Para Pemimpi
Seperti biasa, seperti bulan-bulan sebelumnya, di ujung bulan saya baru kembali lagi ke Jakarta. Jakarta masih sama. Masih punya panas sekaligus pengap, lengkap. Tapi hari itu jalanan nggak macet. Mungkin karena masih agak pagi dan hari Minggu pula; masih banyak yang tidur di rumahnya masing-masing sembari mimpi pergi jauh meninggalkan kota yang makin sesak ini. Padahal anak-anak kecil di Desa Mondu, Sumba Timur (desa yang baru aja saya liput) bilang sama saya kalo mereka kepingin datang ke kota ini. Dan pastinya mereka cuma sedikit dari banyak orang di luar sana yang punya mimpi untuk bisa datang ke Jakarta. Aneh.
Satu-satunya yang kelihatan beda pada wajah kota yang udah tua ini adalah adanya tanggul-tanggul beton yang lagi dibangun di kilometer 26-27 jalan tol bandara. Beton-beton tinggi itu tampaknya merupakan bentuk tindaklanjut pemda atas jebolnya tanggul seadanya pada awal Mei kemaren. Mungkin dengan beton, pemda pengen nunjukin kalo kali ini mereka lebih serius kerjanya. Tanggul-tanggul dari bambu kemaren emang keliatan kayak tanggul maenan sih; cuman pake bambu sama tanah. Jadi inget sepupu kecil saya, si Zaidan, yang suka maen-maen tanah bikin rumah-rumahan di depan rumahnya. Mana bisa berdiri rumah yang cuma dibangun dari tanah? Gampang ancur lah. Gampang roboh lah. Ketendang kucing juga rusak. Tapi Zaidan kan anak kecil. Jadi logikanya bisa dimaklumin lah.
Duapuluh hari ditinggalin, ternyata Jakarta nggak banyak berubah. Lagian apa sih yang mau diharapin dari duapuluh hari? Padahal banyak tuh yang mimpi supaya Jakarta jadi lebih baik. Supaya mereka nggak perlu lagi mimpi meninggalkan kota yang semakin sesak itu. Biar ruang mimpinya bisa diisi sama mimpi-mimpi yang laen. Tapi jangankan jadi lebih baik, berubah pun enggak. Oke, berubah dikit sih; sekarang udah ada beton-beton di kilometer 26-27 jalan tol bandara itu…
Orang-orangnya aja masih sama. Masih suka marah-marah. Stress kali ya karena terlalu banyak impiannya yang nggak bisa jadi nyata. Atau justru terlalu sibuk sama mimpi-mimpinya sendiri, sampe-sampe udah nggak punya toleransi lagi sama apa yang nyata. Sehingga ketika kenyataan nggak sesuai sama mimpi mereka, mereka udah males untuk berdialektika sama kenyataan itu dengan cara yang sehat. Mendingan berantem. Mendingan destruktif. Putus asa kali ya?
Baru sehari aja kembali ke Jakarta saya udah nemuin lagi orang-orang kayak gitu. Masuk tivi malah. Mereka lagi mukul-mukulin kepala orang-orang di Monas. Pake kayu lho. Berdarah lho. Jadi inget si John, Si Bolang Nusa Sumba Timur, yang mukul kepala Maxi pake dayung sampe si Maxi nangis. Nggak tau sih kenapa si John tega begitu. Apapun alasannya, mukul kepala orang pake dayung itu nggak bisa dibenerin. Kan bisa mati. Otak ada di situ soalnya. Apakah orang yang mukul kepala orang laen dengan benda keras itu adalah orang yang nggak punya otak, jadi mereka pikir kepala orang laen juga isinya bukan otak, jadi nggak apa-apa dipukul? Tapi kayaknya kenyataan bahwa si John adalah anak kecil yang sekolah di desa terpencil--yang untuk sampe di sekolahnya harus jalan kaki jauh, dan di sekolah belom dapet pelajaran biologi tentang otak--bisa bikin saya sedikit maklumin perbuatan tololnya itu.
