14 Desember 2006

KENANGAN DAN IMPIAN

Kenangan itu terbuat dari apa? Sedang impian dari apa pula?
Message From:
0888197XXXX
Time:
Tue 12/12 08:38P

Sebuah pesan-pendek masuk ke ponselku Selasa malam itu. Aku membaca nomor pengirimnya pertama-tama: Ah, kamu. Segera dua rasa yang sangat kontras teraduk-aduk di dalam dada. Antara sesak dan lega. Mereka silih berganti dalam hitungan kurang dari detik. Membuatku tidak yakin bagaimana semestinya perasaanku saat itu. Aku memang belum bisa menanggapi ini semua dengan wajar. Entahlah. Ini sudah terlalu lama sejak aku merasa seperti ini pertama kali.

Rasanya aku telah menghabiskan waktu lebih dari yang sewajarnya untuk membaca pesan sependek itu. Kubaca berulang-ulang. Tapi seolah tiada pernah akan puas, aku membacanya lagi dan lagi. Tanpa ada keinginan untuk segera membalasnya. Terlalu banyak alasan bagiku untuk tidak melakukannya. Sedikitnya ada dua. Pertama, pulsaku sudah habis sejak malam sebelumnya. Dan kedua, aku sudah berkata padamu—juga di malam sebelumnya—bahwa sms yang kukirim padamu di malam itu adalah sms terakhir. Aku hanya tidak ingin ingkar lagi pada komitmenku sendiri. Aku hanya ingin menjadi sebenarnya lelaki saat ini. Lelaki yang sebenarnya, temanku pernah berkata pada suatu kali, adalah lelaki yang selalu menepati janji.

Mungkin memang benar, alasan kedua adalah alasan yang paling kuat untuk membuatku menahan diri. Aku sempat membayangkan: bahkan mungkin apabila malam ini ponselku penuh pulsa, aku pun tidak akan segera membalasnya. Aku hanya tidak ingin terus menerus berputar-putar[1].

Aku membaca lagi pesan-pendek yang masih terpampang di layar ponselku. Mengapa pertanyaan itu seperti menjadi semacam sindiran untukku? Khususnya kalimat pertama; ‘kenangan itu terbuat dari apa?’ Aku sadar—setidaknya sedang berusaha untuk sadar—bahwa kamu dan semua hal yang telah kita lewati bersama di hari-hari lalu memang telah menjadi semacam kenangan. Tentu saja aku tidak pernah menyadari ini kalau saja kamu masih mudah untuk kutemui seperti dulu, kalau saja aku masih bisa mendengar suaramu kapan saja aku menghendaki, kalau saja aku masih bisa menyentuh sosok ragamu kapan saja aku mau. Tapi kini keadaan sudah tidak sama lagi. Dan kamu pun tahu itu.

Beberapa hari yang lalu kamu menyebutku ‘pengecut’, karena kamu menganggap aku tidak mau berusaha. Kamu salah. Justru semua yang sedang kulakukan sekarang adalah usahaku untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Kamu tentu tidak ingin kita tetap berputar-putar di atas lingkaran yang stagnan bukan? Seperti itulah jadinya jika aku tetap melakukan pengejaran dengan cara yang sama atas dirimu.

Kita akan selalu terjebak pada situasi dimana aku menuntutmu untuk bisa membalas rasa sayang yang aku berikan padamu dengan jumlah yang sama. Kita akan selalu terjebak pada konflik-konflik tanpa akhir dimana aku mengharapkan kamu peduli padaku dengan cara yang sama seperti aku mempedulikanmu. Sedangkan kita sama-sama tahu, kini keadaan sudah berbeda. Kamu tentu tidak ingin bila aku memintamu meninggalkan dia—dia yang kusebut-sebut sebagai kekasih barumu itu—sama sekali bukan?

Kini kamu mencintainya. Subconscius-mu[2] sudah berkali-kali bicara soal ini. Dan aku menyaksikannya. Aku tidak mengapa, sungguh. Tapi kuharap kamu tidak lagi memintaku untuk melihatmu sebagai sosok yang sama. Sehingga aku bisa tetap memberi perlakuan yang sama padamu seperti di hari-hari yang lalu. Sungguh. Sebaiknya kita jangan berputar-putar saja.

