahan tawa itu. Khawatir Pak Kades merasa tidak dihargai karena tidak didengarkan pembicaraannya. Maaf, Pak. Tapi, hei… Pak Kades, lihat! Saya yang mengajari anak itu mengangkat alisnya, lho! Ah, tidak penting. Yang terpenting kini mereka sudah tidak se-introvert waktu pertama kali bertemu saya; yang bahkan untuk menyuruh mereka mengangkat wajahnya saat berbicara saja susahnya setengah mati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tiba giliran Pak Guru selaku pengajar anak-anak itu untuk berbicara. Saya mencoba berusaha untuk bisa bersikap dewasa kali ini. Lupakan dulu canda ria dengan anak-anak itu. <i>Toh</i>, juga sebentar lagi sudah akan meninggalkan mereka. Jangan membuat mereka merasa semakin sulit melupakanmu. Kasihan. Rindu itu sering menyesakkan dada.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya menanti Pak Guru mulai berbicara sejak tadi saya mulai bertekad untuk bersikap dewasa. Tapi beberapa detik sudah berlalu, dan belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut orang antusias itu. Bahkan ia pun menunduk. Menunduk, seperti anak-anak introvert itu ketika saya baru tiba di desa ini lima hari sebelumnya. Seluruh hadirin yang ada di ruangan diam. Hanya suara desing hening yang terdengar selama beberapa detik itu. Hingga akhirnya ada suara lain yang mengusik hening. Suara isak tangis yang tertahan. Siapa yang menangis, tanya saya dalam hati. Pak Guru mengangkat wajahnya. Matanya sudah membasah. Saya terenyuh menyaksikan pemandangan itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya ingin bertanya ‘kenapa, pak, kok sedih?’, tapi khawatir dianggap naif oleh orang-orang yang sedang bersikap formal pada malam itu. Termasuk Andri. Semuanya diam saja. Maka saya pun urung bertanya. Hingga akhirnya Pak Guru berbicara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >"Selama ini Indonesia yg kami saksikan di tivi adalah Indonesia yg sama sekali asing sama kami... Kami tidak pernah melihat anak-anak kami sendiri muncul di situ... Tapi kedatangan Mas-Mas berdua ini bikin saya sekarang jadi merasa kalau kami juga bagian dari Indonesia. Terimakasih, Mas-Mas berdua."<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Hati saya hancur mendengarnya. Perasaan saya kacau dan pikiran saya berantakan, sehingga saya tidak dapat mengidentifikasi rasa apa yang tengah ada di hati saya malam itu. Yang saya ingat, saya merasa sangat bersalah karena justru telah datang ke sana. Seandainya dia tahu bahwa saya tidaklah seheroik yang ia pikir. Saya datang ke desa itu bukanlah untuk mereka. Tapi sejujurnya hanyalah dalam rangka ditugaskan oleh sebuah perusahaan di ibukota negara sana untuk mencari yang unik-unik untuk bisa dijual! Iya, pemilik perusahaan tempat kami bekerja bahkan tidak peduli kalau mereka ada. Yang ia pedulikan hanya satu: apakah suatu acara bisa membuat rating&share perusahaan televisi ini naik, sehingga para pengiklan akan berani membayar mahal untuk memasang iklannya pada jam tayang acara tersebut? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya hanyalah bagian dari mereka, Pak Guru, andai kau tahu itu. Dan kalian ini hanyalah menjadi semacam bahan baku yang saya masukkan ke dalam keranjang belanja bernama ‘kaset’, untuk kemudian saya serahkan pada sang koki ‘editor’ untuk diolah menjadi masakan yang nantinya dimakan oleh konsumen bernama ‘penonton’. Dan, iya, kita adalah bagian dari sistem banal ini. Dengan atau tanpa kita sadar bahwa kita adalah bagian dari sistem seperti ini, semua pergerakan kita bertujuan untuk membuat roda sistem ini terus berputar. Permasalahannya, jumlah yang tidak sadar itu terlalu banyak. Dan mereka ada di setiap bagian yang saya sebutkan tadi. Mereka ada di dekat Pak Guru selama ini. Iya, anak-anak didik Pak Guru itu. Anak-anak yang lincah; yang kulitnya hangus terbakar matahari; yang tidak pernah mengenakan alas kaki meski berlari-lari di aspal panas; yang bisa melakukan salto di air terjun. Mereka, anak-anak yang masih sangat murni dan kosong. Mereka bahkan belum menyadari eksistensi dirinya sendiri. Bagaimana mereka mungkin bisa menyadari bahwa mereka berada di dalam sistem ini? Jauh di sana, Pak Guru, di tempat yang orang-orangnya terlalu sibuk untuk pergi berekreasi karena rutinitas harian mereka yang tak mungkin bisa mereka lepaskan, ada orang-orang yang merasakan secuil sensasi kembali ke alam hanya dengan menyaksikan anak-anak lincah bermain-main di alam bebas. Mereka menonton acara-acara petualangan memang karena benar-benar sebagai pelarian dari ketiadaberdayaan mereka meninggalkan rutinitas harian mereka. Padahal di lubuk hatinya yang terdalam, mereka sangat ingin pergi ke tempat-tempat seindah desa Pak Guru ini. Seringkali juga mereka tidak sadar bahwa mereka merupakan bagian dari sistem ini. Sebab jika mereka tidak ada, acara-acara tentang alam pun tidak akan pernah ada yang mau memproduksi. Siapa yang mau makan? Dan yang terakhir, barangkali yang terjahat, adalah kami Pak Guru.</span> <span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Kami yang datang jauh-jauh dari Jakarta sana ke desa Pak Guru yang terpencil ini hanya untuk merekam sesuatu yang nantinya bisa ditonton oleh para penonton. Bukan untuk bersilaturahim! Hubungan di antara kita hanyalah hubungan produksi, Pak Guru. Itu saja. Tak lebih, tak kurang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Maka kalau malam ini Pak Guru menangis seperti itu dan merasa terharu karena merasa telah menjadi bagian dari Indonesia, menjadi bagian dari kami, saya pikir itu salah… Justru saya sedang mengusahakan agar Indonesialah yang menjadi bagian dari kalian. Lihat, di sini kalian masih punya barter[1], yang mana Indonesia tak gunakan lagi. Alam kalian masih begitu asri, yang mana di kota besar sana orang-orang hanya bisa melihat itu lewat layar kaca saja. Justru apa yang saya inginkan adalah membuat penonton tersadar bahwa: “hei, ini lho… ternyata masih ada lho orang yang memakai barter dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bisa, kan? Mungkin, kan?” Begitu, Pak Guru…<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Lagipula, Pak Guru tidak tahu <i>sih</i> apa artinya diperhatikan oleh Pemerintah. Pak Guru merasa bukan bagian dari kami karena merasa tidak diperhatikan, bukan? Karena desa ini hanya memiliki satu sekolah saja, karena satu-satunya akses ke desa ini jalanannya rusak berat, dan karena belum semua rumah di sini memiliki WC. Kan? Pak Guru tidak tahu apa artinya ‘diperhatikan’. Jika suatu daerah diperhatikan oleh pemerintah, artinya daerah itu memiliki potensi. Entah potensi alam, potensi wisata, atau potensi apalagi entah. Dan jika suatu daerah sudah disadari memiliki potensi maka apa yang akan mereka lakukan berikutnya, Pak Guru? Iya, eksploitasi! Bukan hanya alam, tapi juga manusia. Anak-anak didik Pak Guru yang bengal-bengal ini akan mereka eksploitasi menjadi pekerja mereka. Menjadi budak-budak pabrik yang akan diperas keringatnya. Mungkin Pak Guru berpikir menjadi buruh pabrik lebih baik daripada menjadi petani keladi. Karena digaji oleh orang lain itu lebih keren? Begitu, Pak? Salah, Pak.[2]<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Pak Guru seharusnya bersyukur karena saat ini desa Pak Guru belum diperhatikan oleh Pemerintah. Karena nanti, apabila tiba saatnya desa Pak Guru mendapatkan giliran apa yang mereka sebut dengan ‘Pembangunan’, Pak Guru baru akan menyadari sekaya apa Pak Guru dahulu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Iya, Pak Guru, Sama-sama,” hanya itu saja kata-kata yang benar-benar bisa terucap dari mulut saya malam itu. Itu pun meniru apa yang Andri ucapkan. Hati saya masih gamang ketika keluar dari pintu rumah Pak Kades malam itu. Di luar gelap sekali. Barangkali bulan mati. Saya mengeluarkan ponsel dari kantong celana. Menghidupkannya sembari berjalan pelan-pelan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Ngapain lo, bro? <i>Belom</i> ada sinyal di sini,” Andri meledek saya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Enak aja. Buat senter nih. Gelap, takut kesandung,” cahaya seadanya dari senter ponsel saya cukup untuk menerangi jalan setapak di depan. Tiba-tiba saya teringat seorang perempuan yang saat itu sedang berada jauh dari sini. Aida. Benar juga Andri, saya rindu dia. Sudah beberapa hari terakhir ini saya tak berkomunikasi dengan dia, lantaran di desa ini tak ada sinyal. Waktu itu saya pikir saya bisa mati sesak jika tidak mendengar suaranya sekali dalam sehari. Ternyata saya bisa melaluinya dengan selamat.[]<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >___<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText">[1] Bacaan Lebih Lanjut: <span style="color:white;"><a href="http://dalam-diam.blogspot.com/2008/11/another-world-is-not-only-possible.html"><b><span style="color:white;">Another World is Not Only Possible!</span></b></a><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText">[2] Bacaan Lebih Lanjut: <span style="color:white;"><a href="http://dalam-diam.blogspot.com/2007/06/kebebasan-memang-sesuatu-yang-harus.html"><b><span style="color:white;">Kebebasan Memang Sesuatu yang Harus Kita Raih Sendiri.</span></b></a></span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-86015291276941275402008-11-05T09:13:00.010+07:002008-11-06T16:50:47.803+07:00Demokrasi<div style="text-align: center;"><span style="font-family:arial;">1</span></div><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"> </div><span style="font-family:arial;">Ayah saya bukan orang yang akan mengganti saluran televisi apabila menemukan saluran tersebut sedang menayangkan berita. Tapi entah kenapa kemarin pagi ia sewot melihat televisi kita jadi gencar menayangkan <span style="font-style: italic;">update</span> seputar proses pemilihan Presiden AS. “Heran, orang Amerika yang pemilu, kenapa kita jadi yang ikut-ikutan sibuk,” ujarnya seraya mengecilkan volume.</span> <span style="font-family:arial;"><br /><br />Saya menawarkan pandangan saya padanya. Bahwasanya, pemilihan presiden Amerika itu jadi relevan bagi seluruh umat di dunia, karena orang-orang ingin tahu siapa berikutnya orang yang akan menentukan hidup mereka. Karena selama ini memang demikian seringnya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara Adi Kuasa tersebut mempengaruhi negara-negara lain yang berada di bawah dominasinya.</span> <span style="font-family:arial;"><br /><br />Ayah saya mengangguk setuju. Televisi ia matikan.<br /><br /></span> <div style="text-align: center;"><span style="font-family:arial;">2</span> </div><span style="font-family:arial;">Sore hari di dunia maya, seorang teman berkata pada saya, bahwa manusia ditakdirkan untuk menjadi tergesa-gesa. Pemikirannya ini berdasar pada pengamatannya, bahwa terlalu lama untuk seorang manusia bisa berfikir dan berusaha untuk saling mengerti dan memberi pengertian ke sekitarnya.</span> <span style="font-family:arial;"><br /><br />Saya berkata padanya: “Oh. Pantas saja orang-orang percaya bahwa dengan voting jutaan atau milyaran aspirasi bisa terwakili. Kemudian mereka dengan tergesa-gesa juga menyimpulkan bahwa inilah demokrasi… Ya, ya, ya.”</span> <span style="font-family:arial;"><br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span style="font-family:arial;">3</span><br /></div><span style="font-family:arial;">Malamnya sesaat sebelum tidur, saya mengenang ulang ucapan seorang teman di balai kota Bandung sekitar empat tahun silam. Menurutnya, jikalau pemilu memang bisa membawa perubahan, berarti pemilu itu adalah sesuatu yang ilegal. Kenapa? Sebab… adakah perubahan signifikan yang pernah benar-benar terjadi semenjak kita berada di bawah sistem yang justru mempertahankan kemapanan? Cobalah satu kali engkau tawarkan sebuah sistem alternatif--yang benar-benar baru--kepada penguasa. Kau pasti taulah apa reaksi mereka. Kau pun sudah pernah diingatkan oleh sebuah iklan rokok, bahwa hanya yang tua boleh bicara. Jadi perubahan apa yang bisa kita harapkan terjadi dari sebuah pemilihan umum? Adakah perubahan yang bisa ditolerir oleh para kaum tua penyembah kemapanan?</span> <span style="font-family:arial;"><br /><br />Terngiang lagu Wyclef Jean,<span style="font-style: italic;"> if I was a president</span>, di telinga saya. Membayangkan ucapan Wyclef itu akan terjadi apabila Barack memang benar-benar orang yang sedang memperjuangkan sebuah <span style="font-style: italic;">change</span>, sebuah perubahan. Mungkin apa yang dikatakan dalam lagu itu akan menjadi kenyataan: …<span style="font-style: italic;">I'd get elected on Friday, assasinated on Saturday, and buried on Sunday</span>.<br /><br /></span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDs-3EnXiFcQ2anGMJzNlW5dR4wseX1hAMl5iiOBvcdopqHyWXchrHWq2lTyjxnBRBgMbW-nFurerWDskJFqcjUlnA104VCcmguZjjmrR6EzKuR4Vlg71oXivsuUg3acw6k56tCMy4VQ0/s1600-h/a+candidate.bmp"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 291px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDs-3EnXiFcQ2anGMJzNlW5dR4wseX1hAMl5iiOBvcdopqHyWXchrHWq2lTyjxnBRBgMbW-nFurerWDskJFqcjUlnA104VCcmguZjjmrR6EzKuR4Vlg71oXivsuUg3acw6k56tCMy4VQ0/s400/a+candidate.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5264992080735102754" border="0" /></a></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-74062380569719803212008-11-03T06:20:00.013+07:002008-11-04T08:09:20.551+07:00Another World is Not Only Possible!<div style="text-align: justify;"><span style="font-family:arial;">Ada semacam perlawanan pada kapitalisme yang dilakukan tanpa kesadaran akan eksistensi kapitalisme, pun tanpa pemahaman yang komprehensif mengenai kapitalisme itu sendiri. Meski perlawanan model seperti ini tampaknya terlalu jauh dari kemungkinan untuk bisa benar-benar menumbangkan musuh, bahkan terlalu sulit untuk bertahan lama. Bagaimana mungkin seseorang dapat memenangkan pertempuran apabila ia tidak pernah mengenal musuhnya? Kata Sun Tzu, “Dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri takkan pernah beresiko dalam seratus pertempuran; Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko dalam setiap pertempuran.”</span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3oxIESS_Zptn1FccAZ3uXX4zFfeHqGfI-QZOXubjIqX2Rza7GSuHa0n9gLlQLPilxPcUGl2xZ7Vz_ZlmwIETgxXo7DK9enaR-4AoM2GAGjHk3VV4xd-FX-xWmBhhAcC7pBiDi5Jf4HjU/s1600-h/tomang.bmp"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 170px; height: 125px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3oxIESS_Zptn1FccAZ3uXX4zFfeHqGfI-QZOXubjIqX2Rza7GSuHa0n9gLlQLPilxPcUGl2xZ7Vz_ZlmwIETgxXo7DK9enaR-4AoM2GAGjHk3VV4xd-FX-xWmBhhAcC7pBiDi5Jf4HjU/s200/tomang.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5264437486431439906" border="0" /></a><span style="font-family:arial;">Di Mambunibuni, Distrik Ko</span><span style="font-family:arial;">kas, Kabupaten Fakfak; saya menemukan sebuah kegiatan ekonomi sebelum kapitalisme populer, masih berjalan sampai dengan hari ini. Barter. Di desa itu, saban Sabtu pagi masyarakatnya menyelenggarakan sebuah pasar. Mereka senang menyebutnya dengan</span><span style="font-family:arial;"> ‘Pasar Barter’. Sebab memang di pasar tersebut, orang-orang melakukan aktivitas</span><span style="font-family:arial;"> </span><span style="font-family:arial;">tukar-menukar barang untuk memenuhi kebutuhan hidup </span><span style="font-family:arial;">masing-masing. Barang-barang yang bisa ditukar memang hanya </span><span style="font-family:arial;">terbatas pada hasil kebun dan hasil laut. Sedangkan,</span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbgV2Xiz__uxjPsVwtOUA_K_fyXYB0-0ZCxg8-HWZgBbV33KjoawBurF6ZQk4wm6NEBhb7i7Fjb6DMCXQHBxmIhQMpo4r_lS2UPbo-j9Xn5deKllbRDpOnQUUyUGilVUVKzcEKaRv4s9Y/s1600-h/wayawaya.bmp"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 147px; height: 110px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbgV2Xiz__uxjPsVwtOUA_K_fyXYB0-0ZCxg8-HWZgBbV33KjoawBurF6ZQk4wm6NEBhb7i7Fjb6DMCXQHBxmIhQMpo4r_lS2UPbo-j9Xn5deKllbRDpOnQUUyUGilVUVKzcEKaRv4s9Y/s200/wayawaya.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5264440503159667746" border="0" /></a><span style="font-family:arial;"> apabila kamu</span><span style="font-family:arial;"> </span><span style="font-family:arial;">membutuhkan</span><span style="font-family:arial;"> sebatang pensil, kamu tak diperbolehkan untuk menukarkannya</span><span style="font-family:arial;"> dengan keladi hasil kebunmu meski satu <span style="font-style: italic;">tomang</span> (tas rajut yang biasa dipakai untuk membawa hasil kebun) banyaknya. Saya juga tidak mengerti kenapa. Jawaban mereka pun terlalu abstrak saat saya bertanya: “Karena pensil ini nilainya uang.”</span><span style="font-family:arial;"> Tapi kamu boleh menukarkan setengah <span style="font-style: italic;">tomang</span> keladimu dengan <span style="font-style: italic;">heikijap </span>(ikan laut yang telah diasapi dan dijepitkan pada kayu) sebanyak satu <span style="font-style: italic;">kijabwor </span>(alat penjepit ikan itu).</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Melihat kenyataan masyarakatnya yang masih jauh dari bisa disebut ‘maju’, serta mengetahui cara mereka merekrut guru SD yang saya nilai ‘serampangan’—belakangan saya tahu bahwa salah satu guru di satu-satunya SD di desa itu adalah mantan petani keladi yang belum pernah memperoleh pendidikan standar untuk menjadi seorang guru; yang langsung diterima jadi guru hanya atas dasar kesediaannya saja—rasanya terlalu jauh dari bayangan bahwa masyarakat di desa itu mengerti apa itu kapitalisme. Jadi apabila mereka masih mempertahankan kegiatan barter, pastilah bukan dengan tendensi menjatuhkan sistem ekonomi raksasa itu. Lalu, apa?</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">“Untuk ajang silaturahmi, Mas. Karena dengan tetap mempertahankan tradisi barter ini, warga-warga yang tinggal di pesisir dan warga-warga yang di gunung, jadi selalu punya kesempatan untuk bertemu setiap hari Sabtu,” itu jawaban yang saya peroleh dari salah seorang warga.</span><br /><br /><span style="font-family:arial;">Mungkin mereka memang tidak mengenal apa itu kapitalisme. Tapi motivasi mereka dalam mempertahankan barter sebagai tradisi, tampak begitu praksis. Silaturahmi. Bukankah ‘silaturahmi’ merupakan sesuatu yang tidak eksis di dalam kapitalisme? Bukankah hubungan yang eksis dalam masyarakat kapitalis hanyalah hubungan produksi yang menghasilkan kapital, meskipun seringkali harus menafikkan sisi-sisi kemanusiaan. Bukankah karena itulah cinta menjadi subversif bagi kapitalisme?</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQPrMrQ9QDp_6xLY3EW2iyX9P479j2jmHjYUogFq-yJOlGlUPaAP5hE9yLYvfTe-D3CR2UmhO7GDMvyuhzrkAAwiuooq5QG3JyxYeYySagtoKQVcO1pWkciS9FKIpH4YSdIzktpQ4ZCnY/s1600-h/pasarmambunibuni.bmp"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px; height: 144px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQPrMrQ9QDp_6xLY3EW2iyX9P479j2jmHjYUogFq-yJOlGlUPaAP5hE9yLYvfTe-D3CR2UmhO7GDMvyuhzrkAAwiuooq5QG3JyxYeYySagtoKQVcO1pWkciS9FKIpH4YSdIzktpQ4ZCnY/s200/pasarmambunibuni.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5264437476234957410" border="0" /></a><span style="font-family:arial;">Mungkin yang mereka lakukan adalah biasa-biasa saja bagi kita yang giat melakukan diskusi-diskusi filsafat dan sospol dengan referensi buku-buku ilmiah yang tak terhitung lagi banyaknya. Atau bagi kita yang tak terbilang lagi seringnya berjibaku dengan aparat di depan gedung dewan, depan Kejari, Kejati, di depan Wisma Bakrie; memperjuangkan nasib orang-orang tertindas. Tapi bukan berarti mereka bukanlah apa-apa. Setidaknya eksistensi mereka bisa menjadi semacam afirmasi bagi kita, bahwa: dunia yang lain itu bukan hanya mungkin, tapi ada.[]<br /></span><span style="font-family:arial;"><br /></span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-76976333459583726182008-09-10T01:38:00.003+07:002008-09-10T01:55:03.721+07:00Aida: Wilderness<div style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Pulau itu tidak kuketahui namanya. Aku juga beberapa kali mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan orang-orang kampung ketika mereka bertanya, “tadi habis dari mana?”. Hanya jawaban tak memuaskan yang bisa kuberikan pada mereka: pulau yang pasirnya putih itu. Itu tentu tak menjawab pertanyaan mereka, semenjak mereka telah lama tinggal di Kepulauan Togian itu, dan telah ‘hafal mati’ bahwa hampir semua pulau yang memiliki pantai di sana pasti pasirnya berwarna putih. Tapi mudah saja bagiku untuk membuatmu tahu pulau mana yang kumaksud. Aku tinggal mengatakan: pulau yang pasirnya pernah kau tulisi <span style="font-style: italic;">wilderness</span>. Ya. Di pulau itulah kau telah membuatku kembali menyadari bahwa aku tidak boleh kembali melakukan kesalahan yang dulu pernah kuperbuat.