16 Maret 2009

The Guru # 1 - Sidik: Sport & Moustache

Namanya pendek saja. Sidik. Tidak ada kata lain yang mengikuti. Yah, setidaknya itu yang saya tahu sih. Iya, saya mengenalnya selama tiga tahun dengan nama sependek itu. Nama yang selalu membuat saya teringat pada ikon produk sebuah bank yang pada era itu cukup terkenal. Si Jempol.

Saya tidak pernah tahu apa suku bangsa dia sesungguhnya. Dia memang selalu bicara menggunakan dialek orang batak, dengan suaranya yang lantang, rada-rada serak, dan lengkap dengan butiran-butiran ludah yang sesekali menyembur. Jika saja saya tidak pernah memergoki ia sedang berbicara pada seorang guru lain pada suatu hari dengan menggunakan bahasa sunda yang fasih, pasti saya sudah berani mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa Pak Sidik adalah orang Batak.

Maka sampai sekarang pun saya tidak pernah tahu pasti, apakah ia adalah orang Sunda yang menyamar sebagai orang batak, supaya memiliki kesan angker sehingga disegani oleh murid-muridnya... ataukah ia memang orang batak yang sudah lama tinggal di Jawa Barat, sehingga mampu menggunakan bahasa Sunda dengan cukup baik. Entahlah.

Sidik adalah sosok yang ideal sebagai guru olahraga pada saat itu. Tubuhnya atletis dan terlihat lumayan berotot. Jika ia berlari, badannya tegap. Seolah-olah ia tidak akan pernah kehabisan nafas meski berlari dari Dapur Susu sampai ke Blok M. Itu kesan yang saya tangkap pada saat itu.

Dan peluit merupakan benda yang seolah menjadi hal intrinsik pada diri sidik di dalam ingatan saya. Ketika ia menyuruh kami berlari mengelilingi taman, ia tidak duduk, melainkan berdiri tegap. Itu membuat saya merasa bahwa ini adalah sesuatu yang serius dan tidak boleh dianggap main-main. Coba kau bayangkan apabila kau disuruh berlari oleh seseorang, tapi orang itu menyuruh sembari duduk dan makan pisang goreng buatan Ibu Simanjuntak (pedagang di kantin sekolah saya pada era itu). Pastilah kamu pun akan berlari dengan malas-malasan.

Tapi itu tidak dilakukan oleh Sidik. Sidik menyuruh kami berlari mengelilingi taman sembari ia berdiri dengan tegak. Kemudian suara bataknya akan terdengar lantang: "Satu-Dua-Tiga!" dan kemudian disusul oleh suara peluit yang seolah-olah selalu tersemat di bibirnya sepanjang hayatnya. PRIIIIT!!! Maka saya pun mulai berlari dengan semangat. Kami semua berlari berhamburan keluar dari pekarangan sekolah, melewati pagar sekolah yang berkarat. Saya selalu bisa merasakan senyuman mengembang di wajah saya ketika mulai berlari seperti itu. Saya merasa melayang seperti angsa. Iya, saya merasa seolah-olah saya dan kawan-kawan saya semua itu adalah koloni angsa yang sedang terbang di angkasa. Menyenangkan sekali...

Ya, saya pun pernah berpikir, jangan-jangan hanya saya sendiri yang antusias ketika disuruh berlari mengelilingi taman yang letaknya cukup jauh juga dari sekolah--kami harus mengitari satu blok rumah dahulu untuk mencapainya. Tapi ternyata tidak demikian. Saya sudah pastikan ini berkali-kali. Saya selalu menoleh ke wajah kawan-kawan saya ketika kami semua sedang melayang di angkasa seperti koloni angsa. Antusiasme yang sama pun terlihat pada wajah kawan-kawan yang lain. Luar biasa! Tidak ada satu pun nada keluhan yang sempat keluar dari mulut kami ketika kami disuruh berlari seperti itu. Malahan, tak jarang, saya dan beberapa kawan memanfaatkan momen itu sebagai ajang balapan. Iya, balapan... Kami saling adu cepat menjadi yang pertama tiba kembali di lapangan basket sekolah. Dimana di sana Sidik sudah menanti kami semua untuk segera melakukan gerakan-gerakan senam pemanasan.

Dan satu hal lagi yang luar biasa. Tidak ada satu anak pun yang curang. Sekali pun itu anak yang terkenal paling bandel di kelas. Tidak ada yang curang. Tidak ada satu pun anak yang mengambil jalan pintas. Padahal tanpa pengawasan seperti itu--dimana Sidik tetap berada di lapangan basket sekolah ketika kami berlari--sangat banyak peluang bagi kami untuk melakukan kecurangan-kecurangan, seperti: tidak mengitari taman untuk membeli jajanan di depan SD, ataupun main gimbot (baca: game watch) yang disewakan oleh abang-abang sebentar saja sementara yang lain sedang susah payah mengitari taman. Tidak ada, Kawan! Kami semua berlari mengitari taman dengan semangat 90an (semangat 45 rasanya sudah terlalu oldskull).

Sidik adalah guru yang humoris. Meski humornya seringkali menjurus porno. Tapi tak mengapa. Toh, itu yang kita semua sukai. Dan tampaknya Sidik tahu itu. Iya, Sidik dan kami seperti sama-sama tahu: Sidik tahu apa yang kami suka... Joke Porno dan slapstick (salah satu hal lagi yang merupakan keahliannya pada saat itu), dan kami tahu apa yang Sidik suka... disiplin dan sportif. Tidak mengambil jalan pintas untuk bermain gimbot ketika disuruh berlari mengelilingi taman. Sidik dan kami seperti saling menjaga satu sama lain. Menjaga hubungan yang semacam itu.

Tapi jika saya pikir-pikir kembali, hubungan semacam itu rasanya tidak akan pernah tercipta jika saja Sidik tidak memelihara kumisnya yang seperti Andi Malarangeng itu (Ah, kumis Andi Malarangeng yang seperti Sidik... Kan dulu Malarangeng belum ada apa-apanya). Dengan kumis itu, ia tampak berwibawa, tampak serius ketika menyuruh kami mengelilingi taman, bukan main-main, bukan basa-basi. Serius! Kumis dan sebuah benda yang menyembul di depannya dan mengeluarkan suara melengking, mampu membuat kami berdedikasi pada olahraga, pada track yang mesti kami lalui ketika berlari... tidak boleh curang!

