Pelajaran Apa yang Kita Peroleh?
(Reportase: Aksi Solidaritas PT. D.I. & Peringatan 9 Tahun Kejatuhan Rezim Soeharto, 21 Mei 2007, Bandung)
1
Hari masih terlalu dini bagiku, pukul delapan, tapi aku telah tiba di Simpang Dago. Semenjak beberapa pekan lalu berada di kota ini, aku tidak pernah menyengaja untuk bangun pagi. Aku memang telah meninggalkan pekerjaan di perusahaan terakhir tempatku bekerja di Jakarta, pada akhir bulan lalu, sehingga selama itulah aku merasa tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menarik tubuhku kuat-kuat dari ranjang setiap paginya. Menurutku, sudah lebih dari cukup untuk menukarkan waktu yang kumiliki dengan suatu keharusan: datang ke kantor pagi-pagi, untuk kemudian mengerjakan sesuatu yang sama sekali tidak kusukai, sepanjang hari. Aku hanya terlalu lelah berkompromi pada sesuatu yang tidak benar-benar aku sukai. Ternyata kompromi menghabiskan sekian banyak energi. Sedangkan aku menyadari bahwasanya ada hal-hal lain yang juga membutuhkan energiku yang tidak sedikit. Dan selama kurang-lebih sebulan aku berkompromi di kantor itu, aku merasa telah kehilangan banyak energi dan waktu yang semestinya bisa kupergunakan untuk melakukan hal-hal yang aku sukai.
Oleh sebab itu, satu hari sebelum tanggal 1 Mei, aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku di kantor tersebut dan segera menyusul kawan-kawan yang saat itu kuketahui sedang berada di Taman Ismail Marzuki.
Maka hari tersebut menjadi satu lagi hari yang ganjil bagiku. Ganjil rasanya berkeliaran di jalanan pada jam-jam seperti itu; jam-jam yang biasanya harus kuhabiskan untuk berada di belakang meja komputer, mengerjakan disain-disain pesanan klien, dan mendengarkan ocehan bos yang menuntutku untuk mengerjakan itu semua dengan cepat. Ganjil rasanya duduk di bangku peron stasiun Cawang pada jam-jam seperti itu, menanti kereta dari arah Bogor datang sembari menyaksikan stasiun tersebut dalam keadaan lengang, tak dipenuhi banyak calon penumpang. Ganjil juga rasanya menerima terpaan cahaya matahari pukul sepuluh, ketika pada pukul sepuluh pagi-pagi sebelumnya kulitku hanya merasakan semilir udara dingin yang mengalir dari AC ruang kerja. Itu semua terasa seperti sesuatu yang mewah bagiku, dan aku merasa kaya. Meski aku pun sadar bahwa keputusanku pada hari itu untuk meninggalkan kantor untuk selama-lamanya berarti memutuskan aliran uang dari rekening bank si bos, sang pemilik modal, ke dalam dompetku.
Sekitar pukul sebelas, kereta rangkaian listrik yang kutumpangi dari stasiun Cawang tiba di stasiun Cikini. Aku turun di sana dan memilih melanjutkan perjalanan menuju Taman Ismail Marzuki dengan berjalan kaki. Karena, menurut ukuranku, jaraknya memang tidak terlalu jauh. Setibanya di sana aku segera saja bisa melihat sekumpulan orang sedang berbaring di depan gedung bioskop twenty-one. Aku menduga bahwa itulah mereka.
Ada sedikit perasaan sungkan terbit dari dalam hati seiring langkahku mendekati kumpulan orang yang sedang berbaring itu. Aku tahu, diriku pasti tidak mengenal sebagian besar dari mereka semua. Sebab hampir setahun telah berlalu semenjak terakhir kali aku terlibat dengan aktifitas mereka, khususnya dengan grup yang ada di Jakarta. Selama berada di luar lingkar aktifitas itu aku hanya mendengar kabar bahwa aktifitas yang mereka lakukan terus berjalan. Bahkan kawan-kawan di Bandung, yang pada suatu hari kudengar telah menamai grup mereka dengan nama ‘Apokalips’, telah mampu berjejaring dengan organ-organ lain. Dan khususnya untuk ‘event’ kali itu, aku pun merasa sangat tertinggal. Sebab, dari kabar yang kudengar juga, sesungguhnya persiapan untuk ‘event’ itu telah mereka sama-sama persiapkan sejak awal tahun 2007 ini.
Aku memang telah melewatkan sekian banyak hal. Karena itu sesungguhnya aku merasa sedikit sungkan untuk muncul secara tiba-tiba di hadapan mereka semua. Terlebih lagi ketika dugaanku terbukti benar adanya, bahwa ternyata dari sekian banyak orang yang sedang berbaring di depan twenty-one itu hanya sedikit saja yang kukenali. Aku tahu mereka dari mana. Mereka adalah individu-individu yang terlibat di dalam grup-grup otonomis dari empat kota di pulau Jawa; Jakarta, Bandung, Salatiga, dan Jogjakarta. Keempat grup tersebut memang telah berhasil membangun jaringan lintas propinsi. Aku belum pernah sama sekali bertemu dengan mereka yang berasal dari Salatiga dan Jogjakarta. Dulu, saat masih terlibat di dalam aktifitas ini, grup otonomis yang aku ketahui telah menjalin hubungan hanyalah grup otonomis yang berada di Jakarta (Jotos) dan Bandung (Apokalips). Dan menurut kabar terakhir yang kudapat, beberapa kawan di Jotos sudah tidak terlibat lagi di dalam grup tersebut. Karena itu aku tidak terlalu kecewa ketika wajah yang pertama kali berhasil kukenali dari sekian banyak yang ada di sana justru bukanlah salah satu dari kawan-kawan Jotos. Melainkan seorang kawan dari Bandung. Aku pun mengambil tempat di sebelahnya; berbaring di lantai yang dingin. Mencari sedikit penghiburan diri dari kenyataan udara Jakarta yang gerah.