<br /><br />Aku pernah merasa mencintai seseorang. Aku menyelipkan kata ‘merasa’ dalam kalimat itu, karena belakangan aku tahu, bahwa orang itu sama sekali tidak merasa dicintai dengan caraku mencintainya. Dengan caraku yang meleset itu, alih-alih memberikannya perasaan nyaman, aku malah membuatnya merasa tersiksa. Aku telah memaksanya menjadi jinak hanya karena aku takut ia bisa pergi kapan saja ia mau.<br /><br />Kini aku merasa mencintaimu, Aida. Aku menyelipkan kata ‘merasa’ di situ, karena aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang mewah padamu, apabila ternyata ini hanyalah emosi yang sama yang pernah muncul di dadaku dulu ketika aku melihat wujudnya. Bagiku ini sebuah kemajuan. Setidaknya kini aku sudah bisa menahan diriku sendiri untuk tidak tergesa-gesa menyimpulkan. Kurasa aku sudah cukup bisa lebih bersabar ketimbang dulu.<br /><br />Seperti ketika aku bersabar memperhatikan tangan mungilmu tengah mengukir satu persatu huruf-huruf di atas pasir putih itu; aku menunggu kata apa yang kiranya hendak kau tulis. Tak bertanya kau sedang menulis apa. Aku menunggu kau menyelesaikannya. Pun setelah kau selesai menulisnya aku tidak bertanya apa maksudnya. Aku hanya memandangi tulisan itu, mencoba memaknainya sendiri, sementara kau sudah kembali asyik bermain-main dengan ikan-ikan badut yang lucu di laut.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Wilderness</span>. Entah apa tujuanmu menulis itu sebetulnya. Aku tidak ingin bertanya dan mengusik kegembiraanmu bermain siang itu. Kata yang kau tulis itu sudah cukup untuk membuatku berpesan pada diri sendiri agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang dulu pernah kuperbuat: terburu-buru. Mungkin kata itu kau tulis di sana untuk membuatku mengerti bahwa kau memang hutan belantara. Liar dan bebas. Kau telah menstimuli aku lagi untuk terlibat dalam sebuah perang suci. Menaklukkan hasrat untuk mengontrol dan mendominasi. Membiarkan sinar matahari, udara, air, makanan atau apapun juga yang ada di atas bumi ini tetap gratis bagi setiap materi yang membutuhkannya. Dan memang bukan hanya aku seorang yang ingin berada di dekatmu, Aida.<br /></span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-78230742960697140112008-07-12T08:49:00.001+07:002008-07-12T08:52:05.316+07:00Nangalidam<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">Suatu pagi yang dingin saya terbangun di Nangalidam. Sembari menyeruput teh panas buatan Bang Ical, saya merenungkan betapa menyenangkannya hidup saya akhir-akhir ini yang bisa berada di tempat berbeda hampir pada setiap kali bangun tidur. Padahal kemarin masih di Sumbawa besar, seminggu sebelumnya di Mataram. Sebelum-sebelumnya Waingapu, Manurara, Mondu, Weda, dan banyak nama tempat lain yang saya sendiri sudah nyaris lupa. Tapi pagi itu… Nangalidam; sebuah kampung nelayan di kabupaten Sumbawa Besar yang terpencil. Terpencil akibat satu-satunya jalan akses ke kampung tersebut masih belum layak untuk dilewati oleh mobil-mobil kota yang <i>manja</i>. Saking terpencilnya tak banyak juga orang Sumbawa sendiri yang tahu keberadaan kampung itu. Dan saking terpencilnya, informasi soal Nangalidam tidak bisa kamu telusuri dengan <i>Google</i>. Dengan kondisi kampung yang tidak begitu <i>dekat</i> dengan kota, dan otomatis budayanya, Nangalidam menjadi agak berbeda dengan kota. Ya karakter orang-orangnya, ya mata pencahariannya… Tapi satu hal yang sangat berbeda, saya temui di pagi yang dingin itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">Di manapun saya terbangun, selalu ada hal sama yang saya rasakan pada pagi hari. Sakit perut. Satu-satunya rasa sakit yang selalu dapat saya syukuri karena saya sadar tidak semua orang memiliki sistem sirkulasi perncernaan sebaik saya. Sembari menyeruput teh panas itu dengan sangat perlahan, saya menoleh ke Bang Ical—orang yang rumahnya saya tumpangi untuk bermalam di kampung itu—sembari meringis. Iya, seingat saya sih sembari meringis; karena saya tidak pernah melihat ekspresi saya sendiri saat berkomunikasi dengan orang lain. Entah bagaimana caranya, saat itu Bang Ical langsung mengerti. “Kenapa, pingin berak?”. Saya mengangguk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">“Ambil air terus jalan ke sana,” katanya sembari menunjuk ke suatu arah. Secara otomatis, mata saya langsung mencari-cari titik mana yang sekiranya Bang Ical tunjuk. Saya tidak menemukan satu pun bangunan di sana yang menyerupai WC. Saya bertanya lagi akhirnya, di mana? “Di situ loh, di bawah pohon asem itu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">Dengan perasaan ragu-ragu saya melangkah juga ke sana sembari menenteng ember yang sudah terisi air. Tentu saya bukan takut pada mitos pohon asem yang konon merupakan sarang kuntilanak. Saya hanya ragu untuk melakukan <i>ritual pagi</i> saya itu di tempat yang <i>tidak biasa</i>. Tidak biasa bagi saya. Tapi sepertinya biasa-biasa saja bagi Bang Ical maupun seluruh orang Nangalidam. Buktinya ia dengan santainya menyuruh saya melakukannya <i>di situ</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">Masih dengan ragu-ragu saya berdiri di bawah pohon asem itu. Rumah Bang Ical masih kelihatan dari sini. Saya menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa siapa tahu ada orang yang sedang berada di sekitar situ. Masih ragu-ragu, saya menyesali kenapa semalam saya makan begitu banyak kepiting hasil tangkapan Bang Ical. Hingga akhirnya segala perasaan ragu dan takut itu terkalahkan juga oleh keteraturan dalam tubuh yang melarang saya untuk menunda-nunda lagi <i>ritual pagi</i> itu. <i>Ah, persetan lah dengan peradaban!<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">Nangalidam hanyalah sebuah kampung. Kampung saja. Tanpa perlu saya embel-embeli ‘miskin’ di belakangnya, meski saya merasakan betapa sulitnya untuk melakukan <i>ritual pagi </i>di kampung tersebut. Tapi <i>toh</i> hal itu adalah sesuatu yang lumrah bagi Bang Ical maupun orang-orang Nangalidam lainnya. Sama sekali bukan kesulitan yang berarti. Buang air besar di tempat terbuka, di bawah pohon asem, sembari memandangi hutan bakau yang mungkin saja ditinggali oleh buaya rawa, dan juga sembari ditunggui oleh anjing-anjing kampung yang<span style=""> </span>bersiap-siap untuk menyantap kotoran kita dengan lahap; itu sama sekali bukan kesulitan yang berarti. Lalu kenapa manusia tipikal orang kota seperti saya harus memandang hal itu secara berlebihan dengan menganggap itu sebagai suatu kesulitan? Begitu pula dengan antusiasme saya ketika Bang Ical membawa pulang belasan kepiting hidup yang ia tangkap sendiri. Bagi mereka antusiasme saya itu adalah sesuatu yang berlebihan. Sebab bagi mereka itu hanyalah sebuah cara untuk hidup. Sama seperti berak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US"><!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="EN-US">Nangalidam memang tidak perlu embel-embel ‘miskin’ meski orang-orangnya tidak memiliki WC. Terpencil iya. Tapi rasanya dengan kondisi terpencil itulah mereka akan selalu tetap kaya dan lestari. Sebelum pemda menyadari kekayaan yang mereka punyai dan mulai melakukan eksploitasi. Sebelum budaya kota menjadi <i>dekat</i> dengan Nangalidam. Sebelum cara pikir orang kota mulai merasuk ke dalam kepala mereka; cara pikir yang berlebihan dalam melihat segala sesuatu dan tidak sederhana. Dan mungkin karena itu orang kota senang juga dengan gaya hidup yang berlebihan dan tidak sederhana. Mungkin.[]<o:p></o:p></span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-48490824727164521362008-06-15T21:22:00.001+07:002008-06-15T21:24:10.695+07:00Kontrol<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: arial;">Barusan, waktu saya nengok ke layar televisi lagi ada sinetron. Adegannya begini:</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">cewek cantik: (nahan kesal sambil megang gelas berisi minuman berwarna merah)</span><br /><span style="font-family: arial;">cowok ganteng: (berdiri di belakang si cewek) Udahlah, cinta emang nggak cocok buat gue. Cinta cuma cocok buat orang-orang yang nggak bisa ngontrol dirinya sendiri.</span><br /><span style="font-family: arial;">Beberapa detik kemudian si cewek cantik itu udah asik nusuk-nusukin badan itu cowok pake piso yang saya nggak tau dari mana asalnya. <span style="font-style: italic;">Jeb, jeb, jeb,</span> tiga kali. Si cowok ganteng mati.</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Saya nanya ke ibu saya yang kelihatannya dari tadi ngikutin sinetron itu. Kenapa dia dibunuh?</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">"Abis dia jahat sih..." kata ibu saya dengan nada suara yang mengandung emosi. Seolah emosi si cewek cantik itu udah ikut merasuk ke dalam darah ibu saya.</span><br /><span style="font-family: arial;">"Jahatnya kenapa?"</span><br /><span style="font-family: arial;">"Ya, jahat lah! Cewek itu korban dia yang keempat, cuma dijadiin taruhan aja," </span><br /><span style="font-family: arial;">"Oh, gitu? Pantesan tu cewek kesel."</span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Padahal tadinya saya pikir dia itu adalah cowok keren, yang sadar kalau manusia nggak butuh pacaran atau nikah kalau cuma buat ngebuktiin sama diri sendiri bahwa dirinya kuat--kuat karena ngerasa bisa mengontrol orang lain. Iya, saya percaya, kehausan kontrol dan dominasi atas segalanya emang sebuah pengejawantahan dari ketidakmampuan manusia dalam mengontrol dirinya sendiri.[]</span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-77376701409635321552008-06-07T09:34:00.025+07:002008-06-09T09:50:33.061+07:00Televisi<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family:Arial;">Segmen 1:</span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">Jadi ingat, dulu, waktu Angga pernah sangat nggak suka pada televisi. Bukan, dia bukan seorang Anti-Tivi. Dia suka kok nonton MTV, dan cukup hapal nama-nama VJnya. Yang cantik-cantik aja sih emang. Tapi itu artinya </span><span style="font-family:Arial;">kan</span><span style="font-family:Arial;"> dia bukan orang yang segitu ekstrimnya ngebenci tivi, sampai-sampai nggak tau perkembangan dunia sama sekali. Dan itu juga bukan karena ia emang tinggal di sebuah keluarga yang langganan Kompas.<br /><br />Angga cuma nggak suka dengan 'kebiasaan buruk' televisi dalam mensensor. Kalau apa yang disensor adalah adegan-adegan berbau pornografi, barangkali itu nggak jadi persoalan yang terlalu besar buat Angga. Yang jadi soal baginya adalah ketika sensor-menyensor itu juga dilakukan dalam pemberitaan. Dengan itu televisi telah melakukan korupsi bahkan manipulasi fakta. Dan Angga menyalahkan orang-orang di balik perusahaan-perusahaan media televisi itu yang seakan punya siasat untuk membodohi publik dengan memberikan kebohongan terus menerus.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial;">Saya berpikir saat itu Angga terlalu berlebihan. Angga terlalu ketakutan dan terlalu tidak percaya pada orang lain. Sehingga ia menjadi paranoid.</span><br /><br /><span style="font-family:Arial;">"Lo boleh deh sebut gue paranoid. Tapi jangan paksa gue untuk percaya sama apa yang lo percaya," kata Angga dulu, padahal saya belum pernah menyebutnya seperti itu.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family:Arial;"> Segmen 2:</span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">Jadi ingat, dulu, waktu Angga mewanti-wanti agar saya berhati-hati, ketika saya berkata padanya bahwa saya akan bekerja di perusahaan media televisi. Ia mengingatkan supaya saya tidak menjadi sama seperti orang-orang kuno dan konservatif itu, yang selalu ia duga berada di belakang semua perusahaan media televisi.<br /><br />Saya berjanji padanya untuk mengusahakan perubahan. Tapi ia, masih dengan paranoia itu, berkata: "Iya, tapi hati-hati. Lo nggak akan pernah tau siapa kawan lo, siapa lawan lo. Salah-salah bisa lo yang dieksekusi."<br /><br />Saya cuma ketawa saat itu. Ketawa karena menganggap Angga masih sama aja. Masih terlalu berlebihan. Dan dia sepertinya nggak terima dengan perlakuan yang didapatnya.<br /><br />"Yee... malah ketawa. Lo nggak tau sih betapa sucksnya di penjara, atau diculik dan kemudian disiksa ampe mati. Lo nggak tau. Apa lo siap ama semua resiko itu?"<br /><br />Saya nggak ketawa lagi.<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family:Arial;">Segmen 3:</span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">Jadi ingat, beberapa bulan lalu di kantor, saya melihat Sugi sedang terlihat sibuk di salah satu bilik. Saya hampiri dia cuma untuk menyapa dan menanyakan kabar. Karena semenjak saya ditempatkan sebagai kameramen program yang lebih banyak melakukan liputan di luar </span><span style="font-family:Arial;">kota</span><span style="font-family:Arial;">, kesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawan kantor lainnya adalah kesempatan yang sangat langka.<br /><br />Kayaknya waktu itu dia nggak sadar kalau saya udah berdiri di belakangnya. Telunjuk kanannya masih asyik muter-muterin <i>scroll-wheel</i> mouse, sementara matanya masih menatap lurus ke depan, ke arah monitor 14 inch yang sedang menampilkan Wikipedia.<br /><br />Sebenernya waktu itu saya nggak tega bahkan untuk sekadar manggil namanya. Khawatir bikin dia keganggu, kaget, atau semacamnya. Tapi karena apa yang sedang dia baca di Wikipedia itu bikin saya tertarik, jadi juga saya menyapanya, pake menepuk bahunya segala pula. Dan betul dugaan saya, dia sedikit tersentak.<br /><br />Untungnya dia langsung tersenyum. Nggak nonjok atau maki-maki saya karena kaget. Sugi emang bukan orang yang seperti itu sih. Dia tipikal pendiam yang banyak senyum. Wajahnya pun seolah dirancang untuk selalu siap tersenyum.<br /><br />Setelah bertukar kabar, saya langsung nanya mengenai yang tengah ia baca di Wikipedia saat itu. Saya bertanya, apakah Kupas Tuntas (program dimana Sugi ditempatkan pada waktu itu) sedang ingin mengangkat soal Anarkisme? Sebab saat itu dia sedang membaca mengenai Anarkisme. Dia bilang, iya.<br /><br />Wah, saat itu saya cukup senang. Akhirnya ada juga televisi yang berniat mengembalikan makna anarki pada tempatnya, pikir saya waktu itu. Semenjak semua televisi seolah sepakat menggunakan kata tersebut untuk memaknai tindakan kekerasan atau brutal yang dilakukan sekelompok orang.<br /><br />Saya bilang sama Sugi waktu itu: bikin yang bagus. Saya cuma bisa berpesan begitu ke Sugi, kayak orang yang mesen nasi goreng nggak pake lama ke penjualnya. Karena saat itu saya nggak punya kapasitas untuk ngelakuin hal yang laen lagi. Saya nggak ditempatkan di program yang memberi kemungkinan untuk ngebahas hal-hal semacam itu. Melainkan di program anak-anak.<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family:Arial;">Segmen 4:</span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">Beberapa hari lalu saya ketemu Sugi lagi di kantor. Kali ini nggak sedang menggerak-gerakan telunjuk kanannya di atas <i>scroll-wheel</i> mouse. Nggak sedang menatap monitor 14 inch di balik bilik. Malahan, kini dia yang menghampiri saya. Dia menanyai kabar saya, tentunya tanpa lupa tersenyum. Sebagai hadiah atas senyum itu, saya ajak dia untuk makan siang bareng. Dia setuju. Maka berangkatlah kami ke lantai bawah tanah; tempat semacam <i>food-court</i> berada.<br /><br />Di lift yang sedang bergerak turun, saya membuka obrolan dengan manusia pendiam itu. Saya bertanya, apakah dia masih di program Kupas Tuntas. Dia bilang tidak. Dia bilang sekarang sudah di Redaksi. Lalu saya ingat kalau waktu itu Kupas Tuntas akan membahas soal Anarkisme. Saya tanya padanya, apakah jadi <i>Kuptun</i> melakukannya?<br /><br />"Jadi tapi cuma tentang masyarakat Saminnya aja."<br /><br />Lalu Anarkismenya? tanya saya.<br /><br />"Enggak," jawabnya pendek. Saya kecewa. Saya katakan padanya saya kecewa. Padahal dulu saya udah berharap banyak. Dia hanya tersenyum. Tapi kali ini senyum yang tampak di wajahnya bukan senyum yang selama ini identik dengan dirinya. Itu seperti sebuah senyum... sinis?<br /><br />"Aku juga heran lho. Padahal Niki Charles, produser Redaksi Sore tau </span><span style="font-family:Arial;">kan</span><span style="font-family:Arial;">, dia itu dulunya aktivis. Masa dia masih ngegunain kata <i>anarki</i> di setiap berita soal kerusuhan."</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-family:Arial;">***</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">Petang itu, Video Munarman yang mengenakan Kafiyah berwarna merah itu sedang dipreview oleh orang-orang penting di kantor. Di video itu Munarman menyatakan tidak akan menyerahkan diri sebelum Ahmadiyah dibubarkan. Di depan monitor kecil itu, mereka--ada Kepala Departemen juga di situ--mencermati baik-baik setiap kata yang disampaikan oleh Munarman.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"> Saya tertarik dengan pernyataan Munarman di video yang berdurasi lumayan panjang itu. Ia dengan lantang menyatakan bahwa ada pihak-pihak imperialis yang mendanai AKKBB. Saat itu saya tidak memikirkan apakah itu merupakan suatu fakta atau bukan. Melainkan yang langsung terpikir oleh saya adalah ternyata FPI tidak sedangkal yang saya kira selama ini, yang hanya bisa maen pukul. Karena ternyata Munarman, individu yang notabene termasuk ke dalam organisasi itu, setidaknya pernah lah menekuri wacana soal imperialisme; meski saya nggak tahu seberapa banyaknya. Baiklah, mungkin nggak adil juga kalau saya menggeneralisir seluruh person di FPI sama seperti Munarman yang (sedikit atau banyak, saya nggak tau) memahami soal imperialisme. Tapi dengan ikut mendengarkan apa yang Munarman sampaikan di video itu, saya jadi tahu bahwa di dalam organ yang saya kira hanya paham bagaimana caranya memecahkan kepala orang itu, ada satu orang yang punya niat untuk mempelajari soalan lain yang lebih luas dari bagaimana caranya memecahkan kepala orang.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">Itu nggak bikin saya kemudian jadi mendukung FPI ataupun Munarman sih. Karena saya juga nggak pernah membenarkan cara kekerasan apapun alasannya. Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh untuk memecahkan masalah. Maka memecahkan masalah dengan jalan memecahkan kepala orang lain, saya pikir merupakan suatu bentuk kefrustasian.</span><br /></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">“Alaaah! Apaan sih dia? Pake ngomong-ngomong soal anti-zionis segala. Udah, Mbak, kita pakai awal-awalnya aja. Sedikit aja,” saya kenal suara itu. Itu adalah suara dari produsernya Sugi dulu sewaktu masih di program Kupas Tuntas. Saat itu juga saya kepingin sekali menelpon Angga untuk mengatakan: <i>Angga, ternyata dugaanmu tentang televisi yang punya ‘kebiasaan buruk’ itu benar-benar nyata.</i></span><br /><br /><br /></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family:Arial;"> Segmen 5:</span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">Tadi malam, saya dan Awan baru dari JMC untuk menjenguk seorang kawan yang terkena DBD. Di dalam perjalanan pulang, di atas Vixion Awan yang dilajukan dengan cukup kencang, saya memanggil namanya. Merasa dipanggil, ia pun mengurangi kecepatan, kemudian membuka kaca helm monyetnya. “Kenapa?” tanyanya.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"> Saya bertanya padanya, apakah selama ini ia pernah melakukan tugas reporter, menulis naskah. Awan adalah seorang kamerawan. Tapi karena di perusahaan tempat kami bekerja ini menjadi kamerawan bukan alasan bagi seseorang untuk tidak bisa menulis naskah, maka saya pikir mungkin saja Awan pernah menulis naskah.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"> “Pernah. Kenapa emang?”</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Pernah liputan soal demo yang rusuh gitu nggak?” tanya saya.</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Enggak. Kenapa emang?”</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Oh… Tapi kalo suatu hari kamu meliput demo yang rusuh, apakah kamu akan menggunakan kata anarki untuk ngegambarin kerusuhan itu?” tanya saya lagi.<br />“Tergantung kerusuhannya. Kalau cuma dorong-dorongan sama polisi… enggak. Tapi kalo sampe ngebakar mobil orang laen, terus nyambit-nyambitin pertokoan, iya, itu anarkis.”</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"> Cukup panjang juga akhirnya dialog yang terjadi di atas Vixion yang sedang melaju itu. Pendeknya, Awan berpendapat bahwa tindakan apapun yang melanggar aturan, itu bisa dikatakan anarkis. Ia mengacu pada kata Anarki yang berasal dari kata A (tidak) dan Archia (Pemerintahan). Tidak ada pemerintahan. Meskipun <span style="font-style: italic;">tidak mengakui adanya pemerintahan</span> tidaklah sama dengan ‘melanggar aturan’, kata saya. Tapi ia berkata, bisa dikaitkan. Caranya begini: kalau kamu melanggar aturan yang dibuat pemerintah, itu </span><span style="font-family:Arial;">kan</span><span style="font-family:Arial;"> sama artinya dengan kamu tidak mengakui pemerintah.