Di bis-bis, di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, dari kantor ke rumah, saya juga nemuin orang-orang yang marah-marah. Marah-marah karena ketika ngasih ongkos ke kondektur, mereka disuruh nambahin gopek. Biasanya duaribu jauh-dekat. Kondekturnya juga jadi marah-marah. Sekarang sudah naik, jadi duaribu limaratus. Saya mau marah-marah juga sebenernya, tapi males. Abisnya nggak tau marahnya sebenernya sama siapa. Penumpang yang marah itu juga kali. Marah ke kondektur gara-gara ongkos naek, tapi dalam hatinya sebenernya nggak yakin apakah marahnya emang harus ke kondektur. Kondektur juga gitu; marah ke penumpang gara-gara dimarahin, tapi dalam hati sebenernya kasihan juga sama penumpangnya karena sekarang harus bayar lebih banyak. Padahal gaji mereka juga masih sama aja kali. Mau marah-marah sama pemerintah, tapi takut. Abis pemerintahnya juga suka marah-marah sih. Marah-marahnya nggak langsung sih. Tapi diwakilin sama baton-baton polisi, sama sel-sel penjara yang siap menanti. Ngeri.
Mungkin enggak semua pemimpi itu keren. Kalau nggak punya pengetahuan yang cukup mengenai materi, jadinya kayak nggak serius untuk membangun kenyataan yang baru. Kayak Zaidan yang ngebangun rumah dari tanah. Kalau nggak tau cara mendialektikakan mimpi-mimpi kita sama kenyataan dengan cara yang sehat, akhirnya cuma jadi pemarah. Pemarah yang suka mukul kepala orang. Kayak Si John yang mukul kepala Maxi. Atau jadi pemarah yang nggak jelas marah sama siapa. Kayak Ipang, sepupu saya yang laen, yang dulu marah-marah ke papanya gara-gara Play Stationnya rusak. Padahal rusaknya itu bukan karena papanya keseringan maen winning eleven. Melainkan karena waktu itu rumah mereka yang di Bekasi listriknya emang suka naik turun. Tapi dulu Ipang masih terlalu kecil untuk bisa mengeja Pe-El-En. Jadinya bisa dimaklumin kalo dia baru bisa marah-marah ke papanya aja.[]
Satu-satunya yang kelihatan beda pada wajah kota yang udah tua ini adalah adanya tanggul-tanggul beton yang lagi dibangun di kilometer 26-27 jalan tol bandara. Beton-beton tinggi itu tampaknya merupakan bentuk tindaklanjut pemda atas jebolnya tanggul seadanya pada awal Mei kemaren. Mungkin dengan beton, pemda pengen nunjukin kalo kali ini mereka lebih serius kerjanya. Tanggul-tanggul dari bambu kemaren emang keliatan kayak tanggul maenan sih; cuman pake bambu sama tanah. Jadi inget sepupu kecil saya, si Zaidan, yang suka maen-maen tanah bikin rumah-rumahan di depan rumahnya. Mana bisa berdiri rumah yang cuma dibangun dari tanah? Gampang ancur lah. Gampang roboh lah. Ketendang kucing juga rusak. Tapi Zaidan kan anak kecil. Jadi logikanya bisa dimaklumin lah.
Duapuluh hari ditinggalin, ternyata Jakarta nggak banyak berubah. Lagian apa sih yang mau diharapin dari duapuluh hari? Padahal banyak tuh yang mimpi supaya Jakarta jadi lebih baik. Supaya mereka nggak perlu lagi mimpi meninggalkan kota yang semakin sesak itu. Biar ruang mimpinya bisa diisi sama mimpi-mimpi yang laen. Tapi jangankan jadi lebih baik, berubah pun enggak. Oke, berubah dikit sih; sekarang udah ada beton-beton di kilometer 26-27 jalan tol bandara itu…
Orang-orangnya aja masih sama. Masih suka marah-marah. Stress kali ya karena terlalu banyak impiannya yang nggak bisa jadi nyata. Atau justru terlalu sibuk sama mimpi-mimpinya sendiri, sampe-sampe udah nggak punya toleransi lagi sama apa yang nyata. Sehingga ketika kenyataan nggak sesuai sama mimpi mereka, mereka udah males untuk berdialektika sama kenyataan itu dengan cara yang sehat. Mendingan berantem. Mendingan destruktif. Putus asa kali ya?
