Sampai Kapan Kita Berdialektika?
Tempo hari aku masih ceria. Ia ada di sana. Kami memuji-muji langit senja bersama, dan berkata 'senja akhir-akhir ini demikian memesona'. Hatiku berbisik, 'ini semua sempurna, karena kau ada di sini'. Sesekali jemari mungilnya menggelitiki perutku yang buncit dan aku pun tertawa. Bahagia. Tapi bukan hari ini.
Tempo hari aku masih ceria. Ia belum lagi ada di sana. Aku dan keluarga menikmati senja di Pantai Marina. Aku dan adek membangun sebuah istana. Sebelumnya istana itu tak ada. Kami penciptanya. Dalam perjalanan pulang aku cemas, karena aku tahu ombak akan membuat istana itu kembali tiada. Tapi Ayah membelikanku campina. Dan secepat itu aku mampu kembali ceria. Tapi bukan hari ini.
Tempo hari aku belum lagi ada di sini. Entah di mana. Barangkali saat itu Ayah dan Ibu sedang mempersiapkan sebuah nama. Mungkin sedang memuji-muji langit senja berdua. Atau bahkan belum lagi bersua dan masih sibuk menyelesaikan pe-er matematika. Tapi bukan hari ini.
Hari ini aku melihat Ayah, Ibu, dan adekku masih ada. Mereka semua memang semakin menua. Rupa mereka tak lagi sama. Tapi mereka masih punya raga. Ruap-ruap keringat yang khas masih bisa kucium dari pori-pori tubuh mereka. Tapi belum tentu hari esok.
Hari ini juga aku tak merasakan gelitikan di perutku yang buncit oleh tangan-tangan mungil yang kusuka. Senja hari ini adalah senja yang kulalui dengan menyusuri jalan-jalan ibukota sendirian dengan perasaan belum lagi terbiasa. Tapi belum tentu hari esok.
Hari ini aku masih menapaki dunia. Mataku masih terbuka dan menangkapi semua citra. Jantungku masih berdegup seolah menghitung mundur hingga saat yang tak pernah kuduga. Tapi belum tentu hari esok.
Tapi ... tempo hari, hari ini, dan hari esok aku adalah seorang pembelajar yang dalam proses untuk menjadi lebih baik. Huh, ucapan yang klise dari mulut seorang manusia. Tapi entah kenapa itu tak semudah ketika terucap. Iyah. Mungkin benar bahwa 'ada kedalaman yang tak bisa kuselami, ada ketinggian yang tak bisa kulintasi'. Mengaku memang satu hal yang paling berat. Padahal dengan mengaku aku bisa mengenali diri sendiri. Apa yang aku bisa dan apa yang tak. Dan dengan mengenal diri sendiri aku bisa mengenal siapa yang maha bisa. Mengakulah hei aku! Mengaku! Asyhadu anlaa... (Ya ampun beratnya).
Tempo hari aku berkata, 'mungkin ini tulisan terakhirku di sini'. Tapi bukan hari ini.
Tempo hari aku masih ceria. Ia belum lagi ada di sana. Aku dan keluarga menikmati senja di Pantai Marina. Aku dan adek membangun sebuah istana. Sebelumnya istana itu tak ada. Kami penciptanya. Dalam perjalanan pulang aku cemas, karena aku tahu ombak akan membuat istana itu kembali tiada. Tapi Ayah membelikanku campina. Dan secepat itu aku mampu kembali ceria. Tapi bukan hari ini.
Tempo hari aku belum lagi ada di sini. Entah di mana. Barangkali saat itu Ayah dan Ibu sedang mempersiapkan sebuah nama. Mungkin sedang memuji-muji langit senja berdua. Atau bahkan belum lagi bersua dan masih sibuk menyelesaikan pe-er matematika. Tapi bukan hari ini.
Hari ini aku melihat Ayah, Ibu, dan adekku masih ada. Mereka semua memang semakin menua. Rupa mereka tak lagi sama. Tapi mereka masih punya raga. Ruap-ruap keringat yang khas masih bisa kucium dari pori-pori tubuh mereka. Tapi belum tentu hari esok.
Hari ini juga aku tak merasakan gelitikan di perutku yang buncit oleh tangan-tangan mungil yang kusuka. Senja hari ini adalah senja yang kulalui dengan menyusuri jalan-jalan ibukota sendirian dengan perasaan belum lagi terbiasa. Tapi belum tentu hari esok.
Hari ini aku masih menapaki dunia. Mataku masih terbuka dan menangkapi semua citra. Jantungku masih berdegup seolah menghitung mundur hingga saat yang tak pernah kuduga. Tapi belum tentu hari esok.
Tapi ... tempo hari, hari ini, dan hari esok aku adalah seorang pembelajar yang dalam proses untuk menjadi lebih baik. Huh, ucapan yang klise dari mulut seorang manusia. Tapi entah kenapa itu tak semudah ketika terucap. Iyah. Mungkin benar bahwa 'ada kedalaman yang tak bisa kuselami, ada ketinggian yang tak bisa kulintasi'. Mengaku memang satu hal yang paling berat. Padahal dengan mengaku aku bisa mengenali diri sendiri. Apa yang aku bisa dan apa yang tak. Dan dengan mengenal diri sendiri aku bisa mengenal siapa yang maha bisa. Mengakulah hei aku! Mengaku! Asyhadu anlaa... (Ya ampun beratnya).
Tempo hari aku berkata, 'mungkin ini tulisan terakhirku di sini'. Tapi bukan hari ini.
1 tanggapan:
great!
Posting Komentar