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"> Capek. Sebenarnya saya udah capek untuk berdebat soal ini lagi. Tapi beberapa hari terakhir ini saya sedang banyak mengingat Angga. Angga yang pernah mengingatkan supaya saya tidak menjadi sama seperti orang-orang kuno dan konservatif itu, yang selalu ia duga berada di belakang semua perusahaan media televisi. Saya pun mencoba memberikan perlawanan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, kalo dikait-kaitkan sih, semua bisa aja…”</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Ya, nggak bisa lah! Nggak semua,” tukas Awan.</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Bisa! Nih ya. Kamu mau nggak, karena kamu saya lihat sebagai orang yang suka memberi pada orang miskin, suka memberikan kekayaan kamu pada mereka, lalu saya sebut kamu komunis?”</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Ah! Itu sih jauh banget…”</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Ya kalo gitu saya juga bisa bilang kalo antara anarki dan melanggar aturan itu jauh banget…”</span><br /><span style="font-family:Arial;">“Apa hubungannya komunis sama memberi ke orang miskin?”</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;"> Saya hanya tertawa dan kemudian enggan meneruskan perdebatan. Merasa bahwa ini semua sangat lucu. Betapa lucunya bisa sampai ada orang-orang yang masih ragu pada definisi sebuah kata bisa mempublikasikan sebuah berita yang berisi kata itu. Dan betapa lucunya kenyataan bahwa kini saya bekerja di perusahaan media, tapi hingga kini saya belum bisa mengubah apapun seperti yang saya janjikan ke Angga dulu; bahkan itu sekadar mengubah ‘kebiasaan buruk’ kawan-kawan yang masih suka serampangan menggunakan kata.[]</span></p> <span style="font-family:Arial;">___<br /><br />Bacaan lebih lanjut:<br /><a rel="nofollow" target="_blank" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Anarchy">Anarchy (Wikipedia)</a><br /><a rel="nofollow" target="_blank" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme">Anarkisme (Wikipedia)</a><br /><a rel="nofollow" target="_blank" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin">Ajaran Samin (Wikipedia)</a><br /></span><span style="font-size:100%;"><a rel="nofollow" style="font-family: arial;" target="_blank" href="http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/">Masyarakat Samin dan Anarkisme</a><br /><a href="http://dalam-diam.blogspot.com/2007/04/revolusi-dan-anarki-yang-tidak-pernah.html"><span style="font-family:arial;">Revolusi dan Anarki yang Tak Pernah Diajarkan di Sekolah</span></a><br /></span>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-24015602664426381872008-06-04T21:34:00.007+07:002008-06-09T09:50:33.061+07:00Para Pemimpi<div style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Seperti biasa, seperti bulan-bulan sebelumnya, di ujung bulan saya baru kembali lagi ke Jakarta. Jakarta masih sama. Masih punya panas sekaligus pengap, lengkap. Tapi hari itu jalanan nggak macet. Mungkin karena masih agak pagi dan hari Minggu pula; masih banyak yang tidur di rumahnya masing-masing sembari mimpi pergi jauh meninggalkan kota yang makin sesak ini. Padahal anak-anak kecil di Desa Mondu, Sumba Timur (desa yang baru aja saya liput) bilang sama saya kalo mereka kepingin datang ke kota ini. Dan pastinya mereka cuma sedikit dari banyak orang di luar sana yang punya mimpi untuk bisa datang ke Jakarta. Aneh.<br /><br />Satu-satunya yang kelihatan beda pada wajah kota yang udah tua ini adalah adanya tanggul-tanggul beton yang lagi dibangun di kilometer 26-27 jalan tol bandara. Beton-beton tinggi itu tampaknya merupakan bentuk tindaklanjut pemda atas jebolnya tanggul seadanya pada awal Mei kemaren. Mungkin dengan beton, pemda pengen nunjukin kalo kali ini mereka lebih serius kerjanya. Tanggul-tanggul dari bambu kemaren emang keliatan kayak tanggul maenan sih; cuman pake bambu sama tanah. Jadi inget sepupu kecil saya, si Zaidan, yang suka maen-maen tanah bikin rumah-rumahan di depan rumahnya. Mana bisa berdiri rumah yang cuma dibangun dari tanah? Gampang ancur lah. Gampang roboh lah. Ketendang kucing juga rusak. Tapi Zaidan kan anak kecil. Jadi logikanya bisa dimaklumin lah.<br /><br />Duapuluh hari ditinggalin, ternyata Jakarta nggak banyak berubah. Lagian apa sih yang mau diharapin dari duapuluh hari? Padahal banyak tuh yang mimpi supaya Jakarta jadi lebih baik. Supaya mereka nggak perlu lagi mimpi meninggalkan kota yang semakin sesak itu. Biar ruang mimpinya bisa diisi sama mimpi-mimpi yang laen. Tapi jangankan jadi lebih baik, berubah pun enggak. Oke, berubah dikit sih; sekarang udah ada beton-beton di kilometer 26-27 jalan tol bandara itu…<br /><br />Orang-orangnya aja masih sama. Masih suka marah-marah. Stress kali ya karena terlalu banyak impiannya yang nggak bisa jadi nyata. Atau justru terlalu sibuk sama mimpi-mimpinya sendiri, sampe-sampe udah nggak punya toleransi lagi sama apa yang nyata. Sehingga ketika kenyataan nggak sesuai sama mimpi mereka, mereka udah males untuk berdialektika sama kenyataan itu dengan cara yang sehat. Mendingan berantem. Mendingan destruktif. Putus asa kali ya?<br /><br />Baru sehari aja kembali ke Jakarta saya udah nemuin lagi orang-orang kayak gitu. Masuk tivi malah. Mereka lagi mukul-mukulin kepala orang-orang di Monas. Pake kayu lho. Berdarah lho. Jadi inget si John, Si Bolang Nusa Sumba Timur, yang mukul kepala Maxi pake dayung sampe si Maxi nangis. Nggak tau sih kenapa si John tega begitu. Apapun alasannya, mukul kepala orang pake dayung itu nggak bisa dibenerin. Kan bisa mati. Otak ada di situ soalnya. Apakah orang yang mukul kepala orang laen dengan benda keras itu adalah orang yang nggak punya otak, jadi mereka pikir kepala orang laen juga isinya bukan otak, jadi nggak apa-apa dipukul? Tapi kayaknya kenyataan bahwa si John adalah anak kecil yang sekolah di desa terpencil--yang untuk sampe di sekolahnya harus jalan kaki jauh, dan di sekolah belom dapet pelajaran biologi tentang otak--bisa bikin saya sedikit maklumin perbuatan tololnya itu.<br /><br />Di bis-bis, di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, dari kantor ke rumah, saya juga nemuin orang-orang yang marah-marah. Marah-marah karena ketika ngasih ongkos ke kondektur, mereka disuruh nambahin gopek. Biasanya duaribu jauh-dekat. Kondekturnya juga jadi marah-marah. Sekarang sudah naik, jadi duaribu limaratus. Saya mau marah-marah juga sebenernya, tapi males. Abisnya nggak tau marahnya sebenernya sama siapa. Penumpang yang marah itu juga kali. Marah ke kondektur gara-gara ongkos naek, tapi dalam hatinya sebenernya nggak yakin apakah marahnya emang harus ke kondektur. Kondektur juga gitu; marah ke penumpang gara-gara dimarahin, tapi dalam hati sebenernya kasihan juga sama penumpangnya karena sekarang harus bayar lebih banyak. Padahal gaji mereka juga masih sama aja kali. Mau marah-marah sama pemerintah, tapi takut. Abis pemerintahnya juga suka marah-marah sih. Marah-marahnya nggak langsung sih. Tapi diwakilin sama baton-baton polisi, sama sel-sel penjara yang siap menanti. Ngeri.<br /><br />Mungkin enggak semua pemimpi itu keren. Kalau nggak punya pengetahuan yang cukup mengenai materi, jadinya kayak nggak serius untuk membangun kenyataan yang baru. Kayak Zaidan yang ngebangun rumah dari tanah. </span><span style="font-size:100%;">Kalau nggak tau cara mendialektikakan mimpi-mimpi kita sama kenyataan dengan cara yang sehat, akhirnya</span><span style="font-size:100%;"> cuma jadi pemarah. Pemarah yang suka mukul kepala orang. Kayak Si John yang mukul kepala Maxi. Atau jadi pemarah yang nggak jelas marah sama siapa. Kayak Ipang, sepupu saya yang laen, yang dulu marah-marah ke papanya gara-gara Play Stationnya rusak. Padahal rusaknya itu bukan karena papanya keseringan maen winning eleven. Melainkan karena waktu itu rumah mereka yang di Bekasi listriknya emang suka naik turun. Tapi dulu Ipang masih terlalu kecil untuk bisa mengeja Pe-El-En. Jadinya bisa dimaklumin kalo dia baru bisa marah-marah ke papanya aja.[]<br /></span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-20873756443164889592008-05-04T22:59:00.010+07:002008-06-09T09:50:33.062+07:00Kegalauan Akhir April: Soalan Keyakinan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmbsjAhWYnAfJkNHZdEMP5O8AP9pMFZrJ5eOq868WmPKl9yOkrdtl-fvagLoraQisWAN_ATrW5ujAdk2kVcyuUq-LUup8I7BUZhF9G6E3RdOdKdWjiyN0EFzrr2Vyr3vnVF0DgCm5HYTs/s1600-h/2474837775_f6bc8a25ff.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 335px; height: 223px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmbsjAhWYnAfJkNHZdEMP5O8AP9pMFZrJ5eOq868WmPKl9yOkrdtl-fvagLoraQisWAN_ATrW5ujAdk2kVcyuUq-LUup8I7BUZhF9G6E3RdOdKdWjiyN0EFzrr2Vyr3vnVF0DgCm5HYTs/s320/2474837775_f6bc8a25ff.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5198413628344774450" border="0" /></a><i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Ku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan. Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti.</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > —Efek Rumah Kaca, <a href="http://www.youtube.com/watch?v=0c3-UZI_04o&feature=related">Di Udara</a></span><p class="MsoNormal" style=""><br /><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tanggal 3 Mei saya baru berkeinginan untuk beranjak dari rumah. Dua hari rasanya cukup untuk menghilangkan capek akibat bekerja di lapangan selama sembilanbelas hari. Lagipula saya harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai. Maka apa yang saya masukkan ke ransel, sebelum meninggalkan rumah pada pagi itu, hanya barang-barang yang ada kaitannya dengan pekerjaan saja. Oleh-oleh untuk seseorang saya keluarkan dari ransel tersebut. Tidak ada tempat yang saya tuju pada hari itu kecuali kantor.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Di kantor, di depan lift, saya berpapasan dengan Zee. Perempuan tomboi yang sangat gemar membahas soalan kamera dengan saya. Saya pernah sekali waktu mengomentari gambar-gambar liputannya yang sudah naik tayang. Dan tanpa saya duga sebelumnya, waktu itu dia menyimak kritik dan saran yang saya lontarkan. Saat itulah saya menilainya sebagai orang yang memiliki kemauan keras dalam belajar menjadi lebih baik. Sejak itu, Zee selalu bertanya apakah saya menonton liputan dia yang tayang tadi. Saya jadi sering merasa tidak enak. Karena saya memang tidak setiap hari menonton televisi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Dan lagi-lagi kali ini saya musti merasakan hal yang sama. Zee bertanya lagi, "lo nonton liputan gw <i style="">kemaren</i>, nggak?" <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya hanya menjawab pertanyaannya dengan cengar-cengir dan garuk-garuk kepala. Saya rasa dia pasti mengerti apa maksudnya. Sebab dia langsung menyebut saya 'payah'. Saya sempat bertanya, mengenai apa liputan dia <i style="">kemaren</i> itu. Dia menjawab sambil berjalan masuk ke dalam lift, "demo lah, apalagi." Dan pintu lift itu pun tertutup. Menutup kemungkinan bagi saya untuk bertanya lebih banyak lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya mendapat kabar bahwa JAO tertangkap pada tanggal 1 Mei itu justru dari seorang teman yang tinggalnya jauh dari </span><st1:city><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >kota</span></st1:place></st1:city><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > ini. Tanggal 2 di pagi hari, teman saya itu menyelipkan berita soal penangkapan JAO di dalam obrolan kami yang tidak ada hubungannya dengan aktivisme. Saat itu saya berkata pada diri saya sendiri, berarti apa yang diinginkan oleh kawan-kawan di JAO selama ini akhirnya terwujud juga.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Setahun lalu, saat saya ikut di dalam barisan JAO, saya sempat mendengar nada-nada sinis dari seseorang yang juga ikut melakukan <i>long-march</i> dari Tim ke Bunderan HI, dan kembali ke TIM lagi. Sambil berjalan dan mengibar-ngibarkan bendera berwarna hitam-merahnya, ia berkata, "oh, jadi Mayday itu cuman buat jalan-jalan keliling </span><st1:city><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >kota</span></st1:place></st1:city><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > </span><st1:city><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Jakarta</span></st1:place></st1:city><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > aja, ya?" <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya paham dengan apa yang kawan itu maksudkan. Saya paham bahwa saat itu aksi turun-ke-jalannya JAO adalah untuk meredefinisikan Mayday yang selama ini telah diartikan sedemikian banalnya oleh masyarakat </span><st1:country-region><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Indonesia</span></st1:place></st1:country-region><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >. JAO ingin mengembalikan makna Mayday yang sebenarnya; dari yang seperti dipahami selama ini oleh masyarakat kita sebagai hari buruh semata, kepada jargon yang lebih radikal dan lebih relevan bagi setiap individu: hari anti kapitalisme. Sehingga pada saat itu tidaklah mengejutkan ketika JAO menjadi satu-satunya 'organ' yang kelihatan nyeleneh di antara organ-organ lain yang memenuhi jalan Thamrin. Spanduk yang saat itu kami bawa-bawa pun menyuarakan sesuatu yang tidak seragam dengan spanduk-spanduk mereka, yang berisi tuntutan-tuntutan soal upah. Terang saja, masyarakat kita telah sedemikian lamanya memahami Mayday sebatas pada hari dimana buruh-buruh akan libur dari pabrik mereka dan menuntut upah yang layak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya paham kegalauan sang kawan ketika ternyata aksi kami pada hari itu terasa sangat hambar tanpa diwarnai aksi yang lebih keras. Maka mungkin pulang dengan perasaan tidak mengubah apapun, selain mengubah tembok depan Mc Donald's menjadi coreng-moreng cat semprot, telah menjadi satu bekal bagi JAO untuk merancang taktik yang lebih hebat di momen-momen berikutnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tanggal 3 Mei malam harinya, melalui yahoo messenger, Subek menanyai saya mengenai kabar terbaru dari </span><st1:city><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Jakarta</span></st1:place></st1:city><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >. Saat itu tiba-tiba saya merasakan hal yang sama seperti ketika ditanyai oleh Zee dengan pertanyaan soal liputannya. Saya merasa tidak enak untuk menjawab bahwa saya tidak tahu menahu mengenai kabar JAO. Sebab saya tahu bahwa kabar itulah yang ia maksudkan di dalam pertanyaannya. Tapi akhirnya saya jawab juga, apa adanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Subek menjawab, "ah, kamu bekerja di tv, tapi kamu nggak tau apa-apa. Ya sudahlah."<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya terdiam selama beberapa detik. Kata-kata Subek mengganggu pikiran saya yang memang sudah terganggu sejak akhir April kemarin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Menjadi seorang kamerawan <i>news </i>sebuah perusahaan televisi terestrial, memberikan kesempatan bagi impian terpendam saya untuk jadi nyata: keliling Nusantara. Bagian kecil dalam perjalanan hidup saya ini, saya namai dengan 'kebahagiaan'.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Bagaimana mungkin saya tidak mensyukurinya, bila dengan menjadi seperti sekarang ini saya bisa berada di tempat-tempat yang tadinya hanya bisa saya lihat di layar kaca, majalah, ataupun saya dengar namanya saja. Dan bagaimana mungkin tidak mensyukurinya, ketika untuk berada di tempat-tempat itu saya tidak diharuskan untuk mengeluarkan uang seperak pun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya benar-benar menikmati apa yang saya lakukan saat ini. Saya menjalani setiap detik hidup saya saat ini dengan penuh antusiasme, karena selalu ada saja hal-hal baru yang saya temui setiap hari di setiap desa yang baru saya kunjungi pertama kalinya. Sehingga saya tidak merasa bahwa waktu saya telah tercuri. Sesuatu yang sejak dahulu selalu saya hindari. Sesuatu yang juga kawan-kawan saya di JAO hindari, dan karena itulah mereka selalu berusaha untuk merebut kembali apa yang telah tercuri dari hidup mereka: waktu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Pekerjaan memang seringkali membuat orang menjadi tidak sempat lagi melakukan hal lain selain bekerja itu sendiri. Pekerja seringkali tidak mempunyai waktu lagi untuk mengejar impian-impian terdalamnya, karena sudah tak tersisanya waktu mereka yang bisa dipergunakan untuk itu. Sehingga akhirnya begitu banyak orang yang merasakan kehampaan hidup. Karena hidup yang mereka jalani bukanlah hidup yang memesona mereka lagi. Apa yang mereka temui dari hari ke hari adalah hal yang itu-itu saja. Monoton. Masalah-masalah yang mereka hadapi setiap hari pun adalah masalah yang itu-itu juga. Dan usaha mengatasi masalah pada akhirnya pun tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik. Karena semuanya begitu <i style="">template</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Tapi pekerjaan saya saat ini sungguh jauh dari ‘pekerjaan’ yang pernah saya dan kawan-kawan di JAO definisikan sebagai sesuatu yang mereduksi hidup. Saya merasa tidak menyia-nyiakan waktu saya dengan bekerja seperti ini. Karena saya menjalani setiap detik hidup saya saat ini dengan penuh antusiasme.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Namun, di akhir April tahun ini saya memang merasa galau. Saya galau. Saya merasa bimbang dengan keyakinan saya. Saya berada di titik bifurkasi. Titik bifurkasi itu bernama akhir April. Di mana saya harus memilih: apakah saya akan ikut turun ke jalan seperti tahun kemarin, atau saya menggunakan waktu itu untuk istirahat setelah pulang dari dinas luar </span><st1:city><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >kota</span></st1:place></st1:city><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > saya selama sembilanbelas hari?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Akhirnya saya pun memilih untuk tidak kemana-mana tanggal 1 Mei kemarin. Saya merasa tidak ada yang perlu saya rebut pada hari itu. Karena saya merasa telah memiliki itu di dalam setiap detik hidup saya saat ini. Tapi memang, saya juga tidak dapat menafikkan satu pertanyaan yang muncul dari lidah jiwa saya: ‘apakah ini memang yang kamu kejar sejak dulu, ataukah ini hanya kebahagiaan semu yang menipu?’. Dalam waktu yang sesingkat itu, saya harus menentukan sikap saya. Dan saya telah memilih.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Kata-kata Subek mengganggu pikiran saya yang memang sudah terganggu sejak akhir April kemarin. Saya terdiam selama beberapa detik. Dalam detik-detik itu terjadi semacam badai hebat di dalam pikiran saya. Kacau. Semuanya serba kacau. Tidak ada satupun tonggak yang bisa menancap di tengah kecamuk badai sehebat itu. Sehingga saya tidak memiliki satu pun pegangan. Tidak ada satu pun parameter kebenaran yang dapat saya percaya lagi, pun tidak kenyamanan yang saya rasakan dalam pekerjaan saya sebagai kamerawan <i style="">news</i>, saya kehilangan keyakinan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya mulai merasa perlu untuk tahu bagaimana kabar kawan-kawan saya di JAO saat itu. Di manakah mereka berada sekarang, apabila mereka ditangkap sudahkah mereka dibebaskan kembali, dipukulkah mereka, seberapa keras mereka dipukul, seberapa parah bekas pukulan itu? Segera saya ingin tahu itu semua. Tapi bagaimana caranya, sedang nomor kontak kawan-kawan saya itu telah hilang bersama ponsel CDMA saya yang lama sudah tidak saya gunakan lagi. Saya berpikir dan berpikir, mencari segala cara. Dan pikiran saya tiba-tiba teringat pada ucapan Zee di depan lift itu. Iya, Zee, dia mungkin tahu mengenai penangkapan itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya segera menghubungi perempuan tomboi itu. Bertanya apakah dalam peliputan dia <i style="">kemaren</i>, dia meliput soal penangkapan juga. Ternyata tidak. Tapi dia memberi saya nomor kontak orang yang dia ketahui meliputnya. Yakni seorang kontributor. Bule namanya, dan saya tidak mengenalnya. Segera setelah saya memutus percakapan telepon dengan Zee, nyaris tanpa jeda, saya mendial nomer Bule. Saya bertanya apakah ia meliput penangkapan di Kuningan itu. Dia mengiyakan, dan bertanya kenapa. Saya bertanya lagi, organ apa saja yang tertangkap.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Wah, banyak sih, mas. Nggak cuman satu elemen. Hmm, saya lupa apa aja kalo disuruh nyebutin satu persatu. Iya, JAO. JAO ada… JAO. Ha? Apaan? Udah… udah. Udah dibebasin lagi kok. Kenapa sih emangnya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya menjelaskan bahwa di antara mereka ada kawan-kawan saya. Dan dia langsung menuduh saya seorang punk rock. Saya hanya tertawa saja menanggapi tuduhan dia itu. Saya bertanya lagi, apa alasan penangkapan itu sebenarnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“Gara-gara ada yang bawa petasan. Itu aja. Biasa lah, fight against the system. Ya elah. Dulu banget itu mah, jaman gw muda. Bilangin sama temen-temen lo, money talks, boy!