24 April 2007

How Can We Be Friend, Fascist?

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!

dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang!

(Widji Thukul, Bunga & Tembok)



Kunto adalah batu. Sekarang aku menyebutnya begitu. Tapi jauh sebelum itu, aku melihatnya sebagai harimau. Ia bicara dengan auman, terkadang disertai cakar. Begitu cara harimau itu berbicara menyatakan dirinya. Terkadang ia menakutkanku. Namun yang lebih menakutkanku sebenarnya adalah rasa takut yang muncul di dalam diriku. Iya, aku takut ketika aku mulai merasa takut. Sebab seringkali rasa takut membuatku kehilangan kendali atas diriku sendiri dan memungkinkan hal terburuk yang sangat kutakutkan terjadi: marah. Dan bukannya tidak mungkin dengan rasa takut itu aku juga akan menjadi harimau. Aku tidak mau menjadi harimau.

Ia harimau semenjak pertama kali aku mengenalnya. Ia harimau setiap kali menyambangi aku di pagi hari, siang hari, bahkan di dalam mimpi. Ia memang telah sekali mendatangiku lewat mimpi. Sialan. Sefokus itukah aku pada manifestasinya sehingga ia telah mengambil satu tempat di bawah sadarku? Sebenci itukah aku pada eksistensinya? Sebegitu inginnyakah aku membuat ia hilang dari kenyataan?

Sesungguhnya aku ingin berkawan dengan Kunto. Aku ingin kita berdua bisa berbicara dengan bahasa yang sama-sama kita sukai. Walau mungkin untuk menemukan bahasa itu, kita berdua harus melalui satu proses yang panjang. Mencari apa yang masing-masing kita sukai, kita tidak sukai, dan apa yang masing-masing kita takuti. Aku selalu ingin tahu apa yang sebenarnya ia takuti sehingga ia bisa menjadi sebegitu menakutkan.

Aku tidak ingin menjadi menakutkan. Tapi aku tahu, dengan rasa takutku yang masih sering datang ketika aku berhadapan dengannya, bukannya tidak mungkin suatu saat aku akan jadi sama menakutkannya. Aku ingin sekali mengatasi rasa takut ini.

Setiap kita memiliki rasa takut. Dan rasa takut terbesar dimiliki oleh ia yang paling menakutkan. Dengan rasa takut kita bertahan. Dengan rasa takut kita melindungi diri mati-matian: dari kesalahan, dari kegagalan, dari apapun yang bisa membuat kita mati. Kita semua punya ketakutan yang sama pada kematian. Kunto aku yakin juga demikian.

Akhirnya, untuk memastikannya aku bertanya padanya kemarin. Aku bertanya di depan wajahnya mengenai apa sebenarnya yang membuat ia menjadi sedemikian menakutkan. Apa yang sebenarnya ia takutkan. Dan aku kini sudah punya jawabannya;

Kunto takut membuat kesalahan yang bisa membuatnya mati. Kunto takut dunia yang ia jaga dan bentengi akan runtuh. Dan Kunto takut kalau harus memulai semuanya dari awal lagi.

***

Kunto adalah batu. Kunto adalah penakut yang sama seperti diriku. Rasa takut itu mengejawantah batu-batu yang ia bangun sebagai tembok di sekelilingnya untuk melindungi dirinya dari bahaya. Sebenarnya aku berharap tembok itu runtuh. Aku hanya ingin berkawan dengannya. Aku hanya ingin membangun dunia bersamanya. Bukan terus menerus membangun dunia kami masing-masing yang terpisah. Namun Kunto adalah batu. Ia tidak akan mengubah sikapnya, politiknya; karena ia pikir itu yang terbaik dan teraman bagi dirinya.

Sebentar lagi Kunto datang, dan ia mungkin akan tetap harimau. Ia akan tetap berbicara dengan auman, dan mungkin disertai cakar. Ia tidak ingin mengubah caranya meski kini ia sudah tahu aku tidak menyukai cara itu. Ia ingin aku bisa menerima ia yang seperti itu. Tapi ia tidak ingin menerima aku yang seperti ini. Padahal saat ini dunia kami bersinggungan cukup banyak. Sayang sekali. Entah sampai kapan kami harus hidup dengan cara seperti ini.

Sebenarnya aku ingin berkawan dengannya. Setidaknya kami bisa menjadi lawan. Tapi ternyata ia adalah batu. Dan aku tidak mengerti bagaimana caranya berkawan ataupun melawan batu. Aku tidak ingin menjadi batu supaya bisa menjadi kawannya, pun tidak ingin menjadi batu agar bisa melawan kekuatannya. Aku tidak ingin menjadi batu.

Untuk sementara aku cukup memaklumi keinginannya dan ketidakinginannya. Karena Kunto adalah penanam modal di sini. Kunto adalah bossku. Entah sampai kapan.[]

1 tanggapan:

Omith mengatakan...

temen ku kunto tu genduth orange..
heueu
kemana lo bro..?
hopping u got u'r way..


cheers,


-mtah