16 Juni 2007

[Opini] Seringai Penjajah di Balik Jelantah

Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia mencapai 16 juta ton per tahunnya. Tapi dari jumlah sebanyak itu, hanya 25 persen yang diperuntukkan bagi bangsa sendiri (sumber: Buletin Malam—RCTI, 16/6/2007). Selebihnya dijadikan komoditi ekspor. Tarif ekspor produk CPO dan produk turunannya memang telah dinaikkan per hari Jumat kemarin, 15 Juni 2007. Namun penaikan tarif yang cenderung reaksioner ini pun tidak terlalu signifikan; 5 persen saja—yakni dari awalnya 1,5 persen menjadi 6,5 persen. Regulasi yang diambil oleh pemerintah kali ini memberi kesan bahwa pemerintah ragu-ragu dalam menanggulangi kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng yang terjadi akhir-akhir ini. Padahal Menteri Keuangan Sri Mulyani Indriwati, di Istana Negara, juga mengatakan; bahwa melambungnya harga minyak goreng di pasaran ini merupakan pengaruh dari indeks harga komoditi ini di pasar internasional. Tapi konsekwensi dari ucapan Sri Mulyani tersebut, nampaknya tidak terlihat pada regulasi pemerintah kali ini.

Barangkali tak banyak masyarakat kita yang tahu, bahwasanya lemahnya regulasi-regulasi pemerintah dalam mengontrol negara merupakan konsekwensi dari keikutsertaan Indonesia dalam agenda-agenda Pasar Bebas, atau yang lebih kita kenal dengan Globalisasi. Dimana di antaranya adalah: deregulasi pemerintah; yakni hak pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan sepenuhnya berada di bawah kontrol negara-negara maju—yang notabene adalah negara-negara investor. Sebab memang negara-negara maju itulah yang selalu memberikan pinjaman-pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga, melalui organisasi-organisasi bentukan mereka, seperti: IMF. Imbasnya, regulasi apapun yang dibuat oleh pemerintah, hendaknya tidak menyulitkan negara-negara investor tersebut dalam melanggengkan tujuan dan memperoleh keuntungannya.

Negara-negara dunia pertama adalah negara-negara yang miskin akan sumber daya alam. Namun, mereka memang memiliki modal dan juga menguasai teknologi. Negara-negara dunia ketiga sebaliknya, kaya akan sumber daya alam tetapi tidak memiliki modal dan teknologi. Hal inilah yang memancing inisiatif negara dunia pertama untuk melakukan invasi.

Pada abad ke-19, dari dalam buku-buku sejarah bangsa Indonesia, kita telah mengetahui bahwa bangsa kita pernah dijajah oleh bangsa-bangsa dari negara-negara maju. Mereka menyeberangi lautan untuk menguras sumber daya alam yang kita miliki, untuk kemudian mereka bawa pulang ke tanah airnya. Bahkan untuk mencapai tujuannya ini, para penjajah itu juga mempekerjakan tenaga bangsa kita sendiri. Selain diperbudak, bekerja tanpa diberikan bayaran, petani-petani juga diharuskan membayar upeti kepada pemerintah sistem kolonial (yang kita tahu juga bahwa pada saat itu sistem pemerintahan tersebut tidak hanya diduduki oleh bangsa asing seluruhnya, tapi juga oleh rakyat kita sendiri yang berpihak kepada mereka).

Apabila saat ini kita mengira bahwa bangsa kita telah terbebas dari penjajahan, atau dengan kata lain: telah merdeka, coba kita lihat lagi dengan lebih seksama. Saat ini ekonomi negara kita juga masih belum sepenuhnya lepas dari kebijakan-kebijakan hasil rundingan negara-negara maju (kita mengenal negara-negara ini sebagai negara-negara anggota G8: Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia, serta Uni Eropa). Kita seharusnya sudah bisa menyadari hal ini semenjak pemerintah kita mulai menarik subsidi-subsidi yang diperuntukkan bagi sektor-sektor riil. Kita tahu kini nyaris tidak ada lagi sektor yang tidak dikuasai oleh swasta, bahkan itu sektor pendidikan dan kesehatan. Mahalnya biaya pendidikan ataupun rumah sakit dan obat-obatan adalah imbas dari dihapuskannya subsidi bagi sektor-sektor tersebut. Penghapusan subsidi dan juga pengendoran kendali pemerintah atas pasar ini sesungguhnya bertujuan untuk membuka peluang berkompetisi di antara swasta di dalam pasar itu sendiri. Pasar menjadi bebas dalam artinya tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah. Sebab kendali pemerintah hanya akan menyulitkan swasta untuk menguasai pasar dan juga menentukan harga.

Dengan terbuka lebarnya peluang untuk berdagang di pasar, ini mengundang investor untuk menanamkan modalnya pada korporasi-korporasi yang berpotensi untuk menguasai pasar. Sedangkan kita tahu, pedagang manapun tidak pernah ada yang bersedia untuk mengalami kerugian. Dari sini saja kita sudah bisa melihat, bahwa orientasi sistem ini adalah keuntungan. Di sisi yang satunya lagi, negara yang seharusnya berorientasi melindungi kepentingan rakyat telah lepas kendali dengan adanya deregulasi-deregulasi tersebut, yang merupakan konsekwensi dari keikutsertaannya pada agenda Pasar Bebas.

Pasar Bebas memungkinkan swasta berbuat apa saja untuk memperoleh keuntungan. Termasuk di dalamnya mengupah pekerja dengan nilai yang serendah-rendahnya. Dan lagi-lagi, pemerintah tidak mempunyai kendali lagi dalam hal ini (dimana menteri tenaga kerja saat ini pun dipilih dari kalangan yang bukan berpihak pada buruh, karena para investor banyak yang mengeluh dengan peraturan-peraturan yang lebih memihak buruh daripada investor-investor yang siap mengucurkan uangnya di Indonesia).

Maka apakah ada perbedaan yang signifikan antara imperialisme yang pernah ada di tanah air ini pada abad ke-18 dengan kondisi kita saat ini?

Kita sebenarnya berada di bawah imperialisme gaya baru. Apabila dahulu para penjajah itu datang jauh-jauh dari negaranya untuk membawa pulang sumber daya alam kita; kini mereka melakukannya dengan cara yang jauh lebih efektif. Mereka menciptakan pasar di tempat produksi itu sendiri bisa dilakukan. Kita tetaplah budak yang bekerja untuk mereka, memproduksi komoditi-komoditi, kemudian kita jugalah yang harus membeli komoditi-komoditi tersebut untuk bisa mendapatkannya. Sesungguhnya dengan cara ini mereka telah memotong biaya pengiriman bahan mentah ke negara mereka dan juga pengiriman produk jadi ke negara kita. Sebagai contoh, dengan dibangunnya pabrik NIKE di negara kita dan juga negara-negara miskin lain, mereka tidak perlu lagi membangun pabrik NIKE di negara mereka. Sebab dengan upah pekerja murah dan juga perlindungan hak pekerja yang lemah di negara kita (sehingga mereka bisa mempekerjakan pekerja dengan upah rendah dan dengan waktu-kerja yang panjang), mereka telah memotong sekian banyak ongkos yang seharusnya akan mereka keluarkan apabila mereka memproduksinya di negara mereka sendiri. Pertama, adalah ongkos yang mereka keluarkan untuk mengambil dan membawa pulang bahan mentah. Kedua, adalah ongkos produksi yang akan mereka keluarkan untuk mengupah pekerja di sana, yang sudah tentu mempunyai upah minimum regional yang tinggi. Ketiga, adalah ongkos untuk mengirimkan produk yang sudah jadi ke seluruh dunia. Sedang dengan cara yang mereka lakukan saat ini, mereka hanya mengeluarkan ongkos untuk membayar pekerja (itu pun dengan upah yang jauh dari bisa disebut layak, mengingat biaya hidup semakin tinggi—yang itu pun merupakan dampak dari deregulasi pemerintah), dan juga tarif ekspor. Cara ini juga membuat harga komoditi menjadi tinggi di pasar internasional. Pembenarannya adalah ongkos kirim. Tentu ini sudah masuk dalam pertimbangan mereka. Dengan pendapatan per kapita yang tinggi, tentu produk-produk itu tetap mempunyai pasarnya di negara-negara maju tersebut. Dan meski produk-produk tersebut diproduksi di negara kita, tidak menjadikan perbedaan harganya lebih rendah secara signifikan. Produk-produk hasil produsen yang sama tersebut tetaplah mahal, karena keseimbangan pasar bisa terganggu apabila terjadi perbedaan harga yang jauh di antara satu regional dengan regional lain.

Fenomena yang serupa juga terjadi pada komoditi minyak kelapa sawit akhir-akhir ini. Tingginya harga penjualan di pasar Indonesia, selain akibat kelangkaannya yang dikarenakan 75 persen dari hasil produksinya justru menjadi komoditi ekspor, juga karena pengaruh dari harga komoditi tersebut di pasar internasional.

Maka menaikkan tarif ekspor sesungguhnya hanya bisa mereduksi tingkat ekspor komoditi ini dengan lamban. Padahal yang bangsa kita butuhkan sekarang adalah sebuah gerak cepat dari pemerintah untuk meningkatkan limpahan komoditi kelapa sawit di negeri sendiri. Sebab dengan itu, dengan sendirinya harga akan turun (catatan: dengan mengecualikan kemungkinan terjadinya penimbunan di gudang).

Tapi kita tahu, pemerintah kita tidak pernah berani untuk mengambil langkah yang lebih kongkrit seperti: menyetop sama sekali ekspor suatu komoditi, dan menjadikan komoditi tersebut sepenuhnya milik bangsa Indonesia. Dengan dalih yang seperti biasanya, bahwa hal itu akan merusak perekonomian Indonesia di taraf global. Pertanyaannya: apabila terlibat di dalam perekonomian global hanya membuat negara kita, dan juga negara-negara dunia ketiga lain, selalu berada di bawah kendali negara-negara maju (dengan strategi peminjaman hutangnya yang justru meringkus kita ke dalam kebijakan-kebijakan mereka), untuk apa lagi kita ikut serta di dalamnya?

Apabila memang ingin memegang kendali penuh atas komoditi (sumber daya alam), negara kita haruslah merebut kembali semua sektor dari swasta, dan menyerahkannya kepada bangsa sendiri. Untuk itu kita juga harus serius dalam pengembangan ilmu pengetahuan-teknologi dan juga sumber daya manusianya. Sehingga, seluruh sektor bisa benar-benar tidak bergantung lagi kepada swasta dan para investornya. Dan seluruh rakyat bisa mudah mengaksesnya tanpa harus terjegal lagi dengan biaya-biaya yang melangit.

Pasar Bebas hanya menguntungkan investor dan juga pengusaha. Sebab sejatinya ia dieksekusi memang untuk itu. Memerah pada satu bagian, dan menumpuk hasil perahan itu di bagian yang lain. Memperbudak manusia di satu bagian, dan membangun koloni atau kerajaan di bagian lain. Penciptaan kebijakan-kebijakan oleh Dewan Grup Delapan (G8) tanpa mengajak pemerintah negara-negara dunia ketiga untuk berunding, sesungguhnya merupakan cara yang tidak jauh berbeda yang dilakukan oleh penjajah manapun di dunia ini dalam menentukan nasib suatu bangsa jajahan. Sedangkan bangsa yang terjajah, tidak diberi pilihan lain selain hanya untuk mengikuti sistim yang berlaku bagi mereka.

Kita tentu tahu, bahwa selalu ada yang diuntungkan dalam kasus-kasus penjajahan di manapun. Selain dari penjajah itu sendiri, juga selalu ada para penjilat (seperti tokoh demang dalam film ‘si pitung’) yang memperoleh keuntungan dengan membantu melanggengkan kepentingan penjajah. Di negeri kita sendiri, orang-orang itu adalah mereka yang selalu mengatakan bahwa ini semua memang harus terjadi; bahwa yang terpenting adalah investor tetap mau menanamkan modalnya di negara ini. Sementara orang-orang itu seolah tidak pernah mau menoleh kepada kita yang harus bersusah payah mencari alternatif untuk beras dengan membuat nasi aking; mencari alternatif untuk bisa tetap memasak dengan menggunakan minyak jelantah; dan juga kita yang menderita kekurangan gizi, busung lapar, tidak bisa bersekolah (apalagi kuliah), dll. Dan ketika kita tidak mampu mengakses semua itu dikarenakan kita miskin secara ekonomi, mereka menuding kita sebagai orang yang malas untuk bekerja keras. Padahal siapa yang membuat kita terasing dari hak-hak hidup kita sendiri dengan membuat semua itu menjadi mahal?

Masih berpikir bahwa kita telah merdeka? Mengapa tidak kita tanyakan saja pada saudara-saudara kita yang digusur rumahnya atau direbut tanahnya untuk kemudian dilepaskan kepada pihak swasta?[]

10 Juni 2007

Kebebasan Memang Sesuatu yang Harus Kita Raih Sendiri.