2
Aku mulai kedinginan di Simpang Dago. Sampai detik ini belum ada satu pun kawan yang muncul. Layar ponselku menunjukkan pukul setengah sembilan. Setengah jam telah berlalu dari waktu yang sebenarnya sudah kami sama-sama sepakati. Aku yakin sekali semalam tidak salah mendengar. Aku yakin mereka menyebut ‘jam delapan’. Bukan ‘salapan’. Aku sedikit menyesali keputusanku sebelum berangkat tadi untuk memilih kemeja flanel sebagai baju hangat. Sejenak aku membayangkan betapa hangatnya berada di bawah balutan jaket jeans hitamku yang tadi sengaja kutinggalkan menggantung di belakang pintu kamar. Ibuku sempat memastikan apakah aku benar-benar yakin tidak ingin mengenakannya, atau setidaknya membawanya di dalam tas, sebelum akhirnya aku benar-benar meninggalkan jaket itu tergantung begitu saja di belakang pintu.
Pasca hengkangnya aku dari perusahaan advertising di Jakarta itu, tak lama kemudian aku memang langsung melangkahkan kakiku menuju rumah. Rumah orangtuaku. Aku pikir di situ aku bisa tetap bertahan hidup dengan mengharapkan kelebihan nasi dan lauk yang setiap hari ibuku masak. Di samping itu, aku bisa tetap punya tempat untuk tidur. Aku masih menyimpan gaji terakhirku, hasil dari bekerja sebulan lamanya. Tidak seberapa. Apalagi jika dibandingkan dengan biaya hidup di Jakarta yang lumayan mahal, bahkan hanya untuk mendanai transportasi. Itulah beberapa alasan yang melandasi keputusanku untuk pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku, pada saat-saat aku belum memiliki sumber penghasilan lagi.
Tapi ada satu alasan lagi yang sesungguhnya merupakan alasan utama mengapa aku memutuskan untuk mundur ke ‘benteng terakhir’. Alasan yang barangkali sangat absurd apabila ingin dilihat dengan kacamata orang kebanyakan, yang cenderung menjadikan ‘profesi’ sebagai parameter dari layak atau tidaknya seseorang untuk disebut ‘produktif’. Dalam tolak-ukur yang mereka pakai, tentu saja, orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan dan sumber penghasilan seperti aku belum layak untuk disebut produktif. Karena profesi bagi mereka adalah suatu aktifitas yang harus memberikan penghasilan berupa uang dalam periode yang jelas. Maka, meski aku sampai mati-matian membela diriku sendiri bahwa apa yang sedang kukerjakan sekarang merupakan profesiku, mereka tidak akan pernah mengafirmasinya sebelum aku bisa menyodorkan ke depan muka mereka suatu hasil yang berbentuk materi. Sedangkan, alasan utamaku pulang ke Bandung ini bukanlah untuk ‘bekerja’—apabila definisi dari kata itu adalah absolut seperti yang mereka maksudkan—melainkan untuk belajar. Dan aku memang tidak pernah malu untuk mengakui bahwa apa yang kulakukan sekarang, belajar, adalah pekerjaanku, adalah profesiku. Pekerjaan atau profesi yang sedang kujalani dengan sungguh-sungguh dan penuh sukacita. Keinginan untuk belajar ini terpicu oleh rasa iri akan soliditas kawan-kawan dari Apokalips yang aku sendiri saksikan saat aku berjumpa dengan mereka di Jakarta pada awal Mei lalu.
1 Mei pagi hari, di gerbang Taman Ismail Marzuki, keempat grup otonomis dari empat kota itu telah bersiap-siap untuk memulai hari. Para pemakai kendaraan dan pejalan kaki yang kebetulan melewati tempat itu untuk memulai aktifitas harian mereka, tak pelak menjadi tersita sejenak perhatiannya. Ini tentu bukan pemandangan yang biasa mereka saksikan di ruang hidup mereka. Sekalipun dalam konteks ‘1 Mei’, sekalipun masyarakat kita seolah telah ‘teredukasi’ secara verbal dan persepsi mereka telah terbentuk sedemikian rupa lewat fenomena tahunan ini—bahwasanya 1 Mei, yang telah masyarakat kita ketahui dengan nama ‘Hari Buruh’ atau ‘May Day’, pastilah akan menyebabkan jalan-jalan raya kota Jakarta dipenuhi oleh iring-iringan konvoi para buruh yang menuntut libur satu hari, kenaikan upah, dll, sehingga mereka pun sudah hapal jalan-jalan mana saja yang harus dilalui apabila tidak ingin terjebak macet—tetap saja fenomena minor yang mereka lihat pada hari itu di depan gerbang Taman Ismail Marzuki merupakan anomali. Hal ini disebabkan oleh penampilan dan atribut dari para partisan tersebut yang memang berbeda daripada yang pernah mereka lihat sebelumnya. Bukan hanya pakaian, spanduk dan bendera yang sama sekali tidak merepresentasikan suatu organisasi tertentu, tapi juga karena pagi itu mereka seolah dengan sengaja ingin mencuri perhatian seluruh makhluk di planet ini dengan menciptakan bunyi-bunyian yang dihasilkan dari kaleng-kaleng bekas sebagai perkusi dadakan.
