27 Januari 2009

Hak Politik, Bukan Hak Pilih!

Politik. Kata yang dewasa ini sepertinya sudah tak lagi menjadi barang mewah bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak seperti pada era orde baru—ketika ‘demokrasi’ belum menjadi seperti hari-hari belakangan ini—kata ini kerap dikorelasikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan kekuasaan negara. Serta merta politik pun menjadi barang eksklusif, yang hanya boleh disentuh oleh orang-orang terpilih. Lalu para kroco seperti kita yang tidak pernah mendapat kesempatan menjadi bagian dari kekuasaan, sehingga dianggap tidak memiliki kompetensi untuk membincangkan soalan tersebut, hanya bisa membicarakan politik secara samar-samar dan di tempat-tempat yang ‘aneh’. Di warung kopi misalnya.

“Ngobrol di warung kopi, nyentil sana dan sini, sekedar suara rakyat kecil, bukannya mau usil…” Masih ingat kan dengan jingle legendaris Warkop DKI (salah satu grup lawak yang mulai tenar di era 70an akhir itu)? Dengan lagu itu, mereka terdengar seperti ingin menyapa penguasa di jamannya. Lihatlah bagaimana Dono dan kawan-kawan sepertinya bisa dibilang sudah melakukan upaya-upaya aktivisme politik, dengan terkadang menyisipkan isu-isu sosial-politik ke dalam materi lawakan mereka (coba dengarkan Pengen Melek Hukum atau Semua Bisa Diatur—saya punya file MP3-nya). Lucunya, jika kita mendengar sekali lagi itu semua di era sekarang ini, sepertinya apa yang sedang mereka lakukan saat itu seolah tidak memiliki pengaruh apapun pada kekuasaan, dan malahan cenderung terdengar dangkal saja. Represifitas penguasa pada jaman itu tentu bisa menjadi apologi.

Tempo hari saya baru mendengar kabar bahwa band Efek Rumah Kaca sudah mulai mengisi rubrik di Kompas saban Sabtu. Konon nama rubriknya “Obrolan Politis”. Yah, saya memang tidak rajin membaca koran. Tapi dari nama rubriknya saja sudah bisa saya terka apa yang akan mereka bicarakan. Dengan bekal persepsi atas mereka sebagai band indie label yang memuat kritik sosial dalam lagunya, saya sudah bisa menduga apalagi yang akan mereka bawa kali ini melalui tulisan di Kompas: apalagi? Ya, pasti kritik sosial juga…

Tenang, saya bukan sedang ingin mempromosikan apalagi mengglorifikasi band itu. Saya hanya menjadikan mereka sebagai sebuah sampel dari representasi kegelisahan generasi. Toh, hal serupa juga pernah dilakukan oleh musisi-musisi atau artis-artis (tentunya dengan definisi yang paling benar; art-ist = seniman) sebelum mereka. Warkop DKI tadi menurut saya adalah salah satunya, meskipun muatan politisnya terasa ecek-ecek. Kemudian, di jaman yang sedikit berbeda, ada juga seorang pria berkumis bernama Iwan Fals; yang kita ketahui bersama juga sempat menjadi ikon musisi kritis di negri ini.

Jadi, ini bukan mengenai Iwan Fals yang lebih kritis daripada Dono CS. Bukan pula E.R.K. yang lebih berani daripada Om Iwan. Bukan itu. Semua ada masanya. Kata Einstein, The only reason for time is so that everything doesn't happen at once. Artinya, ini soal “orang yang tepat di waktu yang tepat”. Relevansi, sebut saja begitu. Apabila kita menilai wacana yang diusung oleh Warkop DKI dangkal untuk ukuran jaman sekarang, maka sebaliknya, ‘obrolan politis’ Efek Rumah Kaca pasti akan sangat rumit untuk ukuran logika orang-orang bercelana cutbray di era Indro masih kurus. Padahal, apa yang mereka bicarakan sama-sama berada di tataran politik yang non-partisipatif. Artinya, pembicaraan politik dalam karya-karya mereka, bukanlah upaya untuk mengajak orang-orang untuk berpartisipasi di dalam politik kenegaraan. Dengar saja lagi, adakah Warkop DKI, atau Iwan Fals (dulu), atau E.R.K. mengajak kita untuk memilih salah satu partai politik melalui karya-karya mereka? Rasa-rasanya tidak. Tapi dengan membicarakan politik dengan gaya yang justru cenderung sinis dan apolitis, mereka juga tidak bisa dibilang apatis. Sebaliknya, saya melihat mereka sebagai orang-orang yang memiliki kepedulian besar pada perpolitikan di negri ini. Bahkan jauh lebih besar daripada kepedulian kebanyakan politisi di gedung dewan yang hanya peduli pada kepentingan kekuasaan belaka. Kasusnya jadi agak mirip dengan ambivalensi paradoksal ateis: Ateis seringkali dianggap tidak pernah memikirkan agama dan Tuhan. Padahal bila dilihat dengan cara yang lain, justru mereka menjadi ateis karena terlalu serius memikirkan agama dan Tuhan. In some awful, strange, paradoxical way, atheist tend to take religion more seriously than practitioners, kata Jonathan Miller.