Dear Suci,


Dadaku selalu pedih setiap kali mengetahui dirimu sedang sakit. Aku tidak tahu pasti kenapa. Barangkali aku memang iba, meski aku juga tahu bahwa kamu tidak pernah suka dikasihani. Tapi mau bagaimana lagi? Kamu juga yang selalu mengeluhkan hal yang sama padaku di hampir setiap kesempatan kita bertemu. Bahwasanya kamu sudah benar-benar tidak punya lagi waktu untuk dirimu sendiri. Dan bahwasanya kamu sudah mulai merasa tertekan dengan segala sesuatu yang telah menjadi kewajiban. Lima hari dalam seminggu, delapan jam dalam sehari, kamu wajib berada di kantor untuk mengerjakan sesuatu yang aku tahu tidaklah mudah. Sementara pada dua hari sisanya kamu juga harus menunaikan kewajibanmu yang lain. Kuliah. Akhirnya tidak ada yang bisa kuperbuat untukmu dalam menyikapi setiap keluhanmu, selain menghela nafas dan berkata kepada diriku sendiri tentang betapa kasihannya dirimu.

Kamu masih ingat Minggu pagi lalu, saat aku sedang berada di Bandung, dan kamu menelponku? Saat itu sebetulnya aku baru saja hendak memejamkan mata setelah sepanjang malam tidak tidur. Kamu tahu, aku bukan orang yang punya penyakit sulit tidur, ataupun punya kecenderungan tidak bisa tidur di rumah orang lain. Melainkan memang malam itu menurutku terlalu sayang apabila kulewatkan dengan tidur. Karena beberapa kawan dari Apokalips ikut menginap bersamaku di rumah yang kutumpangi tersebut (kamu masih ingat kan dengan grup anti-otoritarian yang dulu sempat kuceritakan ini?). Iya, malam itu ada sekitar tujuh orang berada di dalam satu kamar; termasuk aku dan si pemilik kamar yang notabene juga termasuk salah seorang dari Apokalips. Kami memang tidak mendiskusikan sesuatu yang besar seperti kapitalisme, korporasi multinasional ataupun revolusi. Sebaliknya sepanjang malam itu kami hanya isi dengan obrolan-obrolan tidak penting yang diselingi dengan berbalas kentut. Tapi mungkin itulah yang sedang kucari; suasana santai yang bisa mengendurkan urat-urat di dahi yang, kuakui, akhir-akhir ini sedikit menegang karena mencoba menekuni beberapa buku teoritik sekaligus.

Dan pagi itu, ketika semua kawan sudah tidak ada yang bersuara lagi—kecuali dengkuran dari seorang kawan yang mengambil tempat di sofa—ponselku berdering. Itu kamu. Kemudian via telepon itu, setelah kamu mengatakan bahwa kamu sedang mengalami sakit yang hebat di bagian belakang kepala, kita berbicara sekitar satu jam lamanya.

Dalam kondisi benar-benar mengantuk seperti itu, aku tidak bisa mengingat banyak poin pembicaraan kita. Satu yang bisa kuingat dengan jernih adalah seputar keluhanmu. Keluhan yang sama, yang selalu kudengar dari waktu ke waktu. Tentang kejenuhanmu pada rutinitas yang selalu kamu jalani setiap hari, yang pada pagi itu kamu akui telah membuatmu depresi. Aku juga ingat saat kamu berkata bahwa kamu iri padaku yang telah bisa menemukan komunitasku sendiri; yang dengan itu aku bisa memperjuangkan sesuatu secara komunal. Saat itu aku tidak menanggapi ucapanmu terlalu serius. Sebetulnya aku ingin menjelaskan padamu untuk yang kesekian kalinya bahwa untuk bisa sampai pada titik ini, aku memang telah melewati suatu proses yang tidak sebentar. Bukan sesuatu yang instan. Antara lain aku harus mengatasi ketakutan-ketakutanku satu persatu, berdialektika, dan seterusnya. Tapi saat itu aku hanya berkata: kamu juga bisa, dan kamu bisa memulainya dengan menjalin pertemanan.

Aku akui saat itu aku memang kejam dengan memojokkan kamu yang selama ini selalu berusaha mencari kawan-kawan itu lewat dunia maya. Sesuatu yang saat itu aku sempat sebut sebagai sebuah pelarian dari ketidakmampuan kamu keluar dari kungkungan rutinitas. Tapi pasti aku akan lebih menyesal jika tidak mengutarakannya padamu. Karena itu memang kenyataan objektif.

Lihatlah apa yang terjadi di sekitar kamu akhir-akhir ini. Betapa nyaris semua buah teknologi saat ini telah menjadi sesuatu yang nyaris lepas dari nilai-pakai mereka. Betapa nilai-pakai pesawat televisi seolah-olah telah bergeser dari media informasi, menjadi sesuatu yang bisa memberikan kita penghiburan di tengah-tengah dunia yang sengkarut dan seolah-olah tidak ada harapan untuk diperbaiki. Aku sudah malas untuk mengkritisi metode sinetron-sinetron, infotainment ataupun reality show dalam membuat orang merasa seolah-olah hidup di dalamnya itu sehingga bisa menafikkan realita yang sesungguhnya. Karena aku pun sudah sering menyampaikannya padamu.

Tapi aku juga ingin kamu menyadari, bahwa internet pun juga punya potensi yang sama untuk lepas dari kodratnya. Sebab aku tahu, setiap hari kamu berada di sana. Kamu selalu antusias ketika mendapatkan satu forum baru yang di dalamnya terdapat orang-orang yang bisa mengimbangi pembicaraanmu. Ataupun ketika menemukan situs yang memberimu kesempatan untuk berkontribusi pada suatu petisi dengan hanya mengklik tombol ‘vote’.

Suci, aku ingin kamu tahu, dunia yang sebenarnya tidaklah serapi itu! Kamu tidak bisa menyelesaikan kemiskinan hanya dengan menutup window. Kamu tidak bisa menyampaikan uneg-unegmu pada setiap orang yang kamu temui di jalanan hanya dengan menitipkan surat pada mereka lalu pergi begitu saja. Dalam ‘dunia offline’ ini, tidak semudah itu untuk bergerak tanpa meninggalkan jejak. Dan sialnya, kita memang harus tidak terlacak sama sekali apabila ingin bebas, bukan? Iya. Karena itulah kamu, aku, siapa saja akan merasa lebih nyaman untuk melakukan apapun di dunia maya. Karena di sana kita bisa bebas berbicara dengan menggunakan nama orang lain, ataupun tanpa nama. Bahkan karena sudah terlalu biasnya soalan identitas dalam dunia maya itu, terkadang orang lain tidak akan tahu lagi apakah Suci adalah nama aslimu ketika kamu benar-benar mencantumkan nama itu di bagian bawah emailmu, atau di blogmu.

Dan lihatlah sekarang keluar jendela kantormu (apabila saat ini kamu sedang berada di kantor), adakah satu jengkal saja ruang yang bisa dengan mudah kamu klaim sebagai rumahmu semudah kamu membuat blog? Tidak. Karena apapun yang bisa terlihat berarti objek. Sementara semua objek adalah komoditi selama ia mempunyai nilai-pakai. Ini berlaku pada semua bentuk masyarakat. Masyarakat primitif pun akan mengakui bahwa babi hutan adalah komoditi, karena nilai-pakainya yang bisa memenuhi kebutuhan manusia akan makanan. Tapi dalam bentuk masyarakat kita saat ini, komoditi ternyata tidak hanya sekadar menjadi pemenuhan kebutuhan hidup, Suci! Ia telah berubah fungsi menjadi alat akumulasi modal.

Yang ingin aku katakan padamu adalah: hidup yang sebenarnya tidaklah mudah, Suci. Tidak ada yang mudah pada kenyataannya, bahkan hanya untuk sekadar berpikir dan berbicara. Tidak seperti di internet yang memberikan kamu ruang leluasa untuk memikirkan apa saja: di internet kamu bahkan bisa menjadi seorang komunis yang benar-benar mengerti betul setiap inchi peta pemikiran Karl Marx tanpa perlu merasa takut dipenjara dengan membuka marxist-dot-org. Kamu bisa memaki-maki sby-jk tanpa perlu merasa takut ditahan dengan mengisi kolom komentar di situs indymedia. Kamu bisa menjadi seorang revolusioner di dunia maya, Suci!

Dan tahukah kamu kalau dunia maya kini sudah tidak selalu memerlukan koneksi internet? Iya, Suci. Akibat dari terlalu seringnya kamu hidup di dunia maya (internet) itu—bahkan dalam duapuluh empat jam yang kamu punya, bisa mencapai 70 persen hidupmu berada di sana—kamu merasa bahwa hidupmu yang sebenarnya berada dalam dunia maya itu. Kamu merasa cukup hanya dengan memiliki kawan-kawan yang tidak pernah kamu lihat wajahnya itu, kamu merasa cukup berbicara pada mereka hanya dengan mempergunakan keyboard komputermu, kamu merasa telah berbuat sesuatu untuk dunia hanya dengan membicarakan soal G8, WTO, atau pemanasan global bersama teman-teman mayamu. Kamu merasa revolusioner dan telah membuat perubahan! Dunia maya membuatmu merasa cukup untuk berada di sana saja, sementara dunia yang sebenarnya tetap berjalan sama seperti saat terakhir kamu tinggalkan—kamu tidak pernah berkontribusi pada dunia sebenarnya karena kamu tidak hidup di sana, apalagi menyentuhnya.

Coba kamu pikir, bukankah itu yang diinginkan oleh mereka? Iya, mereka yang tidak ingin dunia seperti sekarang ini mengalami perubahan, mereka yang ingin mempertahankan dunia seperti sekarang ini, mereka yang ingin mempertahankan status-quo. Sangat mudah bagi mereka untuk membuat dunia seperti sekarang ini bertahan lama, bahkan untuk limapuluh tahun ke depan. Mereka tinggal membuatmu jauh dari dunia ini. Mereka membuat dunia ini sama sekali tidak tersentuh olehmu. Caranya selain menawarkan dunia internet padamu, mereka kini menjual buku-buku yang revolusioner seperti buku-buku Che Guevara, Subcommandante Marcos, atau Karl Marx dengan bebas. Sebab mereka tahu, dengan mereka menawarkan sebuah dunia maya dimana kamu bisa memikirkan sebuah perubahan di sana, dan kamu menerimanya dengan senang hati, perubahan itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah.

Justru kamu menjadi begitu mudahnya untuk diarahkan menjadi konsumen pasif. Konsumen, karena untuk bisa memperoleh buku-buku ataupun kaos-kaos yang berhubungan dengan tokoh-tokoh revolusioner itu—sehingga kamu bisa merasa sangat revolusioner—kamu harus membelinya. Pasif, karena pada akhirnya kamu tidak pernah menyentuh dunia sebenarnya, dan perubahan yang kamu dan teman-temanmu bicarakan hanya sebatas wacana dunia maya, bacaan di buku-buku, tontonan di televisi. Sementara impuls-impuls untuk bergerak itu tidak pernah menjadi apa-apa karena selalu tertahan di tataran ide. Kalian tidak pernah tergerak untuk mulai menjadi produsen perubahan itu secara aktif!

Lihatlah bagaimana kini kawan-kawanmu di dunia maya, yang terlihat revolusioner dengan pemikiran-pemikirannya, tetap tidak bisa berbuat apapun pada kondisi sosial. Bagaimana mereka berpikir bahwa kesenjangan sosial dapat terselesaikan cukup dengan menyisihkan recehan untuk para pengamen dan anak jalanan. Bagaimana mereka berpikir bahwa hanya dengan mentransfer sejumlah uang pada rekening bank LSM-LSM yang mengatasnamakan ‘kepedulian sosial’, mereka telah berbuat banyak. Ini adalah sebuah paradigma bawaan dari dunia maya yang membuat mereka merasa tidak perlu bersentuhan langsung dengan kenyataan—dengan ‘dunia offline’. Tapi apakah memang sesederhana itu untuk berkontribusi pada dunia?

Kalau memang perubahan sosial bisa terjadi hanya dengan merogoh uang dari kantong, tentu aku akan lebih memilih melakukannya ketimbang capek-capek mengorganisir komunitas dan melakukan kampanye melawan neoliberalisme. Pada kenyataannya, perubahan tidak bisa dibuat. Perubahan harus dilakukan! ‘Membuat perubahan’ berarti kita duduk di suatu tempat, seperti tuhan yang merancang semesta, dengan ekspektasi segala materi di sekitar kita akan bisa bergerak seperti yang kita inginkan. ‘Melakukan perubahan’ berarti kita sendirilah yang ikut bergerak, aktif. Kita tidak bisa membuat orang lain mengerti mengenai dunia seperti apa yang kita dambakan hanya dengan berbicara saja. Tapi kita bisa langsung menciptakan dunia itu dengan ikut bergerak. Ini yang kumaksud dengan ‘kamu bisa memulainya dengan menjalin pertemanan’, membangun komunitas, dan kemudian membuat jejaring antar komunitas yang kamu suka.

