31 Januari 2007

Ketika Maya Mulai Membosankan

Mungkin ini tulisan terakhirku yang bisa kamu baca di sini. Oh, jangan salah menanggapi dulu. Aku bukannya sedang berniat untuk berhenti menulis sama sekali. Karena seperti yang sejak dulu telah kuikrarkan kepada diriku sendiri, bahwa aku akan terus menulis sampai aku benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk itu. Dan walau sekarang juga bukan berarti aku masih bisa terbilang produktif, tapi aku juga bukannya tidak dapat menulis sama sekali. Toh aku masih hidup. Detik ini aku masih mempunyai dua tangan yang sehat, otak yang masih bekerja—dan itu adalah segalanya. Jadi, buatku, tidak ada alasan untuk melanggar ikrar dengan benar-benar berhenti menulis sekarang. Belum.

Aku hanya akan berhenti menceritakan diriku sendiri terlalu banyak kepada kamu.

Dan seperti yang kamu juga tahu, di sini—kemarin-kemarin, aku telah terlalu banyak mengumbar soalan-soalan personalku. Aku tidak menyesalinya. Aku pikir, mungkin pada saat itu, hal tersebutlah yang memang sedang aku butuhkan. Sebaliknya, aku merasa senang karena mempunyai kawan baik seperti dirimu yang mau mendengarkan apapun yang aku bicarakan. Walau aku juga tahu, bahwa tak semua yang menarik buatku juga menarik buatmu. Tapi kamu telah mendengarkan semuanya, dan barangkali memang tanpa pretensi. Bagaimanapun itu adalah sebuah apresiasi yang sangat besar buatku pribadi. Maka ijinkanlah saat ini aku mengapresiasi balik apa yang kemarin-kemarin telah kamu lakukan untukku.

Jangan khawatirkan aku. Aku memang masih tetap menulis, kalau itu yang sebenarnya kamu ingin lihat dariku. Proyek novelku yang berikutnya masih tertahan sampai sekarang. Selain itu aku masih memegang jurnalku yang berwarna coklat muda itu. Kamu masih ingat? Iya, dan pada lembaran-lembaran jurnal itu saja aku akan menceritakan diriku sendiri sebanyak-banyaknya dalam waktu ke depan. Karena memang tidak semua yang aku percayai juga patut kamu percayai. Apalagi itu belum tentu benar. Aku memang ingin berhenti ber-propaganda. Sebenarnya sudah sejak lama hal itu ingin kulakukan. Tapi entahlah, mungkin baru sekarang saja merasa jengah dengan apa yang telah kulakukan selama ini.

Aku baru membeli buku berjudul ‘Heavier Than Heaven’. Itu adalah Biografi Kurt Cobain. Memang belum tuntas aku membacanya. Baru sampai di bab ke-lima kalau tidak salah. Tapi di bab-bab awal itu aku menangkap kesan yang kuat dari karakter Cobain, bahwa ia memang orang yang memiliki persoalan yang serius pada emosionalnya. Ternyata begitu banyak hal tentang masa lalunya yang ia ceritakan kepada khalayak tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Aku tidak ingin menceritakan apa motivasi ia di sini dalam melakukan itu. Aku tidak ingin merusak kesenangan membaca orang lain yang mungkin ingin membaca buku itu juga. Aku hanya ingin mengajakmu untuk melihat sesuatu yang terjadi di dalam diri Kurt Cobain. Bahwasanya, dengan seringnya ia menceritakan sesuatu tentang masa lalunya yang sebenarnya tidak pernah terjadi itu, lama kelamaan ia jadi mempercayai sendiri ‘kebohongan’ yang ia karang.

Iya, propaganda memang seperti iklan. Ia disampaikan dengan berulang-ulang. Dan dengan pengulangan-pengulangan itu membuat kita menjadi yakin bahwa itulah yang benar. Walau kitalah yang sebenarnya memproduksi ‘iklan’ tersebut, sesungguhnya konsumen yang pertama kali harus mempercayai ‘kebenaran’ yang kita sampaikan adalah diri kita sendiri—Sang Produsen. Karena dengan itulah baru kita bisa meyakinkan orang lain bahwa apa yang sedang kita sampaikan adalah benar.