Sesungguhnya bukan hanya para pemakai kendaraan dan pejalan kaki itu saja yang ‘antusias’ menyaksikan fenomena minor yang terjadi pagi itu. Aku pribadi pun merasa antusias dengan fenomena ini. Jujur saja, aku tidak pernah tertarik untuk ikut turun ke jalan pada May Day-May Day sebelumnya. Karena May Day yang ada selama ini sungguh mengesankan ekslusifitas. 1 Mei, yang memang telah terlanjur diketahui oleh mayoritas masyarakat kita sebagai ‘Hari Buruh’, pada akhirnya benar-benar diinterpretasikan secara harfiah. Dimana mayoritas masyarakat kita pada akhirnya merasa bahwa May Day bukanlah hari mereka ketika mereka merasa dirinya bukanlah ‘buruh’. Sebab ‘buruh’ itu sendiri telah terlanjur teridentifikasi sebagai suatu profesi yang lingkungan pekerjaannya adalah pabrik. Sedangkan mereka yang lingkungan pekerjaannya ada di dalam ruang kantor yang ber-AC, merasa dirinya bukanlah buruh dan praktis merasa tidak memiliki May Day. Tetapi dengan pendefinisian-ulang mengenai May Day yang dilakukan oleh jejaring grup otonomis ini—bahwa May Day bukanlah Hari Buruh, melainkan Hari Anti-Kapitalisme—masyarakat diedukasi bahwa hari ini merupakan hari milik mereka semua yang merasa masih bekerja untuk para pemilik modal. Dan metode edukasi atau penyampaian wacana ini sendiri disampaikan di dalam satu hari tersebut dengan dua bentuk: 1) tulisan, yakni dengan mempublikasikan selebaran-selebaran kepada masyarakat, 2) dengan aksi itu sendiri yang merupakan sebuah pernyataan bahwa May Day bukanlah milik buruh (pabrik) saja, tapi milik semua orang yang sedang, ataupun akan, tertindas oleh Kapitalisme; yang untuk membuktikan hal tersebut para partisan dalam jejaring otonomis ini tidak mengenakan atribut, spanduk, atau membawa panji-panji generik yang identik dengan demonstrasi-demonstrasi buruh dari tahun ke tahun.
Salah satu selebaran yang menurutku paling atraktif adalah selebaran yang diproduksi oleh kawan-kawan Apokalips. Mereka menamainya ‘Jurnal Apokalips’. Jurnal ini dalam tujuannya mengkampanyekan perlawanan terhadap Globalisasi atau Neoliberalisme, kini telah terbit secara periodik dua bulan sekali dengan disain tampilannya yang menarik. Aku salut pada konsistensi yang dimiliki oleh grup dari Bandung ini, juga pada cara mereka menggalang soliditas antara masing-masing individu di dalamnya sehingga bisa konsisten bekerja sama dalam aktifitas yang mereka lakukan. Terlebih lagi ketika aku sempat mendengar bahwa di Bandung, mereka juga telah mengadakan kelas fisafat-ekonomi politik dalam seminggu sekali, yang mana ini menjadi landasan mereka secara teoritis maupun praktis.
Maka setelah hari itu selesai, setelah para partisan aksi dari keempat kota itu secara berangsur-angsur pulang ke rumah mereka masing-masing dengan berbekal pegal pada otot kaki mereka masing-masing akibat long-march yang telah dilakukan seharian, aku pun berbekal sebuah niat di dalam dada untuk belajar lebih banyak mengenai pembentukan grup/kolektif otonomis dan juga mengenai filsafat-ekonomi politik dari sebuah grup yang menurutku telah mencapai suatu tingkat keberhasilan. Untungnya, pada saat itu aku telah memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan di kantor, sehingga aku mempunyai waktu senggang untuk mewujudkan niat. Dan untungnya lagi, aku juga masih memiliki keluarga yang menetap di kota tempat grup ini berdomisili.
3
Bandung memang istimewa. Hampir pukul sembilan, tapi udaranya masih bisa membuatku menggigil. Aku mulai membakar rokok, sambil berharap cara ini bisa sedikit menghangatkan tubuhku. Cara ini juga kutempuh untuk mengusir rasa bosan akibat menunggu terlalu lama; empatpuluh lima menit. Aku mulai merasa rikuh karena duduk sendirian di trotoar. Aku merasa mata para penumpang di dalam angkot yang terhenti persis di depanku karena lampu merah seolah mengarah kepadaku, dan bertanya: apa yang orang itu lakukan di Simpang Dago dengan duduk di trotoar pada pagi-pagi seperti ini? Apakah dia mahasiswa Unpad? Apakah dia tidak mempunyai pekerjaan? Apakah dia seorang penjahat? Apakah dia tidak? Lalu apa yang dia lakukan di sana?
Tiba-tiba seorang remaja berdandan ala punker berdiri di depan pintu angkot tersebut dan mulai memainkan dawai-dawai gitar yang ditentengnya. Aku tidak tahu lagu apa yang dinyanyikannya. Terdengar seperti lagu pop Indonesia. Ketika lampu lalu-lintas kembali beralih ke hijau, dengan tangkas sang gitaris segera menghentikan permainan gitarnya dan menyodorkan ke hadapan semua penumpang angkot tersebut sebuah botol plastik yang telah ia buang tiga perempat bagian atasnya. Lalu ia menyingkir dari jalanan agar tidak tertabrak kendaraan-kendaraan yang mengarah ke Jalan Dipati Ukur dan kembali duduk beberapa meter di sebelah kananku, untuk kemudian mengulanginya pertunjukkannya nanti ketika lampu merah itu kembali menyala. Mungkin baginya lampu merah itu sudah seperti suara penonton yang meneriakkan “Encore!”.