Aku sudah sering mendengar apologimu mengenai betapa sempitnya waktu yang bisa kamu pergunakan untuk itu. Seharian bekerja di kantor, membuatmu merasa terlalu lelah untuk melakukan aktifitas lain di sisa waktunya. Kamu lebih memilih menggunakannya untuk beristirahat, mengingat keesokan harinya sudah harus berada lagi di kantor dan mengerjakan sesuatu yang berat. Padahal ‘tidak punya waktu lain selain untuk bekerja’, itu juga sebenarnya yang mereka inginkan dan ciptakan.

Kita adalah objek, Suci. Dan kita mempunyai nilai-pakai. Karena itu kita juga komoditi. Mereka, para pemilik modal dan pemiliki alat produksi, telah membeli kita untuk mereka jadikan alat akumulasi modal. Mereka tidak bisa lagi melihat kita sebagai manusia yang memiliki kehidupan. Di mata mereka, kita adalah komoditi. Komoditi yang harus bisa memberikan mereka keuntungan sebesar-besarnya. Dan aku tidak hanya sedang berbicara mengenai keahlian di sini. Aku berbicara mengenai waktu yang kamu dan aku miliki, yang bisa mereka pergunakan untuk memproduksi apa-apa yang mereka bisa jual. Sebab dari situlah mereka memperoleh keuntungan nantinya.

Kamu pikir bagaimana mereka bisa mempertahankan perusahaan tempatmu bekerja itu tetap eksis hingga detik ini? Apakah kamu pikir mereka bisa terus menerus memperoleh profit hanya dari apa yang mereka bisa jual? Tidak, Suci! Profit yang mereka dapatkan sesungguhnya berasal dari hasil kerjamu. Sekarang aku tanya padamu, berapa rupiah mereka membelimu? Ohya, ‘membeli’ di sini mengacu pada premis bahwa kamu adalah komoditi. Mereka membelimu dengan harga, semisal, dua juta rupiah. Dan uang sejumlah itu selalu mereka bayar padamu setiap bulan. Itu adalah hargamu sebagai komoditi.

Ada perbedaan signifikan dari dua bentuk masyarakat yang menjadikan komoditi sebagai tujuan akhir dan yang menjadikan uang sebagai tujuan akhirnya. Awalnya segala sesuatu di muka bumi ini adalah bebas untuk kita ambil sesuai dengan yang kita butuhkan. Bagi masyarakat yang bermata pencaharian berburu, komoditi yang mereka punya adalah hasil buruan. Sementara bagi masyarakat bermata pencaharian bertani, komoditi mereka adalah hasil tani. Tapi komoditi tidak akan mempunyai nilai-pakai apabila komoditi tersebut sudah mereka miliki. Sebaliknya, komoditi akan mempunyai nilai-pakai karena komoditi tersebut tidak mereka miliki. Seperti hasil tani yang menjadi sesuatu yang punya nilai-pakai oleh masyarakat pemburu, dan sebaliknya. Karena itulah sesuatu itu harus dipertukarkan. Sebab segala sesuatu yang mempunyai kualitas yang berbeda memang harus dipertukarkan—yang tentunya harus dengan kuantitas yang setara. Dalam bentuk masyarakat seperti ini, semua orang bekerja untuk dirinya sendiri. Dan kegiatan produksi masih merupakan suatu kegiatan manusia untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya. Seperti seorang pemburu yang harus berburu karena memang ia membutuhkan makanan untuk hidup. Untuk bisa memperoleh nilai-pakai atas suatu komoditi, seseorang harus mau mempertukarkan komoditi yang ia punya dengan komoditi yang tidak ia punya. Pada bentuk masyarakat seperti ini, tidak ada penumpukan komoditi, sebab komoditi pada akhirnya menjadi sesuatu yang habis dipakai. Sementara untuk menghasilkan komoditi lagi, mereka harus bekerja untuk memproduksi lagi, mempertukarkan lagi apa-apa yang tidak mereka butuhkan dengan yang mereka butuhkan, dan begitu seterusnya. Namun lain halnya dengan bentuk masyarakat yang telah mengubah ‘pertukaran komoditi’ itu dengan ‘sirkulasi komoditi’. Sirkulasi komoditi pada bentuk masyarakat ini mempunyai kemungkinan untuk menghasilkan akumulasi kekayaan. Tapi akumulasi ini bisa, dan hanya bisa, diperoleh dari membeli komoditi tersebut dengan harga yang lebih rendah dari nilai-pakainya itu sendiri.

Seperti yang aku sebut tadi bahwasanya kita, pekerja, adalah suatu komoditi bagi para pemilik modal dan alat produksi. Karena itu kamu juga harus bisa menerima kenyataan bahwa mereka membeli kita dengan suatu harga; harga yang seharusnya setara dengan nilai-pakai itu sendiri. Di sini kamu perlu untuk mengerti apakah nilai tenaga kerja itu sendiri, sebelum kamu bisa memutuskan sendiri apakah harga yang mereka tentukan padamu sudah setara dengan nilai-pakai itu.

Dalam bentuk dan kondisi masyarakat sekarang, para pemilik modal menemukan suatu komoditi yang memiliki sifat khusus, yang penggunaannya merupakan suatu sumber nilai baru, merupakan suatu penciptaan nilai baru. Komoditi ini adalah kita; tenaga kerja.

Nilai setiap komoditi diukur dengan kerja yang diperlukan bagi produksinya. Komoditi yang satu ini, tenaga kerja, berada dalam bentuk pekerja yang hidup, yang memerlukan sejumlah tertentu kebutuhan hidup bagi dirinya sendiri dan untuk keluarganya, yang menjamin kesinambungan tenaga kerja. Karenanya, waktu-kerja yang diperlukan untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan hidup hidup ini mewakili nilai tenaga kerja. Nilai ini selalu mereka bayar pada kita dalam berbagai periode, umumnya sebulan sekali.

Kamu bingung? Oke, sekarang bayangkan apa yang tidak kamu miliki tapi sesungguhnya kamu butuhkan. Untuk bisa memperoleh komoditi tersebut, kamu harus mengeluarkan sejumlah nilai yang kamu berikan pada orang yang memilikinya. Pertukaran nilai ini adalah sesuatu yang niscaya apabila merujuk pada prinsip bahwasanya ‘segala sesuatu yang mempunyai kualitas yang berbeda memang harus dipertukarkan’. Kamu memperoleh nilai-pakai dari komoditi yang kamu dapatkan, dan si orang tadi memperoleh nilai-pakai dari apa yang kamu berikan padanya. Apakah nilai itu berupa uang ataupun komoditi lain, tidak kita persoalkan di sini. Tapi kita asumsikan saja bahwa nilai tersebut telah bermanifestasi ke dalam suatu bentuk-nilai, uang. Intinya, untuk bisa memperoleh komoditi yang nilai-pakainya kamu butuhkan tersebut, kamu harus menukarnya dengan nilai yang setara, yang parameternya adalah ‘kerja yang diperlukan’ bagi produksi komoditi tersebut.

Kamu bisa menjadi kaya dengan jalan menjual lagi apa yang kamu dapatkan dari orang tersebut dengan nilai yang lebih tinggi lagi. Penjelasannya seperti ini: Kamu memiliki uang sebanyak Rp. 10.000,-. Uang tersebut kamu gunakan untuk membeli barang—silakan bayangkan sendiri, barang apa yang bisa kamu dapatkan dengan uang sejumlah itu. Kini kamu sudah mempunyai sebuah barang dengan harga yang mungkin hanya kamu sendiri yang tahu. Untuk memperoleh akumulasi kekayaan darinya, kamu hanya tinggal menjual lagi kepada orang lain dengan harga yang lebih tinggi; Rp. 15.000,-, misalkan. Apabila kita gambarkan, sirkulasinya menjadi seperti ini: Uang – Barang – Uang = Rp. 10.000,- menjadi Barang menjadi Rp. 15.000,-. Maka dari satu proses yang kamu lakukan, kamu telah memperoleh keuntungan Rp. 5000,-. Itulah kapital. Sementara, uang sejumlah Rp. 10.000,- di tangan bisa kamu pergunakan untuk membeli barang lagi untuk kemudian kamu jual lagi dengan cara yang sama. Begitu seterusnya.

Dalam corak seperti di atas, kegiatan produksi manusia tidak lagi berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup. Melainkan untuk mengakumulasi kapital. Dari sini saja ada sesuatu yang absurd yang terlihat dengan jelas. Proses pertukaran yang terjadi dengan corak seperti itu apabila disederhanakan sesungguhnya hanyalah seperti menukarkan nilai Rp. 10.000,- dengan nilai Rp. 15.000,-. Kita sudah melenceng dari prinsip, Suci! Prinsip bahwasanya ‘hanya kuantitas yang setara saja yang harus dipertukarkan’ seolah-olah telah kita nafikkan begitu saja. Dengan keluarnya kita dari ‘keseimbangan’ seperti ini, aku rasa kita sedang hidup di dalam dunia yang tidak sehat dan menuju kehancurannya.

Gajah-gajah diburu dengan brutal di Afrika, tanpa mempertimbangkan kelangkaannya; hanya karena kini di pasar harga daging mereka justru jauh lebih mahal dari harga gadingnya sendiri. Penebangan liar terus terjadi di hutan-hutan tropis, bukan sekadar untuk kebutuhan hidup seperti membangun rumah, tapi dijual, diekspor dengan harapan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sumber mata air dieksploitasi oleh korporasi-korporasi, sehingga beberapa daerah mengalami kekeringan; dan penduduk setempat pada akhirnya tidak punya pilihan lain, selain membeli air mineral dalam kemasan produksi korporasi tersebut demi bisa mendapatkan air minum. Dan masih banyak lagi dampak keserakahan manusia yang membuat alam ini menjadi tidak seimbang.

Kita bisa melihat saat ini di setiap sudut bumi orang-orang berkompetisi untuk mengklaim sesuatu sebagai hak-miliknya. Orang-orang memprivatisasi apa-apa yang seharusnya bisa diakses oleh siapa saja. Ini adalah konsekwensi dari bentuk masyarakat yang ada sekarang. Aku tadi sempat mengatakan bahwa tidak ada sejengkal pun ruang di luar sana yang bisa dengan mudah kamu klaim sebagai rumahmu. Semua orang telah memperebutkan tanah di muka bumi ini jauh sebelum kita berdua lahir. Nyaris tidak ada ruang yang selamat dari perilaku ketamakan mereka itu. Yah, sebenarnya kita juga tidak bisa langsung menyalahkan pihak-pihak yang telah lebih dahulu ‘menancapkan bendera’ mereka di atas tanah-tanah itu sebagai bukti bahwa itu adalah milik mereka. Sebab dalam sistem seperti ini, hanya ada dua pilihannya: ‘memakan atau dimakan’, ‘menguasai atau dikuasai’. Kita ada di mana, Suci?

Sebagai orang-orang yang tidak mempunyai aset produksi, kita bernasib menjadi subordinat. Diperbudak. Mau tidak mau kita harus bekerja untuk mereka yang mempunyai aset produksi. Itu satu-satunya cara apabila kita ingin tetap bertahan hidup. Mau tidak mau kita harus rela ketika diri kita pun dilabeli harga sebagai sebuah komoditi. Iya, mereka, para pemilik aset produksi itu, telah membeli kita. Membeli waktu kita. Berapa harga waktumu, Suci? Dua juta rupiah per delapan jam?

Kamu masih ingat dengan pelencengan prinsip yang mereka lakukan pada ‘proses pertukaran’; bahwa hanya yang berkuantitas setaralah yang harus dipertukarkan? Pada kita pun ternyata mereka melakukan hal yang sama. Keputusan mereka untuk menjadikan kita, tenaga kerja, sebagai komoditi ternyata merupakan sebuah keputusan yang cerdas. Sebab pada kita, mereka melihat ada suatu nilai baru yang bisa mereka peroleh dengan jalan mempekerjakan kita: yakni produk itu sendiri. Apabila mereka membeli ‘komoditi yang tidak bekerja’ untuk mereka jual dengan nilai yang lebih tinggi, kapital yang mereka peroleh hanyalah dari hasil penjualan komoditi tersebut. Tapi dengan membeli waktu kita, mereka memperoleh profit yang lebih banyak.

