Berharap di Atas Jalan yang Kian Sempit
Nurhana, perempuan kurus berusia 40 tahun itu, terlihat berusaha cukup keras untuk bisa tetap berdiri di dalam metromini bernomor trayek M 75 yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi Minggu (21/10/2007) malam itu. Tangannya tidak meraih pegangan besi yang menempel di langit-langit. Saat itu kedua tangannya memang sedang sibuk menghitung lembar-lembar rupiah. Sejurus kemudian ia memilih untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong ketimbang bersusah payah mempertahankan keseimbangannya. Melihat itu semua membuat saya menaruh curiga, bahwasanya ia belum terbiasa melakukan ini. Ia memilih tempat duduk persis di samping saya. Memberi saya kesempatan untuk memastikan dugaan.
"Belum lama kok saya jadi kondektur. Baru setelah lebaran aja," akunya sembari tersenyum hangat. Senyuman yang saya yakin akan sangat sulit muncul dari sosok orang yang telah lama bekerja dengan profesi semacam ini.
Nurhana mau menjalani pekerjaan ini lantaran merasa berkewajiban untuk membiayai dua anak perempuannya yang masih bersekolah. Anak sulung Nurhana, laki-laki berusia 27 tahun, telah memilih pulang ke Cilacap, tanah kelahiran bapaknya, untuk mencari uang dengan mengemudikan ojek motor. Tanpa ada lagi anak laki-laki di tengah-tengah keluarganya, dirinya mengambil inisiatif untuk menjadi kondektur sang suami. Nurhana tidak merasa telah merebut lahan orang lain dengan melakukan ini. Meski dengan metode pasangan suami-istri bekerja di atas trayek yang sama, tampak seperti nepotisme. "Namanya juga orang cari makan," kata Nurhana.
Mungkin tanpa disadarinya betul, Nurhana sempat mengecam pembangunan busway koridor VI (Ragunan-Kuningan) yang menurutnya sangat berpengaruh pada penghasilan suaminya. Tapi pada akhir perbincangan, ia sempat mengungkapkan rasa bangga pada putrinya yang tak lama lagi akan segera lulus dari bangku kuliah. "Biarpun saya sama suami saya kerja kayak begini, tapi dia belajarnya rajin. IPK-nya nggak pernah di bawah tiga." Ungkapan yang sangat saya yakini ia ucapkan dengan sangat sadar. Sebab, jika tidak, rasanya tidak mungkin Nurhana rela melakukan ini semua dengan tetap tersenyum. Senyuman yang memancarkan kasih sayang seorang bunda pada anak-anaknya.[]
0 tanggapan:
Posting Komentar