05 Januari 2007

DONGENG DARI LUAR ANGKASA

Beberapa saat yang lalu kusadari diriku telah tertabrak sesuatu yang, aku kira, sama besarnya denganku. Mungkin lebih besar. Tentu saja sontak aku terkejut. Yang membuatku jauh lebih terkejut adalah ketika saat ini aku menyadari diriku sedang remuk. Perlahan hilang bentuk. Yah, aku hanya tak pernah menyangka diriku akan hancur dengan cara yang seperti ini. Bahkan aku pun belum sempat membayangkan bagaimana jadinya bila suatu saat aku hanyalah serpihan debu yang melayang-layang seperti ini. Dan barangkali esok aku telah menjadi bagian dari pasir di suatu pesisir pantai. Itu sangat mungkin terjadi.

Eh, tapi tunggu sebentar. Sebelum aku bercerita lebih jauh tentang diriku sendiri, aku punya satu rahasia kecil yang ingin sekali kuceritakan. Karena ia terlalu besar untuk dapat kupendam sendirian. Ia terlalu indah untuk kusimpan di dalam ingatanku sendiri. Maka aku akan menceritakannya kepada seluruh isi alam semesta ini. Sekarang. Iya, sekarang. Kapan lagi? Aku sadar waktu yang kupunya sangat terbatas. Aku akan mulai mendongeng sekarang juga. Sebelum materi pembentukku benar-benar nisbi, dan dongeng pendek ini tak sempat diwariskan.

Ini adalah sebuah kisah yang akan berpusat pada satu bintang. Ia terang. Memang. Tapi begitu menggoda untuk terus menerus dipandang. Sekalipun panas, ia tidak membuat apapun yang berada di sekelilingnya mati. Sebaliknya, ia menjadi satu sumber hayati. Entah kenapa. Aku tidak tertarik lagi untuk bertanya kenapa di ujung usia ini. Aku lebih suka melihatnya sebagai misteri. Dan selama ini misteri memang selalu berhasil menjadi daya tarik tersendiri.

Iya. Seperti bintang-bintang lainnya yang kalian ketahui, ia pun mempunyai daya tarik. Gravitasi. Inilah yang membuat planet-planet―yang pada awalnya merupakan bagian dari dirinya sendiri yang terlontar akibat ledakan―akan tetap berada pada garis edarnya. Hukum kelembaman, menurut Galileo.[1] Karenanya saat ini aku tertarik sekali untuk mengatakan bahwa setiap bintang dulunya adalah pemimpi. Dan pada suatu saat yang sangat tepat, impian itu melompat keluar dari dalam diri sang pemimpi. Menjelma nyata. Maka, Alakazam, teranglah ia dan menjadi sesuatu yang punya manfaat bagi hal-hal di sekelilingnya.

Aku tahu itu semua karena aku pun pernah berada cukup dekat dengannya. Lebih dari itu, hidupku sepenuhnya ber-evolusi pada dia. Hei, apakah aku sudah sempat mengatakan bahwa ia cantik? Belum? Kalau begitu kukatakan saja sekarang. Bintangku ini lebih dari kecantikan apapun yang pernah kutahu. Atau jangan-jangan karena aku tidak pernah sekalipun memalingkan wajah darinya? Yah, apalah. Tapi aku memang telah terlanjur menganggapnya sebagai Miss Universe. Puteri Alam Semesta.

Aku memang terpikat padanya. Hm, terikat barangkali. Apapun itu, aku juga setuju kalau gravitasi memang selalu menang[2]. Tapi aku tidak merasa keterikatanku dengannya selama ini merupakan sebuah ketersiksaan. Aku malah tidak penah dapat membayangkan apa jadinya diriku tanpa dirinya. Aku malas membayangkan. Dan sepertinya itu karena aku sudah merasa memilikinya. Atau jangan-jangan ia yang sebenarnya memiliku? [3]

Egois memang diriku ini. Tapi egoku ada karena aku mempunyai kepentingan. Dan apa yang tidak mempunyai kepentingan di dalam kehidupan ini? Aku, sebagai salah satu dari puluhan―barangkali milyaran―planet di alam raya ini pun punya kepentingan selama aku masih menjadi sesuatu yang ‘hidup’. Aku sama seperti manusia-manusia yang tinggal di planet sana.