Pertama, mereka membeli waktumu [nilai-pakaimu] dengan nilai yang mereka tentukan sendiri. Kedua, kamu harus menukarkan waktumu [nilai-pakaimu] yang telah mereka bayar dengan jalan memproduksi komoditi yang nantinya mereka bisa jual lagi (ket: nilai yang mereka gantikan untuk nilai-pakaimu ini sesungguhnya adalah nilai yang mereka perhitungkan untuk kamu memproduksi/mengkonsumsi kebutuhan hidupmu sendiri seperti makanan, transportasi, obat-obatan di kala kamu sakit—yang sebetulnya kalau kamu hitung-hitung jumlah itu tidak pernah cukup untuk membiayai semuanya, bukan? Pada titik ini, bagi mereka baru terhitung impas. Impas karena kamu telah menggantikan nilai (rupiah) yang mereka berikan padamu dengan waktumu untuk memproduksi komoditi dalam jumlah yang setara. Tapi tentu bukanlah kapitalis apabila membeli sesuatu untuk menjualnya demi mendapatkan nilai yang setara (sekali lagi, ingat pelencengan prinsip ‘proses pertukaran’). Sesungguhnya, bagaimana perusahaan tempatmu bekerja itu bisa tetap eksis hingga detik ini adalah karena mereka tidak mempertahankan ‘kesetaraan pertukaran’. Karena kalau mereka membayar pekerjanya hanya untuk memperoleh waktu kerja yang telah dibayarkannya, perusahaan ini telah tutup sejak dahulu, karena labanya adalah nol! Penjelasannya hanya satu: kita telah memberikan nilai-pakai kepada mereka lebih banyak dari nilai yang mereka gantikan.

Mereka membeli waktu delapan jammu dalam sehari dengan bayaran sekitar Rp. 90.000,- (ini setelah aku mengasumsikan bahwa gajimu sebulan adalah Rp. 2.000.000,- dan kemudian aku membaginya dengan 22 hari kerja, 8 hari libur dalam 30 hari). Tapi untuk memperoleh kapital itu, dalam waktu delapan jam dalam satu hari, kamu diharuskan untuk memproduksi komoditi yang jauh melebihi nilai yang telah dibayarkan padamu. Mungkin mereka berekspektasi bahwa kamu seorang bisa memproduksi komoditi yang senilai Rp. 100.000,- atau Rp. 95.000,-. Tidak jadi soal berapa besarnya. Seratus rupiah ataupun satu rupiah pun, kelebihan tetaplah kelebihan. Kapital tetaplah kapital. Itu adalah sesuatu yang tidak dibayarkan padamu. Itu adalah kerjamu yang tidak dibayar. Lalu untuk apa kamu bekerja lebih jika kelebihan kerja itu tidak dibayarkan padamu? Untuk siapa sebetulnya kamu bekerja, jika kita kembali lagi pada definisi ‘produksi adalah kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya’? Sederhana, kamu bekerja untuk mereka sementara mereka asyik-asyikan duduk, tidak mengerjakan apa-apa, dan menikmati hasil dari kelebihan kerjamu yang terus-menerus mengalir itu.

Mereka mungkin mempunyai pembenaran untuk melakukan hal tersebut. Karena memang merekalah yang menguasai aset produksi yang tidak pernah kamu miliki. Tapi tidakkah kamu merasa aneh bahwa ada privatisasi atas sesuatu yang tadinya bebas dan bisa kamu garap sendiri, kini harus dikuasai oleh person-person tertentu supaya mereka bisa menjadikanmu pekerja bagi mereka, sementara mereka sendiri duduk santai menunggu kapital itu mengalir pada mereka.

Kamu mengadu padaku bahwa kepala bagian belakangmu sedang sakit. Waktu itu dengan agak semena-mena aku mengatakan bahwa itu akibat bahwa kamu terlalu banyak bekerja, hingga melupakan waktu untuk bermain. Aku tidak main-main. Bekerja pada mereka memang akan membuat hidupmu terbunuh.

Terlepas dari sakit fisik dan psikis yang sekarang sedang kamu derita akibat rutinitas harian yang harus kamu jalani itu, bekerja pada mereka juga berarti menjual waktumu untuk memproduksi sesuatu yang nantinya juga tidak menjadi milik kamu. Apa yang bisa kamu miliki hanyalah uang, bukan komoditi-komoditi yang sejatinya kamu butuhkan. Sementara untuk memperoleh komoditi-komoditi itu kamu harus menukarkan lagi dengan uang yang kamu dapat dari mereka itu. Tapi apakah iya, sisa waktu delapan jam kamu punya dalam sehari (setelah direduksi oleh waktu kerja delapan jam, dan waktu tidur delapan jam) hanya dipergunakan untuk membeli dan mengkonsumsi? Untuk itukah kamu hidup?

Kamu mengungkit lagi soal betapa beruntungnya aku karena telah menemukan komunitas. Tidak, Suci. Ini bukan soal keberuntungan. Ini soal usaha apa yang kita lakukan untuk bisa mendapatkan apa yang kita butuhkan. Aku memang membutuhkan komunitas ini untuk mengusahakan dunia yang aku cita-citakan. Sebab aku memang menyadari bahwa dunia sekarang ini tidak sedang baik-baik saja. Aku tidak akan pernah memaksa kamu, ataupun siapa saja, untuk ikut berpikir bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Kamu punya hak untuk menerjemahkan dunia ini dengan cara yang kamu sukai. Karenanya akan sangat melelahkan bagiku sendiri untuk mengatakan ini semua kepada orang-orang yang tetap merasa tidak ada yang salah di dunia sekarang ini. Tapi aku tahu, kamu memang ingin tahu ini semua. Sebab kamu memang orang yang banyak bertanya (karena itu kamu masih tetap tekun membaca sampai pada baris ini, bukan?).

Ada kenyataan objektif yang akan tetap ada walaupun kita tidak meyakininya. Semisal bumi yang berputar pada porosnya; ia akan, dan memang telah, bergerak seperti itu walaupun kita berpikir bahwa bumi itu tidak berputar—atau bahkan kotak! Sama seperti sistem kapitalisme yang sekarang sedang menjelajahi setiap ruang hidup kita, ia akan tetap ada walau kita tidak mempercayainya. Kamu bisa pergi tidur dan memimpikan sesuatu yang indah dalam tidurmu, tidak ada kapitalisme di sana, tidak ada penguasaan manusia atas manusia, tapi yang namanya kenyataan objektif akan tetap ada walau kita berusaha menutup mata darinya. Intinya, apabila kita tidak peduli, apalagi berkontribusi untuk melakukan perubahan, maka kenyataan objektif yang sama yang akan tetap kamu temui sekembalinya kamu dari mimpi indahmu itu.

Sabtu sepekan yang lalu (30/5/2007) di Jawa Timur, tepatnya di Alas Tlogo Pasuruan, telah terjadi lagi satu insiden berdarah. Persoalannya adalah sengketa atas tanah yang memang telah berlangsung semenjak tahun 1970an. Klimaks dari persengketaan antara warga dengan pasukan marinir tersebut menimbulkan korban jiwa pada pihak warga. Setiap media-massa boleh saja menggambarkan apapun, seperti yang diakui oleh Komandan Korps Marninir Mayor Jenderal Safzen Noerdin, bahwa warga yang tiba-tiba menyerang lebih dahulu. Tapi kita juga seharusnya mengerti, bahwa tidak akan ada reaksi apabila tidak ada aksi yang mendahuluinya.

Kasus sengketa tersebut memang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Bangil dengan Angkatan Laut sebagai pemenangnya pada akhir Maret lalu. Tapi tidak berarti kemudian hak akses atas tanah tersebut telah sepenuhnya menjadi milik Angkatan Laut. Sebab faktanya ada poin-poin utama di dalam perjanjian kesepakatan belumlah dipenuhi oleh pihak-pihak yang berkewajiban untuk itu. Relokasi ganti rugi tanah sebanyak 500 meter persegi untuk tiap keluarga belum lagi diwujudkan, namun TNI-AL telah mengijinkan PT. Rajawali Nusantara untuk menggarap tanah sengketa. Padahal bersamaan dengan itu, warga juga sedang meminta banding. Hal ini yang membangkitkan amarah warga Alas Tlogo pada pihak yang telah mengklaim tanah warisan leluhur mereka tersebut.

Warga Alas Tlogo barangkali tidak pernah memahami soal kapitalisme ataupun privatisasi seperti kamu memahaminya. Tapi mereka tahu, bahwa dengan adanya perebutan tanah secara paksa seperti itu, berarti mereka telah kehilangan hak untuk mengolah tanah mereka sendiri. Dan dengan adanya represifitas dari pihak marinir pada Sabtu pagi itu, mereka menjadi semakin mengerti bahwa dunia ini memang tidak sedang baik-baik saja. Bahwa negara ini memang lebih melindungi kepentingan seseorang daripada kehidupan mereka. Peluru-peluru tajam yang bersarang di tubuh saudara-saudara mereka menjadi buktinya.

Ini bukan satu-satunya kasus yang memberi afirmasi pada kita mengenai betapa represifnya negara pada orang-orang yang sejatinya berjuang atas hak-hak hidup mereka. Ini hanyalah kasus kesekian setelah kasus-kasus sebelumnya yang terjadi di Banyuwangi, Rumpin, Argabinta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Papua Barat, dan lain-lain. Kasus ini juga adalah salah satu calon lagi kasus yang pastinya akan simpang siur, seperti kasus-kasus sebelumnya. Karena di bawah sistem ini para tentara tak pernah bersalah. Mereka justru selalu benar karena hanya menjalankan tugasnya dalam membela negara dan menjaga stabilitas negara. Maka persis seperti apa yang dikatakan oleh Safzen, bahwa yang selalu bersalah dalam kasus-kasus semacam ini adalah rakyat. Kita, yang menolak untuk tunduk pada sistem yang telah menjelajahi setiap ruang hidup kita. Kita tidak pernah lagi punya hak untuk menolak ikut serta dalam melanggengkan kepentingan mereka. Karena menolak berarti melawan. Dan perlawanan bagi mereka hanya cocok dengan satu hal: represifitas.

Semenjak aku sadar bahwa aku memang harus berbuat sesuatu, tidak hanya pasrah mengikuti kemauan sistem ini dengan pola hidupnya: bekerja dan mengkonsumsi, aku telah sebisa mungkin mencari ruang dimana aku bisa bergerak dan bersuara seperti apa yang aku inginkan. Aku telah sampai pada titik ini. Dan titik ini tidak memberi aku kemungkinan untuk kembali. Aku telah terlibat terlalu jauh, Suci. Memasuki grup-grup anti-otoritarian, melakukan kampanye melawan neoliberalisme, mengikuti aksi-aksi dengan organ-organ mahasiswa maupun buruh; aku telah terlibat terlalu jauh. Aku telah menganalisa sistem ini dengan secermat mungkin, dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan: bahwa sistem ini harus tumbang!

Maka sehari setelah kamu menelponku itu, Senin pukul sepuluh di pagi hari, aku sudah berada di Monumen Perjuangan, Jalan Dipati Ukur, Bandung. Aku berada di sana karena menerima ajakan dari kawan-kawan Apokalips semalam sebelumnya untuk ikut ‘turun ke jalan’ bersama Solidaritas Anti Kekerasan, SOAK. Aliansi ini merupakan bentukan dari beberapa organ. Aku tidak bisa menyebutkannya satu persatu karena aku tidak bisa mengingat semuanya. FMN, FAMU, KMD, KAMMI—itu adalah beberapa organ dari mahasiswa yang kuingat. Sementara sisanya, yang bukan dari bentukan mahasiswa, termasuk Apokalips sendiri, kemudian ada dari Walhi, SP-FKK PT. DI yang mewakili buruh, dan juga dari tani. Saat itu aku mengenakan pakaian hitam-hitam, juga mengenakan kafiah sebagai penutup wajah—karena memang aku tergabung dengan grup Apokalips. Ada sekitar sembilan orang dari Apokalips yang saat itu hadir. Jumlah ini tentu cukup melegakan, mengingat Apokalips hanyalah satu dari banyak organ lain yang turun ke jalan pagi itu.

Meski kami turun atas nama aliansi SOAK, setiap organ pada pagi itu membawa panji mereka masing-masing. Begitu pula dengan Apokalips. Kami membawa bendera hitam berukuran besar, yang di tengah-tengahnya terdapat simbol ‘Circle-A’. Kamu tentu tahu arti dari simbol itu, bukan? Iya, ‘anarki’. Karena memang kami adalah para anarkis, meski belum banyak juga yang tahu akan hal ini. Lagipula itu juga tidak terlalu penting. Malahan sebaliknya ini bisa menjadi semacam masalah apabila diketahui oleh para organ kiri ortodoks yang tidak mau membuka dirinya pada kelompok-kelompok anarkis seperti kami. Padahal sebeda apapun pandangan politik kita, menurutku ada satu irisan yang bisa kita jadikan landasan untuk bergerak bersama. Yaitu: kita mempunyai satu musuh bersama. Tapi hari itu, kami merasa perlu untuk menyatakan sikap. Karena isu represifitas negara memang cocok untuk direspon dengan simbol-simbol yang jauh lebih frontal. Ya, simbol ‘Circle-A’ itu sendiri.

