A City Walker
Sedikitnya ada dua orang teman yang beranggapan bahwa pilihan saya untuk berjalan kaki adalah karena alasan tidak punya uang. Mereka orang-orang baik. Mereka sayang pada saya. Mereka selalu bertanya, "masih punya duit nggak?" Saya bilang masih. saya tidak bohong.
Akhir-akhir ini saya memang lebih banyak berjalan kaki. Saya suka dengan kelelahan yang saya rasakan di tengah-tengah perjalanan. Saya suka dengan keringat yang membasahi kaos. Saya suka dengan jalanan yang tidak pernah berekspektasi pada saya; kapanpun saya membutuhkannya ia ada, dan kapanpun saya tidak membutuhkannya ia tidak menunggu saya.
Ini semua berawal dari keinginan saya untuk mengusir mood buruk pada suatu hari. Saat itu saya sudah membuat semacam janji pada seorang teman untuk singgah di rumahnya sepulang saya kerja. Saya tidak ingin tiba di depan pintu rumahnya dengan wajah yang terlihat murung. Saya memang tidak pandai menyembunyikan perasaan. Semua orang pasti tahu kapan mood saya sedang baik dan kapan tidak hanya dengan melihat wajah saya. Dan sayangnya, mood saya akan semakin memburuk apabila ada yang bertanya, "lo lagi ada masalah apa sih?" Sial. Saya sebetulnya tidak ingin dunia selalu tahu apa yang sedang saya alami. Tapi saya sering gagal untuk menutupinya. Kegagalan itulah yang pada akhirnya selalu membuat saya merasa belum kuat dalam menghadapi persoalan hidup, sehingga masih harus melibatkan orang lain dalam masalah saya.
Hari itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi mengumbar persoalan personal saya pada siapapun. Saya ingin ketika tiba di rumah teman saya itu, ia hanya melihat keceriaan saya. Tapi saya juga tidak suka munafik. Iya, menutup-nutupi kesedihan dan berpura-pura ceria buat saya juga tidak sehat. Dan siapa yang bisa menyangka dengan memutuskan berjalan kaki dari kantor saya ke rumah teman pada malam itu membuat saya menemukan formula untuk memperbaiki mood.
Ternyata berjalan kaki membuat saya menemukan beberapa hal. Saya menemukan rasa lelah. Saya menemukan rasa nyeri otot. Saya menemukan tubuh saya bercucur peluh. Pada saat-saat seperti itu terkadang datang perasaan mengasihani diri sendiri karena dari ratusan orang yang saya temui di jalanan, tidak ada satupun orang yang mengenal saya. Datang keinginan-keinginan untuk menyudahi semuanya dengan segera menyetop kendaraan umum. Tapi ternyata keinginan itu bisa terhapus dengan pikiran:
Alah! Kenyataan emang kayak gini kaliii... sedih, sepi... Siapa sih yang nggak ngerasain sedih? Siapa sih yang nggak ngerasain kesepian? Semua orang ngerasain itu. Hidup nyata itu emang sepi dan sedih. Semua orang juga tau. Kamu terlempar ke dalam hidup ini dengan konsekwensi-konsekwensi itu semua. Kamu nggak akan pernah bisa bahagia di manapun atau sama siapapun kalau kamu nggak bisa bahagia sama diri kamu sendiri, kalau kamu nggak bisa bahagia dengan kesepianmu. Apa sih yang kamu miliki dalam hidup ini? Kamu nggak pernah memiliki apa-apa. Orangtua, keluarga, temen, kekasih ... itu semua dateng dan pergi. Mereka nggak bisa selalu ada buat kamu. Kamu juga nggak harus selalu ada buat mereka. Karena kamu dan mereka emang harus ngebangun kehidupan masing-masing. Kamu nggak pernah bener-bener memiliki mereka, sebaliknya mereka nggak pernah memiliki kamu. Kita semua orang merdeka, sebelum kita mengenal kepemilikan. Hidup itu nggak keras. Jakarta nggak keras. Jakarta ya kayak gini ini. Kalo kamu emang nggak kuat, akuin aja kalo kamu nggak kuat. Jangan nyalahin ruang hidupmu yang terlalu keras. Mengakui dirimu itu adalah suatu cara untuk kenal ama diri sendiri. Kamu tau apa yang kamu bisa, apa yang enggak. Kalo kamu belom kenal ama diri sendiri, nggak usah ngaku kamu kenal sama orang laen. Coba urus diri kamu sendiri dulu. Karena itu satu-satunya yang bener-bener kamu punya. Bukan dunia ini. Bukan orang-orang di dalamnya. Bukan apapun. Rebut kembali apa yang selama ini hilang: dirimu.