Cahaya matahari yang memantul di aspal mulai terlihat semakin terang. Tapi tempatku duduk ini tampaknya memang terlindung dari terpaan langsung cahaya matahari. Mc Donalds yang berdiri di belakangku menjadi benteng pelindungku. Belum beberapa lama tadi, aku menerima sebuah SMS dari seorang kawan yang hari ini juga sudah berjanji untuk ikut berpartisipasi. Katanya, ia tidak bisa datang awal dikarenakan harus ke sekolahnya terlebih dahulu untuk mengurus beberapa hal seputar pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi negeri. Tapi dia akan menyusul nanti setelah urusannya selesai; sekitar pukul sepuluh. Maka pikiranku secara otomatis menghapus wajahnya dari list-orang-yang-sedang-kutunggu.
Aku memang tidak tahu dari arah manakah kawan-kawanku akan datang. Dari arah kanan kah, kiri kah, depan kah, atau belakang. Aku tidak tahu. Oleh karena itu sejak tadi aku tidak henti-hentinya bercelingukan, sembari berharap satu titik pandanganku akan bertumbukan dengan satu wajah yang kukenal. Tapi ternyata nihil. Lagi-lagi pandanganku hanya bertumbukan dengan pandangan para penumpang angkot yang sedang terhenti persis di depanku karena lampu merah. Ini mulai terasa menyebalkan.
Jauh di seberang sana, di depan Circle K, pandanganku menangkap sekumpulan anak muda. Mereka datang satu persatu sejak setengah jam yang lalu; tak lama setelah aku menduduki tempat ini. Mereka terdiri dari lelaki dan perempuan. Sebagian terlihat duduk persis di depan toko tersebut, sebagian yang lain berdiri tak jauh dari sana. Beberapa menit yang lalu aku sempat menduga bahwa mereka adalah mahasiswa Unpad yang, entah karena alasan apa, ingin duduk-duduk dulu di sana sebelum memasuki gerbang kampus mereka secara bersama-sama. Tapi setelah coba kuingat-ingat lagi bahwa jarak antara Unpad Dipati Ukur dengan Circle K Simpang Dago cukup jauh apabila ditempuh dengan berjalan kaki, aku mulai meragukan dugaanku sendiri. Sebab untuk apa mereka berkumpul terlebih dahulu di satu tempat dengan tujuan berangkat bareng ke kampus, apabila nantinya jumlah itu akan kembali terbagi lagi dengan daya muat angkot yang maksimal hanya menampung enam belas orang; itu pun dengan asumsi jika angkot tersebut betul-betul kosong. Sedangkan jumlah mereka paling sedikit kira-kira ada duapuluhan. Mereka terlalu banyak, dan mereka terlalu lama berada di sana apabila mereka memang menjadikan tempat itu sebagai tempat transit. Ah, sebenarnya aku saja yang terlalu mencampuri urusan mereka.
Sebenarnya aku juga sempat menduga kalau mereka adalah orang-orang dari FPR (Front Perjuangan Rakyat). FPR adalah semacam aliansi dari beberapa organ yang ada di Bandung; Apokalips termasuk pula di dalamnya. Dan kalau memang benar bahwa mereka adalah orang-orang dari FPR, seharusnya aku tidak perlu sungkan untuk menyeberang dan segera bergabung saja dengan mereka duduk di depan Circle K itu, dengan sekadar bermodalkan kalimat: “saya mewakili Apokalips”. Setidaknya itu akan lebih baik daripada duduk sendirian di depan Mc Donalds. Tapi seandainya mereka memang benar dari FPR, rasanya juga aku tetap akan memilih untuk duduk di sini sampai kawan-kawanku yang lain datang. Karena aku memang tidak mengenal satu pun dari mereka. Tiga malam yang lalu, hari Jum’at, aku datang ke acara ulang tahun salah satu organ FPR. FMN namanya. Front Mahasiswa Nasional. Namun, di sana aku memang tidak sempat berkenalan dengan sesiapapun.
4
Kelas filsafat-ekonomi politik Apokalips adalah kelas yang menyenangkan. Mereka tidak menciptakan suasana yang tegang dan terlampau serius saat kelas sedang berlangsung. Justru sebaliknya, mereka menciptakan suasana yang santai—bahkan terkadang mereka menyisipkan sesi minum bir bersama di tengah-tengah prosesi belajar—untuk membuat suasana kelas tidak terkesan menyeramkan. Walau memang tidak semuanya diharuskan untuk menenggak bir tersebut. Aku mengikuti setiap materi yang sedang dibahas dengan semangat. Akan tetapi aku memang telah tertinggal banyak materi. Tapi untunglah Apokalips punya program percepatan yang diperuntukkan bagi mereka yang tidak mengikuti kelas ini dari awal pertemuan. Program percepatan ini juga diadakan setiap minggu sekali, namun diletakkan di hari yang berbeda dengan kelas utama yang berjalan simultan.
Kedatanganku ke Bandung awal bulan lalu, yang bertujuan untuk belajar bersama Apokalips, ternyata tidak menjadikanku satu-satunya ‘orang baru’ yang masuk ke dalam kelas tersebut. Bersamaan dengan malam perdanaku di kelas Apokalips, ada dua orang yang juga baru datang ke dalam kelas itu. Konsekwensinya, tiga orang baru ini—termasuk aku di dalamnya—mau tidak mau harus mengambil program percepatan apabila memang betul-betul ingin ikut tumbuh bersama Apokalips.