Sebab pernah suatu hari Sidik muncul tanpa kumisnya itu. Dan kau tau apa yang terjadi? Kami semua tak henti-hentinya menahan tawa, bahkan ketika Sidik sudah mulai berbicara. Itu kacau, Kawan. Kacau... Hubungan yang selama ini telah terjaga menjadi kacau. Sidik kehilangan wibawa, anak-anak kehilangan faktor yang mendorong mereka untuk berpikir bahwa ini semua bukan main-main. Padahal, selama itu Sidik telah berhasil memadukan antara keseriusan dengan kesenangan. Lihat saja bagaimana kami bisa menjadikan sebuah determinasi untuk mengelilingi taman (itu bukan jarak yang dekat lho) sebagai sebuah permainan. Kami jadikan kesusahan itu sebagai kesenangan. Kami balap lari... Asyik kan?

Maka Sidik harusnya tahu, bahwa kumisnya itu merupakan faktor penting yang membawa kami semua melampaui titik-titik penting dalam hidup kami, hingga sampai di titik sekarang ini. Kami telah berhasil, Pak Sidik. Kami telah berhasil mengitari taman dengan perasaan senang. Kami telah berhasil menyelesaikan sekolah di SMP 37, juga dengan perasaan senang. Dan di luar sini, Pak Sidik, Bapak boleh bangga pada kami... Di luar sini kami juga telah menjadi orang-orang yang berhasil, Pak... Entah apa hasilnya... pokoknya berhasil, dan pokoknya senang.[]

27 Januari 2009

Hak Politik, Bukan Hak Pilih!

Politik. Kata yang dewasa ini sepertinya sudah tak lagi menjadi barang mewah bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak seperti pada era orde baru—ketika ‘demokrasi’ belum menjadi seperti hari-hari belakangan ini—kata ini kerap dikorelasikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan kekuasaan negara. Serta merta politik pun menjadi barang eksklusif, yang hanya boleh disentuh oleh orang-orang terpilih. Lalu para kroco seperti kita yang tidak pernah mendapat kesempatan menjadi bagian dari kekuasaan, sehingga dianggap tidak memiliki kompetensi untuk membincangkan soalan tersebut, hanya bisa membicarakan politik secara samar-samar dan di tempat-tempat yang ‘aneh’. Di warung kopi misalnya.

“Ngobrol di warung kopi, nyentil sana dan sini, sekedar suara rakyat kecil, bukannya mau usil…” Masih ingat kan dengan jingle legendaris Warkop DKI (salah satu grup lawak yang mulai tenar di era 70an akhir itu)? Dengan lagu itu, mereka terdengar seperti ingin menyapa penguasa di jamannya. Lihatlah bagaimana Dono dan kawan-kawan sepertinya bisa dibilang sudah melakukan upaya-upaya aktivisme politik, dengan terkadang menyisipkan isu-isu sosial-politik ke dalam materi lawakan mereka (coba dengarkan Pengen Melek Hukum atau Semua Bisa Diatur—saya punya file MP3-nya). Lucunya, jika kita mendengar sekali lagi itu semua di era sekarang ini, sepertinya apa yang sedang mereka lakukan saat itu seolah tidak memiliki pengaruh apapun pada kekuasaan, dan malahan cenderung terdengar dangkal saja. Represifitas penguasa pada jaman itu tentu bisa menjadi apologi.

Tempo hari saya baru mendengar kabar bahwa band Efek Rumah Kaca sudah mulai mengisi rubrik di Kompas saban Sabtu. Konon nama rubriknya “Obrolan Politis”. Yah, saya memang tidak rajin membaca koran. Tapi dari nama rubriknya saja sudah bisa saya terka apa yang akan mereka bicarakan. Dengan bekal persepsi atas mereka sebagai band indie label yang memuat kritik sosial dalam lagunya, saya sudah bisa menduga apalagi yang akan mereka bawa kali ini melalui tulisan di Kompas: apalagi? Ya, pasti kritik sosial juga…

Tenang, saya bukan sedang ingin mempromosikan apalagi mengglorifikasi band itu. Saya hanya menjadikan mereka sebagai sebuah sampel dari representasi kegelisahan generasi. Toh, hal serupa juga pernah dilakukan oleh musisi-musisi atau artis-artis (tentunya dengan definisi yang paling benar; art-ist = seniman) sebelum mereka. Warkop DKI tadi menurut saya adalah salah satunya, meskipun muatan politisnya terasa ecek-ecek. Kemudian, di jaman yang sedikit berbeda, ada juga seorang pria berkumis bernama Iwan Fals; yang kita ketahui bersama juga sempat menjadi ikon musisi kritis di negri ini.

Jadi, ini bukan mengenai Iwan Fals yang lebih kritis daripada Dono CS. Bukan pula E.R.K. yang lebih berani daripada Om Iwan. Bukan itu. Semua ada masanya. Kata Einstein, The only reason for time is so that everything doesn't happen at once. Artinya, ini soal “orang yang tepat di waktu yang tepat”. Relevansi, sebut saja begitu. Apabila kita menilai wacana yang diusung oleh Warkop DKI dangkal untuk ukuran jaman sekarang, maka sebaliknya, ‘obrolan politis’ Efek Rumah Kaca pasti akan sangat rumit untuk ukuran logika orang-orang bercelana cutbray di era Indro masih kurus. Padahal, apa yang mereka bicarakan sama-sama berada di tataran politik yang non-partisipatif. Artinya, pembicaraan politik dalam karya-karya mereka, bukanlah upaya untuk mengajak orang-orang untuk berpartisipasi di dalam politik kenegaraan. Dengar saja lagi, adakah Warkop DKI, atau Iwan Fals (dulu), atau E.R.K. mengajak kita untuk memilih salah satu partai politik melalui karya-karya mereka? Rasa-rasanya tidak. Tapi dengan membicarakan politik dengan gaya yang justru cenderung sinis dan apolitis, mereka juga tidak bisa dibilang apatis. Sebaliknya, saya melihat mereka sebagai orang-orang yang memiliki kepedulian besar pada perpolitikan di negri ini. Bahkan jauh lebih besar daripada kepedulian kebanyakan politisi di gedung dewan yang hanya peduli pada kepentingan kekuasaan belaka. Kasusnya jadi agak mirip dengan ambivalensi paradoksal ateis: Ateis seringkali dianggap tidak pernah memikirkan agama dan Tuhan. Padahal bila dilihat dengan cara yang lain, justru mereka menjadi ateis karena terlalu serius memikirkan agama dan Tuhan. In some awful, strange, paradoxical way, atheist tend to take religion more seriously than practitioners, kata Jonathan Miller.