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Saya hanya menjawab bahwa saya akan menyampaikan pesan itu pada teman-teman saya nanti. Tapi di dalam hati saya berkata, bahwa ini bukan soalan uang. Sama sekali bukan.[]<o:p></o:p></span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-25397386232279204552008-04-30T20:50:00.004+07:002008-06-09T09:50:33.063+07:00Kegalauan Akhir April<div align="justify"><span style="font-family:arial;">Hari terakhir di bulan April saya baru kembali ke kota tempat saya lahir ini, setelah dua pekan lebih berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau lain di provinsi Maluku Utara. Ketika pesawat yang saya tumpangi telah berhasil mendarat dengan sangat mulus, sembari memuji-muji skill sang kapten yang tidak saya tahu wajahnya itu, tiba-tiba terbersit gagasan untuk singgah sebentar di salah satu gerai fast-food yang ada di dekat pintu keluar. Iya, saya lapar. Pagi tadi saya bangun pukul empat, untuk mengejar waktu boarding-pass yang pukul lima. Jadi tidak ada waktu untuk makan, ataupun menghisap rokok. Lagipula jam segitu belum ada warung yang buka di Ternate.<br /><br />Saya cetuskan ide itu pada Anita, partner kerja saya selama di Maluku Utara itu. Dia tampak setuju-setuju saja. Dia memang tidak pernah menolak makanan fast food. Satu-satunya yang selalu ia tolak selama dua pekan lebih itu adalah es batu. Ia tidak pernah memesan minuman apapun yang mengandung es batu di manapun kami singgah untuk makan. Sementara saya tidak pernah bisa lepas dari es teh manis, apapun makanannya. Selain itu, sepertinya ia juga sudah bosan makan ikan. Sama seperti saya yang sudah bosan dengan makanan berbahan ikan, meski sudah mencari berbagai variannya. Dibakar, digoreng, sampai yang mentah.<br /><br />Saya cetuskan ide untuk membeli burger nanti, dan ia tampak setuju-setuju saja. Selanjutnya ia mengajak ngobrol, ketika penumpang yang lain terlihat sudah tak sabaran untuk turun—berdiri dan mengambil bawaan kabinnya—padahal pesawat juga masih mencari tempat parkir. Saya mau bilang padanya bahwa saya kurang bisa mendengar apa yang ia bicarakan. Bahwa telinga saya memang begini; selalu menjadi tuli apabila bepergian dengan pesawat. Gagal <em>equalizing</em>. Tapi dia tampak sedang senang karena akhirnya pesawat ini mendarat juga setelah tadinya kami sudah mulai jenuh berada lama di angkasa; sehingga saya pun sempat mencoba mengusir kejenuhan itu dengan melakukan aktivitas aneh. Memain-mainkan permen karet di mulut yang sudah saya kunyah sejak masih di Manado, saat pesawat transit. Karena tak tega merusak kebahagiaannya itu, saya pun membiarkan ia terus bicara, dengan sesekali tersenyum ketika ia terlihat menyelesaikan satu kalimat. Berharap ia tidak tahu kalau saya tidak mampu menyimak kata-katanya dengan kondisi seperti itu.<br /><br />Setelah mengambil barang-barang di bagasi, kami pun segera keluar mencari Bang Irwan yang katanya akan menjemput kami pagi ini. Benar saja, ia terlihat sudah melambaikan tangan pada saya. Saya pun membalas lambaiannya. Padahal ini adalah kali pertama kami berjumpa. Tapi mudah baginya untuk mengenali siapa yang dijemput. Saya menjinjing kamera sony dsr pd 170. Dan tidak sulit juga mengenali siapa yang menjemput saya. Semua driver di kantor mengenakan seragam. Tanpa basa-basi saya langsung mengajak dia ikut mampir ke gerai fast food itu. Dia juga setuju. Syukurlah. Sebab kalau dia menolak karena harus mengejar waktu untuk segera kembali ke kantor, artinya saya harus menahan lapar lebih lama lagi.<br /><br />Burger berisi daging dan keju lumer itu telah masuk ke dalam mulut saya. Rasanya nikmat sekali. Saat itu tanpa saya rencanakan hati saya mengucapkan terimakasih pada kapitalisme. Sebab hal seperti ini tidak saya dapatkan di Halmahera dan Tidore. Pada saat yang sama saya teringat pada teman-teman saya yang sampai sekarang mungkin masih gigih untuk anti pada Mc Donald’s. Ingatan saya juga tiba-tiba membawa saya pada satu kejadian setahun silam di jalan Thamrin. Saat itu saya ikut dalam rombongan orang-orang yang mengusung bendera hitam besar-besar dan ada lambang circle-a di tengahnya. Di depan Mc Donald’s Thamrin itu kami sempat membuat semacam aksi kecil-kecilan. Mencoret-coret tembok mereka dengan tulisan-tulisan bernada anti kapitalis; khususnya Mc Donald’s: “Mc Racun”, “Globalisashit”, dan lain-lain. Saya juga membayangkan mereka yang pada hari ini mungkin sedang bersiap-siap menyambut hari besar mereka esok. Burger di tangan saya ludes. Begitu juga dengan burger Anita dan ayam goreng Bang Irwan. Kami meninggalkan bandara.<br /><br />Jalan tol dalam kota ternyata macet. Saya yang ingin merokok membuka kaca jendela, dan hawa gerah langsung nyelonong masuk ke dalam mobil. Saya menoleh ke belakang sebentar untuk memastikan apakah Anita tidak keberatan apabila kami harus bergerah-gerah sebentar saja. Tapi ia sudah tertidur. Tampaknya ia memang lelah betul. Maka saya nyalakan saja rokok itu tanpa persetujuannya.<br /><br />Sembari bergerak pelan, saya bercerita pada Bang Irwan mengenai udara di Ternate yang tidak sama dengan udara Jakarta. Di sana panas juga. Sama. Tapi di Ternate hanya panas saja. Jakarta punya panas sekaligus pengap. Lengkap. Bang Irwan menganalisa bahwa hal itu dikarenakan jumlah mobil yang terlalu banyak di kota ini. Saya mengiyakan. Dan saya pun menambahkan, apabila saya punya anak nanti, saya tidak ingin membesarkannya di kota ini; udara kota ini sudah tidak baik bagi manusia bernafas. Tapi di saat yang sama saya pun teringat bahwa tadi saya baru saja memakan burger dan berterimakasih pada kapitalisme.<br /><br />Di bawah jembatan layang perempatan Kuningan mata saya sempat melihat satu grafitti yang sudah lama terpampang di sana. Saya sudah berkali-kali melihatnya. Dan selama itu pula saya memang tertarik dengan gambar Homer Simpson mengenakan caping petani dan membawa cangkul. Kemudian sang pelukis menambahkan balon kata yang berisi tulisan: “Mana Sawahnya?”. Entah kenapa, grafitti itu buat saya terkesan sangat anti-kapitalis. Dan saat itu entah kenapa saya begitu ingin membaca tulisan itu keras-keras. Bang Irwan heran, kenapa saya ujug-ujug bertanya soal sawah. Saya menjawab pertanyaannya dengan menunjuk grafitti di kanannya. Dia tertawa, dan menambahkan: “boro-boro sawah. Maen bola aja susah.”<br /><br />Saya katakan padanya ada tempat dan waktu untuk bermain bola yang asyik. Besok, di Bundaran HI. Dia langsung mengerti dan tertawa. Tahun lalu saya ikut bermain bola di tengah-tengah jalan protokol yang ditutup itu. Menikmati ruang publik yang tidak ada setiap hari seperti itu ketika rombongan buruh dari berbagai kelompok sedang berbondong-bondong menuju istana negara. Saya merindukan momen itu. Dan sebenarnya saya sudah berencana untuk melakukanya lagi tahun ini. Tapi saya baru saja memakan burger dan berterimakasih pada kapitalisme.<br /></span></div><div align="center"><span style="font-family:arial;">***<br /></span></div><span style="font-family:arial;"><div align="justify">Di rumah, karena memang sedang mati-lampu, saya pun berniat untuk tidur saja. Tapi baru saja saya meletakkan kepala di bantal, baling-baling kipas angin yang menggantung di tembok kamar berputar. Diikuti ucapan ‘Alhamdulillah’ ibu saya. Di dalam hati saya pun merasa bersyukur, karena saya sudah mulai merasa kegerahan. Tapi bukannya membantu saya untuk tidur, udara sejuk itu malah mendorong saya untuk bangun dan melakukan aktivitas. Apapun.<br /><br />Saya nyalakan komputer. Dan segera membuka aplikasi yahoo messenger. Beberapa kawan lama langsung menyapa. Saya senang mendengar kabar bahwa mereka sehat-sehat semua. Terutama Imam. Entah kenapa, tapi saya merasa sangat dekat dengannya. Padahal kami juga baru bertemu beberapa kali, dan sudah lama tidak bersua lagi sejak terakhir sekitar setahun yang lalu.<br /><br />Mungkin karena Imam pernah sangat perhatian pada tulisan saya dulu. Mungkin karena Imam pernah menawari saya tempat untuk menginap ketika saya berkunjung ke Jatinangor dulu. Mungkin karena saya dan Imam memiliki sedikit kemiripan jalan kisah percintaan. Ah, entahlah.<br /><br />Di awal obrolan, Imam langsung mengingatkan bahwa esok adalah ‘mayday’. Saya sudah tahu itu. Saya menjawab: Iya, kata tv besok mayday. Dia tertawa. Mungkin dia mengerti bahwa saya sedang mengatakan bahwa ‘mayday’—yang kata itu sendiri pun berarti sandi untuk meminta pertolongan pada saat darurat—pun kini sudah menjadi sesuatu yang tidak dianggap berbahaya lagi. Bahkan tv pun telah menggunakan kata yang sama untuk menyebut tanggal 1 Mei itu. Dia tertawa dan menambahkan, “Datang ke Nidji aja.”<br /><br />Saya tidak mengerti. Dan saya bertanya apa maksudnya.<br /><br />“Iya, katanya Nidji juga mengadakan mayday di Gelora Bung Karno; mayday fiesta, harga tiket masuknya 20.000,” dan dia tertawa lagi. Saya juga tertawa. Entah apa yang saya tertawakan. Mungkin berbeda dengan yang Imam tertawakan. Mungkin saya menertawakan diri saya sendiri yang baru saja memakan burger, menggunakan kipas angin dan berterimakasih pada kapitalisme; sementara saya tidak berniat datang ke acara Nidji yang kemungkinan serius mengadakan event tersebut ataupun bermain bola lagi di tengah jalan Thamrin seperti tahun kemarin.[]</span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-14270145625220493922008-04-06T01:07:00.005+07:002008-06-09T09:50:14.113+07:00HAMPA<span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;font-family:arial;" >"But you're wrong if you think that the joy of life comes principally from human relationships. God's placed it all around us. It's in everything. It's in anything we can experience. People just need to change the way they look at those things."</span><span style="font-family:arial;"> –INTO THE WILD</span><br /><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Kalau malam sebelumnya aku duduk di sana bertemankan sebuah novel karya Budi Darma, malam berikutnya novel tersebut tidak bersamaku di sana. Kutinggal di kamar. Satu-satunya buku yang kubawa dari kamar kostku juga sudah kupindah tangankan pada temanku yang sedang bersamaku di sana pada malam itu juga. Itu novel yang kutulis dua tahun lalu. Sudah pula diterbitkan. Tapi, entah, hingga kini laporan mengenai hasil penjualannya belum lagi kudapat dari pihak penerbit setelah laporan tiga-bulan-pertama yang kudapat kira-kira satu tahun yang lalu. Aku tidak terlampau memusingkannya. Aku sudah cukup puas melahirkan karya tanpa merasa harus diapresiasi dalam bentuk royalti.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Tanpa kutahu berapa banyak yang masih tersisa di pasaran—atau barangkali sudah retur semua—sekarang aku masih menyimpan dua buah di kamar. Sebelumnya tiga. Sebelum yang satu buah kuberikan pada teman baruku malam itu. Alasanku memberikannya secara gratis pada dia ada tiga: Satu, aku rasa ia gemar membaca. Dua, dia adalah teman yang kuketahui belum sempat membaca novelku. Dan tiga, aku masih memiliki tiga buah. Aku pikir, untuk apa mereka disimpan begitu saja di kamar. Pasti akan lebih bermanfaat seandainya diberikan, atau dipinjamkan, kepada orang yang memang berkeinginan membacanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Dan aku mendapat semacam petunjuk bahwa ia adalah salah satu orang yang berkeinginan membaca novelku. Petunjuk yang kudapat pada dua malam sebelumnya. Sebelum pada akhirnya kuberikan juga yang satu buah—dari tiga yang kusimpan di kamar—padanya malam itu.</span></span><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">***</span></span><br /></div><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Suatu malam aku berkunjung ke sebuah rental buku milik seorang teman. Hari nama temanku itu. Sebetulnya sudah cukup lama juga aku tidak berkunjung ke sana. Semenjak yang terakhir, sekitar dua atau tiga bulan lalu, ketika aku mengembalikan Saman. Sesudah itu, aku akui, antusiasme membacaku merosot dengan cepat hingga akhirnya pun sampai pada titik nadir. Aku bukannya tidak berusaha untuk meningkatkannya kembali. Tapi saat itu sepertinya aku memang tengah kehilangan konsentrasi untuk melakukan kegiatan yang membutuhkan daya konsentrasi cukup tinggi, seperti membaca.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Menurut suatu hasil observasi yang pernah kubaca pada sebuah buku mengenai Psycho-Test, rata-rata orang dapat bertahan untuk berkonsentrasi pada satu hal maksimal tigapuluh detik. Selepas itu konsentrasi seseorang akan kendor. Ia dapat kembali berkonsentrasi pada hal yang sama setelah sejenak merelaksasikan pikirannya. Namun itu pun biasanya ia tidak bisa lagi mempertahankan konsentrasi selama yang sebelumnya. Dan itu akan terus menurun hingga akhirnya ia memang harus benar-benar rehat dari satu hal tersebut untuk waktu yang lebih lama.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Seperti aku yang selalu gagal untuk mempertahankan konsentrasi pada kumcernya Nukila Amal, padahal aku baru membaca satu-dua kalimat. Pikiranku terus menerus melayang ke tempat lain. Hingga akhirnya buku tersebut kuhempaskan ke samping bantal dan aku memilih untuk berusaha tidur saja. Dan itu terjadi hampir setiap hari selama kurang lebih dua bulan. Melelahkan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Baru akhir-akhir ini saja aku berhasil mendapatkan diriku kembali. Kini aku sudah bisa lagi menyendiri tanpa merasa kesepian. Duduk berlama-lama memandangi bintang-bintang sembari menyeruput kopi dengan benar-benar menikmati itu semua. Aku jadi mengerti bahwa apabila kita masih merasa kesepian ketika sedang sendirian, maka di tengah keramaian pun kita akan tetap merasakan kesepian yang sama. Ternyata perasaan teralienasi hanya dirasakan oleh orang yang tidak tahu apa yang benar-benar ia inginkan. Sedang aku sudah mengetahui bahwa bisa kembali menikmati waktu seperti itu adalah apa yang selama ini aku inginkan. Walau juga mungkin belum benar-benar tahu apa yang ingin kukejar. Tapi, aku pikir, untuk saat ini aku belum ingin mengejar apa-apa.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Dan kedatanganku ke rental buku Hari setelah sekian lama absen, memang bukan dengan tujuan meminjam buku. Antusiasme membacaku memang belum beranjak terlalu jauh dari titik nadir. Tapi aku rasa ada yang lebih perlu untuk segera kutingkatkan lagi: antusiasme terhadap hidup. Dua bulan terakhir yang lebih banyak kuhabiskan dengan mengurung diri di kamar kuakui sempat membuatku terpikir untuk mengakhiri hidup. Pikiran yang baru akhir-akhir ini kusadari sebagai suatu kesalahan. Salah karena hanya sebatas pikiran saja. Sebab apabila aku memang yakin bahwa bunuh diri adalah solusi bagi masalah-masalah yang kuhadapi, kenapa tidak segera kulakukan? Orang yang hanya mengeluhkan keadaan tanpa pernah memulai untuk berbuat sesuatu demi keluar dari keadaan tersebut, tentu telah menyia-nyiakan sekian banyak waktu yang semestinya bisa ia pergunakan untuk membuat perubahan. Dan itulah yang selama ini kulakukan. Merasa bahwa tekanan-tekanan ini semakin memberatkan, tapi selama itu pula tidak pernah aku membangunkan diri sendiri untuk kemudian beranjak. Hal yang sebaiknya dilakukan oleh orang-orang yang sedang terjatuh, seperti: segera memulihkan luka-luka dan mencoba berdiri lagi, tidak aku lakukan. Alih-alih seperti itu aku malah terus mengorek-ngorek luka itu sendiri seolah aku berniat untuk mempertahankan rasa sakit tersebut lama-lama.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Maka dengan sangat malu aku mengakui bahwa mungkin saat itu jiwaku memang tidak sehat. Dan barangkali aku memang bisa disebut psikopat. Iya. Orang sehat mana yang senang terus menerus melukai dirinya sendiri? Aku tidak ada bedanya dengan orang-orang yang berteriak-teriak pada dunia untuk meminta perhatian dengan cara berdiri di atap sebuah gedung tinggi, berpikir untuk mati, tapi tidak pernah benar-benar berniat untuk melompat. Memalukan. Tapi memang harus aku akui, aku pernah berada di sana. Setelah mengakui dan menyadari bahwa berada di sana adalah sesuatu yang ‘salah’, langkah berikutnya yang perlu kulakukan adalah: beranjak dari sana dan memulai perubahan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Tentu tidak ada yang bisa kusalahkan apabila aku merasakan kehampaan hidup sehingga terbersit untuk menyudahi hidupku. Tidak juga orang-orang yang pergi meninggalkanku. Aku lah yang salah karena menjadi merasa tidak dapat hidup tanpa mereka. Ketergantungan. Iya, perasaan ketergantungan memang hanya membuat hidup menjadi tidak merdeka. Dengan atau tanpa mereka aku tetaplah aku―itu yang selama ini telah kulupakan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Kesadaran itulah yang membuatku dapat kembali nyaman dengan kesendirian, dapat kembali berantusias terhadap hidup. Memandangi taburan bintang dengan ditemani segelas kopi telah kembali menjadi sesuatu yang lebih dari cukup untuk membuatku merasakan secuil kebahagiaan. Dalam hati aku berseru, ‘Hei! Semangat hidupku telah kembali.’ Itu yang terpenting.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Setelah persoalan internal terbenahi, ternyata masih ada satu hal lagi yang belum beres: finansial. Aku sadar tidak mungkin dapat terus-menerus mengharapkan kebaikan dari tetangga-tetangga kostku untuk mau menyisihkan makanan mereka. Sementara perut ini tidak mau kompromi jika sehari saja tidak diisi. Dan persediaan uangku juga telah habis sejak lama. Aku juga sudah malu untuk terus-terusan meminjam uang pada kawan-kawan tanpa pernah dapat kupastikan kapan aku bisa mengembalikannya. Maka satu-satunya cara adalah aku harus mencari sumber penghasilanku sendiri. Inilah alasan kunjunganku ke rental buku Hari. Barangkali ia mempunyai info lowongan kerja.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Sesungguhnya aku tidak dapat menolak untuk berpikir: jika aku merasa tidak dapat hidup tanpa seseorang adalah sesuatu yang salah, apakah berpikiran tidak dapat hidup tanpa uang adalah sesuatu yang bisa dibenarkan?</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Barangkali itu adalah pikiran yang logis. Tentunya jika dipandang dengan logika sistem ekonomi. Dimana pada sistem yang mengkomodifikasi hampir segala sesuatu ini, kita tidak bisa mendapatkan hampir segala sesuatu secara gratis. Hanya udara dan sinar matahari saja yang masih bisa didapatkan secara cuma-cuma. Untuk mendapatkan air yang laik minum saja kita harus mengeluarkan uang sekitar tigaribu rupiah. Gratis tisu basah. Apabila kita tidak ingin membeli, kita bisa langsung mengambil dari keran. Itu pun tidak ada jaminan apakah setelah meminumnya kita akan tetap sehat. Atau kita dapat memasaknya. Tapi itu pun kita harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli minyak tanah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Harga beras yang melonjak pun, menurut berita yang pernah kubaca, merupakan imbas dari tidak tepatnya strategi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan distribusi dan tata niaga beras. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perberasan telah terpolitisasi: kita sesungguhnya tidak pernah kekurangan beras, namun ada pihak-pihak yang menggambarkan seolah seperti itu agar ada peluang untuk melakukan impor. Tentu bukan hanya petani yang akan dirugikan apabila pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan kebijakan distribusi dan tata niaga komoditas pertanian. Tapi juga masyarakat konsumen yang hanya tahu harga beras tiba-tiba naik.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Namun saat ini aku belum ingin memikirkan soal itu secara lebih serius. Aku tahu, bahkan sekalipun ingin melawan, aku harus bisa bertahan hidup lebih dahulu. Karena itu aku hanya tersenyum ketika beberapa hari yang lalu kawanku, Pam, mengkritisi hilangnya diriku dari sebuah jaringan otonomis di Jakarta selama tiga bulan ini. Dia berkata, aku tidak ada bedanya dengan kaum urban modern yang hanya mau senang-senangnya saja. Oke, barangkali dia benar. Aku memang tidak terlalu tertarik untuk berdiri di barisan depan dari komunitas nelayan di Kamal Muara untuk melindungi perkampungan mereka yang hendak digusur. Aku hanya tidak mengerti: untuk apa itu semua? Apakah berhasil membuat pecah kepala seorang aparat dapat membuat orang-orang miskin menjadi kaya?</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Ah, aku jadi teringat cerita si Yerry waktu itu. Entah kisah nyata atau tidak. Tapi yang pasti menstimuli otakku untuk berpikir. Ia bercerita tentang sebuah aksi massa di Seattle dalam memprotes G8. Saat itu bentrokan fisik belum terjadi. Namun, satuan aparat telah membentuk sebuah barikade manusia. Pada saat seperti itu beberapa demonstran yang berdiri terdepan mencoba mengajak aparat-aparat tersebut untuk berkomunikasi. Salah satu demonstran bertanya, “Untuk apa sih kalian melindungi kapitalis-kapitalis itu?” Cukup mengejutkan jawaban yang keluar dari mulut seorang aparat itu, “Kapitalis-kapitalis itu yang ngasih anak saya susu.”