Jum’at ketiga di bulan Mei, aku datang ke kampus Unpad Dipati Ukur demi bisa mengikuti program percepatan Apokalips. Malam itu hujan sedang mengguyur kota Bandung dan udara sedang dingin-dinginnya. Saat itu aku tidak mengerti mengapa mereka memilih kampus orang lain untuk menyelenggarakan acara kecil sebuah grup kecil yang tidak ada hubungannya dengan institusi kampus tersebut. Aneh, pikirku. Tapi akhirnya tanpa banyak bertanya, aku datang juga ke sana. Karena aku memang sedang giat-giatnya belajar.
Sesampainya di kawasan kampus itu, aku langsung menuju pendopo masjid, tempat yang telah kami sepakati sebelumnya sebagai tempat untuk bertemu. Namun ternyata di sana aku tidak menjumpai satu Apokalips pun. Maka aku mengirim SMS kepada temanku yang rencananya malam ini akan membagikan fotokopian materi percepatan untuk dibaca-baca di rumah. Tak lama kemudian, aku melihatnya datang mendekati pendopo. Aku agak heran melihatnya datang sendirian, kemudian aku pun bertanya padanya, kemana yang lainnya? Ia menjawab, yang lainnya ada di belakang, sembari ia berjalan ke arah yang dimaksud itu. Aku mengekorinya. Di tengah perjalanan ia bertanya padaku, apakah aku tahu bahwa malam ini ada acara ulang tahun FMN. Aku tertegun.
Setibanya kami di satu lokasi yang agak tertutup dari dunia luar, aku sempat berkelakar pada teman Apokalipsku itu: “Wah, kayaknya saya dijebak nih ya? Katanya mau ngebagiin materi?”. Ia hanya tertawa. Berikutnya aku sudah tidak bisa banyak berkata-kata lagi. Karena kami berdua telah berada di tengah-tengah sebuah prosesi acara. Aku mendengar M.C. acara itu meminta para hadirin untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Ketika semua orang di sana sedang menyanyikan lagu kebangsaan itu, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan di satu sudut, aku menemukan dua orang lagi kawan Apokalips sedang bersandar di tembok sembari merokok dengan santainya. Salah satunya adalah orang yang baru bergabung dengan Apokalips. Mereka melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya dengan senyuman. Seselesainya Indonesia Raya terkumandangkan, aku dan kawan Apokalipsku yang menjemputku di pendopo masjid tadi menghampiri mereka berdua.
Sementara M.C. sedang mengucapkan selamat ulang tahun untuk FMN, aku mendengar ketiga kawan Apokalipsku itu sedang saling tunjuk mengenai siapa nanti yang akan menjadi pembicara mewakili Apokalips. Aku sendiri masih bingung mengapa aku bisa berada di sana. Otakku masih sibuk mencerna data-data yang tiba-tiba datang tanpa kuharapkan: mengenai apa itu ‘FMN’, mengenai acara apa sesungguhnya yang sedang berlangsung ini, mengenai siapa-siapa saja orang-orang di sekelilingku ini yang sering sekali mengacungkan kepal tangan kiri mereka di udara sembari meneriakkan yel-yel yang tidak kukenal.
5
Aku mulai yakin bahwa sekumpulan anak muda di depan Circle K itu adalah orang-orang yang akan ikut melakukan aksi pada hari ini. Karena aku melihat salah satu dari mereka menenteng-nenteng megaphone berwarna putih. Tapi aku tetap tidak yakin untuk menyeberang dan menghampiri mereka. Karena aku belum sepenuhnya yakin apakah mereka adalah orang-orang dari FMN, ataupun dari organ-organ lain yang tergabung di dalam FPR. Sekalipun iya, aku pun akan memilih untuk duduk di sini sampai kawan-kawanku yang lain datang. Karena aku memang tidak mengenal satu pun dari mereka.
Sepuluh menit lagi jam akan menunjukkan pukul sembilan. Tapi kedua kawan Apokalipsku yang sejak tadi kunantikan belum juga datang. Yang seorang lagi sudah kuhapus dari list-orang-yang-sedang-kutunggu pagi ini. Karena ia tadi sudah mengabarkan bahwasanya ia tidak bisa ikut start dari Simpang Dago. Ia akan menyusul kami sekitar jam sepuluh.
Semalam, ketika kawan-kawan Apokalips sedang membantu kolektif Food Not Bombs untuk mendistribusikan makanan, aku dimintai tolong untuk berpartisipasi dalam sebuah aksi yang akan berlangsung keesokan paginya. Aksi solidaritas PT. DI dan sekaligus memperingati sembilan tahun jatuhnya rezim Soeharto. Aku langsung mengiyakan. Tapi saat aku bertanya siapa saja dari Apokalips yang besok ikut turun, aku sedikit galau ketika hanya tersebutkan empat nama, yang di dalamnya termasuk aku sendiri. Yang lainnya tidak bisa ikut karena harus bekerja. Aku hanya belum mengerti pola aksi seperti apa yang akan dilaksanakan. Dan dengan jumlah yang hanya empat partisan, aksi seperti apa yang bisa dilakukan; apalagi melihat konteks aksi tersebut adalah aksi solidaritas PT. DI Bandung. Saat itu segera terbayang di benakku ribuan orang mantan pekerja PT. DI yang akan turun ke jalan. Dan terbayang juga jumlah kami yang hanya berempat. Pastilah kami hanya akan jadi setitik debu di padang pasir.