Tapi tahukah kamu, Suci, bahwa wacana anarkisme ini sendiri memang masih belum terdistribusi dengan baik di masyarakat kita? Sudah bukan rahasia lagi bahwa di dalam kelompok-kelompok anarkis sendiri masih ada individu-individu yang belum memahami betul mengenai anarki. Kebanyakan dari mereka hanya terjebak pada jargon-jargon anarkis yang selalu mengatakan bahwa ‘semua ini terjadi karena masih adanya negara’. Sementara apabila kamu bertanya pada mereka, solusi apa yang bisa mereka berikan, mereka akan menjawab dengan enteng: ‘bubarkan negara’. Semudah itu saja mereka berpikir, tanpa mereka pernah mempelajari sistem ekonomi yang sejatinya memang menjadi sesuatu yang sejak jaman dahulu kala telah menjadi penghubung antar individu di dalam sosial. Iya, mereka tidak tahu, apabila kamu menanyakan, sistem ekonomi seperti apa yang bisa menjadi alternatif dari sistem ekonomi yang ada sekarang.

Maka bukan menjadi hal yang aneh pula ketika Asdam, seorang koordinator dari FPR, yang pagi itu berdiri di atas mobil komando untuk berorasi, berkali-kali mengatakan hal yang keliru mengenai ‘anarki’. Ia berkali-kali mengatakan dengan lantang bahwa para marinir di Pasuruan telah melakukan tindakan yang anarkis dengan menembaki warga. Hmm, aku rasa ia ingin mengatakan ‘brutal’, tapi ia hanya lupa meletakkan kata itu di laci yang mana dalam perbendaharaan katanya. Tapi tetap saja aku merasa sedikit malu. Sementara di bawah sini kami mengusung-usung bendera anarki berukuran besar, di atas sana ada orang yang seolah-olah anti pada anarki. Dan sayangnya ia adalah seorang koordinator.

Pukul sepuluh lebih duapuluh, aliansi itu mulai bergerak ke Detasemen TNI AL yang terletak di Jalan Arya Jipang. Saat itu langit sedang baik pada kami semua. Matahari tidak terlalu terik, sehingga kami yang melakukan long-march tidak merasa terlalu tersiksa. Sebab perjalanan dari Monumen Perjuangan ke Detasemen TNI AL cukup jauh. Memakan waktu sekitar setengah jam.

Pukul sebelas kami tiba di depan Detasemen TNI AL. Di sana kami disambut oleh para wartawan yang sedang memburu berita. Aku dan seorang kawan Apokalipsku yang perempuan, yang saat itu berdiri persis di sampingku, menjadi objek menarik bagi mereka. Kami berdua berkali-kali dipotret dari berbagai sisi. Dandanan kami memang yang paling berbeda dari organ-organ lainnya. Mengenakan pakaian hitam-hitam, kafiah yang menutupi wajah; kami memang sengaja untuk menciptakan imaji di kepala orang-orang. Memainkan simbol-simbol yang bisa menarik perhatian mereka. Di tengah-tengah derasnya iklan-iklan produk yang mengarahkan orang-orang untuk menjadi konsumen, kami memang ingin membuat orang-orang itu berpaling sejenak dari bombardir iklan-iklan tersebut, dan mengarahkan pandangannya kepada kami. Dengan harapan mereka bertanya: “apa sih mereka itu?”, lalu “kenapa sih mereka seperti itu?”.

Tak lama kemudian seorang perwakilan dari TNI AL keluar. Ia mengenakan seragam khas TNI AL yang berwarna biru muda itu. Aku sempat membaca nama yang tertera di dada kirinya. Didik Prasetyo. Tapi, sialnya, aku belum bisa mengenali pangkat seseorang dari strip-strip yang ada di bahu.

Sebetulnya aliansi ini mempunyai ekspektasi bahwa Detasemen TNI AL Bandung mau memberikan pernyataan sikap berupa ketidaksetujuan atas tindakan represifitas yang terjadi di Pasuruan. Tapi ternyata apa yang Didik sampaikan hanyalah pemintaan maaf dan juga penyampaian informasi bahwasanya ‘kasus ini masih dalam proses’. Orang-orang dalam aliansi yang merasa kecewa langsung memberikan sorakan “huuuu…” yang panjang ketika Didik hendak kembali masuk ke markas tanpa memberikan apa yang aliansi ini harapkan. Akhirnya aliansi pun melanjutkan perjalanan ke Gedung Sate (kantor DPRD) yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sana.

Setengah dua belas siang, aliansi telah tiba di depan pagar Gedung Sate. Saat itu matahari mulai terasa menusuk kulit. Aku melihat beberapa aparat kepolisian telah bersiaga menjagai gedung tersebut. Beberapa wajah dari polisi itu adalah wajah yang telah sering kulihat dalam setiap aksi. Yang paling mencolok di antara mereka adalah seseorang yang bernama Budhi. Ia adalah yang paling tinggi di antara semua polisi yang ada di situ. Wajahnya pun sedikit kebule-bulean. Ia membuatku terus menerus berpikir, dengan wajah setampan itu mengapa ia tidak memilih menjadi cover boy?

Ternyata kesempatan untuk bertanya pada Budhi itu datang, Suci. Pada aksi dorong-dorongan di pintu masuk dengan mereka, aku sempat bertanya padanya, “kenapa sih kamu ngejagain kapitalis?”. Dia hanya memelototiku. Aku tidak tahu pasti apakah ia melotot karena pertanyaanku, atau karena kesal sebab pagar yang ia dan teman-temannya jagai dari dalam hampir saja terbuka oleh aliansi yang berusaha merangsek masuk.

Tapi aksi dorong-dorongan itu tidak berlangsung lama. Karena akhirnya pihak perwakilan DPRD bersedia untuk keluar dan memberikan pernyataan sikap. Seluruh peserta aksi duduk dengan manis di aspal yang panas dan mendengarkan ocehan si perwakilan DPRD di atas mobil komando itu. Ia mengatakan bahwa kasus kebrutalan militer memang harus dituntaskan; hal yang mengundang tepuk tangan dari beberapa orang di dalam aliansi. Setelah ia selesai berbicara, seseorang dari FMN naik ke atas dan membawakan dua lembar kertas. Itu adalah sesuatu yang harus ditandatangani oleh orang tersebut. Aku tidak sempat melihat lagi apakah ia menandatanganinya atau tidak. Karena aku melihat semua orang mulai berdiri dari duduknya. Aku tahu bahwa sudah hampir tiba waktunya untuk bubar.

Jadi, begitulah, Suci. Aku tahu akhir-akhir ini waktuku hampir semuanya telah kupersembahkan untuk aktifitas semacam ini. Itu karena aku memang menyukainya. Aku merasa hidup di sini. Karena, bagiku, aku berada di planet ini memang untuk hidup. Bukan sekadar bertahan hidup. Maka selelah apapun aku setelah pulang dari kantor, sebisa mungkin aku akan memanfaatkan energi dan waktuku untuk membebaskan diri. Jika tidak begitu, hidupku tidak akan menarik. Bekerja, membeli, mengkonsumsi, lalu pada akhirnya mati. Apa yang kudapat dalam hidup ini? Dari mana aku bisa tahu bahwa aku pernah hidup ketika jasadku telah benar-benar mati nanti? Sebab seperti yang dikatakan oleh seorang kawan di Apokalips, “kematian terburuk terjadi justru saat raga kita masih hidup.”

Sekarang kamu sedang sakit, Suci. Herpes ternyata. Oke, mungkin tidak relevan juga jika hari Minggu lalu aku mengatakan itu adalah akibat dari kamu yang terlalu banyak bekerja. Tapi aku tahu kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sering kembali menelponku meski hubungan kita sudah tidak lagi sama seperti dahulu: kamu hanya merasa kesepian dan tidak ada teman yang bisa kamu ajak berbicara, sementara melalui dunia maya pun kamu merasa tidak bisa menyentuh esensi dari apa-apa yang kamu cari. Aku katakan, kita semua memang kesepian di dalam sistem yang mengalienasi siapa saja ini. Dan aku tahu kamu sebetulnya bisa membebaskan dirimu sendiri dari alienasi itu. Kamu bisa. Karena memang hanya diri kita sendiri yang bisa menghadiahkan kebebasan pada diri kita sendiri. Tidak ada pahlawan di luar sana.

Aku tidak akan pernah menyelamatkanmu, karena kebebasanmu sejatinya memang hak kamu. Dengan cara inilah aku mencintaimu.

_____

Munir
Kontributor Apokalips

02 Juni 2007

Pelajaran Apa yang Kita Peroleh?


(Reportase: Aksi Solidaritas PT. D.I. & Peringatan 9 Tahun Kejatuhan Rezim Soeharto, 21 Mei 2007, Bandung)


1

Hari masih terlalu dini bagiku, pukul delapan, tapi aku telah tiba di Simpang Dago. Semenjak beberapa pekan lalu berada di kota ini, aku tidak pernah menyengaja untuk bangun pagi. Aku memang telah meninggalkan pekerjaan di perusahaan terakhir tempatku bekerja di Jakarta, pada akhir bulan lalu, sehingga selama itulah aku merasa tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menarik tubuhku kuat-kuat dari ranjang setiap paginya. Menurutku, sudah lebih dari cukup untuk menukarkan waktu yang kumiliki dengan suatu keharusan: datang ke kantor pagi-pagi, untuk kemudian mengerjakan sesuatu yang sama sekali tidak kusukai, sepanjang hari. Aku hanya terlalu lelah berkompromi pada sesuatu yang tidak benar-benar aku sukai. Ternyata kompromi menghabiskan sekian banyak energi. Sedangkan aku menyadari bahwasanya ada hal-hal lain yang juga membutuhkan energiku yang tidak sedikit. Dan selama kurang-lebih sebulan aku berkompromi di kantor itu, aku merasa telah kehilangan banyak energi dan waktu yang semestinya bisa kupergunakan untuk melakukan hal-hal yang aku sukai.
Oleh sebab itu, satu hari sebelum tanggal 1 Mei, aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku di kantor tersebut dan segera menyusul kawan-kawan yang saat itu kuketahui sedang berada di Taman Ismail Marzuki.
Maka hari tersebut menjadi satu lagi hari yang ganjil bagiku. Ganjil rasanya berkeliaran di jalanan pada jam-jam seperti itu; jam-jam yang biasanya harus kuhabiskan untuk berada di belakang meja komputer, mengerjakan disain-disain pesanan klien, dan mendengarkan ocehan bos yang menuntutku untuk mengerjakan itu semua dengan cepat. Ganjil rasanya duduk di bangku peron stasiun Cawang pada jam-jam seperti itu, menanti kereta dari arah Bogor datang sembari menyaksikan stasiun tersebut dalam keadaan lengang, tak dipenuhi banyak calon penumpang. Ganjil juga rasanya menerima terpaan cahaya matahari pukul sepuluh, ketika pada pukul sepuluh pagi-pagi sebelumnya kulitku hanya merasakan semilir udara dingin yang mengalir dari AC ruang kerja. Itu semua terasa seperti sesuatu yang mewah bagiku, dan aku merasa kaya. Meski aku pun sadar bahwa keputusanku pada hari itu untuk meninggalkan kantor untuk selama-lamanya berarti memutuskan aliran uang dari rekening bank si bos, sang pemilik modal, ke dalam dompetku.

Sekitar pukul sebelas, kereta rangkaian listrik yang kutumpangi dari stasiun Cawang tiba di stasiun Cikini. Aku turun di sana dan memilih melanjutkan perjalanan menuju Taman Ismail Marzuki dengan berjalan kaki. Karena, menurut ukuranku, jaraknya memang tidak terlalu jauh. Setibanya di sana aku segera saja bisa melihat sekumpulan orang sedang berbaring di depan gedung bioskop twenty-one. Aku menduga bahwa itulah mereka.

Ada sedikit perasaan sungkan terbit dari dalam hati seiring langkahku mendekati kumpulan orang yang sedang berbaring itu. Aku tahu, diriku pasti tidak mengenal sebagian besar dari mereka semua. Sebab hampir setahun telah berlalu semenjak terakhir kali aku terlibat dengan aktifitas mereka, khususnya dengan grup yang ada di Jakarta. Selama berada di luar lingkar aktifitas itu aku hanya mendengar kabar bahwa aktifitas yang mereka lakukan terus berjalan. Bahkan kawan-kawan di Bandung, yang pada suatu hari kudengar telah menamai grup mereka dengan nama ‘Apokalips’, telah mampu berjejaring dengan organ-organ lain. Dan khususnya untuk ‘event’ kali itu, aku pun merasa sangat tertinggal. Sebab, dari kabar yang kudengar juga, sesungguhnya persiapan untuk ‘event’ itu telah mereka sama-sama persiapkan sejak awal tahun 2007 ini.