Aku pernah mendengar cerita tentang betapa seringnya mereka berperang dengan sesamanya. Baik itu perang yang berskala masif ataupun kecil. Sebuah meteor suatu kali penah mampir ke sini. Ia mendongengkan hal tersebut. Konon di sana chaos[4] terjadi setiap hari. Begitu banyak manusia yang akhirnya merasa harus saling bunuh karena kepentingan satu dengan lainnya saling berbenturan.

Aku tidak dapat membayangkan tempat tinggal seperti apa yang mereka huni itu. Karena, selama yang kutahu, di atas sini semua sedemikian teratur. Semua bergerak di dalam kosmos[5]. Aku yang terus berputar pada sumbuku sendiri. Aku yang mengelilingi bintangku pada garis edar. Dan aku tidak mungkin bergerak melawan semua hukum yang telah ditetapkan ini. Karena selain aku tidak mempunyai hawa nafsu seperti mereka, gravitasi selalu menang (eh, aku sudah mengatakan ini ya tadi?).

Tapi… Yah, baiklah aku mengaku. Di sini memang tidak setenang itu juga. Kadang para pendongeng itu datang terlalu sering. Sehingga kadang aku harus bekerja lebih keras agar diriku tidak terganggu oleh mereka yang kadang terlalu menggebu itu. Iya, aku pernah dihujani dongeng semalaman suntuk. Sampai-sampai aku bosan mendengarnya. Dan para manusia tak tahu diri itu seolah mensyukuri kepayahan kami. Dengan suka cita mereka memanggilnya ‘hujan meteor’. Ah, mereka tidak tahu saja kalau yang baru saja mereka kagumi itu adalah sesuatu yang bisa fatal. Itu sebenarnya adalah chaos. Karena sepengetahuanku para meteor pendongeng itu sebenarnya tidak pernah punya semacam garis yang menuntun mereka kemana semestinya bergerak. Tidak seperti aku yang memang telah mempunyai garis edarku sendiri.

Mereka mungkin punya kepentingan juga. Hanya saja, tak lebih dari kepentingan untuk menjadi nisbi. Mereka hanya butuh tempat yang mau mendengarkan dongeng mereka sampai tamat sebelum mereka benar-benar mati. Kamilah, para planet, yang seringkali jadi tempat peraduan mereka. Walau juga tak jarang bintangku juga ditabrak oleh mereka. Tapi, ah, hal sekecil itu bukan tandingan bintangku yang agung. Cahaya bintang tentu jauh lebih terang daripada cahaya yang bisa tercipta oleh meteor ketika ia memasuki lapisan atmosfirku.

Para meteor mungkin adalah pendongeng yang boleh dipuji. Tapi bintang tetap pujaanku. Karenanya aku tidak pernah mengerti kenapa para pendongeng itu bisa disebut sebagai bintang jatuh. Sungguh salah kaprah.

Omong-omong, berapa lama lagi ya waktu yang kupunya? Apakah kamu masih setia mendengarkanku, Bumi?

Aku juga tidak pernah mengira kalau akhir hidupku bisa seperti ini. Rasanya baru saja aku masih bisa merasakan hangatnya berada di dekat bintang pujaanku yang selama ini menjadi pusat hidupku. Tapi ternyata ada suatu kekuasaan lain yang seolah-olah tidak menghendakiku terus berada di sana. Aku percaya variabel lain itu kadang berperan di dalam perubahan hidup kita. Seperti batu besar yang beberapa saat lalu menghantamku. Aku tidak yakin kalau ia juga pendongeng biasa-biasa saja seperti yang lainnya. Barangkali ia memang sudah sejak awal diciptakan seperti itu; sebagai pendongeng besar. Barangkali ia juga diciptakan dengan tujuan untuk menghancurkan egoku pada suatu ketika. Iya, suatu ketika yang baru saja terjadi. Tidak seperti aku yang baru menjadi pendongeng setelah menyadari ternyata waktuku sudah hampir habis.