“Taktik apa yang akan kita pakai besok?” tanyaku pada salah seorang yang besok juga akan ikut.
“Ngga ada taktik. Kita ikut-ikutan aja,” jawabnya.
Oh begitu, ujarku dalam hati. “Tapi jangan lupa pakai kafiah,” ujarnya lagi.
6
Kafiah adalah kain bermotif kotak-kotak hitam-putih. Melihat kain itu dikenakan oleh seorang kawan dari Bandung sewaktu aksi May Day di Jakarta, pikiranku tidak bisa mengelak dari bayangan akan sosok orang-orang islam. Saat May Day lalu, aku sudah mengira bahwa kafiah merupakan dress-code-nya Apokalips. Karena aku melihat semua kawan yang datang dari Bandung waktu itu mengenakannya untuk menutupi wajah mereka. Aku sendiri waktu itu mengenakan slayer berwarna hitam sebagai penutup wajah.
7
Pukul sembilan kurang lima menit, dua kawan Apokalipsku baru tiba. Aku segera bertanya pada mereka apakah orang-orang yang sedang duduk di depan Circle K itu adalah orang-orang dari FPR. Menyimpan pertanyaan itu selama satu jam membuatku tidak mampu menahannya lagi ketika orang yang dapat kutanyai sudah ada di depanku. “Iya. Mereka dari FPR,” salah satu dari mereka menjawab.
“Ada yang kamu kenal?” tanyaku lagi.
“Ngga ada.”
“Lho?”
“Ngga apa-apa. Kita tinggal pakai kafiah aja. Mereka akan langsung tahu kok kalau kita dari Apokalips.”
Mereka berdua mengeluarkan kain kotak-kotak hitam-putih itu dari dalam tas mereka masing-masing. Dan segera mengenakannya di tempat itu juga, di depan Mc Donalds, di pinggir jalan raya. Aku berpikir ini terlalu vulgar. Maka aku tidak mengikuti cara mereka. Aku tetap membiarkan kafiah pinjaman dari seorang teman Apokalips yang hari ini tidak bisa ikut berada di dalam tas.
Seselesainya mereka berdandan, kami bertiga pun menyeberangi jalan menuju Circle K. Salah seorang dari kami langsung menyambangi seseorang dari FPR. Mungkin melakukan semacam koordinasi kecil, pikirku. Sementara itu aku mengambil tempat untuk duduk di depan ATM. Di sana aku mengeluarkan kafiah dari dalam tas dan segera mengenakannya. Kawan yang tadi berkoordinasi dengan FPR menghampiri, ia membagikan selebaran-selebaran yang diproduksi oleh FPR kepadaku dan kawan yang satu lagi. Ketika baru saja hendak membacanya, aku melihat iring-iringan mulai bergerak. Maka aku dan kedua kawan Apokalips yang lain pun segera menyusul mereka.
Di tengah-tengah persimpangan jalan, aliansi ini membentuk lingkaran. Lagu ‘Darah Rakyat’ mulai dinyanyikan secara bersama-sama. Pada saat itu aku melihat dua polisi bermotor datang menghampiri. Namun, sepertinya mereka tidak terlihat akan mengintimidasi. Mereka hanya mengatur jalannya lalu lintas agar tidak terpaku pada kejadian yang sedang berlangsung di tengah-tengah jalanan itu. Setelah selesai menyanyikan lagu, salah seorang dari FPR yang mengenakan bandana berwarna merah langsung berorasi. Cukup lama juga.
Selanjutnya aliansi ini melanjutkan aksi dengan mulai melakukan long-march. Si bandana merah sempat berkata, “mari kawan-kawan, kita segera bergerak ke Taman Cikapayang. Kawan-kawan yang lain sudah menunggu di sana.”
Kami menyusuri sepanjang Jalan Dago yang saat itu cukup lengang. Sesekali beberapa peserta aksi dari dalam barisan kami membagikan selebaran kepada orang-orang yang berada di pinggir jalan. Sembari berjalan barisan ini tak henti-hentinya menyanyikan lagu-lagu yang sama sekali tidak kuhapal. Aku hanya bisa menerka judul lagu itu saja. Darah Juang, Darah Rakyat, dan Internasionale. Dan si bandana merah itu terlihat sangat bersemangat. Sepanjang jalan ia tidak henti-hentinya berorasi.
Aliansi ini tiba di kolong jembatan layang Pasupati sekitar pukul setengah sepuluh. Kami berhenti di sana. Aku mulai merasa gerah berada di balik balutan kafiah. Sebetulnya aku ingin melepaskannya sebentar. Ingin merokok juga sedikit. Tapi aku menahan semua keinginan itu karena ingin berusaha konsisten. Sementara itu aku melihat si bandana merah mulai berorasi lagi. Dia benar-benar luar biasa. Berikutnya, perwakilan dari tiap organ melakukan orasi secara bergantian. Kecuali dari Apokalips. Entah kenapa, aku pribadi pun merasa ragu-ragu untuk menyuarakan apa-apa yang ada di kepala. Mungkin begitu pula dengan kedua kawanku. Aku pikir, apa-apa yang mereka semua tuntut kurang maksimal. Salah satunya mereka menuntut untuk diselesaikannya agenda-agenda reformasi. Sedangkan pada poin-poin berikutnya mereka menolak privatisasi, komersialisasi, sistem outsourcing, dll. Aku hanya berpikir, bagaimana bisa kedua hal itu bersinergi satu sama lain. Bukankah poin-poin yang mereka tuntut itu hanya akan terlaksana apabila bukan reformasi semata yang terealisasi, melainkan perubahan yang seungguhnya? Apakah mereka benar-benar menginginkan sebuah perubahan?