Ditarik kembali pada konteks politik, apolitis menjadi semacam hak untuk berpikir bebas, ketika berpikir itu sendiri telah ada platform yang sudah ditentukan kadarnya: tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Jika tak sesuai kadarnya, dianggap apolitis bahkan berdosa. Ngomong-ngomong soal dosa, tahun ini MUI lagi-lagi mengeluarkan fatwa yang berkenaan dengan partisipasi umat pada pesta politik yang tak lama lagi akan berlangsung. Dalam fatwa kali ini, MUI berfatwa, bahwa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, atau tidak memilih sama sekali, padahal masih ada calon yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud, hukumnya haram. Dan tentu saja, syarat yang mereka maksudkan adalah: beriman dan bertakwa, jujur, bisa dipercaya dan aspiratif terhadap umat Islam, serta mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. Kenapa ini jadi terdengar konyol ya bagi saya? Kamu?

Maka buat saya, menjadi apolitis di negri ini merupakan sikap paling politis yang bisa saya lakukan dengan kapasitas yang saya miliki. Karena ada satu kesamaan antara saya, almarhum Dono, Iwan Fals (dulu), dan Cholil; kami semua bukan bagian dari kekuasaan, dan karenanya seperti tidak memiliki kompetensi untuk membawa wacana-wacana pada tataran praktis. Tapi kami juga memiliki suara. Seperti juga kamu. Jadi tidaklah aneh ketika lagu ngobrol di warung kopi tercipta, atau lagu surat buat wakil rakyat sampai tercipta; dikarenakan memang alam demokrasi pada saat itu seolah membungkam suara mereka, sedang mereka memiliki kepedulian pada politik meski tidak dengan ketertarikan yang sama dengan para politisi akan kekuasaan.

Kini, ketika Kompas membuka ruang khusus bagi band E.R.K untuk berbicara mengenai politik dalam sudut pandang anak muda yang dianggap mewakili generasinya, itu hanyalah sebuah konsekuensi dari perkembangan alam demokrasi yang memang masih terus mencari format terbaik. Perkembangan ini memang semakin mengakrabkan kita pada politik, politik tak lagi menjadi barang yang terlalu mewah. Meski juga belum bisa dikatakan kita bisa berpolitik praktis di luar platform yang dibakukan oleh hukum. Dan menurut saya, ini belum bisa disebut demokrasi. Masih adanya suara-suara yang tidak terwakili, jelas-jelas bukanlah demokrasi.

Karena sejatinya demokrasi sampai saat ini baru sampai pada tataran cita-cita. Belum sampai pada tahap ‘tercapai’. Karya-karya seni bermuatan politis yang terus menerus lahir dari para seniman itu bisa menjadi sebuah indikasi, bahwa suara rakyat masih belum mendapat tempat terbaik di tataran praktis. Itulah kenapa kebutuhan masyarakat akan warung kopi menjadi sedemikian besar: sesungguhnya kita juga memiliki hak untuk berpolitik. Bukan sekadar hak untuk memilih. Apalah gunanya kita memilih wakil kita, jika kita merasa mereka tidak dapat mewakili suara kita?[]

22 Januari 2009

KENANG-KENANGAN

Kata Pengantar

Kenang-Kenangan adalah sebuah kumpulan tulisan. Sudah dua tahun lebih usianya. Tapi saat ini saya ingin mempublishnya di blog ini. Bukan karena memang tulisan ini tidak pernah saya publish di blog atau situs web manapun sebelumnya. Bukan karena dulu saya merasa malu untuk mempublikasikannya karena tulisan ini terlalu sentimentil, sedang sekarang saya merasa tidak perlu malu lagi. Bukan pula sekadar untuk mengisi kealpaan blog ini dari tulisan baru. Bukan itu. Melainkan karena ketika saya tadi menemukannya di dalam salah satu cakram vidio digital (DVD), tempat dimana file-file tua saya tersimpan dengan tak rapi, dan kemudian saya membacanya lagi, saya merasa seperti ditampar oleh salah satu kalimat dalam "Dunia dari Balik Jendela": Dan untuk itulah rasanya saya pantas untuk ditampar-tampari terus menerus agar saya tidak terlena hidup di dalam satu dunia kecil saja. Gila, pikir saya, ternyata saya belum banyak berubah. Ataukah memang benar, sejarah itu selalu berulang?

Karena itulah saya merasa tulisan tahun 2006 ini perlu untuk saya angkat lagi. Agar saya menyadari bahwa saya sekarang tengah berada pada fase yang sama: takut kehilangan, sehingga saya harus segera melakukan sesuatu untuk melampaui fase ini.

Tulisan-tulisan di dalam Kenang-Kenangan ini memang berbicara seputar kehilangan. Siapa yang tidak pernah kehilangan? Siapa yang tidak akan pernah kehilangan? Saya, kamu, kita semua; pasti pernah dan akan berada di fase itu. Karena itu, mungkin kumpulan tulisan ini memiliki relevansi juga untuk orang lain selain saya. Kalau kamu mau membaca versi lengkapnya, silakan unduh pada link yang tersedia di bagian akhir postingan ini.

Akhir kata, selamat membaca. Semoga bermanfaat.[]

***
Siang hari akhir-akhir ini Jakarta terasa panas sekali. Saya benar-benar dapat merasakannya ketika weekend telah tiba. Karena pada saat-saat seperti itu saya sama sekali tidak berada di bawah atap kantor dan jauh dari AC ruangannya yang sejuk. Dan besok-besok mungkin itulah yang sudah menjadi rutinitas baru saya. Dari yang tadinya saya rutin untuk datang ke kantor pada pagi hari dan pulang baru sore harinya, besok-besok boleh jadi saya sudah punya rutinitas baru yang suatu hari saya yakin pasti akan kembali membuat saya muak sendiri.

Saya memang begitu. ‘Aneh’ kata sebagian orang, dan ‘tidak pernah bersyukur’ kata beberapa teman dekat; dan semua judgement semacam itu saya terima saja mengingat saya sendiri juga tahu saya ini seperti apa. Mungkin dunia ini memang baik-baik saja, dan tidak ‘sakit’ seperti yang selalu saya pikir begitu. Mungkin sayalah yang tidak baik-baik saja dan untuk itu selalu merasa perlu mencari cara dalam membuat segalanya menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.

Saya ingat betul pada suatu hari ketika seorang teman berkata pada saya bahwa mungkin untuk membuat kita berdua mulai bisa melupakan idealisme yang semakin lama semakin absurd ini, kita harus segera menikah!