Dan saya berjalan terus hingga tiba di Condet. Pikiran-pikiran seperti itu membuat saya jadi tidak perlu untuk menutupi kesedihan di hadapan teman saya. Karena ketika saya tiba di rumahnya, kesedihan itu memang sudah reda. Saya merasa bahwa membesar-besarkan perasaan sedih atau kesepian adalah sesuatu yang konyol. Sebab itu adalah sesuatu yang wajar. Semua orang merasakannya. Justru kebahagiaanlah sesuatu yang istimewa dalam hidup. Kebahagiaan adalah sesuatu yang sering orang remehkan. Seketika saya merasa salut dengan orang-orang yang bisa menyimpan air matanya. Saya salut dengan mereka yang menangis justru ketika merasa bahagia. Itu tidak mudah. Karena saya mungkin masih termasuk mereka yang suka mengasihani diri sendiri.
Semalam saya berjalan lagi. Tidak sejauh jarak Cawang ke Condet. Saya memang sudah lumayan mengenal diri saya sendiri. Saya sudah tahu, apabila saya pernah menempuh jarak yang lebih jauh, maka saya bisa menempuh jarak yang lebih dekat. Kaki saya dengan suatu cara sudah bisa mengira-ngira jarak.
Semalam saya mampir ke tempat tinggal Fitri. Saya hanya ingin mengatakan satu kalimat: "I'm a City Walker." Hahaha. Konyol. Bukan, bukan itu yang utama. Sebetulnya saya hanya kangen sama dia. Tapi ternyata sampai di sana saya disambut dengan pertanyaan: 'Kok kamu bau sih?'.
Iya. Inilah kenyataan yang sering orang-orang lari daripadanya. Bau, capek, dan sakit. Kita sering lari dari itu semua dan memilih untuk menutupinya dengan parfum, kendaraan, make-up. Kita manusia. Kita punya pori-pori. Kita punya keringat. Kita punya bau. Apabila kita terus menerus lari dari diri sendiri, kapan kita berkenalan dengannya?
Akhir-akhir ini saya memang lebih banyak berjalan kaki. Saya suka dengan kelelahan yang saya rasakan di tengah-tengah perjalanan. Saya suka dengan keringat yang membasahi kaos. Saya suka dengan jalanan yang tidak pernah berekspektasi pada saya; kapanpun saya membutuhkannya ia ada, dan kapanpun saya tidak membutuhkannya ia tidak menunggu saya.
Ini semua berawal dari keinginan saya untuk mengusir mood buruk pada suatu hari. Saat itu saya sudah membuat semacam janji pada seorang teman untuk singgah di rumahnya sepulang saya kerja. Saya tidak ingin tiba di depan pintu rumahnya dengan wajah yang terlihat murung. Saya memang tidak pandai menyembunyikan perasaan. Semua orang pasti tahu kapan mood saya sedang baik dan kapan tidak hanya dengan melihat wajah saya. Dan sayangnya, mood saya akan semakin memburuk apabila ada yang bertanya, "lo lagi ada masalah apa sih?" Sial. Saya sebetulnya tidak ingin dunia selalu tahu apa yang sedang saya alami. Tapi saya sering gagal untuk menutupinya. Kegagalan itulah yang pada akhirnya selalu membuat saya merasa belum kuat dalam menghadapi persoalan hidup, sehingga masih harus melibatkan orang lain dalam masalah saya.
Hari itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi mengumbar persoalan personal saya pada siapapun. Saya ingin ketika tiba di rumah teman saya itu, ia hanya melihat keceriaan saya. Tapi saya juga tidak suka munafik. Iya, menutup-nutupi kesedihan dan berpura-pura ceria buat saya juga tidak sehat. Dan siapa yang bisa menyangka dengan memutuskan berjalan kaki dari kantor saya ke rumah teman pada malam itu membuat saya menemukan formula untuk memperbaiki mood.