Aku mencoba menyadari kini bahwa kamu tak lebih dari sekadar kenangan saja. Karena kenangan adalah imaji yang tersimpan di dalam ingatan. Imaji yang sempat terbentuk dari persepsi yang utuh atas suatu objek. Dan persepsi ini didapat dari pengalaman panca indera kita.

Aku masih bisa mengingat seperti apa rasanya jus stroberi yang sempat kita minum berdua di suatu kedai. Aku masih bisa mengingat seperti apa rasanya ketika aku sempat menggenggam jari-jarimu yang mungil. Aku masih bisa mengingat ‘suara malammu’ yang dulu sangat kugandrungi. Aku juga masih bisa mengingat harum parfummu yang bercampur dengan aroma otentik tubuhmu. Iya, aku masih bisa mengingat itu semua dengan sangat baik. Tapi sebaik apapun itu, itu tak lagi bisa kuperoleh. Karena kenangan memang akhirnya hanya ada di dalam kepala kita saja. Kenangan pada akhirnya hanya menjadi imaji—yang tak bisa kita lihat dengan mata kepala, sentuh, ataupun cium. Namun, tidak usah kamu takut. Aku tidak akan pernah melupakannya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar ingin kulupakan?

Tapi coba kita lihat di mana dan kapan kita berada sekarang. Kita berada pada saat ini dan di sini. Entah di manapun kau berada pada saat aku menulis ini sekarang. Aku sekarang berada pada suatu dimensi ruang dan waktu yang mengharuskanku untuk sadar bahwa aku tidak boleh lagi berfokus pada apa-apa yang sudah lalu. Akal sehatku mengatakan, bahwa aku harus hidup dengan kenyataan. Dan kenyataan bagiku adalah saat ini. Detik ini. Kenyataan adalah sesuatu yang saat ini benar-benar ada di hadapanku dan bisa kusentuh. Bila saat ini di dekatku tidak ada siapa-siapa yang bisa kusentuh selain diriku sendiri, ya berarti itulah kenyataannya. Aku adalah satu-satunya yang nyata saat ini. Sedang kamu hanya ada di dalam kepalaku. Kamu tidak nyata.

Lalu kalau kamu memintaku untuk datang menemuimu besok pagi, misalkan, aku bisa saja menyanggupi. Tapi aku akan berusaha untuk tidak kembali terlarut dengan perasaan yang dulu pernah ada. Karena, sekali lagi, aku tidak ingin berputar-putar. Menurutku kita harus sama-sama fokus pada apa yang nyata. Kamu dengan masa-kinimu dan aku dengan masa-kiniku. Aku tidak sedang membunuh perasaan. Aku hanya berusaha untuk berpikir logis. Bahwa aku sudah tidak ingin lagi membuat kita berdua stagnan pada keadaan yang membuat kita tidak pernah kemana-mana. Bukankah kamu ingin kita sama-sama berkembang?

Biarkan kenangan menjadi imaji. Karena ia memang seperti itu. Aku tidak akan bisa hidup dengan imaji-imaji saja, alasannya pertama-tama tentu karena perbedaan dimensi. Imaji atau image memang sesuatu yang hanya bisa kita lihat. Maka tak jarang image bisa menjebak persepsi. Untuk bisa membentuk persepsi yang utuh, kita harus menggunakan seluruh panca indera kita. Image atas seseorang, misalkan. Kita seringkali sudah terlanjur menilai kepribadian seseorang minus dari penampilan luarnya yang tidak rapi. Tapi ternyata setelah kita berkenalan lebih jauh, kita justru mengetahui bahwa penilaian kita selama ini salah. Itu karena persepsi awal yang terbentuk dari hanya melihat belumlah utuh. Sedang kita hidup di dunia yang tidak hanya kita lihat saja. Kita hidup di dalam dunia yang memiliki banyak dimensi.

Ada dimensi yang hanya bisa kita lihat saja tanpa bisa kita sentuh. Contohnya: gambar-gambar di majalah, komik, gambaran dunia di televisi, dan semacamnya. Kita tidak hidup di dalam dunia tersebut. Serealistik apapun imaji yang disajikan oleh komik, majalah, atau televisi—kita belumlah bisa menganggap itu semua sebagai suatu kenyataan. Misal, akan sangat naïf apabila kita sudah menganggap persepsi kita atas suatu kasus yang disajikan oleh infotainment sebagai persepsi yang utuh. Karena, hei, kita tidak benar-benar hidup di sana. Lebih naïf lagi bila akhirnya kita sudah cukup puas dengan mempercayai semua yang hanya bisa kita lihat saja—tanpa kita benar-benar hidup di sana—sebagai sebuah kebenaran. Kita seharusnya bisa lebih otonomis dalam beropini.