Saya hanya tertawa menanggapi ucapannya saat itu. Karena itu bisa jadi benar, tapi bisa juga salah sama sekali. Cukup banyak juga teman-teman saya lainnya yang sudah memasuki fase berumah tangga tapi mereka tetap meneruskan pengejaran yang sama. Jadi saya belum mau mengambil konklusi apa-apa dari ungkapan hati teman saya itu.

Saat tulisan-tulisan ini sudah selesai saya ketik dan tidak akan saya edit-edit lagi, lalu kemudian ada yang membacanya untuk pertama kali, mungkin saya sudah tidak berada di tempat yang sama dengan sekarang ketika saya masih menekan-nekan tuts keyboard. Mungkin saya sudah ada di tengah laut lepas, ataupun sedang terbang melintasi angkasa menuju tempat yang indah.

Sengaja tulisan ini saya jadikan sebagai bagian dari diri saya yang saya tinggalkan. Karena saya sangat setuju dengan Pram, bahwa manusia akan hilang begitu saja kalau ia tidak menulis apa-apa. Ya, kira-kira begitu kata-katanya. Saya juga tidak menghapalnya.

Saya hanya ingin berbagi lewat tulisan-tulisan ini. Tentang perasaan saya sebulan terakhir di tempat yang telah saya pijaki setelah sekian lama. Juga tentang harapan-harapan akan hari esok yang masih ingin saya bangunkan. Sungguh, jika ada yang berpikir kalau ini semua semacam surat wasiat sebelum saya melakukan bunuh diri, rasanya ia terlalu banyak nonton film. Saya tidak akan membunuh hidup saya sendiri. Apalagi karena punya masalah. Tapi justru sangat besar kemungkinannya saya akan menghabisi hidup saya sendiri kalau saya sudah merasa hidup saya terlalu hampa.

Permasalahan hidup justru membuat saya yakin kalau saya masih hidup. Karena hidup tidak akan pernah terlepas daripada itu. Saya tidak berniat untuk menghantam apapun dalam tulisan-tulisan saya di sini. Saya hanya ingin berbicara jujur dan apa adanya. Karena tidak ada yang lebih tinggi nilainya daripada kebenaran (Haq). Dan kebenaran adalah sesuatu yang akan bertahan, walau orang jujur itu kebanyakan ‘hancur’.

Maka biarlah kenangan menjadi kenangan. Dan ijinkan saya mempersembahkan kenang-kenangan ini. Untuk Anda…yang hingga detik ini masih berbaik hati mau menjadi tempat berbagi. Walau kita hanya berdialog secara imajiner.

Kenang-Kenangan - Copyleft 2006

***

“DUNIA DARI BALIK JENDELA”

Saat saya menulis baris ini, jarum detik jam weker berwarna kuning saya yang mungil baru saja berhasil melakukan putaran tigaratus-enampuluh derajatnya sekali lagi. Dan kali ini, secara niscaya, putaran kodrati itu telah mengakibatkan jarum menitnya bergeser lagi sedikit. Satu hal kecil yang akhir-akhir ini nyaris luput dari pengamatan saya karena selalu disibukkan dengan hal-hal besar, yang setelah saya coba renungkan kembali ternyata tidaklah lebih punya harga daripada kotoran saya sendiri. Seringkali apa-apa yang pernah saya kejar dan perjuangkan memang tidak lama kemudian dapat bernasib sama seperti tahi-tahi di dalam septictank, atau mungkin yang sudah disedot oleh mobil penyedot tinja dan sudah dibuang entah ke laut mana. Sesuatu yang bahkan saya pun tidak lagi pernah memikirkannya.

Banyak orang begitu risih melihat saya yang terlalu memikirkan hal-hal yang mereka anggap sepele dan tidak perlu diperbesar. Tapi penghakiman semacam itu pada akhirnya selalu saya telan sendirian, walau pahit memang, karena memang saya tidak merasa perlu untuk melawan apapun yang mereka yakini. Saya tahu keyakinan terkadang dipertahankan oleh seseorang oleh karena ia tidak akan punya apa-apa lagi yang bisa disangkal apabila keyakinan tersebut dilepaskan dari genggaman.

Saya sudah bertekad untuk berhenti melakukan penyangkalan atas apa-apa. Atau mungkin karena memang saya tidak punya sesuatu yang saya pertahankan? Entahlah. Tapi saya tahu persis seperti apa rasanya ketika kecintaan saya pada sastra ataupun langit senja dianggap sebagai sesuatu yang sepele. Karenanya saya tidak akan pernah melakukan penghakiman yang sama pada siapapun juga. Apabila seseorang memang harus menyadari bahwa apapun yang ia perjuangkan adalah merupakan sesuatu yang sepele—langit senja, gaji tinggi, hobi, kekasih, jabatan, indielabel, instansi, pernikahan, problematika apapun, apapun!—menurut saya hanya orang itu sendiri saja yang berhak untuk menghakimi. Karena saling menyepelekan dan menghakimi adalah sesuatu yang percuma sama sekali.

Sedemikian rupa saya kini dengan sendirinya menyadari bahwa ternyata telah ada begitu banyak kesepelean yang seringkali membuat saya harus membanting tulang untuk mendapatkannya. Dan yang lebih konyolnya lagi, saya baru saja bisa mengerti bahwa ketika orangtua saya dahulu menggunakan istilah ‘banting tulang’ sebagai pengganti kata ‘bekerja’, itu memang bukan sesuatu yang didramatisir.

Persepsi atas sesuatu memang selalu akan menjadi lebih utuh apabila kita berhadapan dengannya langsung, dan dapat dirasai dengan seluruh indera yang kita punyai. Siapa yang tahu seperti apa rasanya jadi pekerja kantoran yang seharian penuh duduk di depan komputer, kalau selama itu ia hanyalah seorang penganggur yang sama sekali tidak pernah mendaratkan bokongnya di bangku kerja? Dan bagaimana seorang yang sudah merasa mapan bekerja sebagai pekerja kantoran dapat tahu seperti apa rasanya hidup sebagai seorang penganggur pada saat ini juga, ketika ia saja bahkan belum diberi tanda-tanda akan diberhentikan dari pekerjaannya?