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Terus terang, aku memang tidak pernah tertarik untuk berbentrokan dengan aparat. Karena sebelum aku mendengar cerita dari Yerry pun aku sudah mengerti, bahwa mereka hanyalah alat. Selain itu aku pun tahu, mereka juga manusia seperti aku. Mereka punya hak yang sama untuk hidup dan bahagia. Hanya saja di bawah sistem ini kita seringkali tidak punya banyak waktu untuk memilih pekerjaan apa yang bisa menjadi sumber penghasilan kita. Apalagi di bawah tekanan ekonomi yang sangat mendesak. Seseorang yang tidak tahu lagi harus bekerja sebagai apa dengan latar belakang pendidikan yang pas-pasan, akan mengambil peluang apapun yang sekiranya bisa menyelamatkan ia dari ancaman kelaparan. Jika melawan mereka dengan motif untuk melawan sistem, menurutku kurang tepat-sasaran. Itu saja.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Kalau Pam bertanya―sekali lagi: kalau―lalu apa bentuk perlawananmu sekarang? Aku akan menjawab: tidak ada. Karena seperti yang sempat kubilang tadi, sekalipun ingin melawan, aku harus bisa bertahan hidup lebih dahulu. Mempunyai penghasilan yang cukup untuk membayar biaya kost bulanan, makan, dan juga transportasi. Aku rasa dalam ketiga hal itu aku tidak bisa tidak untuk berkompromi. Dan aku memang tidak sedang mengatakan ‘suatu saat pasti aku akan kembali ke jaringan otonomis itu untuk membantu’. Tidak. Aku tahu saat ini aku baru saja mendapatkan diriku kembali. Jadi sangat bisa jadi aku yang dulu berada di sana bukanlah diriku sebenarnya. Karena itu bisa jadi juga diriku sebenarnya memang orang yang maunya hanya senang-senangnya saja, seperti yang ia katakan. Jadi, kita lihat saja apa yang sesaat lagi kulakukan di dalam sistem ini. Tidak perlu terlalu cepat membuat kesimpulan.</span></span><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">***</span></span><br /></div><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Har, ada buku-buku terbitan Kata Kita, nggak? Saya lagi nyari pekerjaan nih,” itu kalimat pertama yang kuucapkan begitu masuk ke rental buku Hari. Yang kutanya menunjuk ke salah satu rak. Aku segera mengambil salah satu dari sekian banyak yang ada di sana secara sembarang. Sejurus kemudian aku membuka halaman pertama dan aku menemukan yang kucari; alamat penerbit. Aku meminta kertas dan alat tulis pada Hari. Tak lama, aku sudah mulai sibuk menyalin alamat yang tertera ke atas kertas.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku tak merasa perlu menjelaskan lebih banyak hal pada Hari. Tentang apa kaitannya antara aku yang sedang mencari pekerjaan dengan penerbit Kata Kita. Lagipula ia pun tidak bertanya apa-apa. Karena itu aku tidak melakukan hal lain ketika sedang menuliskan alamat. Aku fokus.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Pada saat itu datang seorang perempuan. Ia berdiri persis di sampingku. Di depan kami berdua adalah meja kebesaran Hari, dimana ia selalu duduk di belakangnya menjaga rental. Aku tidak mempedulikan kehadiran perempuan itu pada awalnya. Bahkan aku tidak menangkap satupun yang ia dan Hari bincangkan. Aku masih fokus menuliskan alamat.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Ini kenalin temen gue,” tiba-tiba Hari berkata. Aku yang merasa tidak ada siapapun di depannya selain aku dan perempuan di sampingku, segera merasa bahwa Hari ingin memperkenalkan aku pada temannya itu. Atau sebaliknya. Aku spontan menoleh. Dan kami pun saling menyebutkan nama.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Selesai mencatat alamat, aku letakkan kembali buku yang tidak sempat kulihat judulnya itu ke rak. Dan tanpa merasa perlu berbasa-basi lagi, aku segera pamit pada Hari. Ketika hampir berada di luar, aku mendengar Hari berseru: “ada yang minta nomer hp lo nih!”.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku menghentikan langkah. Perempuan itu membalikkan tubuhnya ke arahku. Aku memanggil dia, “Sini!” Dan dia berjalan menuju tempatku berdiri, di ambang pintu rental. “Kenapa?” tanyaku. Dan kami pun berkenalan sekali lagi. Malam itu aku bertanya padanya apakah ia sudah membaca ‘Perang’. </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Dua malam berikutnya, malam minggu, kami bertemu lagi. Lewat SMS dia memintaku untuk menemaninya mengobrol di suatu tempat. Aku tidak berkeberatan, karena sejak sore aku memang sudah berencana untuk keluar. Entah ke Gramedia terdekat untuk numpang-baca atau hanya menyaksikan orang-orang beraksi dengan papan luncur mereka di skate-park Margo City. Sebelum meninggalkan kamar, aku teringat satu hal. Aku berniat untuk memberikan satu buah novelku padanya. Karena dua malam sebelumnya ia sempat berkata ingin membaca novel itu. Maka aku bawa salah satu dari tiga yang menumpuk di atas lemari pakaian.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku menjemputnya di rental buku Hari. Saat itu Hari tidak ada. Di balik meja tempat biasa Hari duduk kulihat perempuan itu. Ia sedang mengolesi bulu matanya dengan maskara. “Ha? Kok dandan?” tanyaku dalam hati.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku masuk ke dalam rental. Dan ia pun segera berdiri dari duduknya, menghampiriku. “Mau kemana?” tanyaku.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Ah, basi!” jawabnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku hanya tersenyum. Seandainya dia mengerti pertanyaan itu bukanlah sebuah basa-basi, melainkan semacam sindiran. Tapi barangkali ada bagusnya juga dia tidak mengerti. Sebetulnya aku hanya merasa agak rikuh berjalan dengan seorang perempuan yang bersolek seperti itu sementara pakaianku sangat seadanya. Tapi karena aku sudah tiba di sana, aku tidak berniat kembali ke kost untuk menukar celana jeans sobekku dengan yang lebih rapi. Apalagi lantas kabur dari pandangannya. Rasanya itu lebih tidak sopan daripada memakai jeans sobek di dengkul. Dan berangkatlah kami ke Margo City dengan berjalan kaki.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Tempat yang kami tuju sebetulnya tidak seberapa jauh, tapi trotoar di jalan Margonda memang tidak terlalu bersahabat bagi para pedestrian. Begitu banyak pedagang makanan yang mendirikan tenda mereka melintang di atas trotoar dengan sembarang. Sehingga seringkali kami harus mengalah berjalan di jalan raya. Saat-saat seperti itu aku menjadi ekstra hati-hati, berjalan sembari sesekali menoleh ke belakang. Khawatir ada kendaraan yang tiba-tiba menyerudukku. Ketidaknyamanan seperti itu yang membuat perjalanan terasa lebih jauh.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Kemarin saya ke sini juga,” ujarku begitu kami duduk di undakan, tak jauh dari orang-orang yang sedang berlatih Tae Kwon Do.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Ohya? Ngapain?”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Baca Budi Darma… Ohya, ini ada buku buat kamu,” aku menyerahkan novel yang sedari tadi kubawa-bawa.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Oh, terimakasih. Kemarin gue nanya ke Hari, dia bilang udah habis. Yah, padahal gue mau beli. Ternyata hari ini dikasih langsung sama penulisnya. Terimakasih ya.”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Obrolan panjang kami selanjutnya dibuka dengan dialog tersebut. Aku yang membuka. Tapi kemudian didominasi olehnya. Aku tidak berkeberatan. Aku rasa aku adalah manusia yang sudah cukup terlatih untuk mendengarkan. Walau kadang di sela-sela pembicaraannya aku ingin menyisipkan opini atau komentar. Tapi melihat ia yang hampir tak putus-putusnya bicara, aku rasa ia tidak membutuhkan itu semua.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Ia bicara mengenai banyak soal. Soalan-soalan yang menyangkut dirinya. Ia sepertinya memang membutuhkan itu malam ini; didengarkan. Hanya itu yang ia butuhkan. Bahkan hingga orang-orang yang berlatih Tae Kwon Do terlihat sudah membubarkan diri, ia belum terlihat ingin menyudahi pembicaraannya. Seandainya ia tahu aku tidak mahir dalam mengingat, barangkali ia akan merasa apa yang ia lakukan malam itu adalah sesuatu yang sia-sia. Barangkali juga tidak. Barangkali ia memang hanya ingin bicara tanpa merasa perlu tahu apakah teman bicaranya benar-benar mengerti semua yang ia bicarakan. Barangkali.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku mengerti setiap hal yang ia bicarakan. Walau aku tidak menjamin bisa mengingat semuanya dengan baik. Tapi tidak terlalu sulit untuk merekam apa-apa yang menurutku cukup penting. Karena itu aku akan mencoba menuturkan kembali ceritanya dengan caraku sendiri:</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Gue lagi bosen sekarang. Udah nganggur selama sebulan. Makanya akhir-akhir ini gue sering keluar dari rumah. Nginep bahkan. Di rumah nggak tau mau ngapain. Gue kesepian. Kakak-kakak gue udah pada nikah semua dan tinggal sama suami atau isterinya. Ada sih satu yang belum. Tapi itu pun nggak di sini. Dia kerja di luar kota. Pulang ke rumah jarang-jarang. Bokap gue juga lebih sering pergi ke rumah temen-temennya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Sebelum ini gue kerja tiga bulan. Di sini nih―di Margo City. Jadi waitress di salah satu café. Lumayan sih. Walau gajinya cuma lima ratus ribu, tapi paling enggak udah lebih bagus dari yang sebelumnya. Sebelumnya gue kerja di daerah Radio Dalam. Di bagian cookies. Iya, cookies. Kue. Gue yang menghias-hias kue. Bukan, gue bukan kerja di toko. Tapi semacam pabrik dari kue-kue yang nantinya disupply ke toko-toko yang tersebar di seluruh Jakarta. Capek kerja di situ. Apalagi kalo dapet shift siang. Berarti gue harus pulang malem. Jam 11an. Nah, lo tau kan bis dari situ ke Depok kalo jam segitu udah nggak ada? Makanya gue harus ke Blok M dulu nyari bis yang ke Depok. Yang artinya gue harus keluarin duit buat ongkos lebih banyak dari sewajarnya. Padahal di situ gue diupah per hari. Lima belas ribu sehari. Itu salah satu yang juga bikin gue capek. Buat ongkos pulang-pergi aja upah gue udah habis sepuluh ribu. Itu yang sewajarnya. Tapi kalau pas dapet giliran pulang malem bisa lebih dari sepuluh ribu. Coba aja pikir, gue kerja capek-capek tapi cuma dapet paling banyak lima ribu sehari.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Makanya nyokap gue marah-marah. Bukan, bukan ngomel ke gue. Tapi ngomel sama kondisi yang harus gue terima. Dia bilang: ‘Mama udah nyekolahin kamu mahal-mahal, tapi kamu cuma bisa dapet duit lima ribu sehari.’ Ya, akhirnya gue cuma bertahan di sana sebulan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Enggak, gue nggak lulusan kuliah sih. Gue lulusan SMK. Makanya gue sebetulnya pengen ngelanjutin kuliah lagi. Yang masih satu jurusan sih. Tata boga atau Pariwisata. Gue pengennya sih masuk di Sahid. Tapi nggak punya duit. Gue udah nggak mau ngebebanin orangtua lagi. Gue pengennya kuliah sembari kerja. Tapi nyari kerja lagi kok susah banget ya?</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Kemaren ada temen gue yang nawarin kerjaan sih. Di semacam diskotik gitu. Jadi pramusaji. Temen gue itu DJ yang sering maen di diskotik tersebut. Tapi pas gue tanya, apa di sana pramusajinya harus pake pakaian yang ketat-ketat? Dia bilang iya. Gue nggak mau lah. Gue sebenernya nggak pernah ngerasa keganggu kalo cuma berada di diskotik aja. Gue suka kok denger musik-musik yang jedag-jedug gitu. Gue suka musik yang nge-beat. Tapi di rumah gue nggak boleh dengerin musik kayak begitu. Bokap. Bokap yang selalu ngomel-ngomel kalo gue dengerin musik kayak begitu. Dia bilang gini: Kamu jangan dengerin musik kayak gitu. Kamu gak tahu musik kayak gitu bikinan orang yang pake salib. Dalem hati gue bilang, So What? Mau pake salib kek, mau pake sarung kek, kalo gue seneng musiknya kenapa harus mikirin siapa yang bikin? Iya, nggak? Tapi gue akhirnya yang selalu ngalah. Bokap gue mah gitu. Agak galak juga emang. </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Makanya akhirnya kalo lagi pengen dengerin musik kayak gitu gue larinya ke diskotik. Iya, gue seneng dateng tuh ke sana. Apalagi kalo ada invitation. Gratisan gitu lah. Juga kalo pas Ladies Night, Rabu malem. Kalo pas Ladies Night gue seringnya dateng sama temen-temen gue. Ya yang cewek, ya yang cowok. Yang cowok-cowok sih bayar. Udah plus minuman. Nggak, gue nggak pernah mau ikut minum kok. Tapi pernah sih, sekali waktu gue dipaksa dan gue nggak bisa berkutik. Akhirnya ya gue mabuk. Bayangin aja, satu pitcher berempat.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Sebenernya, gue ke sana yang gue cari itu cuma funnya aja kok. Gue seneng aja bisa ngerasa bebas. Dance ngikutin musik. Di rumah gue nggak bisa kayak gitu. Makanya gue sekarang ngerasa nggak betah di rumah. Lagian juga bosen. Kalo di rumah kerjaannya cuma tidur, makan, nonton tivi, tidur lagi. Gitu-gitu aja. Gue lebih seneng jalan-jalan. Kadang sampe nginep.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Hmm, enggak bilang sih. Gue nggak pernah bilang kalo mau nggak pulang. Tapi biasanya gue bilangnya itu pas udah malem. Gue SMS nyokap, bilang kalo ada acara ulang tahun temen dan kemaleman untuk pulang. Enggak, besoknya pas gue balik, gue nggak diomelin. Mungkin karena dulu waktu gue masih sekolah nyokap pernah bilang: ‘Nanti kalo kamu udah lulus sekolah, kamu boleh deh nginep-nginep di rumah temen pas ada acara ulang tahun’. Makanya sekarang kalo gue pake alasan itu nyokap nggak marah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Kadang temen-temen gue dateng ke rumah. Kebanyakan yang cowok-cowok. Kayaknya bokap kurang suka ngeliat itu. Mungkin di pikirannya, dari segitu banyak temen cowok anaknya mana sih yang bener-bener pacarnya. Gue sih cuek aja. Karena mereka semua temen gue. Tapi bokap juga nggak pernah ngomel langsung di depan mereka sih. Jarang. Apalagi kalo mereka sopan. Pernah sih sekali dia marah gitu ke salah satu temen gue, Ali. Saat itu gue seneng sama sikap bokap. Gue ngerasa sehati aja. Karena gue tahu si Ali itu playboy.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Dia ceweknya banyak. Brengsek. Kok lo malah ketawa sih? Iya, dia brengsek. Banget. Karena gue hampir suka sama dia. Gue udah sempet kena rayuan gombalnya. Dia ngasih gue bunga, bilang gue itu cantik, dan sebagainya deh. Cewek mana coba yang nggak klepek-klepek digituin? Gue ngerasa spesial aja. Waktu itu gue bener-bener mikir kalo dia begitu cuma ke gue aja. Ih, tapi alhamdulillah, nggak lama setelah gue jalan bareng ama dia gue kayak dikasih petunjuk. Ada SMS masuk ke hape gue yang bilang, ‘Lo lagi deket sama Ali ya? Gue cuma mau kasih tau aja sama lo: Ali itu sebenernya udah punya cewek, gue. Tapi kalo lo emang pengen nerusin hubungan lo ama dia, nggak apa-apa biar gue yang mundur’.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Iya. Sakit. Sakit banget gue waktu itu. Gue yang tadinya berpikir kalo Ali emang sayangnya ke gue doang, ternyata bohong besar. Dan tahu gak lo? Ternyata menurut pacarnya si Ali, gue bukan yang pertama dibohongin. Gue yang kedua. Yah, ketiga lah kalo pacar benerannya si Ali itu dihitung. Gue itu sampe ketemuan sama pacarnya Ali. Ketemuan di Kalibata. Gue minta maaf sama dia karena nggak tahu kalo dia ada. Tapi dia kayaknya emang sabar banget orangnya. Dia bilang, ‘Nggak apa-apa lagi. Gue sih udah ngerti banget sifat Ali itu kayak apa. Makanya supaya gue nggak terlalu sakit kalo sewaktu-waktu gue dibeginiin, diduain, ditigain, gue juga udah punya cadangan. Gue nggak terlalu serius-serius amat sama Ali. Gue juga nggak mau lo disakitin oleh orang yang sama dengan yang nyakitin gue. Makanya gue kasih tahu sama lo sebelum perasaan lo semakin dalem. Biar gue sendiri aja yang sakit. Lo gak usah.’.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Ali sendiri sampe sekarang belom tau kalo gue pernah ketemuan sama pacarnya. Pacarnya juga minta gue merahasiakan pertemuan itu. Nggak ngerti apa motifnya. Tapi gue turutin aja. Makanya sampe sekarang pun Ali masih sering maen ke rumah. Nah, terakhir itu empat hari yang lalu. Yang dia dimarahin sama bokap itu. Bokap mungkin sebel sama dia, gara-gara dia dateng pas gue lagi nyetrika. Kayaknya sih gitu. Soalnya bokap ngomong gini ke dia, ‘Kamu itu dateng-dateng pas orang lagi nyetrika. Kamu tau nggak kalo itu sama aja udah ngeganggu kerjaan orang?’</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Ali ngejawab, ‘Iya, Pak. Tadi saya juga udah nyuruh dia untuk nerusin kerjaannya aja sih, Pak.’</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">‘Ya gak mungkin lah! Dia nggak mungkin nerusin kerjaannya kalo ada tamu dateng. Lagian emangnya kamu mau dianggurin gitu sementara dia kerja?’, Bokap ngejawab lagi. Dan Ali cuma ngejawab ‘Iya, Pak’. Dari situ sampe akhirnya bokap masuk ke dalam rumah, cuman kata-kata ‘Iya, Pak’ yang keluar dari mulut Ali. Gue seneng banget waktu itu. Gue puas aja rasanya ngeliat ini orang diperlakuin kayak gitu ama bokap. Gue pikir, dia emang pantes ngedapetin itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Tapi tau gak lo, si Ali malah bilang apa? Dia bilang ke gue, ‘Gue seneng tuh ama bokap yang kayak gitu. Perhatian sama anaknya dan temen anaknya’. Wek! Dasar pembohong. Emangnya gue nggak liat ekspresi muka dia gimana waktu cuma bisa bilang ‘Iya Pak-Iya Pak’ doang pas Bokap nyeramahin dia. Pucat mukanya. Najis. Cemen. Eh, masih bisa-bisanya dia ngebohong dengan bilang kalo dia seneng ama bokap gue.”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Ini udah jam sepuluh,” ujarku sambil melihat jam yang tertera pada layar ponselku. Saat jeda seperti itu aku sempat melihat orang-orang yang tadinya berlatih Tae Kwon Do sedang membubarkan diri. “Apa nggak sebaiknya kita pulang? Nanti kamu dicariin bokap.”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Dia tertawa, sebelum akhirnya ia mengeluarkan ponselnya juga dari dalam tas yang ia bawa. Ia bukan sedang ingin memastikan apakah jam ponselku sama dengan jam ponselnya. Melainkan ia seperti sedang ingin menelpon. “Sebentar ya,” ujarnya padaku seraya berdiri.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku mengangguk. Ia bergerak menjauh dari tempatnya semula duduk, sementara terdengar suaranya mulai berbicara dengan seseorang yang entah saat itu berada di mana. Aku mencoba mengingat-ingat kembali sekian banyak hal yang baru saja ia sampaikan secara menggebu-gebu. Hal-hal yang menurut ukuranku cukup personal juga untuk dibuka kepada orang lain yang baru saja ia kenal. Barangkali aku tidak bisa seterbuka itu kepadanya—atau kepada siapa saja yang aku anggap belum cukup kukenal. Seandainya pun aku ingin bercerita soalan-soalan personalku pada orang yang baru saja kukenal beberapa jam yang lalu, aku tidak seleluasa itu untuk mengumbar hal-hal terdalam secara gamblang. Tapi dia melakukannya seperti tanpa perasaan ragu sedikit pun. Sempat aku menduga, bahwa ia memang orang yang bisa terbuka kepada siapa saja. Bukan hanya kepadaku saja. Mungkin ia memang selalu seperti itu kepada siapa saja yang jadi lawan bicaranya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Hei, sori ya lama,” dia kembali duduk di sampingku. Dia sudah selesai dengan pembicaraan jarak jauhnya. Dan saat itu dia tersenyum-senyum sendiri. Aku tidak mengerti apa artinya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Kenapa?” akhirnya aku bertanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Hmm… Enggak. Barusan gue nelpon temen. Malem ini gue nggak pulang ke rumah.”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Terus?”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Gue mau nginep di rumah temen, di Pasar Minggu.”</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku mengangguk lagi. Hanya mengangguk. Tak tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang sedang berada di posisiku saat itu. Apakah sebaiknya aku menyarankan ia untuk pulang saja ke rumah, mengingat hari sudah cukup malam bagi perempuan seumuran dia berada di jalanan? Ataukah memang sebaiknya aku tidak terlalu ambil pusing soal apapun yang menyangkut nasibnya, mengingat usia perkenalan kami yang bisa terbilang sangat muda? </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Dalam beberapa kesempatan aku memang sempat memperhatikan wajahnya ketika ia sedang bercerita. Di wajah itu aku menemukan sesuatu yang sesungguhnya tidak kucari: usia. Ya, sesungguhnya aku tidak pernah mempermasalahkan usia di dalam berkawan. Aku tidak pernah merasa terganggu berkawan dengan orang yang usianya jauh lebih tua ataupun lebih muda daripadaku. Tapi, entah kenapa, melihat wajah itu aku tidak bisa menolak untuk berpikir bahwa ia masih terlalu dini untuk merasa terasing di tengah dunia. </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Baiklah, aku memang tidak tahu apakah memang ada batasan usia manusia antara yang sudah dan belum boleh merasa teralienasi. Tapi tanpa sengaja menemukan figur seorang adik yang sedang berada dalam situasi dan kondisi seperti itu menimbulkan perasaan iba di dalam diriku terhadap dirinya. Barangkali jika yang berada di depanku saat itu bukanlah orang yang mengingatkanku pada figur seorang adik, aku tidak akan semudah itu untuk terlibat secara emosi pada apa-apa yang ia ceritakan. Tampaknya aku telah dikuasai oleh pikiranku sendiri untuk sedikit mempedulikan nasibnya; memikirkan lebih dalam mengenai dirinya. Atau mungkinkah malam itu aku tidak akan berempati pada dirinya jika tidak merasa senasib dengannya?