Karena itu aku ragu untuk mau berorasi. Aku hanya tidak ingin Apokalips terlihat kontras bila disandingkan dengan organ-organ lain, sementara jumlah partisan Apokalips yang hadir pada hari ini sangatlah minor.
Setengah jam lamanya kira-kira aliansi ini berdiri di kolong jembatan layang. Beberapa organ lain seperti FAMU, HMR, dan KMD juga langsung bergabung ke dalam barisan begitu mereka tiba di sana. Pukul sepuluh barisan ini mulai bergerak lagi. Kali ini tujuannya adalah Gedung Sate.
8
FPR tiba di depan Gedung Sate kurang lebih setengah jam kemudian. Seperti biasa, pagar kantor DPRD tersebut telah tertutup rapat. Aku mendengar si bandana merah berkata lewat megaphonenya: “Ini adalah gedung rakyat. Tapi kenapa rakyat tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya?!”
Kenapa ya kok aku jadi semakin merasa ini semua seperti sebuah sandiwara? Ini semua seperti sebuah drama yang sudah di-set skenarionya sedemikian rupa. Ada barisan polisi yang berdiri berjaga-jaga di dalam sana, ada demonstran yang berteriak-teriak di luar sini. Lalu bisakah ritual semacam ini menciptakan sebuah perubahan?
Aku tahu, apabila ada seorang saja yang mencoba melakukan improvisasi, melakukan hal di luar dari skenario yang sudah ada, pastilah ia akan segera ditarik keluar dari panggung sandiwara ini. Tuduhannya standar: provokator atau anarkis. Seperti itu selalu. Menyebalkan. Lalu di mana letak demokrasi apabila semua orang yang berada di dalam sistim ini sesungguhnya tidak pernah benar-benar mempunyai kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri; melainkan selalu harus hidup sesuai dengan skenario yang sudah ditentukan.
Sinar matahari mulai menyengat kulit. Beberapa kawan dari FPR sedang menggantungkan karton-karton berisi slogan-slogan aksi di pagar. Slogan itu berbunyi: “Laksanakan Reforma Agraria = Tanah Untuk Rakyat” dan “Realisasikan 20% Anggaran Untuk Pendidikan, Stop Privatisasi Lembaga Pendidikan”. Pada saat itu datang dua orang lagi kawan dari Apokalips. Mereka mengendarai sepeda motor. Akan tetapi mereka tidak ikut bergabung ke dalam barisan, entah apa alasannya. Tapi menurut perkiraanku waktu itu, mereka datang hanya sebagai seksi dokumentasi saja.
Pukul 10.45, suara sirene yang tiba-tiba muncul mengejutkan aku. Itu adalah rombongan dari SP-FKK PT. DI (Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT. Dirgantara Indonesia). Mereka membawa satu mobil kijang berwarna biru ber-bak terbuka. Mobil itu difungsikan sebagai panggung berjalan. Di belakangnya, mengekor puluhan sepeda motor yang merupakan rombongan SP-FKK PT. DI. Aku melihat beberapa orang membopong sesuatu yang terlihat seperti kurun batang. Kurun batang tersebut ditutupi kain berwarna hijau, persis sungguhan. Di sisi kanan kirinya tertera tulisan “Inalillahi Wainaillaihi Rojiun. Matinya Hukum. Akibat Jaksa Rakus Uang.”
Seseorang berambut ikal dan gondrong terlihat berdiri di atas panggung berjalan. Wajah pria itu mengingatkan aku pada Sujiwo Tejo, hanya saja yang ini dalam versi lebih gemuk. Ia terlihat seperti M.C. yang sedang membawakan sebuah acara. Suaranya yang garang sepertinya menjadi modal bagi dia untuk diberi kehormatan berada di atas panggung berjalan itu.
SP-FKK PT. DI hari itu ternyata membawa wacana mengenai adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Direksi PT. DI yang merugikan negara sebesar 241, 5 Milyar rupiah. Mereka juga menduga bahwa Kejaksaan Tinggi menghindar untuk meneruskan ke arah penyidikan. Karena itu sang M.C. dari SP-FKK PT. DI mengajak seluruh peserta aksi untuk bersama-sama menuju Kejaksaan Tinggi Jabar. Rombongan peserta aksi yang kali itu telah merupakan gabungan dari barisan FPR dan SP-FKK PT. DI, mulai sama-sama melakukan long-march ke Kejaksaan Tinggi. Dua orang kawan Apokalips yang tadi mengendarai sepeda motor tidak bergabung dalam long-march. Tapi mereka berjanji bahwa kita akan segera bertemu lagi di Kejaksaan Tinggi.
Di sepanjang perjalanan, aku menyaksikan orang-orang sedang berdiri di tepi jalan dan menontoni kami semua. Aku seketika teringat pada hal seperti ini yang terjadi juga di Jakarta saat May Day lalu.
9
Mereka berdiri dan mematung di sana. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentang apa yang sedang kami lakukan. Mungkin mereka berpikir bahwa kami adalah orang-orang yang kurang-kerjaan sehingga mencari-cari persoalan yang bisa dipikirkan. Atau mungkin mereka berpikir bahwa kami adalah orang-orang yang tidak pernah bersyukur pada keadaan. Atau mungkin mereka berpikir bahwa kami hanyalah segerombolan pengacau yang senang memanfaatkan momen-momen semacam ini untuk membuat semacam kekacauan dan menyebabkan kemacetan jalan. Atau mungkin mereka tidak berpikir apa-apa. Mereka berdiri saja di sana. Mereka mematung saja di sana. Sementara kami di sini berjuang atas nama kelas. Kelas yang sebenarnya sama seperti kelas di mana mereka berada. Yaitu kelas pekerja. Seandainya mereka sadar, bahwa hanya ada dua kelas di dalam tatanan masyarakat sekarang--Kelas Pekerja dan Kelas Penindas—apakah mereka masih tetap diam dan mematung saja di sana, membiarkan diri mereka sendiri terus ditindas?