Aku memang telah melewatkan sekian banyak hal. Karena itu sesungguhnya aku merasa sedikit sungkan untuk muncul secara tiba-tiba di hadapan mereka semua. Terlebih lagi ketika dugaanku terbukti benar adanya, bahwa ternyata dari sekian banyak orang yang sedang berbaring di depan twenty-one itu hanya sedikit saja yang kukenali. Aku tahu mereka dari mana. Mereka adalah individu-individu yang terlibat di dalam grup-grup otonomis dari empat kota di pulau Jawa; Jakarta, Bandung, Salatiga, dan Jogjakarta. Keempat grup tersebut memang telah berhasil membangun jaringan lintas propinsi. Aku belum pernah sama sekali bertemu dengan mereka yang berasal dari Salatiga dan Jogjakarta. Dulu, saat masih terlibat di dalam aktifitas ini, grup otonomis yang aku ketahui telah menjalin hubungan hanyalah grup otonomis yang berada di Jakarta (Jotos) dan Bandung (Apokalips). Dan menurut kabar terakhir yang kudapat, beberapa kawan di Jotos sudah tidak terlibat lagi di dalam grup tersebut. Karena itu aku tidak terlalu kecewa ketika wajah yang pertama kali berhasil kukenali dari sekian banyak yang ada di sana justru bukanlah salah satu dari kawan-kawan Jotos. Melainkan seorang kawan dari Bandung. Aku pun mengambil tempat di sebelahnya; berbaring di lantai yang dingin. Mencari sedikit penghiburan diri dari kenyataan udara Jakarta yang gerah.



2

Aku mulai kedinginan di Simpang Dago. Sampai detik ini belum ada satu pun kawan yang muncul. Layar ponselku menunjukkan pukul setengah sembilan. Setengah jam telah berlalu dari waktu yang sebenarnya sudah kami sama-sama sepakati. Aku yakin sekali semalam tidak salah mendengar. Aku yakin mereka menyebut ‘jam delapan’. Bukan ‘salapan’. Aku sedikit menyesali keputusanku sebelum berangkat tadi untuk memilih kemeja flanel sebagai baju hangat. Sejenak aku membayangkan betapa hangatnya berada di bawah balutan jaket jeans hitamku yang tadi sengaja kutinggalkan menggantung di belakang pintu kamar. Ibuku sempat memastikan apakah aku benar-benar yakin tidak ingin mengenakannya, atau setidaknya membawanya di dalam tas, sebelum akhirnya aku benar-benar meninggalkan jaket itu tergantung begitu saja di belakang pintu.

Pasca hengkangnya aku dari perusahaan advertising di Jakarta itu, tak lama kemudian aku memang langsung melangkahkan kakiku menuju rumah. Rumah orangtuaku. Aku pikir di situ aku bisa tetap bertahan hidup dengan mengharapkan kelebihan nasi dan lauk yang setiap hari ibuku masak. Di samping itu, aku bisa tetap punya tempat untuk tidur. Aku masih menyimpan gaji terakhirku, hasil dari bekerja sebulan lamanya. Tidak seberapa. Apalagi jika dibandingkan dengan biaya hidup di Jakarta yang lumayan mahal, bahkan hanya untuk mendanai transportasi. Itulah beberapa alasan yang melandasi keputusanku untuk pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku, pada saat-saat aku belum memiliki sumber penghasilan lagi.

Tapi ada satu alasan lagi yang sesungguhnya merupakan alasan utama mengapa aku memutuskan untuk mundur ke ‘benteng terakhir’. Alasan yang barangkali sangat absurd apabila ingin dilihat dengan kacamata orang kebanyakan, yang cenderung menjadikan ‘profesi’ sebagai parameter dari layak atau tidaknya seseorang untuk disebut ‘produktif’. Dalam tolak-ukur yang mereka pakai, tentu saja, orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan dan sumber penghasilan seperti aku belum layak untuk disebut produktif. Karena profesi bagi mereka adalah suatu aktifitas yang harus memberikan penghasilan berupa uang dalam periode yang jelas. Maka, meski aku sampai mati-matian membela diriku sendiri bahwa apa yang sedang kukerjakan sekarang merupakan profesiku, mereka tidak akan pernah mengafirmasinya sebelum aku bisa menyodorkan ke depan muka mereka suatu hasil yang berbentuk materi. Sedangkan, alasan utamaku pulang ke Bandung ini bukanlah untuk ‘bekerja’—apabila definisi dari kata itu adalah absolut seperti yang mereka maksudkan—melainkan untuk belajar. Dan aku memang tidak pernah malu untuk mengakui bahwa apa yang kulakukan sekarang, belajar, adalah pekerjaanku, adalah profesiku. Pekerjaan atau profesi yang sedang kujalani dengan sungguh-sungguh dan penuh sukacita. Keinginan untuk belajar ini terpicu oleh rasa iri akan soliditas kawan-kawan dari Apokalips yang aku sendiri saksikan saat aku berjumpa dengan mereka di Jakarta pada awal Mei lalu.

1 Mei pagi hari, di gerbang Taman Ismail Marzuki, keempat grup otonomis dari empat kota itu telah bersiap-siap untuk memulai hari. Para pemakai kendaraan dan pejalan kaki yang kebetulan melewati tempat itu untuk memulai aktifitas harian mereka, tak pelak menjadi tersita sejenak perhatiannya. Ini tentu bukan pemandangan yang biasa mereka saksikan di ruang hidup mereka. Sekalipun dalam konteks ‘1 Mei’, sekalipun masyarakat kita seolah telah ‘teredukasi’ secara verbal dan persepsi mereka telah terbentuk sedemikian rupa lewat fenomena tahunan ini—bahwasanya 1 Mei, yang telah masyarakat kita ketahui dengan nama ‘Hari Buruh’ atau ‘May Day’, pastilah akan menyebabkan jalan-jalan raya kota Jakarta dipenuhi oleh iring-iringan konvoi para buruh yang menuntut libur satu hari, kenaikan upah, dll, sehingga mereka pun sudah hapal jalan-jalan mana saja yang harus dilalui apabila tidak ingin terjebak macet—tetap saja fenomena minor yang mereka lihat pada hari itu di depan gerbang Taman Ismail Marzuki merupakan anomali. Hal ini disebabkan oleh penampilan dan atribut dari para partisan tersebut yang memang berbeda daripada yang pernah mereka lihat sebelumnya. Bukan hanya pakaian, spanduk dan bendera yang sama sekali tidak merepresentasikan suatu organisasi tertentu, tapi juga karena pagi itu mereka seolah dengan sengaja ingin mencuri perhatian seluruh makhluk di planet ini dengan menciptakan bunyi-bunyian yang dihasilkan dari kaleng-kaleng bekas sebagai perkusi dadakan.

Sesungguhnya bukan hanya para pemakai kendaraan dan pejalan kaki itu saja yang ‘antusias’ menyaksikan fenomena minor yang terjadi pagi itu. Aku pribadi pun merasa antusias dengan fenomena ini. Jujur saja, aku tidak pernah tertarik untuk ikut turun ke jalan pada May Day-May Day sebelumnya. Karena May Day yang ada selama ini sungguh mengesankan ekslusifitas. 1 Mei, yang memang telah terlanjur diketahui oleh mayoritas masyarakat kita sebagai ‘Hari Buruh’, pada akhirnya benar-benar diinterpretasikan secara harfiah. Dimana mayoritas masyarakat kita pada akhirnya merasa bahwa May Day bukanlah hari mereka ketika mereka merasa dirinya bukanlah ‘buruh’. Sebab ‘buruh’ itu sendiri telah terlanjur teridentifikasi sebagai suatu profesi yang lingkungan pekerjaannya adalah pabrik. Sedangkan mereka yang lingkungan pekerjaannya ada di dalam ruang kantor yang ber-AC, merasa dirinya bukanlah buruh dan praktis merasa tidak memiliki May Day. Tetapi dengan pendefinisian-ulang mengenai May Day yang dilakukan oleh jejaring grup otonomis ini—bahwa May Day bukanlah Hari Buruh, melainkan Hari Anti-Kapitalisme—masyarakat diedukasi bahwa hari ini merupakan hari milik mereka semua yang merasa masih bekerja untuk para pemilik modal. Dan metode edukasi atau penyampaian wacana ini sendiri disampaikan di dalam satu hari tersebut dengan dua bentuk: 1) tulisan, yakni dengan mempublikasikan selebaran-selebaran kepada masyarakat, 2) dengan aksi itu sendiri yang merupakan sebuah pernyataan bahwa May Day bukanlah milik buruh (pabrik) saja, tapi milik semua orang yang sedang, ataupun akan, tertindas oleh Kapitalisme; yang untuk membuktikan hal tersebut para partisan dalam jejaring otonomis ini tidak mengenakan atribut, spanduk, atau membawa panji-panji generik yang identik dengan demonstrasi-demonstrasi buruh dari tahun ke tahun.

Salah satu selebaran yang menurutku paling atraktif adalah selebaran yang diproduksi oleh kawan-kawan Apokalips. Mereka menamainya ‘Jurnal Apokalips’. Jurnal ini dalam tujuannya mengkampanyekan perlawanan terhadap Globalisasi atau Neoliberalisme, kini telah terbit secara periodik dua bulan sekali dengan disain tampilannya yang menarik. Aku salut pada konsistensi yang dimiliki oleh grup dari Bandung ini, juga pada cara mereka menggalang soliditas antara masing-masing individu di dalamnya sehingga bisa konsisten bekerja sama dalam aktifitas yang mereka lakukan. Terlebih lagi ketika aku sempat mendengar bahwa di Bandung, mereka juga telah mengadakan kelas fisafat-ekonomi politik dalam seminggu sekali, yang mana ini menjadi landasan mereka secara teoritis maupun praktis.

Maka setelah hari itu selesai, setelah para partisan aksi dari keempat kota itu secara berangsur-angsur pulang ke rumah mereka masing-masing dengan berbekal pegal pada otot kaki mereka masing-masing akibat long-march yang telah dilakukan seharian, aku pun berbekal sebuah niat di dalam dada untuk belajar lebih banyak mengenai pembentukan grup/kolektif otonomis dan juga mengenai filsafat-ekonomi politik dari sebuah grup yang menurutku telah mencapai suatu tingkat keberhasilan. Untungnya, pada saat itu aku telah memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan di kantor, sehingga aku mempunyai waktu senggang untuk mewujudkan niat. Dan untungnya lagi, aku juga masih memiliki keluarga yang menetap di kota tempat grup ini berdomisili.



3

Bandung memang istimewa. Hampir pukul sembilan, tapi udaranya masih bisa membuatku menggigil. Aku mulai membakar rokok, sambil berharap cara ini bisa sedikit menghangatkan tubuhku. Cara ini juga kutempuh untuk mengusir rasa bosan akibat menunggu terlalu lama; empatpuluh lima menit. Aku mulai merasa rikuh karena duduk sendirian di trotoar. Aku merasa mata para penumpang di dalam angkot yang terhenti persis di depanku karena lampu merah seolah mengarah kepadaku, dan bertanya: apa yang orang itu lakukan di Simpang Dago dengan duduk di trotoar pada pagi-pagi seperti ini? Apakah dia mahasiswa Unpad? Apakah dia tidak mempunyai pekerjaan? Apakah dia seorang penjahat? Apakah dia tidak? Lalu apa yang dia lakukan di sana?

Tiba-tiba seorang remaja berdandan ala punker berdiri di depan pintu angkot tersebut dan mulai memainkan dawai-dawai gitar yang ditentengnya. Aku tidak tahu lagu apa yang dinyanyikannya. Terdengar seperti lagu pop Indonesia. Ketika lampu lalu-lintas kembali beralih ke hijau, dengan tangkas sang gitaris segera menghentikan permainan gitarnya dan menyodorkan ke hadapan semua penumpang angkot tersebut sebuah botol plastik yang telah ia buang tiga perempat bagian atasnya. Lalu ia menyingkir dari jalanan agar tidak tertabrak kendaraan-kendaraan yang mengarah ke Jalan Dipati Ukur dan kembali duduk beberapa meter di sebelah kananku, untuk kemudian mengulanginya pertunjukkannya nanti ketika lampu merah itu kembali menyala. Mungkin baginya lampu merah itu sudah seperti suara penonton yang meneriakkan “Encore!”.

Cahaya matahari yang memantul di aspal mulai terlihat semakin terang. Tapi tempatku duduk ini tampaknya memang terlindung dari terpaan langsung cahaya matahari. Mc Donalds yang berdiri di belakangku menjadi benteng pelindungku. Belum beberapa lama tadi, aku menerima sebuah SMS dari seorang kawan yang hari ini juga sudah berjanji untuk ikut berpartisipasi. Katanya, ia tidak bisa datang awal dikarenakan harus ke sekolahnya terlebih dahulu untuk mengurus beberapa hal seputar pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi negeri. Tapi dia akan menyusul nanti setelah urusannya selesai; sekitar pukul sepuluh. Maka pikiranku secara otomatis menghapus wajahnya dari list-orang-yang-sedang-kutunggu.

Aku memang tidak tahu dari arah manakah kawan-kawanku akan datang. Dari arah kanan kah, kiri kah, depan kah, atau belakang. Aku tidak tahu. Oleh karena itu sejak tadi aku tidak henti-hentinya bercelingukan, sembari berharap satu titik pandanganku akan bertumbukan dengan satu wajah yang kukenal. Tapi ternyata nihil. Lagi-lagi pandanganku hanya bertumbukan dengan pandangan para penumpang angkot yang sedang terhenti persis di depanku karena lampu merah. Ini mulai terasa menyebalkan.