</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Iya, keterasingan memang mengancam siapa saja yang hidup di masyarakat modern, tanpa terkecuali. Ketika sebuah kebutuhan mendasar sudah dijauhkan sedemikian rupa dari seseorang, maka sebenarnya saat itu seseorang telah terasing dari dirinya sendiri. Karena seseorang hanya akan merasa hidup apabila ia mengetahui apa yang benar-benar diinginkan dalam hidupnya. Tanpa itu, seseorang tidak memiliki cukup alasan untuk hidup. Dan saat itulah ia akan mengalami kehampaan hidup. </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku pernah mendengar semacam pepatah―entah dimana aku lupa, ‘Alasan untuk hidup adalah alasan yang sama untuk mati’. Aku menerjemahkan pepatah tersebut seperti ini: Apabila kita merasa mempunyai sesuatu yang harus kita perjuangkan dalam hidup, itulah alasan kita untuk bertahan hidup hingga tujuan kita tercapai. Yang bahkan di dalam memperjuangkannya kita akan menemui resiko dan bahaya besar, yang memungkinkan kita menemui ajal di sana. </span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Begitu juga kondisi sebaliknya: ketika seseorang tidak tahu apa yang ia inginkan di dalam hidupnya, maka ia tidak tahu apa alasan baginya untuk tetap hidup pada hari ini, esok, dan seterusnya. Tak adanya alasan bagi seseorang untuk hidup, tak ada pula alasan baginya untuk mati. Dan ia pun menjadi seperti mayat-hidup—hidup segan, mati pun tak mau.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Kondisi semacam ini didukung oleh sistem yang hanya mengijinkan satu pola hidup masyarakat untuk eksis: Konsumer. Dimana semua individu yang berada di dalamnya—dengan mau atau tidak mau—harus sepakat bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Seseorang, untuk bisa bertahan hidup, minimal harus dapat memenuhi kebutuhannya atas makanan. Dan di manakah kita bisa mendapatkan makanan gratis selain dari mengharapkan kemurahan orang lain dan tempat sampah?</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang terdidik untuk menghargai apapun dengan mata uang. Bagi mereka, sesuatu yang tidak punya nilai jual—tidak dapat dibeli—adalah sesuatu yang tidak berharga. Bahkan kalau perlu waktu itu sendiri disulap sedemikian rupa menjadi uang. Benar-benar tidak terhitung kekayaan material orang-orang yang telah mempraktekkan hal tersebut sepanjang waktu hidupnya. Di tengah masyarakat dengan cara pandang terhadap materi seperti itu, tentu akhirnya sangat lazim apabila terjadi pensekat-sekatan antara satu individu dengan individu lainnya. Jurang pemisah antara satu orang dengan orang lain, atau satu kelas masyarakat dengan kelas masyarakat lain, terbentuk dengan sebab tidak inginnya properti yang telah dimiliki tercuri oleh pihak lain. Maka ketika ada satu individu atau kelas masyarakat yang merasa hidup dalam kondisi yang menyulitkan, mereka cenderung akan melihat individu atau kelas masyarakat di seberangnya sebagai pihak-pihak antagonis. Kecemburuan sosial.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Maka menjadi bukan barang aneh kalau aku banyak menjumpai kawan dekat yang mengaku sedang mempertimbangkan untuk mati muda. Tidak aneh dan sangat relevan. Relevansinya adalah dengan sistem ekonomi kapitalis yang saat ini sedang meliputi kita semua, tanpa terkecuali.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Iya. Terlalu mudah untuk tiba-tiba merasa hampa di dalam kapitalisme, ketika seseorang menemui dirinya tidak mampu membelanjakan dirinya sendiri barang-barang yang benar-benar ia inginkan. Sama mudahnya untuk merasa hampa ketika seseorang merasa telah memperoleh semua barang-barang yang ia inginkan. Mereka akan tersungkur pada satu sudut, menangisi diri mereka yang tidak berhasil membeli kebahagiaan. Tidak akan pernah berhasil.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">“Mau makan dulu nggak?” tanyaku ketika kami mulai berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar skate-park. Dia mengangguk. Dan seketika aku merasa berkewajiban untuk membayari ia makan karena telah mencetuskan ide itu. “Oke, tapi makan yang murah aja, ya. Kamu nggak keberatan bukan kalau kita beli roti dibagi dua?”.</span></span><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">***</span></span><br /></div><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Aku tak pernah lagi mendengar kabar mengenai perempuan itu. Aku tidak tahu apakah kini ia sudah memperoleh pekerjaan untuk membiayai cita-citanya berkuliah. Aku tidak tahu apakah ia sudah selesai membaca Perang. Aku tidak tahu apakah Ali masih sering berkunjung ke rumahnya ketika ia sedang menyetrika pakaian. Aku tidak mendapat petunjuk apapun tentang dirinya saat ini. Aku yang memang dengan sengaja bertekad untuk mencukupkan hubungan kami hanya sampai di sana saja.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Setelah obrolan panjang malam itu, aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan bersama dengannya. Sepertinya tidak ada lagi. Sebab setelah malam itu, dini harinya, ia datang ke kamar kostku ketika aku sedang pulas-pulasnya tertidur. Wajahnya kusut. Mulutnya beraroma alkohol. Dia mengaku baru pulang dari diskotik. Ternyata ia tidak menginap di Pasar Minggu. Aku tidak mempersoalkan itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;">Yang jadi persoalan adalah ketika ia mulai masuk ke kamarku dan mulai menunjukkan gestur-gestur aneh; mengajakku bersetubuh. Aku menyuruhnya pulang. Agak kasar memang. Aku tahu jika saja saat itu aku melakukannya, aku akan mendapatkan pengalaman baru. Tapi, lalu apa? Tidak. Aku ingin mendapatkan pengalaman yang lain. Sebab kebahagiaan memang ada di setiap hal. Orang hanya perlu mengubah cara pandangnya dalam melihat setiap hal. Dan dengan itu aku masih bertanya-tanya, ada di mana puncak kebahagiaanku sebenarnya, kalau menurutku itu bukan berada pada orgasme.[]</span></span><br /></div><span style="font-size:100%;"><br /><br /></span>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-56368779377075277722008-02-03T18:43:00.000+07:002008-06-09T09:50:33.063+07:00Boneka<div style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family: arial;">Aku memang pernah menyuruh diriku sendiri untuk diam, untuk lebih bisa mendengarkan suara-suara di luar diriku. Karena adalah sulit bagiku untuk berbicara dan mendengarkan dalam waktu yang sama. Tapi aku tidak mau, karena itu, pada akhirnya aku menjadi subordinat orang-orang yang memang tidak pernah senang mendengar. Dan mulut dan lidahku menjadi milik mereka.</span></span><br /></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-91006194472674857232007-10-28T00:56:00.000+07:002008-06-09T09:50:22.414+07:00Berharap di Atas Jalan yang Kian Sempit<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ10axVN0_ECyCsZWrvjTGbyPm8dSGkDDtjWJZEt7hhbk8ngGzO2TdIwZQORqqEyMYAm0JWQ4OdTrpuGtrv3JZpimSqEPYr-CYo_llPeh_t8K7kr-UMmO4uWIcajSwiIOhqdgo6JNQ0dE/s1600-h/IMGA0507.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ10axVN0_ECyCsZWrvjTGbyPm8dSGkDDtjWJZEt7hhbk8ngGzO2TdIwZQORqqEyMYAm0JWQ4OdTrpuGtrv3JZpimSqEPYr-CYo_llPeh_t8K7kr-UMmO4uWIcajSwiIOhqdgo6JNQ0dE/s200/IMGA0507.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5126094294910056690" border="0" /></a><span style="font-size:100%;"><span style="font-family: arial;">Nurhana, perempuan kurus berusia 40 tahun itu, terlihat berusaha cukup keras untuk bisa tetap berdiri di dalam metromini bernomor trayek M 75 yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi Minggu (21/10/2007) malam itu. Tangannya tidak meraih pegangan besi yang menempel di langit-langit. Saat itu kedua tangannya memang sedang sibuk menghitung lembar-lembar rupiah. Sejurus kemudian ia memilih untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong ketimbang bersusah payah mempertahankan keseimbangannya. Melihat itu semua membuat saya menaruh curiga, bahwasanya ia belum terbiasa melakukan ini. Ia memilih tempat duduk persis di samping saya. Memberi saya kesempatan untuk memastikan dugaan.</span><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:arial;"><br />"Belum lama kok saya jadi kondektur. Baru setelah lebaran aja," akunya sembari tersenyum hangat. Senyuman yang saya yakin akan sangat sulit muncul dari sosok orang yang telah lama bekerja dengan profesi semacam ini.<br /><br />Nurhana mau menjalani pekerjaan ini lantaran merasa berkewajiban untuk membiayai dua anak perempuannya yang masih bersekolah. Anak sulung Nurhana, laki-laki berusia 27 tahun, telah memilih pulang ke Cilacap, tanah kelahiran bapaknya, untuk mencari uang dengan mengemudikan ojek motor. Tanpa ada lagi anak laki-laki di tengah-tengah keluarganya, dirinya mengambil inisiatif untuk menjadi kondektur sang suami. Nurhana tidak merasa telah merebut lahan orang lain dengan melakukan ini. Meski dengan metode pasangan suami-istri bekerja di atas trayek yang sama, tampak seperti nepotisme. "Namanya juga orang cari makan," kata Nurhana.<br /><br />Mungkin tanpa disadarinya betul, Nurhana sempat mengecam pembangunan busway koridor VI (Ragunan-Kuningan) yang menurutnya sangat berpengaruh pada penghasilan suaminya. Tapi pada akhir perbincangan, ia sempat mengungkapkan rasa bangga pada putrinya yang tak lama lagi akan segera lulus dari bangku kuliah. "Biarpun saya sama suami saya kerja <span style="font-style: italic;">kayak</span> begini, tapi dia belajarnya rajin. IPK-nya <span style="font-style: italic;">nggak</span> pernah di bawah tiga." Ungkapan yang sangat saya yakini ia ucapkan dengan sangat sadar. Sebab, jika tidak, rasanya tidak mungkin Nurhana rela melakukan ini semua dengan tetap tersenyum. Senyuman yang memancarkan kasih sayang seorang bunda pada anak-anaknya.[]<br /></span></span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-65823678996336434622007-09-19T11:25:00.000+07:002008-06-09T09:50:22.414+07:00Seri Rekaman Nyanyian Jalanan # 2<div style="text-align: right;"> <div style="text-align: left;"> <div style="text-align: left;"><i><span style=""></span></i><i><span style=""></span></i></div> </div> <i><span style=""> </span></i> <div style="text-align: left;"> <div style="text-align: left;"><span style=";font-family:georgia;font-size:180%;" ><span style="font-weight: bold;">Pengamen Tanpa Nama</span></span><br /></div> <i><span style=""></span></i><br /><i><span style=""></span></i></div> <a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXU_zv3-p5nNIszr9YN6l1HmMbpHRHvkgT5GLiBFZk5iY1DXvBLh-V-lvSNczwDxIXqRycqhBgIxzlhj1APoQu5lhela78zB8PlyXBakm-k-OD0bUHFsDruAUfKRmBErtv7_gzc1LUCxQ/s1600-h/Adi2.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXU_zv3-p5nNIszr9YN6l1HmMbpHRHvkgT5GLiBFZk5iY1DXvBLh-V-lvSNczwDxIXqRycqhBgIxzlhj1APoQu5lhela78zB8PlyXBakm-k-OD0bUHFsDruAUfKRmBErtv7_gzc1LUCxQ/s320/Adi2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5111767928200399250" border="0" /></a><span style="font-size:100%;"><i><span style="">Mungkin memang tak mudah u</span></i><i><span style="">nt</span></i><i><span style="">uk membuat appointment dengan pengamen.</span></i></span><br /><i><span style=""></span></i></div> <span style="font-size:85%;"><span style=""><br /></span></span> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><span style=""><br />Adi Firmansyah. Saya merasa takjub pada kelugasan ia memperkenalkan namanya. Di balik pekerjaannya sebagai pengamen bis </span><st1:city style="font-family:trebuchet ms;"><st1:place><span style="">kota</span></st1:place></st1:city></span><span style=";font-size:100%;" >, ternyata masih tersimpan sebuah kebanggaan pada diri sendiri. Tidak seperti salah seorang pengamen lainnya, yang beberapa hari sebelumnya saya temui di salah satu </span><span style=";font-size:100%;" >bi</span><span style=";font-size:100%;" >s jurusan Blok M, yang memperkenalkan dirinya dengan nama Bule. Setelah saya berkata padanya bahwa sudah sem</span><span style=";font-size:100%;" >estinya kita merasa bangga pada nama pemberian orangtua, b</span><span style=";font-size:100%;" >arulah Bule mau mengakui bahwa nama sebenarnya adalah Muhammad Yusuf. Saat itu juga saya bingung, m</span><span style=";font-size:100%;" >engapa ia merasa perlu untuk mencari nama lain sebagai pengganti nama sebenarnya yang sudah seperti nama seorang nabi. Dua orang, maksud saya. Untunglah teman saya, yang pada waktu itu sedang bersama saya di dalam bis tersebut, bisa menyudahi kebingungan saya dengan caranya yang jenaka. "Mungkin dia takut dipanggil Ucup," ujarnya. Bisa jadi.<o:p></o:p></span> </div> <p style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;" class="MsoBodyText"><span style="font-size:100%;"><span style="">Berbeda dengan seorang pengamen yang beberapa hari sesudahnya saya jumpai di Patas sedang menyandang gitar kecilnya. Semenjak pertama kali menegurnya saja, saya sudah bisa merasakan satu kesan berbeda dari dirinya. Ia menanggapi saya dengan </span><st1:city><st1:place><span style="">gaya</span></st1:place></st1:city></span><span style="font-size:100%;"> yang santai, seolah-olah sedang berhadapan dengan kawan lamanya. Benar-benar berbeda dari sebagian pengamen yang cenderung terlihat inferior saat saya mengajak mereka berbincang.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;" class="MsoBodyTextIndent"><span style="font-size:100%;">Adi Firmansyah, ucapnya lugas seraya mengulurkan tangan kanan yang dengan seketika saya sambut. Dan seketika itu juga saya merasa senang karena berpikir telah menemukan seorang narasumber yang bersikap apa adanya. Setidaknya kesan itulah yang bisa saya tangkap dari mulai bagaimana ia memperkenalkan diri dengan nama asli, gesturnya, hingga bagaimana ia selalu memandang ke mata saya kala kalimat demi kalimat meluncur dari mulutnya, dan juga mulut saya.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Seiring perjalanan, ada perasaan resah dari dalam diri saya yang muncul pada saat itu juga. Saya merasa tidak rela apabila harus berpisah dengan Adi terlalu cepat. Mengingat, saya tidak mungkin untuk mengikuti perjalanannya karena sebetulnya tujuan saya menumpang bis tersebut pada hari itu adalah untuk mencapai kantor. Sementara di sisi lain, saya baru saja merasa menemukan narasumber yang cukup bisa diajak bekerja sama. Keresahan tersebut sepertinya lahir karena pengalaman kurang menyenangkan yang saya dapat akhir-akhir ini.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Mungkin memang tak mudah untuk membuat <i>appointment</i> dengan pengamen. Itulah persepsi yang terbentuk di benak saya setelah beberapa kali merasa gagal untuk bisa menemui mereka untuk yang kedua kalinya. Dua pengamen terakhir yang sempat saya ajak berkenalan, termasuk Bule, mengaku tidak mempunyai nomor telepon—ataupun nomor telepon orang terdekat yang bisa dihubungi. Maka akhirnya selalu sayalah yang memberikan nomor telepon seluler saya pada mereka dengan harapan agar mereka mau menghubungi. Tapi setelah melewati hari demi hari dengan penantian, kabar dari mereka tak pernah kunjung datang. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk berhenti menanti dan mulai mencari narasumber yang lain.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Maka ketika Adi Firmansyah tengah asyik menceritakan pengalaman hidupnya—mengenai dirinya yang baru saja terkena operasi pembersihan oleh aparat dan harus merelakan ketika uang hasil mengamennya sebanyak 180.000 rupiah diambil; mengenai ia yang telah berhasil menyelesaikan program D2 Universitas Gunadarma dengan biaya hasil mengamennya; mengenai ia yang sehari-harinya <i>mangkal </i>di pintu tol Cibitung namun terkadang pula bermalam di UKI—pikiran saya disibuki oleh keresahan. Karena saya sadar, tak lama lagi saya harus turun.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Hingga akhirnya saya memang harus turun juga di depan kantor. Dan lagi-lagi apa yang bisa saya lakukan hanyalah meninggalkan nomor telepon seluler saya padanya agar ia bisa menghubungi sewaktu-waktu.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Di kantor, sebelum kembali berkutat dengan pekerjaan, saya menyempatkan diri untuk mencatat informasi apapun yang sempat saya dapat tadi ke atas notes. Seketika saya menyesalkan kecerobohan yang telah saya lakukan. Saya lupa menanyakan usia pengamen tadi. Meski dari segi fisik saya bisa memperkirakan bahwa usia Adi Firmansyah beberapa tahun lebih muda dari saya, tapi saya tahu, demi akurasi apapun tidak bisa dikira-kira. Akhirnya, seperti otomatis saya pun mencoba mengingat-ingat kembali setiap detil yang sempat diutarakan oleh Adi demi mencari secuil petunjuk. Namun, ketika sedang berusaha sekuat tenaga mengingat-ingat apa yang telah lewat, saya malah dikejutkan oleh sebuah fakta: Bukankah Universitas Gunadarma tidak mempunyai program D2? Lalu mengapa Adi tadi mengakui bahwa dirinya lulusan D2 Universitas tersebut?<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span><span style="font-size:100%;"><span style="">·<span style="">·<span style="">·</span></span></span></span><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Hari demi hari kembali terlewati semenjak saya melompat turun dari bis dimana Adi Firmansyah tetap berada di </span><span style="font-size:100%;"><st1:city><st1:place><span style="">sana</span></st1:place></st1:city></span><span style="font-size:100%;">, seraya tangannya tetap menggenggam secarik kertas berisi nomor telepon seluler yang sengaja saya tinggalkan untuknya agar ia bisa menghubungi. Tapi sampai saya menuliskan ini, kabar darinya yang saya tunggu-tunggu tak juga datang. Sulit untuk bisa tetap mempercayai seseorang apabila salah satu pondasi keyakinan yang menopangnya telah runtuh terlebih dahulu. Tidak mudah untuk tetap memegang satu ucapan seseorang, bila saya sudah tidak mempercayai ucapannya yang lain.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Kali ini bukan janji Adi untuk menelpon yang saya persoalkan. Bule, Akew, atau Rohim pun memiliki janji yang sama untuk menelpon saya dan mengatur pertemuan selanjutnya. Perkara mereka semua hingga detik ini belum juga memberi kabar, itu bisa mudah disikapi dengan pikiran positif, seperti: mungkin mereka memang benar-benar kesulitan mencari cara untuk menghubungi saya—mengingat, dari segi ekonomi, kondisi mereka memang lebih sulit ketimbang saya. Tapi mengatakan pernah mengambil program D2 Universitas Gunadarma, sedangkan saya tahu tidak ada program D2 di Universitas tersebut, itu lain perkara. Saya gagal menemukan cara yang bisa membuat saya tetap berpikiran positif untuk menyikapi kebohongan. Mungkin karena pada dasarnya saya tidak pernah suka dibohongi. Bahkan dengan perasaan sangat menyesal saya pun gagal untuk bisa tetap percaya bahwa Adi Firmansyah adalah nama orang itu yang sebenarnya.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Hingga suatu pagi, saat saya tidak sedang terlalu memikirkan soal pengamen ataupun menanti kabar dari mereka, saya mendapat kabar bahwa akan ada sebuah Perda baru yang saat ini masih disosialisasikan. Perda dengan nomor 8 tahun 2007 yang mengatur soal ketertiban umum itu akan menjadi dasar hukum lagi untuk menertibkan pengamen, pengemis, dan kelompok masyarakat miskin lainnya dari jalanan. Perda ini tidak hanya akan menjadi momok bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin yang tetap harus berada di jalanan demi mengais rejeki. Tapi juga bagi pihak-pihak yang, menurut logika si pencetus Perda, mempertahankan keberadaan kaum miskin di jalanan; seperti memberikan receh kepada pengamen ataupun pengemis. Dalihnya, jalanan bukan tempat untuk berderma.<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Saat itu juga saya segera teringat pada beberapa pengamen yang masih mempunyai janji untuk menghubungi saya. Saya membayangkan di mana pada saat itu mereka berada. Apakah di suatu tempat di luar </span><span style="font-size:100%;"><st1:city><st1:place><span style="">sana</span></st1:place></st1:city></span><span style="font-size:100%;"> mereka sedang berkejaran dengan waktu, memanfaatkan sisa waktu yang sedikit ini untuk mengamen sebelum Perda tersebut benar-benar diberlakukan? Apakah mereka sudah memutuskan untuk mengakhiri karir mereka sebagai pengamen lantaran ngeri pada Perda baru ini? Atau justru mereka bergeming, karena memang sudah biasa ditangkapi. Seperti yang sempat Adi katakan saat saya bertanya apakah ia takut ketika dikejar-kejar oleh aparat, sebelum pada akhirnya ia harus merelakan 180.000 miliknya.