Dunia yang besar ini mengajarkan saya relatifitas, dengan memperkenalkan kepada saya ada begitu banyak dunia kecil di dalamnya dan kemudian dengan suatu cara menyedot saya pula untuk masuk melalui setiap lubang pintu-pintunya yang terbuka. Dengan menyadari kenyataan yang semacam ini, saya seolah dituntut untuk tetap menjaga kesadaran saya sendiri untuk tidak terbius, terlena, dan akhirnya memberi efek rasa malas untuk beranjak pergi dari dalam satu dunia kecil yang saya masuki. Karena saya tahu, dunia ini sungguh besar. Lalu mengapa saya harus terus menerus bertahan dalam satu ruang sempit. Saya tidak pernah berkeinginan untuk menjadi seorang pengecut yang terlalu takut untuk beranjak kemanapun karena merasa telah dapat berpijak kuat. Saya ingin hidup sebagai seorang pemberani. Dengan keberanian yang kita pergunakan ketika memutuskan untuk masuk ke dalam suatu dunia, tanpa ketakutan akan kenyataan bahwa suatu hari kita harus meninggalkannya lagi.

Alam raya ini adalah sekolah yang sebenarnya. Dan seringkali kita menjadi murid yang terlalu bebal untuk menerima pelajaran-pelajaran yang tertulis di depan mata kita. Ataupun kita terlalu enggan untuk belajar karena telah merasa terlalu pintar untuk melakukannya lagi. Saya sendiri merasa sudah nyaris buta untuk dapat melihat ke depan. Bukan hanya itu: Saya nyaris buta untuk dapat melihat kemanapun lagi!

Hal seperti ini selalu dimulai dengan pertama kali saya memasuki suatu dunia, dan kemudian diiringi dengan peletakkan batu-batu di sekeliling saya secara berkesinambungan, hingga akhirnya mereka semua sedikit demi sedikit mulai menghalangi saya dari dunia di luar sana; Tidak ada lagi langit malam berbintang dan rembulannya yang selalu mengagumkan itu. Karena semenjak dunia ini telah menjadi kubus sempurna, saya hanya dapat melihat langitlangit dengan warnanya yang tidak semenarik rasi bintang yang paling membosankan sekalipun. Sayapun harus puas untuk mulai hidup di dalam dunia yang terlalu sempit untuk bisa berlari, melompat, atau sekadar menyanyikan lagu kemerdekaan. Saya juga harus puas untuk hidup dengan sepotong asa yang hanya mampu saya nikmati dari balik jendela yang hanya menampakkan satu sisi dunia saja. Dan saya harus mulai bisa menganggap bahwa ‘dunia dari balik jendela’ yang hanya dapat saya lihat, tanpa dapat saya gapai itu adalah dimana saya hidup. Konyolnya, saya tidak benar-benar berada di luar sana. Melainkan saya tetap berada di bawah langitlangit dengan warna yang membosankan sementara langit di atas sana mungkin sedang bermain-main dengan spektrum yang memesonakan. Saya tidak pernah tahu itu. Karena itu semua sudah menjadi suatu hal yang terlewatkan begitu saja.

Tapi entah kenapa hidup ini memang terlalu baik pada saya. Saya seolah-olah selalu diberi kesempatan untuk terus bereksperimen dan bereksperimen. Untuk selalu mencobai seperti apa rasanya bila hari ini hidup di satu dunia kecil dan keesokan sorenya saya harus pindah lagi ke dunia kecil lainnya. Saya mungkin memang orang yang terlalu bebal dalam belajar. Dan untuk itulah rasanya saya pantas untuk ditampar-tampari terus menerus agar saya tidak terlena hidup di dalam satu dunia kecil saja. Lalu akhirnya saya pun akan merasa takut untuk melihat kemungkinan bahwa kapan saja saya harus meninggalkan tempat ini, dengan siap atau tidak. Takut untuk melihat bahwa dunia kecil ini sesungguhnya bisa saja terlalu sepele untuk saya pertahankan terus menerus ataupun untuk membuat saya bertahan lebih lama lagi di dalamnya. Takut dan kemudian menyangkal apa-apa saja yang sebenarnya mungkin merupakan kebenaran lain yang patut dipertimbangkan. Penyangkalan memang rasa takut yang mengejawantah. Jadi apa yang masih perlu saya takuti kalau tidak ada apapun lagi yang dipertahankan?

Apapun, semakin kuat kita mempertahankannya semakin kuat pula rasa takut kita untuk kehilangannya. Tidak ada yang lebih sepele daripada keyakinan itu sendiri. Hanya saja sesuatu akan terlihat begitu prinsipil oleh karena kita telah menahun hidup di bawah langit-langit yang itu-itu saja. Sehingga hal lainnya akan terlihat begitu kecilnya, dan pantas untuk dilihat sebelah mata atau bahkan tidak dianggap ada sama sekali.

Seperti saya yang telah nyaris buta untuk melihat kemanapun lagi, karena selama ini saya hidup di bawah langit-langit yang itu-itu saja, di dalam dunia kecil yang sama. Sehingga saya pun hampir lupa bahwa dunia sebenarnya tidaklah sesempit itu. Dan tidak ada yang patut ditakuti apabila suatu hari kita memang harus meninggalkan tempat ini. Karena kemungkinan itu selalu ada. Sayangnya, dengan hidup di dalam satu dunia kecil dapat membuat kita lupa bahwa kita memang selalu punya banyak kesempatan lain selain hanya untuk hidup di dalamnya dan memandang dunia luar hanya dari balik jendela.

Kalau dunia ternyata memang sebesar itu dan saya masih diberi kesempatan untuk melihat adanya pilihan-pilihan lain yang bisa saya ambil dengan bebas, mungkin sekarang memang saat yang tepat bagi saya untuk melanjutkan hidup saya di dunia ini. Karena hidup ini selalu koma. Hingga nanti akhirnya menemukan satu tanda akhirnya cerita: titik.


Di bulan yang ceria, menurut Vina Panduwinata.


***

AKUNG

Seminggu terakhir ini saya merasa pergerakan saya jauh melambat. Rasanya seperti sepeda motor saya yang tadi siang tiba-tiba saja mati mesinnya di lampu merah Menteng, setelah sebelumnya jalannya terasa sedikit lebih berat. Yang setelah saya pastikan bahwa memang karena tangki bensinnya kosong. Atau juga seperti ketika saya ikut mengangkat kurun batang Akung menuju ke tempat peristirahatannya yang terakhir persis seminggu yang lalu; yang semakin mendekati ke liang lahat rasanya menjadi semakin berat. Saya tidak ingin peduli akan takhyul takhyul yang menghubung-hubungkan hal tersebut dengan amal perbuatan almarhum semasa hidupnya.