Jauh di seberang sana, di depan Circle K, pandanganku menangkap sekumpulan anak muda. Mereka datang satu persatu sejak setengah jam yang lalu; tak lama setelah aku menduduki tempat ini. Mereka terdiri dari lelaki dan perempuan. Sebagian terlihat duduk persis di depan toko tersebut, sebagian yang lain berdiri tak jauh dari sana. Beberapa menit yang lalu aku sempat menduga bahwa mereka adalah mahasiswa Unpad yang, entah karena alasan apa, ingin duduk-duduk dulu di sana sebelum memasuki gerbang kampus mereka secara bersama-sama. Tapi setelah coba kuingat-ingat lagi bahwa jarak antara Unpad Dipati Ukur dengan Circle K Simpang Dago cukup jauh apabila ditempuh dengan berjalan kaki, aku mulai meragukan dugaanku sendiri. Sebab untuk apa mereka berkumpul terlebih dahulu di satu tempat dengan tujuan berangkat bareng ke kampus, apabila nantinya jumlah itu akan kembali terbagi lagi dengan daya muat angkot yang maksimal hanya menampung enam belas orang; itu pun dengan asumsi jika angkot tersebut betul-betul kosong. Sedangkan jumlah mereka paling sedikit kira-kira ada duapuluhan. Mereka terlalu banyak, dan mereka terlalu lama berada di sana apabila mereka memang menjadikan tempat itu sebagai tempat transit. Ah, sebenarnya aku saja yang terlalu mencampuri urusan mereka.

Sebenarnya aku juga sempat menduga kalau mereka adalah orang-orang dari FPR (Front Perjuangan Rakyat). FPR adalah semacam aliansi dari beberapa organ yang ada di Bandung; Apokalips termasuk pula di dalamnya. Dan kalau memang benar bahwa mereka adalah orang-orang dari FPR, seharusnya aku tidak perlu sungkan untuk menyeberang dan segera bergabung saja dengan mereka duduk di depan Circle K itu, dengan sekadar bermodalkan kalimat: “saya mewakili Apokalips”. Setidaknya itu akan lebih baik daripada duduk sendirian di depan Mc Donalds. Tapi seandainya mereka memang benar dari FPR, rasanya juga aku tetap akan memilih untuk duduk di sini sampai kawan-kawanku yang lain datang. Karena aku memang tidak mengenal satu pun dari mereka. Tiga malam yang lalu, hari Jum’at, aku datang ke acara ulang tahun salah satu organ FPR. FMN namanya. Front Mahasiswa Nasional. Namun, di sana aku memang tidak sempat berkenalan dengan sesiapapun.



4

Kelas filsafat-ekonomi politik Apokalips adalah kelas yang menyenangkan. Mereka tidak menciptakan suasana yang tegang dan terlampau serius saat kelas sedang berlangsung. Justru sebaliknya, mereka menciptakan suasana yang santai—bahkan terkadang mereka menyisipkan sesi minum bir bersama di tengah-tengah prosesi belajar—untuk membuat suasana kelas tidak terkesan menyeramkan. Walau memang tidak semuanya diharuskan untuk menenggak bir tersebut. Aku mengikuti setiap materi yang sedang dibahas dengan semangat. Akan tetapi aku memang telah tertinggal banyak materi. Tapi untunglah Apokalips punya program percepatan yang diperuntukkan bagi mereka yang tidak mengikuti kelas ini dari awal pertemuan. Program percepatan ini juga diadakan setiap minggu sekali, namun diletakkan di hari yang berbeda dengan kelas utama yang berjalan simultan.

Kedatanganku ke Bandung awal bulan lalu, yang bertujuan untuk belajar bersama Apokalips, ternyata tidak menjadikanku satu-satunya ‘orang baru’ yang masuk ke dalam kelas tersebut. Bersamaan dengan malam perdanaku di kelas Apokalips, ada dua orang yang juga baru datang ke dalam kelas itu. Konsekwensinya, tiga orang baru ini—termasuk aku di dalamnya—mau tidak mau harus mengambil program percepatan apabila memang betul-betul ingin ikut tumbuh bersama Apokalips.

Jum’at ketiga di bulan Mei, aku datang ke kampus Unpad Dipati Ukur demi bisa mengikuti program percepatan Apokalips. Malam itu hujan sedang mengguyur kota Bandung dan udara sedang dingin-dinginnya. Saat itu aku tidak mengerti mengapa mereka memilih kampus orang lain untuk menyelenggarakan acara kecil sebuah grup kecil yang tidak ada hubungannya dengan institusi kampus tersebut. Aneh, pikirku. Tapi akhirnya tanpa banyak bertanya, aku datang juga ke sana. Karena aku memang sedang giat-giatnya belajar.

Sesampainya di kawasan kampus itu, aku langsung menuju pendopo masjid, tempat yang telah kami sepakati sebelumnya sebagai tempat untuk bertemu. Namun ternyata di sana aku tidak menjumpai satu Apokalips pun. Maka aku mengirim SMS kepada temanku yang rencananya malam ini akan membagikan fotokopian materi percepatan untuk dibaca-baca di rumah. Tak lama kemudian, aku melihatnya datang mendekati pendopo. Aku agak heran melihatnya datang sendirian, kemudian aku pun bertanya padanya, kemana yang lainnya? Ia menjawab, yang lainnya ada di belakang, sembari ia berjalan ke arah yang dimaksud itu. Aku mengekorinya. Di tengah perjalanan ia bertanya padaku, apakah aku tahu bahwa malam ini ada acara ulang tahun FMN. Aku tertegun.

Setibanya kami di satu lokasi yang agak tertutup dari dunia luar, aku sempat berkelakar pada teman Apokalipsku itu: “Wah, kayaknya saya dijebak nih ya? Katanya mau ngebagiin materi?”. Ia hanya tertawa. Berikutnya aku sudah tidak bisa banyak berkata-kata lagi. Karena kami berdua telah berada di tengah-tengah sebuah prosesi acara. Aku mendengar M.C. acara itu meminta para hadirin untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Ketika semua orang di sana sedang menyanyikan lagu kebangsaan itu, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan di satu sudut, aku menemukan dua orang lagi kawan Apokalips sedang bersandar di tembok sembari merokok dengan santainya. Salah satunya adalah orang yang baru bergabung dengan Apokalips. Mereka melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya dengan senyuman. Seselesainya Indonesia Raya terkumandangkan, aku dan kawan Apokalipsku yang menjemputku di pendopo masjid tadi menghampiri mereka berdua.
Sementara M.C. sedang mengucapkan selamat ulang tahun untuk FMN, aku mendengar ketiga kawan Apokalipsku itu sedang saling tunjuk mengenai siapa nanti yang akan menjadi pembicara mewakili Apokalips. Aku sendiri masih bingung mengapa aku bisa berada di sana. Otakku masih sibuk mencerna data-data yang tiba-tiba datang tanpa kuharapkan: mengenai apa itu ‘FMN’, mengenai acara apa sesungguhnya yang sedang berlangsung ini, mengenai siapa-siapa saja orang-orang di sekelilingku ini yang sering sekali mengacungkan kepal tangan kiri mereka di udara sembari meneriakkan yel-yel yang tidak kukenal.



5

Aku mulai yakin bahwa sekumpulan anak muda di depan Circle K itu adalah orang-orang yang akan ikut melakukan aksi pada hari ini. Karena aku melihat salah satu dari mereka menenteng-nenteng megaphone berwarna putih. Tapi aku tetap tidak yakin untuk menyeberang dan menghampiri mereka. Karena aku belum sepenuhnya yakin apakah mereka adalah orang-orang dari FMN, ataupun dari organ-organ lain yang tergabung di dalam FPR. Sekalipun iya, aku pun akan memilih untuk duduk di sini sampai kawan-kawanku yang lain datang. Karena aku memang tidak mengenal satu pun dari mereka.

Sepuluh menit lagi jam akan menunjukkan pukul sembilan. Tapi kedua kawan Apokalipsku yang sejak tadi kunantikan belum juga datang. Yang seorang lagi sudah kuhapus dari list-orang-yang-sedang-kutunggu pagi ini. Karena ia tadi sudah mengabarkan bahwasanya ia tidak bisa ikut start dari Simpang Dago. Ia akan menyusul kami sekitar jam sepuluh.

Semalam, ketika kawan-kawan Apokalips sedang membantu kolektif Food Not Bombs untuk mendistribusikan makanan, aku dimintai tolong untuk berpartisipasi dalam sebuah aksi yang akan berlangsung keesokan paginya. Aksi solidaritas PT. DI dan sekaligus memperingati sembilan tahun jatuhnya rezim Soeharto. Aku langsung mengiyakan. Tapi saat aku bertanya siapa saja dari Apokalips yang besok ikut turun, aku sedikit galau ketika hanya tersebutkan empat nama, yang di dalamnya termasuk aku sendiri. Yang lainnya tidak bisa ikut karena harus bekerja. Aku hanya belum mengerti pola aksi seperti apa yang akan dilaksanakan. Dan dengan jumlah yang hanya empat partisan, aksi seperti apa yang bisa dilakukan; apalagi melihat konteks aksi tersebut adalah aksi solidaritas PT. DI Bandung. Saat itu segera terbayang di benakku ribuan orang mantan pekerja PT. DI yang akan turun ke jalan. Dan terbayang juga jumlah kami yang hanya berempat. Pastilah kami hanya akan jadi setitik debu di padang pasir.

“Taktik apa yang akan kita pakai besok?” tanyaku pada salah seorang yang besok juga akan ikut.

“Ngga ada taktik. Kita ikut-ikutan aja,” jawabnya.

Oh begitu, ujarku dalam hati. “Tapi jangan lupa pakai kafiah,” ujarnya lagi.



6

Kafiah adalah kain bermotif kotak-kotak hitam-putih. Melihat kain itu dikenakan oleh seorang kawan dari Bandung sewaktu aksi May Day di Jakarta, pikiranku tidak bisa mengelak dari bayangan akan sosok orang-orang islam. Saat May Day lalu, aku sudah mengira bahwa kafiah merupakan dress-code-nya Apokalips. Karena aku melihat semua kawan yang datang dari Bandung waktu itu mengenakannya untuk menutupi wajah mereka. Aku sendiri waktu itu mengenakan slayer berwarna hitam sebagai penutup wajah.



7

Pukul sembilan kurang lima menit, dua kawan Apokalipsku baru tiba. Aku segera bertanya pada mereka apakah orang-orang yang sedang duduk di depan Circle K itu adalah orang-orang dari FPR. Menyimpan pertanyaan itu selama satu jam membuatku tidak mampu menahannya lagi ketika orang yang dapat kutanyai sudah ada di depanku. “Iya. Mereka dari FPR,” salah satu dari mereka menjawab.

“Ada yang kamu kenal?” tanyaku lagi.

“Ngga ada.”

“Lho?”

“Ngga apa-apa. Kita tinggal pakai kafiah aja. Mereka akan langsung tahu kok kalau kita dari Apokalips.”

Mereka berdua mengeluarkan kain kotak-kotak hitam-putih itu dari dalam tas mereka masing-masing. Dan segera mengenakannya di tempat itu juga, di depan Mc Donalds, di pinggir jalan raya. Aku berpikir ini terlalu vulgar. Maka aku tidak mengikuti cara mereka. Aku tetap membiarkan kafiah pinjaman dari seorang teman Apokalips yang hari ini tidak bisa ikut berada di dalam tas.

Seselesainya mereka berdandan, kami bertiga pun menyeberangi jalan menuju Circle K. Salah seorang dari kami langsung menyambangi seseorang dari FPR. Mungkin melakukan semacam koordinasi kecil, pikirku. Sementara itu aku mengambil tempat untuk duduk di depan ATM. Di sana aku mengeluarkan kafiah dari dalam tas dan segera mengenakannya. Kawan yang tadi berkoordinasi dengan FPR menghampiri, ia membagikan selebaran-selebaran yang diproduksi oleh FPR kepadaku dan kawan yang satu lagi. Ketika baru saja hendak membacanya, aku melihat iring-iringan mulai bergerak. Maka aku dan kedua kawan Apokalips yang lain pun segera menyusul mereka.

Di tengah-tengah persimpangan jalan, aliansi ini membentuk lingkaran. Lagu ‘Darah Rakyat’ mulai dinyanyikan secara bersama-sama. Pada saat itu aku melihat dua polisi bermotor datang menghampiri. Namun, sepertinya mereka tidak terlihat akan mengintimidasi. Mereka hanya mengatur jalannya lalu lintas agar tidak terpaku pada kejadian yang sedang berlangsung di tengah-tengah jalanan itu. Setelah selesai menyanyikan lagu, salah seorang dari FPR yang mengenakan bandana berwarna merah langsung berorasi. Cukup lama juga.