Baru sehari aja kembali ke Jakarta saya udah nemuin lagi orang-orang kayak gitu. Masuk tivi malah. Mereka lagi mukul-mukulin kepala orang-orang di Monas. Pake kayu lho. Berdarah lho. Jadi inget si John, Si Bolang Nusa Sumba Timur, yang mukul kepala Maxi pake dayung sampe si Maxi nangis. Nggak tau sih kenapa si John tega begitu. Apapun alasannya, mukul kepala orang pake dayung itu nggak bisa dibenerin. Kan bisa mati. Otak ada di situ soalnya. Apakah orang yang mukul kepala orang laen dengan benda keras itu adalah orang yang nggak punya otak, jadi mereka pikir kepala orang laen juga isinya bukan otak, jadi nggak apa-apa dipukul? Tapi kayaknya kenyataan bahwa si John adalah anak kecil yang sekolah di desa terpencil--yang untuk sampe di sekolahnya harus jalan kaki jauh, dan di sekolah belom dapet pelajaran biologi tentang otak--bisa bikin saya sedikit maklumin perbuatan tololnya itu.
Di bis-bis, di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, dari kantor ke rumah, saya juga nemuin orang-orang yang marah-marah. Marah-marah karena ketika ngasih ongkos ke kondektur, mereka disuruh nambahin gopek. Biasanya duaribu jauh-dekat. Kondekturnya juga jadi marah-marah. Sekarang sudah naik, jadi duaribu limaratus. Saya mau marah-marah juga sebenernya, tapi males. Abisnya nggak tau marahnya sebenernya sama siapa. Penumpang yang marah itu juga kali. Marah ke kondektur gara-gara ongkos naek, tapi dalam hatinya sebenernya nggak yakin apakah marahnya emang harus ke kondektur. Kondektur juga gitu; marah ke penumpang gara-gara dimarahin, tapi dalam hati sebenernya kasihan juga sama penumpangnya karena sekarang harus bayar lebih banyak. Padahal gaji mereka juga masih sama aja kali. Mau marah-marah sama pemerintah, tapi takut. Abis pemerintahnya juga suka marah-marah sih. Marah-marahnya nggak langsung sih. Tapi diwakilin sama baton-baton polisi, sama sel-sel penjara yang siap menanti. Ngeri.
Mungkin enggak semua pemimpi itu keren. Kalau nggak punya pengetahuan yang cukup mengenai materi, jadinya kayak nggak serius untuk membangun kenyataan yang baru. Kayak Zaidan yang ngebangun rumah dari tanah. Kalau nggak tau cara mendialektikakan mimpi-mimpi kita sama kenyataan dengan cara yang sehat, akhirnya cuma jadi pemarah. Pemarah yang suka mukul kepala orang. Kayak Si John yang mukul kepala Maxi. Atau jadi pemarah yang nggak jelas marah sama siapa. Kayak Ipang, sepupu saya yang laen, yang dulu marah-marah ke papanya gara-gara Play Stationnya rusak. Padahal rusaknya itu bukan karena papanya keseringan maen winning eleven. Melainkan karena waktu itu rumah mereka yang di Bekasi listriknya emang suka naik turun. Tapi dulu Ipang masih terlalu kecil untuk bisa mengeja Pe-El-En. Jadinya bisa dimaklumin kalo dia baru bisa marah-marah ke papanya aja.[]
3 tanggapan:
Di postingan ini bahasa elu nyantai, ngalir apa adanya, santai, dan tumben bisa kaya gini :P
Jadi kangen Zaidan ama Ipank.
Baik-baik ya mereka?
Mudah-mudahan mereka gak mimpi jadi seorang pemarah :p
Kamu juga gak terlalu pemarah kan sekarang ^_^ Hihihi... tuh mulai nyantai kata Yudhi.
"Dan pastinya mereka cuma sedikit dari banyak orang di luar sana yang punya mimpi untuk bisa datang ke Jakarta. Aneh."
hhm, ini cm salh 1 kbiasaan unik manusia...
yg deket dicuekin, yg jauh dicari...
gak heren kalo semua ajaran agama slalu ngingetin manusia untk selalu bersyukur... 'kan katanya hidup cm skali???
Posting Komentar