Aku sudah jengah berpropaganda—kepada orang lain ataupun kepada diriku sendiri. Tapi kalaupun hidup memang tidak bisa lepas dari ‘keyakinan’, biar aku sajalah yang meyakini keyakinanku sendiri. Memang aku sedang berusaha untuk berhenti mengeluh berkepanjangan. Karena seringnya selama ini semua itu memang berawal dari keluhan. Ketika ada satu hal yang membuatku sedih, aku menceritakan hal itu kepada orang lain—termasuk kepada kamu. Padahal sesungguhnya hanya diriku sendiri yang bisa membawaku benar-benar keluar dari kesedihan itu. Maka menceritakan ‘kesedihan-kesedihan’ kepadamu, yang selama ini (baik itu secara eksplisit maupun implisit) seringnya berbentuk keluhan, rasanya hanya akan membuatku semakin percaya bahwa aku adalah orang yang menderita dan patut dikasihani. Aku telah berniat untuk tidak akan lagi berlarut-larut dengan kesedihan dan penderitaan yang rasanya memang tidak akan pernah lepas dari hidup seorang manusia.

Mungkin aku memang tidak akan pernah selesai mengeluh sampai aku mati. Tapi aku juga tidak ingin mengeluh mengenai soalan yang sama dari waktu ke waktu. Masih banyak hal yang bisa kulakukan dalam hidup selain hanya mengeluh saja. Atau—kalau memang hidupku sebenarnya selalu berisi dengan keluhan—aku akan mencari hal-hal lain yang bisa kukeluhkan, daripada mengeluhkan satu hal saja dalam seumur hidup. Tentu saja bukan dengan lari meninggalkan satu soalan sebelum aku berhasil menyelesaikannya. Aku tahu dengan cara seperti itu tidak ada yang bisa aku dapatkan dari sana. Melainkan dengan berusaha membuka kemungkinan sebanyak-banyaknya di dalam hidup demi bisa melihat bahwa dunia tidak sesempit yang selama ini aku pikirkan. Bukankah segala hal di dunia ini bisa jadi mungkin karena kita sendirilah yang membuka kemungkinan-kemungkinan itu?

Ohya, Apabila kamu berpikir tulisan kali ini adalah semacam propaganda juga, maafkan aku. Aku sama sekali tidak sedang bermaksud untuk membuatmu ikut meyakini apapun yang saat ini sedang kuyakini. Aku hanya sedang mencoba menjawab pertanyaan yang barangkali telah—atau akan—muncul di dalam kepalamu, apabila sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tidak ada lagi tulisan baru dariku di sini.

Intinya, aku hanya ingin merdeka dari hal yang membelengguku dan membuatku tidak kemana-mana. Aku rasa kamu pun tahu apa yang kumaksud itu. Iya, perlawanan-perlawanan yang kita lihat di sekeliling kita dan juga kita lakukan ini sejatinya memang tidak akan pernah selesai. Karena apa yang kita lawan sesungguhnya tidak pernah jauh-jauh dari kita: ialah diri kita sendiri. Kemarahan, kebencian, dendam—sesungguhnya adalah perasaan yang ditujukan pada diri kita sendiri. Aku rasa orang-orang yang merdeka adalah orang-orang yang telah berhasil berdamai dengan dirinya sendiri. Karena apabila kita telah berdamai dengan diri sendiri, kita akan bisa berdamai dengan apapun. Dan mungkin untuk mencapai itu kita harus terus berjalan melewati proses demi proses yang sungguh panjang dan berat, yaitu kita tidak akan pernah berhenti perang sepanjang hayat kita. Tapi mungkin itu jauh lebih baik daripada tidak pernah kemana-mana.[]

1 tanggapan:

Er Maya mengatakan...

apakah saya memang sudah membosankan bagimu?


hihihihi...:D