Ah, sudahlah. Kita kembali pada soalan kita saja. Itu tadi hanya sebagai gambaran bahwa imaji atau image memang seringkali menjebak persepsi kita. Sehingga kita merasa puas dengan persepsi yang sudah terbentuk, walaupun nyata-nyata tidaklah utuh. Aku pun tidak ingin terus terjebak pada imaji. Aku tidak ingin terpaku pada sesuatu yang tidak nyata. Dan kita akan terus menerus kembali pada masalah yang sama apabila aku—atau kamu—masih tetap menginginkan kita berdua bisa bersikap seperti dulu, seolah-olah memang tidak sedang terjadi apapun saat ini. Tidak bisa.

Kita memang harus bisa melihat apa yang sudah lalu sebagai kenangan dan kenangan sebagai imaji. Karena sesudah itu kita baru bisa mulai menyadari bahwa kita hidup di saat ini. Semanis apapun kenangan itu, kita seharusnya tidak berharap untuk bisa tetap berada di sana. Waktu terus berjalan. Dan kita tidak pernah punya kuasa untuk menghentikannya. Kecuali satu, kita membuat dimensi sendiri dimana kita bisa hidup di situ selamanya. Sendirian dan terpisah dari dunia luar.

Aku memang sedang mencoba untuk menikmati hidup saat ini. Walau tanpa kamu, tapi memang itulah kenyataannya. Menikmati hidup berarti secara utuh berada di ruang dan waktu dimana aku berada pada saat ini. Beberapa saat yang lalu aku seringkali melayang entah kemana, padahal aku berada di tengah teman-temanku. Salah seorang temanku menyebutku ‘tidak menikmati hidup’[3]. Ia benar. Sebab kalau aku memang menikmati hidup seharusnya aku bisa menyatu dengan dimensi dimana aku berada. Bukan hanya ragaku saja yang ada di sana sedang jiwa atau pikiranku tidak. Menikmati hidup berarti nyaman dengan saat ini. Dan aku sedang mencoba untuk itu. Sudah cukup lama juga aku terjebak dengan imaji kenangan itu sehingga membuatku tidak kemana-mana. Aku beri tahu kamu: itu melelahkan. Iya, aku baru tahu sekarang. Bahwa lelah bukan selalu merupakan akibat dari seberapa jauh sudah kita berjalan. Tapi bisa juga karena kita tidak pernah kemana-mana, sedangkan kita mempunyai sesuatu yang besar di dalam diri untuk diaktualisasikan.

Ohya, kamu juga bertanya tentang impian. Aku rasa kamu pun sudah tahu jawabannya. Ia pun hanya imaji. Bedanya ia tidak terbuat dari pengalaman. Melainkan dari ide-ide yang terlahir karena ketidakpuasan akan kenyataan. Yah, pada saatnya kita memang selalu ingin melompat keluar dari kenyataan. Walau itu sejenak. Tapi mungkin dengan itulah kita menemukan hal-hal baru dalam hidup ini. Walau, katanya, dunia ini sendiri hanya berisi pengulangan-pengulangan.[]


Bandung, 12 Desember 2006
23.19 WIB


Catatan Kaki:

[1] Berputar-putar; saya adopsi dari salah satu tulisan teman saya di blognya: http://secret-silence.blogspot.com

[2] Subconscius; istilah yang saya dapat dari teman saya (yang mungkin tidak akan mau disebutkan namanya, tapi saya sebut saja salah satu personil band Bahasa Bayi), untuk menyebutkan sesuatu yang kita lakukan atau ucapkan tanpa kita sadari karena sebenarnya hal tersebut adalah bawaan dari bawah sadar kita.

[3] ‘Tidak menikmati hidup’; kalimat paling menohok abad ini yang dilontarkan oleh teman saya, Dry, kepada saya pada suatu hari.

2 tanggapan:

Unknown mengatakan...

serupa apakah kenangan? serupa satu tempat yang dihapuskan dari kenyataan. tidak apa. selamat menikmati hidup. ;)

ydh mengatakan...

makanya sebelom tidur baca doa *hohohho,lostfocus*