Selanjutnya aliansi ini melanjutkan aksi dengan mulai melakukan long-march. Si bandana merah sempat berkata, “mari kawan-kawan, kita segera bergerak ke Taman Cikapayang. Kawan-kawan yang lain sudah menunggu di sana.”

Kami menyusuri sepanjang Jalan Dago yang saat itu cukup lengang. Sesekali beberapa peserta aksi dari dalam barisan kami membagikan selebaran kepada orang-orang yang berada di pinggir jalan. Sembari berjalan barisan ini tak henti-hentinya menyanyikan lagu-lagu yang sama sekali tidak kuhapal. Aku hanya bisa menerka judul lagu itu saja. Darah Juang, Darah Rakyat, dan Internasionale. Dan si bandana merah itu terlihat sangat bersemangat. Sepanjang jalan ia tidak henti-hentinya berorasi.

Aliansi ini tiba di kolong jembatan layang Pasupati sekitar pukul setengah sepuluh. Kami berhenti di sana. Aku mulai merasa gerah berada di balik balutan kafiah. Sebetulnya aku ingin melepaskannya sebentar. Ingin merokok juga sedikit. Tapi aku menahan semua keinginan itu karena ingin berusaha konsisten. Sementara itu aku melihat si bandana merah mulai berorasi lagi. Dia benar-benar luar biasa. Berikutnya, perwakilan dari tiap organ melakukan orasi secara bergantian. Kecuali dari Apokalips. Entah kenapa, aku pribadi pun merasa ragu-ragu untuk menyuarakan apa-apa yang ada di kepala. Mungkin begitu pula dengan kedua kawanku. Aku pikir, apa-apa yang mereka semua tuntut kurang maksimal. Salah satunya mereka menuntut untuk diselesaikannya agenda-agenda reformasi. Sedangkan pada poin-poin berikutnya mereka menolak privatisasi, komersialisasi, sistem outsourcing, dll. Aku hanya berpikir, bagaimana bisa kedua hal itu bersinergi satu sama lain. Bukankah poin-poin yang mereka tuntut itu hanya akan terlaksana apabila bukan reformasi semata yang terealisasi, melainkan perubahan yang seungguhnya? Apakah mereka benar-benar menginginkan sebuah perubahan?

Karena itu aku ragu untuk mau berorasi. Aku hanya tidak ingin Apokalips terlihat kontras bila disandingkan dengan organ-organ lain, sementara jumlah partisan Apokalips yang hadir pada hari ini sangatlah minor.

Setengah jam lamanya kira-kira aliansi ini berdiri di kolong jembatan layang. Beberapa organ lain seperti FAMU, HMR, dan KMD juga langsung bergabung ke dalam barisan begitu mereka tiba di sana. Pukul sepuluh barisan ini mulai bergerak lagi. Kali ini tujuannya adalah Gedung Sate.



8

FPR tiba di depan Gedung Sate kurang lebih setengah jam kemudian. Seperti biasa, pagar kantor DPRD tersebut telah tertutup rapat. Aku mendengar si bandana merah berkata lewat megaphonenya: “Ini adalah gedung rakyat. Tapi kenapa rakyat tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya?!”

Kenapa ya kok aku jadi semakin merasa ini semua seperti sebuah sandiwara? Ini semua seperti sebuah drama yang sudah di-set skenarionya sedemikian rupa. Ada barisan polisi yang berdiri berjaga-jaga di dalam sana, ada demonstran yang berteriak-teriak di luar sini. Lalu bisakah ritual semacam ini menciptakan sebuah perubahan?

Aku tahu, apabila ada seorang saja yang mencoba melakukan improvisasi, melakukan hal di luar dari skenario yang sudah ada, pastilah ia akan segera ditarik keluar dari panggung sandiwara ini. Tuduhannya standar: provokator atau anarkis. Seperti itu selalu. Menyebalkan. Lalu di mana letak demokrasi apabila semua orang yang berada di dalam sistim ini sesungguhnya tidak pernah benar-benar mempunyai kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri; melainkan selalu harus hidup sesuai dengan skenario yang sudah ditentukan.

Sinar matahari mulai menyengat kulit. Beberapa kawan dari FPR sedang menggantungkan karton-karton berisi slogan-slogan aksi di pagar. Slogan itu berbunyi: “Laksanakan Reforma Agraria = Tanah Untuk Rakyat” dan “Realisasikan 20% Anggaran Untuk Pendidikan, Stop Privatisasi Lembaga Pendidikan”. Pada saat itu datang dua orang lagi kawan dari Apokalips. Mereka mengendarai sepeda motor. Akan tetapi mereka tidak ikut bergabung ke dalam barisan, entah apa alasannya. Tapi menurut perkiraanku waktu itu, mereka datang hanya sebagai seksi dokumentasi saja.

Pukul 10.45, suara sirene yang tiba-tiba muncul mengejutkan aku. Itu adalah rombongan dari SP-FKK PT. DI (Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT. Dirgantara Indonesia). Mereka membawa satu mobil kijang berwarna biru ber-bak terbuka. Mobil itu difungsikan sebagai panggung berjalan. Di belakangnya, mengekor puluhan sepeda motor yang merupakan rombongan SP-FKK PT. DI. Aku melihat beberapa orang membopong sesuatu yang terlihat seperti kurun batang. Kurun batang tersebut ditutupi kain berwarna hijau, persis sungguhan. Di sisi kanan kirinya tertera tulisan “Inalillahi Wainaillaihi Rojiun. Matinya Hukum. Akibat Jaksa Rakus Uang.”

Seseorang berambut ikal dan gondrong terlihat berdiri di atas panggung berjalan. Wajah pria itu mengingatkan aku pada Sujiwo Tejo, hanya saja yang ini dalam versi lebih gemuk. Ia terlihat seperti M.C. yang sedang membawakan sebuah acara. Suaranya yang garang sepertinya menjadi modal bagi dia untuk diberi kehormatan berada di atas panggung berjalan itu.
SP-FKK PT. DI hari itu ternyata membawa wacana mengenai adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Direksi PT. DI yang merugikan negara sebesar 241, 5 Milyar rupiah. Mereka juga menduga bahwa Kejaksaan Tinggi menghindar untuk meneruskan ke arah penyidikan. Karena itu sang M.C. dari SP-FKK PT. DI mengajak seluruh peserta aksi untuk bersama-sama menuju Kejaksaan Tinggi Jabar. Rombongan peserta aksi yang kali itu telah merupakan gabungan dari barisan FPR dan SP-FKK PT. DI, mulai sama-sama melakukan long-march ke Kejaksaan Tinggi. Dua orang kawan Apokalips yang tadi mengendarai sepeda motor tidak bergabung dalam long-march. Tapi mereka berjanji bahwa kita akan segera bertemu lagi di Kejaksaan Tinggi.

Di sepanjang perjalanan, aku menyaksikan orang-orang sedang berdiri di tepi jalan dan menontoni kami semua. Aku seketika teringat pada hal seperti ini yang terjadi juga di Jakarta saat May Day lalu.



9

Mereka berdiri dan mematung di sana. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentang apa yang sedang kami lakukan. Mungkin mereka berpikir bahwa kami adalah orang-orang yang kurang-kerjaan sehingga mencari-cari persoalan yang bisa dipikirkan. Atau mungkin mereka berpikir bahwa kami adalah orang-orang yang tidak pernah bersyukur pada keadaan. Atau mungkin mereka berpikir bahwa kami hanyalah segerombolan pengacau yang senang memanfaatkan momen-momen semacam ini untuk membuat semacam kekacauan dan menyebabkan kemacetan jalan. Atau mungkin mereka tidak berpikir apa-apa. Mereka berdiri saja di sana. Mereka mematung saja di sana. Sementara kami di sini berjuang atas nama kelas. Kelas yang sebenarnya sama seperti kelas di mana mereka berada. Yaitu kelas pekerja. Seandainya mereka sadar, bahwa hanya ada dua kelas di dalam tatanan masyarakat sekarang--Kelas Pekerja dan Kelas Penindas—apakah mereka masih tetap diam dan mematung saja di sana, membiarkan diri mereka sendiri terus ditindas?



10

Jam setengah duabelas, rombongan tiba di depan Kejaksaan Tinggi, Jalan RE. Martadinata. Dua kawan Apokalips yang tadi berpisah dengan kami di Gedung Sate pun sudah tiba. Di sana terlihat beberapa mobil truk polisi sudah terparkir di sisi kanan dan kiri jalan. Puluhan aparat polisi pun terlihat telah bersiaga di dalam dan luar pagar Kejaksaan Tinggi. Mobil kijang ber-bak terbuka yang dibawa oleh SP-FKK PT. DI diparkirkan persis di depan gerbang. Sementara itu rombongan aksi tetap berdiri di belakang mobil tersebut.

M.C. yang berwajah mirip Sujiwo Tejo itu mulai berbicara lagi. Tak lama kemudian ia mempersilakan Acil Bimbo untuk naik ke atas panggung dan berorasi. Acil berorasi, tapi aku tidak mendengarkan lagi. Aku sudah mulai bosan dengan ini semua. Bahkan ketika orator berganti berkali-kali pun, aku tidak memperhatikan siapa-siapa saja mereka dan mewakili organ apa saja mereka. Yang aku dengar, mereka semua menyahut: “Betul! Betul!” setiap kali para orator menciptakan jeda antar satu kalimat ke kalimat lain.


11

Betul… betul… membosankan.



12

Setengah jam kemudian terjadi aksi saling dorong antara rombongan aksi dengan aparat polisi yang membuat barikade di depan gerbang. Sebuah aksi simbolis, menurutku. Kalau ini memang serius, mengapa kita harus diatur “satu dua tiga…. Dorong, Kawan-kawan! Oke, sekarang mundur lagi empat langkah…”. Apa-apaan? Tapi aku tetap ikut-ikutan. Aku pikir ini lumayan untuk menghilangkan kebosanan.

Saat aku sedang asyik-asyiknya main dorong-dorongan dengan pak polisi, tiba-tiba aku merasakan panas di punggung. Oh, ternyata itu api. Hampir saja bajuku terbakar karena tidak sadar bahwa sedang terjadi aksi bakar-bakaran persis di belakangku. Tapi lagi-lagi, ini hanya simbolis. Mereka membakar kurun batang yang sejak tadi mereka bawa-bawa. Apinya lumayan besar. Asap hitam segera saja membumbung ke udara, membuat orang-orang di sekitarnya menyingkir sembari menutup hidung mereka masing-masing. Untunglah aku mengenakan kafiah. Dan aku tak mampu menahan tawa ketika orang-orang dari SP-FKK PT. DI mulai mengelilingi api itu seperti Indian yang sedang berpesta. Tapi sekali lagi, untunglah aku mengenakan kafiah—sehingga tak ada yang pernah melihatku tertawa pada saat itu.

Tiba-tiba dari kerumunan, aku melihat seorang perempuan menggunakan baju hitam dan menenteng-nenteng kafiah. Dia adalah teman Apokalips satu lagi yang tadi pagi mengatakan akan segera menyusul dari sekolah. Aku merasa lebih percaya diri. Karena kini jumlah kami menjadi enam orang. Dua kali lebih banyak apabila dibandingkan dengan jumlah kami tadi pagi saat berangkat dari Simpang menuju Gedung Sate.

Lima belas menit kemudian, pihak Kejaksaan Tinggi mengijinkan 10 orang perwakilan untuk masuk. Jatah 5 orang untuk perwakilan SP-FKK PT. DI, dan sisanya untuk FPR. Tak ada satu pun dari Apokalips yang ikut masuk ke sana. Saat 10 orang perwakilan itu berada di dalam, entah untuk melakukan apa, kami—rombongan yang ditinggal di luar—dihibur oleh orasi-orasi. Lagi.

13

Sejam telah berlalu. Kalau saja ada ranjang di sana, aku pasti telah tidur sejak tadi. Mataku memang masih mengantuk akibat bangun terlalu pagi. Dan akhirnya sepuluh orang perwakilan itu keluar juga dari dalam. Beberapa orang yang di luar meneriakkan dengan nafsu, “suruh mereka keluar! Tarik mereka keluar!”. Tapi pintu gerbang besi itu lekas-lekas menutup kembali setelah orang ke sepuluh dari perwakilan SP-FKK PT. DI dan FPR telah berada di luar.

“Gimana, Pak?” tanya seseorang dari rombongan yang tidak ikut masuk. Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Dan si penanya pun tertawa. Barangkali ia menertawakan dirinya sendiri yang sedang bersandiwara.

Tak lama setelah itu, sang M.C. pun mulai menutup acara hari itu. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung acara itu berjalan dengan lancar. Kepada seluruh rombongan partisan dari SP-FKK PT. DI dan juga FPR, kepada aparat kepolisian, kepada seluruh pihak-pihak di kantor Kejaksaan Tinggi. Dan acara hari itu pun berakhir dengan meninggalkan sampah-sampah berserakan di tengah jalan.
_______
Maulana Kamil
Kontributor Apokalips