<o:p><br /></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">“Biasa <i>aja</i>. Saya <i>mah</i> <i>udah</i> biasa. Kalo soal berurusan sama polisi <i>sih</i>, saya <i>udah</i> biasa. Lagipula </span><span style="font-size:100%;"><st1:state><st1:place><span style="">kan</span></st1:place></st1:state></span><span style="font-size:100%;"> dulu saya sekolah STM. Jadi <i>udah</i> sering <i>ngerasain ketangkep pas</i> tawuran.”<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: justify; font-family: trebuchet ms;"> </div> <p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style=""><span style="font-family: trebuchet ms;font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" >Saat itu saya hanya berharap dia benar-benar baik-baik saja di luar sana. Sebab saya memang masih menyimpan harapan untuk berjumpa dengannya lagi, entah dalam kesempatan yang seperti apa. Meski saya tidak tahu apapun mengenai dirinya, bahkan keaslian namanya yang saat itu sempat ia ucapkan dengan lugas dan membuat saya takjub, tapi saya tahu bahwa dia mempunyai harapan akan masa depan yang lebih baik. Sama seperti saya yang masih mengusahakan ini semua.[]</span><o:p></o:p></span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-71111788022514609992007-08-27T10:17:00.000+07:002008-06-09T09:50:22.414+07:00Seri Rekaman Nyanyian Jalanan # 1<p class="MsoBodyText"><span style="font-weight: bold;font-size:180%;" ><span style="font-family: times new roman;">Langkah Kecil</span></span><i><span style="font-size:9;"><br /><br /></span></i></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:100%;"><i>Dan aku pada hari itu selangkah lebih dekat kepadamu, kekasih.<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:100%;"><i>Maka jangan biarkan aku mundur lagi,<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:100%;"><i>meski itu selangkah saja.<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:100%;"><i>Maka tampar aku jika berhenti terlalu lama,<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i><span style="font-family:Arial;">aku hanya tak ingin mati terlalu pagi.<o:p></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i><span style="font-family:Arial;"><o:p></o:p></span></i>——</span><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><o:p></o:p><span style="font-family:trebuchet ms;">Suatu Minggu siang, di bawah jembatan layang Cawang-UKI, aku berbincang dengan seseorang. Rohim, begitu ia memperkenalkan dirinya. Penampilan yang cenderung berantakan, dengan rambut gondrong dan kulit gosong, barangkali membuat orang yang pertama kali melihatnya akan segera merasa sedang berhadapan dengan orang yang kurang bersahabat. Tapi, tidak demikian halnya bagiku. Barangkali terdorong oleh niat untuk segera memulai sebuah proyek, yang akhir-akhir ini telah begitu meresahkan karena terus menerus menuntut untuk direalisasikan, semua kesan buruk yang mungkin muncul dari sosok itu secara ajaib sirna begitu saja dari pikiranku. Malahan, pada saat yang sama, seolah pikiranku mensugesti aku untuk berpersepsi bahwa dirinya adalah manusia yang tiada bedanya dengan aku dan juga sejumlah manusia lain, yang saat itu sedang berada di dalam kendaraan umum yang sama. Dan barangkali karena persepsi itulah, aku berhasil untuk menangkap segurat senyum terpoles di bibirnya saat ia sedang asyik menyanyikan sebuah tembang lawas dari Koes Plus dengan iringan gitarnya sendiri. Senyuman yang kurasa hanya aku sendiri yang bisa menyaksikannya dari sekian banyak penumpang, yang pada saat itu kulihat lebih memilih untuk mengarahkan pandangannya ke jalan raya ataupun gedung-gedung di Jalan Gatot Subroto. Senyuman yang sekaligus menjadi lampu hijau bagiku untuk mendekatinya.</span><o:p style="font-family: trebuchet ms;"></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;">Rohim naik dari Pancoran. Setelah sebelumnya aku sempat melihat ia berunding dengan laki-laki lain yang juga sama-sama menenteng sebuah gitar. Sebentar saja perundingan itu berlangsung. Sebab sepertinya mereka sadar bahwa <i>traffic-light</i> akan segera beralih ke lampu hijau. Maka, ketika Mayasari bernomer trayek P 57 yang kutumpangi itu mulai bergerak, dengan sigap salah satu dari mereka segera melompat naik melalui pintu belakang. Sementara yang lainnya tetap berada di sana, di bawah patung yang selalu setia menunjuk ke arah Sahardjo.<o:p><br /></o:p></span><span style="font-size:100%;"><br />Saat itulah aku segera teringat kembali dengan proyekku yang akhir-akhir ini kian meresahkan jiwa. Beberapa waktu belakangan aku memang menyimpan satu keinginan untuk membuat sebuah film dokumenter mengenai pengamen. Mengenai apa <i>Narrow Focus</i>-nya, belum ingin kujabarkan sekarang. Yang pasti, aku tahu, aku tidak akan dapat maju ke satu titik yang kuinginkan apabila hanya terus-menerus mengandalkan bantuan internet sebagai bahan acuan riset. Maka berdasarkan perhitunganku, aku memang harus membuat satu langkah kecil untuk masuk ke lingkar-lingkar kelompok pengamen. Dan itu tidak akan pernah mungkin terjadi jika aku tidak juga memulai untuk menciptakan komunikasi dengan mereka, atau salah satu dari mereka.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Sebetulnya pria gondrong, yang sudah mulai bernyanyi di antara ganasnya deruman mesin bis itu, bukanlah profil terbaik dari sekian banyak pengamen yang pernah kutemui dalam sepanjang riwayatku menumpang kendaraan umum. Dari segi penampilan, ia terlihat nyaris sama menakutkannya dengan sosok penodong-penodong di bis kota yang punya modus operandi: naik ke bis secara beramai-ramai (minimal berdua), membacakan sebuah deklamasi pendek dengan suara lantang dan nada seperti membentak, kemudian selalu ditutup dengan kalimat seperti, “daripada kami menjadi pencopet atau penodong, lebih baik kami seperti ini, Bapak-Ibu!”. Sementara dari segi musik yang dibawakannya, ia tidak bisa disejajarkan dengan pengamen-pengamen di Bandung yang seringkali membawakan lagu-lagu band café, ataupun pengamen-pengamen di KRL Jabotabek yang terlihat lebih <i>all-out</i> dengan membawa perangkat musik lengkap—seperti Drum, Keyboard, bahkan <i>Bass Betot</i>. Singkatnya, ia terlihat biasa-biasa saja. Maka apabila saat itu aku sedang berada di bawah penugasan kantor untuk mencari berita mengenai kehidupan pengamen di ibukota, hasil liputan mengenai orang ini sudah pasti tidak akan naik tayang. Sebab ia memang tidak unik. Sehingga sukar betul untuk menemukan apa yang menarik dari seorang pengamen berpenampilan cenderung berantakan yang memainkan lagu Koes Plus. Lagipula apa pentingnya kehidupan seorang pengamen seperti dia bagi orang banyak. Dan sudah barang tentu cerita mengenai dirinya tidak bisa dikategorikan sebagai berita, semenjak sesuatu baru bisa dianggap berita apabila ia memenuhi minimal satu dari dua syarat: penting dan menarik.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Tapi tak ada alasan lain yang membuatku yakin bahwa saat itu merupakan saat yang tepat bagiku untuk mulai maju selangkah demi merealisasikan keinginanku. Tak ada alasan lain yang membuatku bergegas meruntuhkan segala prasangka buruk atas seorang pengamen yang terlihat tidak terlalu ramah ini. Alasan itu adalah momentum.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Sebetulnya, sehari sebelumnya, di dalam bis kota yang sedang mengantarkanku menuju kantor, aku menjumpai tiga orang pengamen yang jauh lebih menarik daripada pria gondrong ini. Selain berpenampilan rapi, mereka juga memainkan lagu bernuansa reliji dengan kemampuan bermusik yang menurutku tidak kalah dengan band-band terkenal. Tapi, alangkah sayangnya, saat itu aku sedang mengejar waktu supaya tidak terlambat tiba di kantor. Sehingga saat itu aku membiarkan mereka berlalu begitu saja setelah mereka menyudahi pertunjukan, tanpa sempat lagi aku mengajak berbincang-bincang. Maka Minggu siang itu jadi momen yang tepat bagiku untuk memulai semuanya. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang. Karenanya tak ada sesuatu apapun yang perlu kukejar, selain waktu untuk beristirahat.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Mayasari P 57 sempat berhenti cukup lama di Stasiun Cawang. Pengamen incaranku sudah sejak beberapa menit sebelumnya menyelesaikan satu-satunya lagu yang ia bawakan kali itu dan ia sedang berdiri di dekat jendela bagian belakang bis sembari melamun. Saat itu aku masih menimbang-nimbang, apakah perbincangan ini akan kulakukan di atas kendaraan ini juga, atau menunggu beberapa saat lagi ketika ia turun dari bis dan aku pun mengikutinya turun. Karena bagaimanapun juga, aku tidak ingin terlalu mengejutkan ia yang saat itu sedang melamun dengan menghampirinya—secara tiba-tiba ataupun perlahan-lahan—dan kemudian mengajaknya berkenalan. Meski memang belum tentu ia akan seterkejut yang kubayangkan. Namun, bukan berarti kemungkinan itu tidak ada. Aku tidak ingin mengusiknya. Maka saat itu juga aku memutuskan untuk mengambil pilihan yang kedua. Yaitu, nanti saja, ketika ia turun dari bis ini.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Analisaku mengatakan, jika ia tidak segera turun setelah menyelesaikan ‘pekerjaannya’, pastilah ia hendak menumpang bis ini untuk sampai di satu tempat tujuan. Dan saat itu aku berharap tempat tujuannya adalah Cawang-UKI. Tempat aku juga harus turun untuk berganti kendaraan.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Bis kembali bergerak setelah mengambil beberapa penumpang di Stasiun Cawang. Penantian sang sopir selama itu tidaklah sia-sia. Aku pun mulai berdoa supaya harapanku tadi, agar pengamen ini juga turun di tempat yang sama denganku, bisa terwujud. Meski aku juga sudah membuat rencana alternatif bila ternyata nantinya ia turun sebelum ataupun setelah Cawang-UKI. Yakni, aku juga akan ikut turun di sana dan segera memanggilnya. Pada saat yang sama aku juga memikirkan cara seperti apa yang terbaik untuk memanggil orang yang belum kukenal. Apakah hanya dengan suara saja, “Mas, Mas…”, ataukah disertai dengan tepukan di bahunya, aku belum sempat memastikan itu. Hingga akhirnya aku mendengar suara kondektur meneriakkan ‘Cawang-UKI’ secara repetitif, aku pun bersiap bangkit dari tempat duduk. Pucuk dicinta ulam tiba, pengamenku terlihat tengah bersiap melompat ke aspal ketika aku sedang berjalan menuju pintu belakang.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Dia turun lebih dulu, dan aku beberapa detik sesudahnya. Karena di sana bukan hanya aku dan pengamen itu saja yang hendak turun. Ketika kedua kakiku sudah berada di atas aspal, aku segera mempercepat langkahku agar tidak kehilangannya. Aku melihat ia bercelingukan ketika jarak di antara kami semakin menipis. Saat itu juga aku memanfaatkan kesempatan untuk memulai komunikasi. “Mau langsung <i>ngamen</i> lagi ya, Mas?”</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Beruntung suaraku tidak kalah oleh deruman mesin Mayasari tadi yang saat itu sedang berada persis di samping kami dan berbelok menuju By Pass. Ia menoleh ke arahku seraya memberikan senyum, “Iya, nih,” jawabnya.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Dan barangkali itu adalah keberuntunganku untuk yang kesekian kalinya. Bahwa orang asing yang sedang kuajak berkomunikasi ini ternyata tidaklah segarang kelihatannya. Maka aku pun mulai memperkenalkan diri padanya. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Rohim. Berikutnya aku sudah meminta waktunya untuk mengobrol. “Di mana?” tanyanya. Aku menunjuk ke arah dimana biasanya aku mencari mobil tumpanganku selanjutnya, di kolong jembatan layang.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Rohim mengaku tinggal di Tangerang bersama dengan istri dan anaknya. Saat itu juga, yang pertama terbayang di benakku adalah rute yang harus ia tempuh setiap harinya untuk melakukan pekerjaan ini. Berikutnya yang muncul barulah keingintahuan; apakah dengan bermata pencaharian sebagai pengamen seperti yang ia jalani itu bisa untuk menghidupi sebuah keluarga. Maka aku pun ingin tahu, apakah mengamen merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya. “Ada kerjaan <i>laen</i>,” ujar Rohim mantap.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Penasaran, aku pun bertanya pekerjaan apa yang ia lakukan selain mengamen. Ia menjawab, “Dangdutan.”</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>“Maksudnya?” tanyaku betul-betul tidak mengerti.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>“Iya, <i>maen</i> musik keliling.”</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Oalah. Maksud Rohim adalah Orkes Keliling. Grup musik yang membawa peralatan berupa <i>sound system</i>—dengan sumber listrik accu (baca: aki)—dan alat-alat musik seperti gitar, bass, gendang, dan lain-lain. Orkes keliling atau sering juga disebut orkes dorong mempunyai daya tarik berupa biduan-biduan perempuan berpenampilan seksi yang akan menghibur mereka, yang sengaja memanggil grup ini untuk dihibur. Mereka yang ikut berjoget bersama para biduan harus merogoh kantong untuk membayar kesenangan yang mereka dapatkan. Tradisi semacam ini disebut dengan <i>saweran</i>.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>“Biasanya kita dipanggil sama <i>tongkrongan-tongkrongan</i> yang lagi minum-minum,” Rohim menjelaskan.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Saat itu aku berpikir: lucu juga jika Rohim menganggap perlu adanya pembedaan penyebutan antara bermain musik di atas bis kota dengan bermain musik keliling bersama grupnya. ‘Ngamen’ untuk yang di atas bis, dan ‘dangdutan’ untuk yang berkeliling. Mengingat kedua profesi yang ia jalani itu adalah sama-sama bermain musik dengan harapan ada orang yang mau memberikan apresiasi dalam bentuk uang, dalam jumlahnya yang sukarela.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Aku menemukan sisi menarik dari pribadi Rohim ketika bertanya apakah penghasilan dari <i>dangdutan</i> lebih besar daripada <i>ngamen</i>, sehingga ia merasa perlu untuk menjalani dua-duanya.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>“<i>Nggak</i> juga. <i>Kalo</i> <i>ngamen</i>, saya dari jam sepuluh sampai jam dua siang. <i>Abis</i> itu saya pulang. Paling saya bawa uang limabelas <i>sampe</i> duapuluh ribu. Lumayan buat dapur. Nah, <i>malem</i>nya saya <i>ama temen-temen dangdutan</i>. Bisa <i>sampe</i> jam dua – jam tiga. Besoknya saya berangkat lagi <i>ngamen</i>. Bukan soal duitnya. <i>Kalo dangdutan</i> itu soalnya kan <i>pake</i> gitar listrik. Jadi lebih… lebih… lebih <i>asik</i> <i>aja</i>.”</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Luar biasa, pikirku. Di dunia dimana nyaris semua orang berbondong-bondong memberhalakan materi, aku menemukan seseorang yang bisa melihat bahwa uang bukanlah segala-galanya. Dan orang itu adalah Rohim, orang yang mengaku tidak memiliki pekerjaan lain selain <i>ngamen</i> dan <i>dangdutan</i>. Dua pekerjaan yang belum mendapat tempat terhormat di negri ini. Dari cerita Rohim juga, kekerasan masih sering mereka alami dari aparat Negara. Tak jarang, mereka yang terkena razia harus pasrah ketika alat musiknya dihancurkan, ataupun diri mereka digebuki kemudian ditahan.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Namun, Rohim sepertinya termasuk salah satu orang yang terus memperjuangkan hidupnya. Seperti yang dilakukan siapa saja apabila kehilangan haknya atas hidup. Anggaplah kondisi di negri ini telah terlanjur membuat orang-orang seperti Rohim menjadi korban dengan berada pada strata sosial yang rendah. Tapi apakah kondisi ini juga yang pada akhirnya harus menghapus hak hidup mereka? Bagaimana ketika Rohim dan kawan-kawannya mengamen ataupun <i>dangdutan</i> bukan hanya untuk uang semata, tapi juga untuk mendapatkan hal lain—seperti yang disebut oleh Rohim dengan ‘asik’?</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Terlepas dari mengkritik regulator yang masih gagal untuk menanggulangi kemiskinan, eksistensi manusia-manusia seperti Rohim seharusnya menjadi bahan renungan bagi siapa saja. Bahwa apabila mengamen menjadi suatu profesi alternatif bagi mereka yang tidak berkesempatan untuk memperoleh pekerjaan lain, sudah semestinya profesi ini juga mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lain di masyarakat. Paling tidak pemerintah pun turut melindungi hak mereka untuk hidup, bukannya malah membunuh hidup mereka, yang notabene merupakan manifestasi dari kegagalan pemerintah sendiri dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yah, paling tidak orang-orang seperti Rohim bisa tetap mendapatkan ‘asik’-nya dengan tetap bisa mendapat tempat untuk hidup. Hidup yang sehidup-hidupnya. Yakni, memperoleh apa yang memang menjadi haknya. Sebab sekecil apapun hak itu, hak tetaplah hak. Meski hak itu hanyalah hak yang menurut orang lain remeh, tapi barangkali tidak bagi orang-orang seperti Rohim, yang telah berhasil melihat kebahagiaan dunia bukan hanya terbatas pada uang.</span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Merasa telah menyita waktu Rohim terlalu lama, aku pun memutuskan untuk menyudahi obrolan. Meski sebenarnya masih banyak yang ingin kutanyakan seputar ruang hidup pengamen. Barangkali lain waktu obrolan ini bisa berlanjut. Karena bagiku pun, ini masih merupakan satu langkah kecil untuk benar-benar memasuki dunia yang sebenarnya. Dunia yang setiap saat aku inginkan untuk berada di sana. Sebab sampai saat ini aku masih percaya, bahwa aku tidak akan bisa membuat perubahan. Tapi aku bisa melakukan perubahan. </span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;"><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p>Perbincangan pun kami tutup dengan sebuah janji kecil. Janji untuk bertemu lagi pada suatu malam di Tangerang. Janji untuk berjoget bersama dengan diiringi permainan Rohim DKK, ditemani para biduan seksi. <i>Asiiik…</i>[]</span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-64518994791666263132007-08-09T20:48:00.001+07:002008-06-09T09:50:22.415+07:00Memilih Hidup<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><a name="Top"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >“<i style="">Some set their hearts on a rocking chair. The better to sleep out the days. But I'm looking for a reason to kick and scream. I don't want to fade away</i></span></a><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >.</span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >―<span style="font-weight: bold;">Chumbawamba</span>, <a href="http://www.chumba.com/media/FadeAway.mp3"><i style="">Fade Away (I Don’t Want To)</i></a></span></p> <p class="MsoNormal"><br /><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><i style=""><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p></span></i><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Setelah mengajak </span><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >Yana</span></st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > ber-<i>high five</i>, aku dan Edi segera meninggalkan kantor. Meninggalkannya yang tampaknya akan menetap lagi malam ini. Sembari berjalan menuju lift, aku menyempatkan diri menoleh ke belakang sekali lagi. Kemudian merasa <i>high five</i> tadi tidak cukup berhasil. Kelelahan itu masih kentara di wajahnya, meski ia telah mengusahakan sebuah senyuman saat telapak tangannya dan telapak tanganku tadi berjumpa di udara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Aku maklum jika ia lelah. Pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali, memang menjadi suatu konsekwensi yang telah dijalaninya akhir-akhir ini semenjak terpilih sebagai salah satu orang yang akan dipersiapkan menjadi presenter.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p></span>“Anjir, kasian banget tu anak,” kata Edi, ketika kami sama-sama memasuki pintu lift yang sudah siap mengantar ke lantai dasar.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Untuk itulah aku mengajaknya ber-<i>high five</i>. Aku tidak suka merasa kasihan pada seseorang tanpa berbuat sesuatu apapun untuk berusaha menolongnya. Tapi kali ini, aku sungguh-sungguh merasa tidak bisa berbuat banyak. Karena bagaimanapun juga, apapun yang tengah kita masing-masing hadapi saat ini adalah konsekwensi yang harus kita terima setelah memilih untuk bekerja di sini. Maka rasa kasihanku itu hanya bisa terejawantahkan ke dalam suatu ajakan untuk tetap kuat. Kuat untuk menyongsong setiap konsekwensi dari pilihannya sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Bagiku, yang terpenting pada saat-saat seperti ini—ketika waktu hidup dalam duapuluh empat jam hanya dapat diisi dengan bekerja dan tidur—adalah bagaimana caranya mengusahakan pekerjaan menjadi sesuatu yang benar-benar dapat kunikmati. Apabila tidak, itu sama artinya aku tidak akan menikmati hidup itu sendiri, sama sekali.