Semuanya memang berjalan seperti biasa. Bahkan seorang kawan di kantor saya pun tetap dapat mengajak bercanda dengan bahan kelakarnya yang pasti menurut dia sangat lucu. Cukup sulit memang untuk bisa ikut tertawa bersama dunia pada saatsaat seperti yang sedang saya alami ini. Dan terlalu cengeng juga untuk meminta mereka mengerti bahwa saat ini saya tidak sedang ingin diajak tertawa. Yang pada akhirnya saya pun mencoba untuk kembali memulihkan diri sendiri di tengahtengah dunia yang tetap bergerak seperti biasa.

Meski demikian adanya, entah kenapa saya tetap merasa bertanggungjawab atas kekacauan-kekacauan yang terjadi dikarenakan kecerobohan saya sendiri yang tidak mampu bersikap normal untuk menjaga dunia ini tetap berjalan dengan normal pula. Mungkin saya memang konformis. Mungkin juga saya tidak suka membuat orang lain kecewa lantaran kekurangan yang saya punya. Karena kalau tidak begitu, kenapa saya jadi tetap merasa harus mengerjakan animasi dalam rangka membantu project teman saya, padahal saya sendiri tahu bahwa saat ini tidak sedang dalam kondisi mental yang baik untuk itu.

Beberapa kali saya harus meminta maaf pada teman-teman yang mengharapkan partisipasi saya secara intens dalam rencana-rencana yang mereka galang. Seperti ketika client-nya teman saya itu mengajukan banyak komplain padanya karena ternyata masih terdapat banyak error dalam program animasi yang saya buat. Atau seperti ketika Jeri menitipkan dua buah kaset mini DV berisi rekaman mengenai perkampungan nelayan Kamal Muara untuk di-capture. Dan saya pun hanya bisa mengembalikan ekspektasi kedua teman saya tersebut dengan berkata: “sori yah kalau saya agak lambat. Akhir-akhir ini kondisi saya sedang kurang bagus.”

Dan hal ini sepertinya diperparah dengan kesombongan saya yang tidak ingin kelihatan terlalu membutuhkan orang lain. Hidup ternyata memang lebih berat ketika problemaproblemanya harus ditanggung sendirian.

Sementara dunia di sekitar saya berjalan seperti biasa, hidup saya sendiri seolah-olah masih mau menetap pada suatu waktu ketika hal-hal yang menurut saya tidak enak belum sempat terjadi. Maka jadilah saya seperti orang yang sedang trance di tengah-tengah mereka yang sedang sibuk-sibuknya mengakumulasi kapital. Konyol pastinya.

Memang tidak mudah bagi saya untuk berjalan dengan normal ketika ada hal-hal yang tiba-tiba terlepas begitu saja dari diri saya. Apalagi hal buruk memang bukan sesuatu yang pernah direncanakan oleh saya. Antisipasi memang ada. Tapi seringkali sesuatu yang sudah kita susun dalam menghadapi hal-hal buruk sama sekali tidak berjalan sesuai harapan. Apalagi ketika ternyata saya harus menerima beberapa hal buruk secara bertubi-tubi. Saya tidak akan pernah tahu apa yang harus saya lakukan untuk mengantisipasi hal buruk kedua ketika saya hanya mempersiapkan diri untuk satu hal buruk saja.

Tapi saya cukup bisa merasa lega karena masih ada seseorang yang mau sedikit demi sedikit membantu saya kembali menerima hidup ini memang begini adanya. Walau hubungan kami sempat kacau sebentar. Itu pun dikarenakan kelambatan saya dalam menyesuaikan diri dengan kenyataan. Saya juga senang karena dengan uang gaji bulanan yang pas-pasan masih bisa menyisihkan sedikit untuk membeli sekaleng atau dua kaleng pilox. Sehingga saya masih bisa meneruskan cita-cita muluk saya untuk menggerakkan hati orang-orang agar tidak terbius dengan gimmick-gimmick para tiran yang ingin mendominasi kosmos, ketika mereka membaca coretan grafiti yang saya titipkan besar-besar di sudut-sudut yang anomali. Dan untuk saat ini rasanya kaleng-kaleng cat semprot itu punya peran untuk membuat saya tetap dapat berdiri tegak menantang tembok, dan tidak tergolek depresif di sudut-sudutnya.

Saya tidak pernah takut kehilangan pekerjaan. Walau sebenarnya itu memang bukan suatu hal yang akan bisa saya terima dengan perasaan biasa-biasa saja. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan bahwa mulai esok pagi saya tidak lagi berjumpa setiap hari dengan teman-teman kantor yang selama ini baik pada saya. Walau demikian saya juga telah berkali-kali berandaiandai kalau suatu hari saya tidak lagi dibutuhkan.

Tapi mungkin sayalah yang belum sampai melibatkan emosi dalam melakukan simulasi berandai-andai itu. Ketika hanya logika saja yang selama ini saya pergunakan untuk itu―tentang apa yang harus saya lakukan pertama-tama kalau saya sudah tidak dibutuhkan lagi, saya harus kemana lagi setelah dari sini, dan lain-lain―saya baru berpikir dan belum sempat merasakan. Oleh karenanya ketika hal itu telah benar-benar terjadi, masih banyak tugas yang ternyata belum saya selesaikan. Masih begitu banyak hal yang membutuhkan penyesuaian-penyesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan. Dan itu semuatidak mudah karena saya ternyata tidak pernah mengukur sedalam apa perasaan saya sendiri.

Saya tidak pernah mengira sebelumnya seperti apa perasaan saya ketika sepuluh hari yang lalu saya dipanggil kedalam suatu ruangan dan di sana diberitahukan bahwa mulai bulan depan saya bukan lagi pegawai perusahaan mereka. Rasanya ada satu bagian di dalam kepala saya yang tidak dapat merespon hal itu dengan baik, yang akhirnya menyebabkan saya tidak mampu berkata-kata selain menyembunyikan apapun dengan senyuman.

Semuanya terasa jelas. Bahkan mungkin terlalu jelas dari apa-apa yang tadinya samar dan hanya ada sebagai andai-andai. Sayangnya, perasaan saya tidak sempat saya ikut sertakan untuk berandai-andai. Maka itulah pertama kalinya saya mengenal seperti apa rasanya diberhentikan dari pekerjaan.

Mulai hari itu dunia di sekitar saya mulai terasa bergerak lebih cepat. Karena hidup saya masih tertinggal bersama kenangan-kenangan manis yang saya lewati bersama kawan-kawan; di Puncak, Kawah Putih, pesta barbeque di roof kantor, atau di restoran-restoran yang menaungi kebersamaan kami semua yang tanpa dilandasi kepentingan bisnis. Sementara itu saya dituntut untuk segera menerima kenyataan bahwa itu semua hanyalah merupakan bagian dari masa lalu yang sudah sepatutnya ditinggalkan jauh di belakang sana. Jujur saja, ini memang tidak mudah bagi saya.