Ternyata berjalan kaki membuat saya menemukan beberapa hal. Saya menemukan rasa lelah. Saya menemukan rasa nyeri otot. Saya menemukan tubuh saya bercucur peluh. Pada saat-saat seperti itu terkadang datang perasaan mengasihani diri sendiri karena dari ratusan orang yang saya temui di jalanan, tidak ada satupun orang yang mengenal saya. Datang keinginan-keinginan untuk menyudahi semuanya dengan segera menyetop kendaraan umum. Tapi ternyata keinginan itu bisa terhapus dengan pikiran:
Alah! Kenyataan emang kayak gini kaliii... sedih, sepi... Siapa sih yang nggak ngerasain sedih? Siapa sih yang nggak ngerasain kesepian? Semua orang ngerasain itu. Hidup nyata itu emang sepi dan sedih. Semua orang juga tau. Kamu terlempar ke dalam hidup ini dengan konsekwensi-konsekwensi itu semua. Kamu nggak akan pernah bisa bahagia di manapun atau sama siapapun kalau kamu nggak bisa bahagia sama diri kamu sendiri, kalau kamu nggak bisa bahagia dengan kesepianmu. Apa sih yang kamu miliki dalam hidup ini? Kamu nggak pernah memiliki apa-apa. Orangtua, keluarga, temen, kekasih ... itu semua dateng dan pergi. Mereka nggak bisa selalu ada buat kamu. Kamu juga nggak harus selalu ada buat mereka. Karena kamu dan mereka emang harus ngebangun kehidupan masing-masing. Kamu nggak pernah bener-bener memiliki mereka, sebaliknya mereka nggak pernah memiliki kamu. Kita semua orang merdeka, sebelum kita mengenal kepemilikan. Hidup itu nggak keras. Jakarta nggak keras. Jakarta ya kayak gini ini. Kalo kamu emang nggak kuat, akuin aja kalo kamu nggak kuat. Jangan nyalahin ruang hidupmu yang terlalu keras. Mengakui dirimu itu adalah suatu cara untuk kenal ama diri sendiri. Kamu tau apa yang kamu bisa, apa yang enggak. Kalo kamu belom kenal ama diri sendiri, nggak usah ngaku kamu kenal sama orang laen. Coba urus diri kamu sendiri dulu. Karena itu satu-satunya yang bener-bener kamu punya. Bukan dunia ini. Bukan orang-orang di dalamnya. Bukan apapun. Rebut kembali apa yang selama ini hilang: dirimu.
Dan saya berjalan terus hingga tiba di Condet. Pikiran-pikiran seperti itu membuat saya jadi tidak perlu untuk menutupi kesedihan di hadapan teman saya. Karena ketika saya tiba di rumahnya, kesedihan itu memang sudah reda. Saya merasa bahwa membesar-besarkan perasaan sedih atau kesepian adalah sesuatu yang konyol. Sebab itu adalah sesuatu yang wajar. Semua orang merasakannya. Justru kebahagiaanlah sesuatu yang istimewa dalam hidup. Kebahagiaan adalah sesuatu yang sering orang remehkan. Seketika saya merasa salut dengan orang-orang yang bisa menyimpan air matanya. Saya salut dengan mereka yang menangis justru ketika merasa bahagia. Itu tidak mudah. Karena saya mungkin masih termasuk mereka yang suka mengasihani diri sendiri.
***
Semalam saya berjalan lagi. Tidak sejauh jarak Cawang ke Condet. Saya memang sudah lumayan mengenal diri saya sendiri. Saya sudah tahu, apabila saya pernah menempuh jarak yang lebih jauh, maka saya bisa menempuh jarak yang lebih dekat. Kaki saya dengan suatu cara sudah bisa mengira-ngira jarak.
Semalam saya mampir ke tempat tinggal Fitri. Saya hanya ingin mengatakan satu kalimat: "I'm a City Walker." Hahaha. Konyol. Bukan, bukan itu yang utama. Sebetulnya saya hanya kangen sama dia. Tapi ternyata sampai di sana saya disambut dengan pertanyaan: 'Kok kamu bau sih?'.
Iya. Inilah kenyataan yang sering orang-orang lari daripadanya. Bau, capek, dan sakit. Kita sering lari dari itu semua dan memilih untuk menutupinya dengan parfum, kendaraan, make-up. Kita manusia. Kita punya pori-pori. Kita punya keringat. Kita punya bau. Apabila kita terus menerus lari dari diri sendiri, kapan kita berkenalan dengannya?
4 tanggapan:
Tau gak ?
Ini nih yang dari dulu gue inginkan. Pulang ke rumah dari kantor, pada sore hari, dengan berjalan kaki. Tapi jangan terlalu malam, takutnya dipalak sama preman jalanan. Yah untuk sebagian orang pasti akan bilang ini tindakan konyol. Tapi dibalik itu semua, enggak hanya sehat jasmani tapi juga rohani. Menurut gue, kita bisa melihat banyak hal dari sebuah perjalanan dng cara berjalan kaki, mungkin bisa jadi lebih peka thd lingkungan sekitarnya. Entahlah. Tapi ini impian gue banget dan sialnya elu menuliskan suatu hal yang menurut gue luar biasa. Hehehe. Arrghhhh ngiri deh.....
ayo ngiri rame-rame ke rama :)
hohohoho dasar orang gila.
saya adalah orang yg suka membesar2kan rasa sakit dengan menangis.. yg bisa saya lakukan hanya berjalan kaki untuk tetap bertahan.. mungkin kamu masih bisa mampir bertemu dengan teman.. sedangkan saya hanya bisa kembali kekosan tanpa teman.saya tidak pernah bisa mengungkap semua perasaan sakit sedih kesal marah bahagia dengan siapapun.. aku hanya bisa menangis dan menangis. berjalan adalah hiburan hati saya. teman saya..
Posting Komentar