Batu besar itu barangkali akan hancur saat menabrak bintangku. Pendongeng itu mungkin baru akan bisa mendongeng ketika ia masuk ke permukaan Miss-Universeku. Dengan itu ia akan menghujani bintang pujaanku dengan dongeng-dongeng terhebat yang jauh lebih hebat dari dongengku sekarang. Tapi bisa jadi juga tidak. Bisa jadi bintangku pun akan luluh lantah oleh hantaman pendongeng hebat itu, sementara batu besar itu akan mencari tempat lain untuk ia berpulang. Namun―entah di mana, entah kapan, atau bagaimana caranya―batu besar itu pun akan menemui akhir perjalanannya. Hilang bentuk seperti aku sekarang. Ini bukan semacam sumpah serapah, wahai Bumi―pendengar setiaku, aku sedang berbicara tentang keniscayaan. Bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Kamu percaya Kiamat kan?

Bumi, tolonglah, aku tidak sedang mendongeng untuk menjadikanmu fatalis. Tapi kamu pun tidak ingin menganggap bahwa chaos adalah suatu koinsidensi, bukan? Kenapa kamu masih saja terus menerus mempertanyakan misteri? Demi langit, kamu tidak akan mengetahui apa-apa selain ketidaktahuanmu itu sendiri[6]. Waktu, Bumi, waktu yang akan menjawab semua keresahanmu itu. Sudah. Tak usah kau tanya-tanya lagi, coba kau hayati peranmu.[7] Oh, mungkin kau harus hancur lebur dulu seperti aku saat ini. Meruntuhkan egomu sendiri, atau diruntuhkan pada waktunya. Itu sama saja. Iya. Pada akhirnya kita semua pun akan pasrah sekaligus ikhlas. Karena kita hanya akan melihat satu jalan di depan mata kita; jalan pulang. Dan kita tidak ingin kemana-mana lagi karena memang tidak ada lagi yang perlu dicari atau dipertahankan.

Hmm, seperti aku yang saat ini merasa sangat ringan. Setelah kehilangan begitu banyak masaku sendiri dan kini hanyalah menjadi sebutir debu yang perlahan sedang menembus satu persatu lapisan-lapisan atmosfir, menuju surga yang sungguh luas. Oh apakah benar yang kulihat itu pesisir pantai? Syukurlah. Aku pulang.[]


Depok, 5 Januari 2007
7:33 WIB

Catatan Kaki:

[1] Hukum Kelembaman; Sebuah benda akan tetap berada dalam keadaannya, diam atau bergerak, selama tidak ada kekuatan luar yang memaksanya berubah. (Sumber: Dunia Sophie - Hal. 227)

[2] “But gravity always wins.”; dikutip dari lirik salah satu lagu Radiohead yang berjudul ‘Fake Plastic Trees’

[3] “Apa yang kau miliki, pada akhirnya akan memilikimu”; dikutip dari kata-kata Tyler Durden dalam Fight Club

[4] Chaos = Kekacauan

[5] Kosmos = Keteraturan

[6] “Orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dia tidak tahu” ― Socrates

[7] “Tak usah kau tanya-tanya lagi, coba kau hayati peranmu.”; dikutip dari salah satu lagu Dewa 19 yang berjudul ‘Aku Di Sini Untukmu’

1 tanggapan:

kodokijo mengatakan...

maap om Rama, ada versi cetaknya gak nih tulisan...tarif internet mahal nih ;))