10
Jam setengah duabelas, rombongan tiba di depan Kejaksaan Tinggi, Jalan RE. Martadinata. Dua kawan Apokalips yang tadi berpisah dengan kami di Gedung Sate pun sudah tiba. Di sana terlihat beberapa mobil truk polisi sudah terparkir di sisi kanan dan kiri jalan. Puluhan aparat polisi pun terlihat telah bersiaga di dalam dan luar pagar Kejaksaan Tinggi. Mobil kijang ber-bak terbuka yang dibawa oleh SP-FKK PT. DI diparkirkan persis di depan gerbang. Sementara itu rombongan aksi tetap berdiri di belakang mobil tersebut.
M.C. yang berwajah mirip Sujiwo Tejo itu mulai berbicara lagi. Tak lama kemudian ia mempersilakan Acil Bimbo untuk naik ke atas panggung dan berorasi. Acil berorasi, tapi aku tidak mendengarkan lagi. Aku sudah mulai bosan dengan ini semua. Bahkan ketika orator berganti berkali-kali pun, aku tidak memperhatikan siapa-siapa saja mereka dan mewakili organ apa saja mereka. Yang aku dengar, mereka semua menyahut: “Betul! Betul!” setiap kali para orator menciptakan jeda antar satu kalimat ke kalimat lain.
11
Betul… betul… membosankan.
12
Setengah jam kemudian terjadi aksi saling dorong antara rombongan aksi dengan aparat polisi yang membuat barikade di depan gerbang. Sebuah aksi simbolis, menurutku. Kalau ini memang serius, mengapa kita harus diatur “satu dua tiga…. Dorong, Kawan-kawan! Oke, sekarang mundur lagi empat langkah…”. Apa-apaan? Tapi aku tetap ikut-ikutan. Aku pikir ini lumayan untuk menghilangkan kebosanan.
Saat aku sedang asyik-asyiknya main dorong-dorongan dengan pak polisi, tiba-tiba aku merasakan panas di punggung. Oh, ternyata itu api. Hampir saja bajuku terbakar karena tidak sadar bahwa sedang terjadi aksi bakar-bakaran persis di belakangku. Tapi lagi-lagi, ini hanya simbolis. Mereka membakar kurun batang yang sejak tadi mereka bawa-bawa. Apinya lumayan besar. Asap hitam segera saja membumbung ke udara, membuat orang-orang di sekitarnya menyingkir sembari menutup hidung mereka masing-masing. Untunglah aku mengenakan kafiah. Dan aku tak mampu menahan tawa ketika orang-orang dari SP-FKK PT. DI mulai mengelilingi api itu seperti Indian yang sedang berpesta. Tapi sekali lagi, untunglah aku mengenakan kafiah—sehingga tak ada yang pernah melihatku tertawa pada saat itu.
Tiba-tiba dari kerumunan, aku melihat seorang perempuan menggunakan baju hitam dan menenteng-nenteng kafiah. Dia adalah teman Apokalips satu lagi yang tadi pagi mengatakan akan segera menyusul dari sekolah. Aku merasa lebih percaya diri. Karena kini jumlah kami menjadi enam orang. Dua kali lebih banyak apabila dibandingkan dengan jumlah kami tadi pagi saat berangkat dari Simpang menuju Gedung Sate.
Lima belas menit kemudian, pihak Kejaksaan Tinggi mengijinkan 10 orang perwakilan untuk masuk. Jatah 5 orang untuk perwakilan SP-FKK PT. DI, dan sisanya untuk FPR. Tak ada satu pun dari Apokalips yang ikut masuk ke sana. Saat 10 orang perwakilan itu berada di dalam, entah untuk melakukan apa, kami—rombongan yang ditinggal di luar—dihibur oleh orasi-orasi. Lagi.
13
Sejam telah berlalu. Kalau saja ada ranjang di sana, aku pasti telah tidur sejak tadi. Mataku memang masih mengantuk akibat bangun terlalu pagi. Dan akhirnya sepuluh orang perwakilan itu keluar juga dari dalam. Beberapa orang yang di luar meneriakkan dengan nafsu, “suruh mereka keluar! Tarik mereka keluar!”. Tapi pintu gerbang besi itu lekas-lekas menutup kembali setelah orang ke sepuluh dari perwakilan SP-FKK PT. DI dan FPR telah berada di luar.
“Gimana, Pak?” tanya seseorang dari rombongan yang tidak ikut masuk. Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Dan si penanya pun tertawa. Barangkali ia menertawakan dirinya sendiri yang sedang bersandiwara.
Tak lama setelah itu, sang M.C. pun mulai menutup acara hari itu. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung acara itu berjalan dengan lancar. Kepada seluruh rombongan partisan dari SP-FKK PT. DI dan juga FPR, kepada aparat kepolisian, kepada seluruh pihak-pihak di kantor Kejaksaan Tinggi. Dan acara hari itu pun berakhir dengan meninggalkan sampah-sampah berserakan di tengah jalan.
_______
Maulana Kamil
0 tanggapan:
Posting Komentar