Tiga hari setelahnya ternyata saya harus menelan sesuatu yang lebih pahit dari itu. Di suatu pagi yang sesungguhnya telah saya janjikan kepada seseorang, ternyata ia harus kehilangan pagi itu. Saya kehilangan Akung (baca: Mbah Kakung) saya. Segera menyerbu perasaan bersalah saya karena telah menjanjikan padanya bahwa pada hari ini ia pasti sudah jauh lebih sehat dari minggu lalu ketika saya meninggalkannya terbaring di ranjang rumah sakit polisi di Bandung. Juga teringat akan janji saya untuk kembali menjenguknya pada hari itu dengan membawakannya oleh-oleh dari Jakarta, entah apapun itu.

Tapi pagi itu telah terlanjur menuturkan cerita yang sama sekali tidak ingin saya dengar. Dan pagi itu juga melukiskan sebuah pemandangan yang belum siap saya lihat. Di tengah-tengah pria-pria yang sedang membacakan ayat-ayat yang tidak pernah saya hapal, beliau terbaring kaku. Sungguh sulit untuk mengusir perasaan aneh, bahwa sepertinya baru saja kemarin saya mendengarnya masih berbicara dengan saya dan menyebut saya ‘hebat’ karena mau menggendongnya ke kamar mandi. Tapi hari itu saya seperti sudah dilarang oleh segenap alam semesta untuk berharap bisa mendengar sepatah kata darinya. Dan entahlah apakah di suatu tempat ia masih menyebut saya ‘hebat’ ketika saya ikut mengangkatnya di atas kurun batang menuju tempat peristirahatannya yang terakhir dan menggotongnya masuk ke lubang sedalam enam kaki yang sekarang sudah tertutup. Atau justru ia kecewa karena saya tidak menepati janji-janji saya padanya.

Sungguh aneh ketika saya harus menerima bahwa sesuatu yang tadinya ada kini harus benar-benar tidak ada lagi. Maka itu saya butuh waktu yang cukup lama untuk mulai kembali mengejar ketertinggalan saya atas realita. Karena saya pun butuh waktu untuk mulai berjalan lagi ke depan dan tidak menetap pada masa-masa lalu yang pada akhirnya terasa seperti mimpi saja.

Saya juga butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menulis lagi seperti kemarin-kemarin. Dan sepertinya hari ini saya sudah mulai siap lagi untuk kembali mengejar cita-cita muluk saya.

***

BASED ON TRUE STORY

Malam yang Terjaga
di Kota yang Tertidur Terus


Suara bass musik dangdut terdengar berdentumdentum cukup jelas dari seberang kali yang yang konon akan dibangun sebuah jalur transportasi air model futuristik; yang kalau tidak ada halangan lagi, tahun 2010 besok sudah jadi mirip Venezia. Sudah jadi rahasia umum, atau malah bukan merupakan rahasia lagi, kalau di seberang sana adalah tempat terjadinya transaksi seks murahan. Dan tidak jauh dari tempat tersebut adalah tempat mangkal para banci terpopuler di kota ini. Maka hal apa lagi yang bisa disebut ilegal di sini ketika prostitusi saja sudah diamini oleh yang mengaku mengharamkannya? Tapi kenapa kerasnya suara bass di seberang sana masih saja kalah pamor dengan degup jantungku?

Adrenalin memang tidak pernah berbohong. Ketika ia berbicara kita tahu bahwa saat itulah sesungguhnya ada suatu hal luar biasa sedang terjadi dalam hidup kita. Ah! Memang sulit untuk menjelaskan rasanya seperti apa. Tapi malam itu adrenalin telah berbicara sekali lagi padaku. Dan kali itu jauh lebih sensasional daripada yang pernah kurasakan daripada ketika aku dihempaskan oleh halilintar dunia fantasi. Karena kali ini aku benar-benar tanpa sabuk pengaman dan berada di luar lintasan rel yang telah ditentukan. Ditarik oleh bumi di atas halilintar memang menegangkan. Tapi biar bagaimanapun juga telah ada suatu kesadaran tersendiri yang berkata “tenang saja, ini semua hanya permainan, kamu nggak akan mampus” ketika itu terjadi dalam hitungan beberapa detik. Sedangkan adrenalin malam itu benar-benar berbicara dengan kata kata yang jauh berbeda;

“Apa kamu benar-benar siap melakukan ini? Siapkah kamu kalau ditangkap aparat malam ini juga?”

Sialan. Rasa takut memang sialan kadangkadang. Ia seolah hadir dengan dua sisi dalam waktu yang bersamaan. Satu sisi iamenahanku untuk tidak melanjutkan apa yang ingin kulakukan. Tapi di sisi lain ia seperti menantangku untuk menerjangnya saat itu juga, atau selamanya aku akan menjadi pecundang. Karena kesempatan untuk berhadap-hadapan langsung dengan factor rasa takut memang jarang ditemui.

Aparat memang momok yang menyeramkan biar bagaimanapun juga. Dan penjara adalah mimpi buruk bagi manusia manapun. Tapi aku pun tidak ingin pulang sebelum melakukan apa-apa. Sudah kepalang tanggung aku berada di tempat yang jauh dari rumah ini. Betapa sia-sianya semua keberanian yang sudah sedemikian rupa terkumpul di malam buta ini. Betapa sia-sianya rasa kantuk yang sejak tadi ditahan-tahan. Maka satu-satunya jalan agar semua modal tadi kembali terbayarkan adalah dengan tidak menunda-nunda lagi untuk melakukannya malam itu juga.

Aku tidak sendirian malam itu. Ada tiga orang kawan lagi yang juga sudah sama-sama memerah matanya. Dan tanpa perlu aku tanyai lagi, aku sudah tahu kalau mereka sudah mulai lelah setelah mengendarai sepeda motornya sepanjang jalan tadi dan belum menemukan tempat untuk melakukan ini. Semua tempat yang seharusnya ideal masih terlalu ramai orang. Bahkan di beberapa tempat ternyata masih dijagai oleh polisi. Maka kami terpaksa harus membatalkan untuk melakukannya di sana dan mencoba mencari tempat lain.

Dan di sinilah pada akhirnya kami menepikan sepeda motor. Di sebuah tempat yang miskin cahaya lampu jalanan. Namun mungkin justru itulah yang membuatnya semakin ideal. Karena semakin kami tidak terlihat, maka semakin leluasalah kami dalam beraksi. Selain itu, adanya pembangunan bus way di dekat tempat kami berdiri ini menyempurnakan semuanya. Bukan apa-apa. Tapi memang inilah sasaran kami kali ini.