Ditarik kembali pada konteks politik, apolitis menjadi semacam hak untuk berpikir bebas, ketika berpikir itu sendiri telah ada platform yang sudah ditentukan kadarnya: tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Jika tak sesuai kadarnya, dianggap apolitis bahkan berdosa. Ngomong-ngomong soal dosa, tahun ini MUI lagi-lagi mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan partisipasi umat pada pesta politik yang tak lama lagi akan berlangsung. Dalam fatwa kali ini, MUI berfatwa, bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, atau tidak memilih sama sekali, padahal masih ada calon yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud, hukumnya haram. Dan tentu saja, syarat yang mereka maksudkan adalah: beriman dan bertakwa, jujur, bisa dipercaya dan aspiratif terhadap umat Islam, serta mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. Kenapa ini jadi terdengar konyol ya bagi saya? Kamu?

Maka buat saya, menjadi apolitis di negri ini merupakan sikap paling politis yang bisa saya lakukan dengan kapasitas yang saya miliki. Karena ada satu kesamaan antara saya, almarhum Dono, Iwan Fals (dulu), dan Cholil; kami semua bukan bagian dari kekuasaan, dan karenanya seperti tidak memiliki kompetensi untuk membawa wacana-wacana pada tataran praktis. Tapi kami juga memiliki suara. Seperti juga kamu. Jadi tidaklah aneh ketika lagu ngobrol di warung kopi tercipta, atau lagu surat buat wakil rakyat sampai tercipta; dikarenakan memang alam demokrasi pada saat itu seolah membungkam suara mereka, sedang mereka memiliki kepedulian pada politik meski tidak dengan ketertarikan yang sama dengan para politisi akan kekuasaan.

Kini, ketika Kompas membuka ruang khusus bagi band E.R.K untuk berbicara mengenai politik dalam sudut pandang anak muda yang dianggap mewakili generasinya, itu hanyalah sebuah konsekuensi dari perkembangan alam demokrasi yang memang masih terus mencari format terbaik. Perkembangan ini memang semakin mengakrabkan kita pada politik, politik tak lagi menjadi barang yang terlalu mewah. Meski juga belum bisa dikatakan kita bisa berpolitik praktis di luar platform yang dibakukan oleh hukum. Dan menurut saya, ini belum bisa disebut demokrasi. Masih adanya suara-suara yang tidak terwakili, jelas-jelas bukanlah demokrasi.

Karena sejatinya demokrasi sampai saat ini baru sampai pada tataran cita-cita. Belum sampai pada tahap ‘tercapai’. Karya-karya seni bermuatan politis yang terus menerus lahir dari para seniman itu bisa menjadi sebuah indikasi, bahwa suara rakyat masih belum mendapat tempat terbaik di tataran praktis. Itulah kenapa kebutuhan masyarakat akan warung kopi menjadi sedemikian besar: sesungguhnya kita juga memiliki hak untuk berpolitik. Bukan sekadar hak untuk memilih. Apalah gunanya kita memilih wakil kita, jika kita merasa mereka tidak dapat mewakili suara kita?[]

3 tanggapan:

Anonim mengatakan...

Salut atas keberaniannya!

Raiya mengatakan...

Kegelisahan yang sama yang saya rasakan saat mendengar sebuah karya dari Cabi Kriting yang berjudul Sekat.
Di bawah ini liriknya:

"hey... sebuah suara yang tak pernah terwahyukan dengan jelas
lihatlah nurani kami semua nyaris terkelupas
tersekat-sekat dalam perbedaan kelas

sementara ada yang tertidur pulas
beberapa dari kami masih harus bekerja keras
apa kami harus lebih dulu menjadi ampas
barulah kami dapat merasakan apa itu dunia tanpa batas..."


Jadi... meski kroco harus tetap bersuara, biar tetap Hidup, bukan sekedar bernafas.
Gitu ya A'?

-Salam Kangen-

Funky Nia mengatakan...

Salam kenal mas!