“Some set their hearts on a rocking chair. The better to sleep out the days. But I'm looking for a reason to kick and scream. I don't want to fade away.”
―Chumbawamba, Fade Away (I Don’t Want To)
Setelah mengajak Yana ber-high five, aku dan Edi segera meninggalkan kantor. Meninggalkannya yang tampaknya akan menetap lagi malam ini. Sembari berjalan menuju lift, aku menyempatkan diri menoleh ke belakang sekali lagi. Kemudian merasa high five tadi tidak cukup berhasil. Kelelahan itu masih kentara di wajahnya, meski ia telah mengusahakan sebuah senyuman saat telapak tangannya dan telapak tanganku tadi berjumpa di udara.
Aku maklum jika ia lelah. Pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali, memang menjadi suatu konsekwensi yang telah dijalaninya akhir-akhir ini semenjak terpilih sebagai salah satu orang yang akan dipersiapkan menjadi presenter.
“Anjir, kasian banget tu anak,” kata Edi, ketika kami sama-sama memasuki pintu lift yang sudah siap mengantar ke lantai dasar.
Untuk itulah aku mengajaknya ber-high five. Aku tidak suka merasa kasihan pada seseorang tanpa berbuat sesuatu apapun untuk berusaha menolongnya. Tapi kali ini, aku sungguh-sungguh merasa tidak bisa berbuat banyak. Karena bagaimanapun juga, apapun yang tengah kita masing-masing hadapi saat ini adalah konsekwensi yang harus kita terima setelah memilih untuk bekerja di sini. Maka rasa kasihanku itu hanya bisa terejawantahkan ke dalam suatu ajakan untuk tetap kuat. Kuat untuk menyongsong setiap konsekwensi dari pilihannya sendiri.
Bagiku, yang terpenting pada saat-saat seperti ini—ketika waktu hidup dalam duapuluh empat jam hanya dapat diisi dengan bekerja dan tidur—adalah bagaimana caranya mengusahakan pekerjaan menjadi sesuatu yang benar-benar dapat kunikmati. Apabila tidak, itu sama artinya aku tidak akan menikmati hidup itu sendiri, sama sekali.
“Apalagi kalo dateng ke kantor udah sampe bikin muntah-muntah, berak-berak… Itu sih udah nyiksa banget, men!” ujar Edi sembari wajahnya terlihat meringis.
Ketika mobil Kijang yang kami tumpangi melaju di jalan Gatot Subroto yang sudah lengang, Edi mulai bercerita mengenai seorang temannya yang pernah bekerja di E&Y. Aku mendengarkan kisahnya sembari menikmati rokok yang sudah kunyalakan sejak di tempat parkir.
Di perusahaan itu, ungkap Edi, ia telah berada pada suatu pencapaian yang lebih dari lumayan. Penghasilan lima juta rupiah sebulan. Tapi bekerja di perusahaan akuntan publik terkemuka semacam itu membuat hari-harinya hanya dipenuhi dengan imaji akan uang-uang yang tidak pernah menjadi miliknya. Keuntungan puluhan perusahaan besar yang bernilai puluhan milyar rupiah, hanya bisa singgah di pelupuk matanya sebagai akuntan, tanpa bisa ia mengenyam nilai sebanyak itu. Kecuali itu, ia merasa tidak pernah mempunyai banyak waktu untuk melakukan hal lain selain bekerja dan tidur. Sebab mengurusi keuangan satu perusahaan saja, bisa memakan waktu sampai dua minggu. Pada saat-saat itulah—ketika ia sudah tidak dapat menikmati detik demi detik yang ia jalani, ketika pekerjaannya membuatnya merasa terasing dari apa yang ia kerjakan, dan ketika ia datang ke kantor hanya karena keharusan belaka—tubuhnya pun mulai berontak.
“Muntaber maksud lo, Ed?”
“Ha-ha! Bukan muntaber. Tapi muntah-muntah dan berak-berak karena udah muak ama apa yang dia kerjain,” terang Edi.
Pikiranku pun serta-merta mengenang beberapa kawan di perusahaan tempatku bekerja saat ini, yang beberapa hari belakangan sempat mengeluh padaku. Mereka mulai merasa keberatan dengan sistem perusahaan ini karena jam kerjanya yang tidak menentu. Sesuatu yang membuatku tak habis pikir kenapa dulu mereka memilih profesi yang, seperti dikatakan oleh Luwi Ishwara dalam bukunya: Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, “wartawan, entah yang bekerja di surat kabar; majalah, radio, televisi, maupun yang di internet beroperasi 365 hari setahun dan 24 jam sehari. Seseorang tidak berhenti menjadi wartawan setelah pukul 5 sore seperti layaknya orang yang bekerja di kantor.”
Aku memerhatikan batang rokokku yang sengaja tak kutempatkan di dalam badan mobil, tapi tersemat di sela-sela jemari tangan kiriku yang tersodor ke luar jendela. Gesekan angin membuat rokok itu terbakar lebih cepat tanpa harus kuhisap. Saat itu juga aku merasakan relatifitas waktu. Waktu akan terasa lebih cepat mengikis habis ragaku, saat aku tidak dapat bersahabat dengannya dan menikmatinya. Sebisa mungkin aku harus segera menemukan kenikmatan dari apapun yang kukerjakan saat ini, apabila tidak ingin menemui ragaku sendiri berontak membunuhku.[]
0 tanggapan:
Posting Komentar