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>“Apalagi kalo dateng ke kantor udah sampe bikin muntah-muntah, berak-berak… Itu sih udah nyiksa banget, men!” ujar Edi sembari wajahnya terlihat meringis.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Ketika mobil Kijang yang kami tumpangi melaju di jalan Gatot Subroto yang sudah lengang, Edi mulai bercerita mengenai seorang temannya yang pernah bekerja di E&Y. Aku mendengarkan kisahnya sembari menikmati rokok yang sudah kunyalakan sejak di tempat parkir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Di perusahaan itu, ungkap Edi, ia telah berada pada suatu pencapaian yang lebih dari lumayan. Penghasilan </span><st1:city><st1:place><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" >lima</span></st1:place></st1:city><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" > juta rupiah sebulan. Tapi bekerja di perusahaan akuntan publik terkemuka semacam itu membuat hari-harinya hanya dipenuhi dengan imaji akan uang-uang yang tidak pernah menjadi miliknya. Keuntungan puluhan perusahaan besar yang bernilai puluhan milyar rupiah, hanya bisa singgah di pelupuk matanya sebagai akuntan, tanpa bisa ia mengenyam nilai sebanyak itu. Kecuali itu, ia merasa tidak pernah mempunyai banyak waktu untuk melakukan hal lain selain bekerja dan tidur. Sebab mengurusi keuangan satu perusahaan saja, bisa memakan waktu sampai dua minggu. Pada saat-saat itulah—ketika ia sudah tidak dapat menikmati detik demi detik yang ia jalani, ketika pekerjaannya membuatnya merasa terasing dari apa yang ia kerjakan, dan ketika ia datang ke kantor hanya karena keharusan belaka—tubuhnya pun mulai berontak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>“Muntaber maksud lo, Ed?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>“Ha-ha! Bukan muntaber. Tapi muntah-muntah dan berak-berak karena udah muak ama apa yang dia kerjain,” terang Edi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Pikiranku pun serta-merta mengenang beberapa kawan di perusahaan tempatku bekerja saat ini, yang beberapa hari belakangan sempat mengeluh padaku. Mereka mulai merasa keberatan dengan sistem perusahaan ini karena jam kerjanya yang tidak menentu. Sesuatu yang membuatku tak habis pikir kenapa dulu mereka memilih profesi yang, seperti dikatakan oleh Luwi Ishwara dalam bukunya: <i>Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar</i>, “wartawan, entah yang bekerja di surat kabar; majalah, radio, televisi, maupun yang di internet beroperasi 365 hari setahun dan 24 jam sehari. Seseorang tidak berhenti menjadi wartawan setelah pukul 5 sore seperti layaknya orang yang bekerja di kantor.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><o:p></o:p>Aku memerhatikan batang rokokku yang sengaja tak kutempatkan di dalam badan mobil, tapi tersemat di sela-sela jemari tangan kiriku yang tersodor ke luar jendela. Gesekan angin membuat rokok itu terbakar lebih cepat tanpa harus kuhisap. Saat itu juga aku merasakan relatifitas waktu. Waktu akan terasa lebih cepat mengikis habis ragaku, saat aku tidak dapat bersahabat dengannya dan menikmatinya. Sebisa mungkin aku harus segera menemukan kenikmatan dari apapun yang kukerjakan saat ini, apabila tidak ingin menemui ragaku sendiri berontak membunuhku.[]<o:p></o:p></span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-30659875258752468692007-08-06T11:02:00.000+07:002008-06-09T09:50:22.415+07:00Kontemplasi Ruang Tunggu<p class="MsoBodyTextIndent" style="text-align: left;font-family:arial;" align="left"><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;">"Ilmu tidak boleh menjadi kesukaan diri sendiri. Mereka yang beruntung mampu mencurahkan dirinya kepada pengudian ilmu, harus yang pertama-tama menempatkan pengetahuan mereka untuk mengabdi umat manusia. Bekerjalah untuk umat manusia."</span> </span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="text-align: left;font-family:arial;" align="left"><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: normal;">—</span> <span style="font-style: normal;">Kutipan ucapan Karl Marx oleh Paul Lafargue, </span><span style="font-style: italic;">Reminiscences of Marx</span><span style="font-style: normal;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="text-align: left;font-family:arial;" align="left"><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;">"Sukar sekali, jika tak hendak dikatakan tak mungkin, untuk memberikan introduksi tentang filsafat materialisme dialektik dan historis dalam satu kali kuliah. Tetapi saya yakin, bahwa kian hari akan kian banyak propagandis di Indonesia sini, karena hanya dengan populernya filsafat pembaruan itulah usaha pembaruan masyarakat Indonesia dipermudah."</span><span style="font-style: normal;"> <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="text-align: left;font-family:arial;" align="left"><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: normal;">— Njoto, </span><span style="font-style: italic;">Marxisme: Ilmu dan Amalnya</span><span style="font-style: normal;">, halaman 14</span></span></p><br /><p class="MsoBodyTextIndent" style="text-align: left;font-family:arial;" align="left"><br /></p><p class="MsoBodyTextIndent" face="arial" style="text-align: left;" align="left"><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: normal;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Pukul tujuh petang. Kantor masih dipenuhi orang. Tidak aneh, sebab ini kantor berita. Aku yang terbilang baru di sini, masih agak kikuk untuk menentukan apa yang mesti kukerjakan. Pun produserku dan tim liputannya tengah berada di Bali saat ini. Jadilah aku dan beberapa orang kawan, yang notabene sama statusnya denganku sebagai pekerja baru, berusaha mencari kesibukan masing-masing supaya tidak terlihat terlalu kontras dengan para reporter yang sibuk menulis naskah ataupun mem-<i>preview</i> gambar.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Ruang televisi lantai lima, yang konon juga merupakan ruang kumpul para <i>camera-person</i>, menjadi salah satu tempat favoritku selama seminggu terakhir—selain balkon di lantai tiga yang selalu kujadikan tempat untuk membakar rokok sembari menikmati permainan spektrum warna langit senja. Di tempat ini aku biasa mendaratkan bokong di atas sofa yang lumayan empuk sembari menyaksikan tayangan-tayangan National Geographic ataupun HBO. Tapi bukan saluran tivi kabel itu yang menjadikan tempat ini sebagai tempat favoritku. Melainkan, di sini, aku bisa sedikit menyingkir dari pergerakan orang-orang yang memang telah mengemban tugas dari para koordinator liputan. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Agak iri melihat Bam yang tiga bulan ke depan kebagian jatah posisi di Departemen Bulletin. Selama sepekan terakhir ini, ia nyaris tidak pernah terlihat berpangku tangan. Berangkat meninggalkan kantor pada pagi harinya, dan baru kembali lagi menjelang senja dengan membawa berita. Ia sudah mendapat kesempatan untuk melakukan liputan sekaligus merangkai naskah yang dipersiapkan untuk naik tayang; meski memang masih harus diedit lagi oleh produser. Tidak pasti tayang, memang. Maklumlah, sebagai pekerja pekerja baru, Bam juga masih harus menyesuaikan gaya menulisnya dengan standar yang dipakai oleh media ini.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Lain halnya denganku yang kebagian jatah posisi di Departemen Magazine. Aku masih belum pergi kemana-mana. Sepanjang hari aku hanya berada di dalam gedung ini, mencari kesibukan, supaya tidak terlihat terlalu kontras dengan orang-orang seperti Bam yang sibuk menulis naskah ataupun mem-<i>preview </i>gambar. Satu-satunya penugasan yang kuperoleh dari produserku dua hari lalu, sebelum ia berangkat ke Bali menyusul tim liputan yang sedang syuting di sana, adalah: riset. Aku kebagian tugas untuk mencari tahu mengenai Nanggroe Aceh Darussalam. Aku diminta untuk mencari kesenian khas Aceh yang unik dan layak untuk diangkat. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoBodyText" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Awalnya, ini pekerjaan yang menggugah. Menelusuri narasumber hingga menemukan narasumber primer, tanpa kutahu harus mulai dari mana, adalah sesuatu yang menantang. Untuk itu aku jadi giat menjelajahi dunia maya. Mencari nama-nama instansi ataupun individu yang sekiranya bisa membawaku semakin dekat pada apa yang kutuju. Mempergunakan telepon pun tidak dilarang di kantor ini. Entah berapa ratus ribu rupiah sudah kuhabiskan untuk menelpon ke Serambi Mekah. Dan memang menggugah melakukan pendekatan dengan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah kukenal demi mencari informasi. Berbincang via telepon dengan Marzuki Hasan—dosen IKJ yang konon paling sering bolak-balik Aceh-Jakarta—hingga dengan orang Dewan Kesenian Aceh Tengah. Aku merasa seperti seorang detektif.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Namun, sensasi itu tidak bertahan terlalu lama. Hari ini saja aku sudah mulai merasa jenuh untuk terus-terusan berada di dalam kantor, semenjak salah satu alasanku dalam memilih Pewarta sebagai profesi karena aktivitasnya yang lebih banyak dilakukan di luar sana.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Aku ingin menginjak aspal panas. Aspal yang juga diinjak oleh guru-guru, yang menuntut realisasi 20% anggaran pendidikan dari APBN. Aku ingin tersengat matahari. Matahari yang juga membakar kulit para buruh PT. NASA dan PT. HASI, yang menggugat NIKE karena ingin menghentikan orderannya pada dua pabrik tersebut. Aku juga ingin melihat kokohnya pagar besi gedung-gedung instansi, yang selalu berdiri di depan mata rakyat kecil setiap kali mereka datang untuk menyampaikan aspirasi. Aku ingin bersama mereka. Aku ingin berada di samping mereka, seraya mengatakan: hatiku selalu bersama kalian semua. Meski kata-kata itu hanya bisa termanifestasi dalam aktivitasku merekam apapun yang sedang kalian lakukan, dan menyampaikan kepada yang lainnya dengan seaktual dan sefaktual mungkin; agar setiap orang tahu bahwa kita memang tidak sedang baik-baik saja.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Saluran National Geographic tiba-tiba beralih ke AXN tanpa aku melihat lagi siapa yang memegang <i>remote-control</i>. Mungkin salah satu kawan di sampingku yang juga belum mendapat penugasan sepertiku. Atau mungkin seorang <i>camera-person</i> senior yang sejak tadi memang duduk di pojok ruangan ini untuk beristirahat. Aku tidak ambil pusing. Sejak tadi pun aku tidak terlalu berniat untuk menyaksikan apapun di dalam kotak televisi tersebut. Aku masih sibuk memikirkan apa lagi yang bisa kukerjakan, ketika para <i>contact-person</i>ku meminta untuk ditelepon kembali baru keesokan pagi.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Tiba-tiba seorang kawan perempuan yang tengah dipersiapkan untuk menjadi presenter, memasuki ruang televisi dan mengambil tempat di sampingku. Wajahnya kelihatan sedikit lebih lesu dari biasanya. Meski memang ia memiliki perangai yang tidak ceria, dan cenderung dingin, tapi kali ini aku bisa melihat sesuatu yang berbeda pada raut wajahnya. Aku berpersepsi ia tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik untuk diajak bicara. Tapi keegoisanku seolah mengabaikan persepsi itu. Aku membuka pembicaraan karena aku memang sedang butuh teman bicara. Aku membukanya dengan bertanya kenapa.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">“Lagi bete nih gue. Masa gue musti…”<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Ternyata dugaanku sedikit meleset. Ia memang sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Tapi tampaknya ia justru memang sedang butuh untuk berbicara. Maka jadilah aku seorang pendengar yang baik. Mendengarkan ia berkeluh kesah soal beberapa hal yang tidak menyenangkan hatinya. Mendengarkan semuanya dengan seksama sembari memerhatikan sorot matanya yang terkesan galak. Sorot mata yang memang selalu seperti itu semenjak aku mengenalnya. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Ia menarik nafasnya setelah merasa cukup berbicara. Aku menanti beberapa detik, memberi kesempatan baginya apabila ia memang masih ingin melanjutkan. Tapi tampaknya ia memberi kesempatan itu padaku.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">“Kita akan berdialektika kok,” ucapku hati-hati kemudian. Hati-hati karena beberapa hari yang lalu ia sempat menuduhku sebagai orang kiri. Aku khawatir dengan membuka wacana mengenai materialisme dialektik dan historis seperti yang baru saja kulakukan memberi ia afirmasi bahwa dugaannya itu benar.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">“Maksud lo?” tanyanya dengan wajah bingung.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">“Iya, A ketemu B harus jadi C. Itu dialektika. Seorang lo ketemu dengan sebuah perusahaan, itu harus menghasilkan sebuah nilai yang baru. Itu dialektika. Begitu juga dengan datangnya lo di perusahaan ini. Nggak bisa A itu harus tergerus dan B yang tetep eksis, pun sebaliknya. Harus ada gaya permainan baru yang dihasilkan dari pernikahan atara lo dan perusahaan ini. Gaya permainan yang nantinya dipake sama kedua pihak.”<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">“Tapi katanya kan kita musti nurut dulu sekarang. Nggak boleh ngelawan. Ngikutin standar.”<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">“Ya, iya sih…,” aku bingung harus melanjutkan apa lagi sebetulnya. Aku berusaha keras menemukan kalimat yang bisa menjadi penutup dari pembicaraan ini. Sebab aku sendiri merasa tidak pantas untuk berlagak bijak padanya, mengingat aku sendiri pun sedang merasakan kegelisahan yang tidak jauh berbeda dari dirinya. “Memang kita sekarang musti nurut dulu. Tapi pertahanin karakter lo aja. Karakter lo itu keras. Menurut gue itu bagus. Dengan itu lo jadi punya sikap. Nantinya orang-orang di sini akan ngeliat, dan lo sendiri juga akan tau, lo sebenernya cocok untuk ada di program acara yang kayak gimana. <i>Soft News</i> atau <i>Hard News</i>.”<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoBodyText" style="font-family:arial;"><span style="font-size:100%;">Memang pandai sekali aku kalau bicara. Sedangkan menyelesaikan masalah sendiri pun aku belum berhasil. Aku sendiri masih berusaha melepaskan diri dari suasana hati yang buruk karena hingga kini belum ditugaskan untuk pergi kemana-mana. Kini aku sudah berlagak seperti seorang penasihat spiritual.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">“Iya sih… Ah, tapi udahlah. Gue aja kali yang lagi mau <i>dapet</i>. Jadinya <i>bete</i> gini. He-he-he. Nggak usah dianggep lah omongan gue tadi,” ujarnya dengan gestur yang seolah ingin memberi impresi bahwa ia bukan seorang perempuan cengeng. Dan ia pun langsung meninggalkan ruang televisi.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size:10;">Ah, iya. Sama-sama. Tidak perlu dipikirkan juga segala nasihat tadi. Sesungguhnya kata-kata itu lebih ditujukan kepada diriku sendiri. Selalu seperti itulah setiap nasihat yang tersaji lewat media bernama ‘mulut manusia’.[]<o:p></o:p></span></span></p>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1316940966114982226.post-34564197514042242522007-07-11T07:47:00.000+07:002008-06-09T09:50:49.424+07:00[Review] The Edukators<div align="justify"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/The_Edukators"><img style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 200px; CURSOR: hand" alt="" src="http://www.theage.com.au/ffximage/2005/05/06/the_edukators_wideweb__430x293.jpg" border="0" /></a><span style="font-family:arial;">Genre : Drama Action<br />Produksi : y3 film/coop 99<br />Sutradara : Hans Weingartner<br />Format : DVD<br />Durasi : 127 Menit<br />Tahun Produksi : 2004<br /><br /></span></div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br /><span style="font-family:arial;">Jule (Julia Jentsch) adalah seorang aktivis yang memprotes kapitalisme, namun ia juga terpaksa bekerja sebagai pelayan sebuah restoran mewah karena harus membayar 100.000 Euros atas kerusakan mobil Mercedes yang pada suatu hari ditabraknya. Sementara Peter (Stipe Erceg) dan Jan (Daniel Brϋhl) telah selangkah lebih maju dalam upaya mereka menentang sistem tersebut. Mereka berdua melakukan sebuah aksi-langsung dengan metode menyatroni rumah-rumah konglomerat. Alih-alih menjarahi barang-barang berharga yang terdapat di rumah-rumah mewah itu, mereka menata ulang perabotan di rumah-rumah itu serta meninggalkan secarik kertas yang berisi pesan pendek: “Kamu memiliki terlalu banyak uang. Tertanda: The Edukators”.<br /><br />Kapitalisme dalam film ini dikedepankan dengan fenomenanya yang paling populer, yakni: kesenjangan sosial. Dimana pada satu bagian film digambarkan dari sisi seorang Jule yang harus memutar otaknya demi memikirkan bagaimana cara untuk melunasi hutang, selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Sementara di sisi seberangnya, digambarkan orang-orang yang telah berlimpah secara finansial, sehingga apa yang mereka pikirkan bukan lagi tentang bagaimana caranya untuk subsisten; melainkan hal-hal remeh-temeh seperti: kesempurnaan penyajian pear Brandy, yang harus dengan gelas khusus Brandy—bukan gelas liqueur. Singkatnya, gaya-hidup. Seperti yang juga dipaparkan oleh Jan kepada Jule, bahwa temannya itu selama ini telah membanting tulang hanya untuk mendanai seorang agar bisa mengendarai Mercedes. Padahal bagi para eksekutif itu, harga mobil tersebut sangatlah minor jika dibandingkan dengan nilai seluruh kekayaannya.<br /><br />Hingga suatu saat, sisi revolusioner dalam diri Jule seperti terstimuli oleh kata-kata Jan mengenai ketidakadilan yang kerap dirasakan oleh orang-orang yang berada di kelas sosial seperti mereka. Jule menjadi tidak disiplin di restoran tempat ia bekerja, yang mengakibatkan dirinya diberhentikan dari pekerjaannya. Pada saat Jule tengah menyesali kecerobohannya itu, Jan membangkitkan semangatnya dengan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan dengan melawan atasan tersebut merupakan sesuatu yang hebat. Sebab itu menunjukkan konsistensi dari apa yang Jule lakukan selama ini dengan protes-protesnya terhadap eksploitasi dan penjajahan kapitalisme. Kemudian Jan mengajaknya ke suatu pemukiman mewah milik orang-orang kaya untuk melihat apa yang selama ini dikerjakannya bersama dengan Peter, yang notabene merupakan kekasih Jule. Di sinilah Jule baru mengetahui bahwa ternyata kekasihnya punya sebuah aktivitas ilegal dengan membobol masuk rumah-rumah orang kaya, serta menamakan diri mereka sendiri ‘The Edukators’.<br /><br />Setelah pemaparan Jan yang cukup meyakinkan mengenai aksi The Edukators, yang termasuk di dalamnya mengenai ketidaktertarikan mereka untuk mencuri barang-barang dari setiap rumah yang mereka bobol, saat itu juga Jule tertarik untuk ikut mempraktikkan apa yang selama ini dilakukan oleh Peter dan Jan. Meski sebenarnya saat itu Peter sedang berada di luar negeri, Jule mengajak Jan untuk melakukan metode The Edukators terhadap rumah seseorang yang selama ini telah menjadikannya menderita; yang tidak lain adalah Hardenberg (Burghart Klaussner), orang yang membuat Jule berhutang padanya. Aksi terlalu spontan inilah yang membawa mereka pada rentetan masalah-masalah baru dengan sebuah solusi yang pahit, yakni bubarnya The Edukators termasuk aktivisme yang selama ini telah dilakukan.<br /><br />Apabila dibandingkan dengan sebuah film yang pernah saya tonton―yang juga mengangkat isu resistensi terhadap kapitalisme―yaitu ‘Fight Club’, film ini memang terkesan lebih datar dengan minimnya sequence baku hantam dan lebih sarat percakapan. Namun, dengan hal tersebut film ini justru menjadi lebih gamblang dalam menuturkan fakta-fakta mengenai kapitalisme dan resistensi seperti apa yang relevan untuk dilakukan, ketimbang Fight Club yang cenderung abstrak dan malah memperkuat kesan fiktif film tersebut di benak penonton yang masih relatif asing dengan wacana kapitalisme.<br /><br />Bentuk resistensi yang digambarkan di dalam film The Edukators ini juga terasa lebih wajar dengan menunjukkan bahwa: revolusi―dalam mengupayakan kebebasan―di tengah masyarakat yang menuntut kita untuk menjadi kompromis dengan bekerja dan sebagainya, memang bukan sesuatu yang mudah. Namun, itu merupakan satu hal yang perlu untuk dikerjakan agar kita tidak kehilangan segala hal yang sejatinya kita miliki. Seperti yang dikatakan dengan cukup gamblang oleh Jan, ketika Jule merasa bahwa keinginannya untuk menjadi liar dan bebas (wild and free) adalah sesuatu yang bodoh: <em>“Anyhow, if you keep working for that asshole, you’ll lose faith in everything.”</em></span></div>jaka mudahttp://www.blogger.com/profile/01798183679428946987noreply@blogger.com0