Kalau saja kami tidak mempunyai kesamaan rasa muak akibat pembangunan bus way yang semakin mengganas itu, mungkin kami tidak akan berada di tempat asing ini. Kalau saja kami lebih bias menerima kebusukan sebagai sesuatu yang wajar, mungkin kami lebih memilih untuk bergumul bersama bantal-guling sejak beberapa jam yang lalu. Tapi kami memang tidak pernah bisa tinggal diam ketika merasa dirugikan oleh apapun.

Kami sebal dengan jalanan kota ini beberapa waktu belakangan. Kemacetan terasa seperti berlipat ganda. Jalur yang ‘dipersempit’, walau dengan jumlah mobil yang tidak bertambah, tentu saja akan membuatnya mampat. Logika anak SD pun akan membenarkan hal yang simpel semacam itu. Tapi entah jalur logika apa yang digunakan oleh orang-orang itu sehingga seolah-olah mengacuhkan begitu saja konsekuensi yang harus ditanggung oleh banyak orang, untuk tetap bersikukuh melanjutkan ‘proyek pengeksklusifan jalan’.

Konon ini semua hanya sementara. Karena katanya jalanan nantinya akan dilebarkan.

Kami tahu apa itu artinya ‘pelebaran jalan’. Pelebaran jalan selalu berakhir dengan penggusuran. Dan dengan empati yang kami punyai seadanya pun kami sudah bisa merasakan bahwa akan banyak kesedihan yang tercipta di hari-hari esok apabila ini semua terus berlanjut. Sudah terbayang ada puluhan bahkan ratusan kepala keluarga harus kehilangan lahan pekerjaan mereka yang memang di jalanan dalam tempo sesingkatsingkatnya. Itu berarti akan muncul kemungkinan terburuk meningkatnya jumlah pengangguran baru. Dan pengangguran memang identik dengan kriminalitas. Bagaimana tidak? Ketika orang-orang yang kemampuan finansialnya benar-benar terpuruk dihadapkan pada standar hidup tinggi yang entah ditetapkan oleh siapa, ada berapa cara rasional dan legal yang dapat mereka lakukan untuk itu? Padahal kita juga tahu, seinovatif apa sih orang-orang yang modal pendidikannya jauh di bawah standar aneh itu?

Sementara itu, tanpa peduli ada orang-orang yang bisa menjadi tidak waras karena merasa tidak mampu membeli mimpi-mimpi yang dijual, sinetron-sinetron dan reklame masih tetap berisik menggaungkan kemewahan.

Berharap perubahan keadaan datang dari tangan pemerintah sudah lama kami anggap sebagai mimpi yang tidak pernah akan jadi nyata. Cita-cita untuk merebut kekuasaan dari tangan mereka dan kemudian membuat sistem baru juga sudah lama kami anggap seperti dongeng pengiring tidur yang jauh lebih klise daripada cerita-cerita 1001 malam. Tapi bukan berarti lantas kami akan menyerahkan begitu saja nasib hidup kami ke tangan mereka. Karena, walau mungkin kami memang berada di dalam genggaman mereka, kami tetap menggeliat.

Kami tidak ingin terlelap pada malam-malam yang melelahkan raga kami setelah bekerja seharian, yang menyebabkan otak kami sudah merasa enggan lagi untuk berpikir apa-apa selain memikirkan anggaran belanja bulan ini. Pun kami tidak ingin terlelap pada saat siang hari ketika kami sedang terbangun.

Kalau memang ada orang yang harus dibangunkan dan dibuat untuk tetap terjaga terus menerus, itu adalah diri kami sendiri. Kami memang tidak pernah ingin terlelap dalam kehangatan telapak yang menggenggam kami semua. Karena hanya kesadaran sajalah yang mampu membuat kami tetap memegang kendali atas diri sendiri.

Pinokio pada akhirnya berhasil menanggalkan takdirnya sebagai boneka kayu untuk menjadi manusia, karena ia memulainya dengan melupakan kodrat bahwa boneka harus selalu dikendalikan oleh tangan Gepeto (sang pencipta Pinokio) untuk dapat bergerak. Ia juga harus belajar bahwa Kebenaran adalah berada di atas segalanya, dengan tidak berkata bohong kalau tidak mau hidungnya menjadi panjang.

Dengan berbekal kesadaran yang sama dengan Pinokio lah kami tetap menggeliat merebut nasib kami yang telah tercuri. Kami menuntut kembali nasib kami agar dapat kembali berada di tangan kami sendiri. Bukan di tangan siapasiapa.

Proyek pembangunan bus way ini pun sepertinya mengindikasikan sesuatu yang tidak mengenakkan. Bahwa sebentar lagi akan ada suatu pengaturan hidup manusia atas manusia yang entah untuk keberapa kalinya tidak melalui usaha pencapaian kesepakatan yang melibatkan setiap orang yang berhak untuk itu. Dan sekali lagi Demokrasi akan menjadi tinggal mimpi.

Untuk itulah kami berada di tepi jalan malam itu. Bukan untuk orang lain. Bukan dalam rangka melakukan sesuatu yang heroik untuk siapapun juga. Tapi karena kami merasa punya suara yang tidak pernah boleh dibungkam oleh kekuatan macam apapun. Dan kalau memang benar ‘kata’ itu masih dianggap sebagai sesuatu yang agung; kami juga ‘RAKYAT’.

Juga karena kami percaya setiap manusia berhak untuk menyampaikan suaranya.

Karena kami pun sudah jenuh dengan model Demokrasi yang hanya menerima suara melalui kotak-kotak suara; dimana sebenarnya suara-suara kami tidak pernah benar-benar terwakilkan seutuhnya di sana, apakah kemudian salah apabila malam itu kami memilih media lain untuk bersuara?

Lagipula di sini kami hanya akan memberi pertanyaan saja. Bukan pernyataan. “Solusi?” cukup satu kata itu saja yang akan kami sampaikan. Dibubuhi tanda tanya memang. Dan kami tahu hal itu tidak terlalu menyenangkan. Karena tanda tanya selalu punya potensi untuk membuat apa-apa yang sepertinya sudah cukup mapan bisa dengan seketika goyah. Iklan rokok itu sepertinya ikut bertanggungjawab karena sudah mengajarkan anak-anak muda kita untuk bertanya secara kritis, dengan tanggungjawab yang lebih besar daripada tanggungjawab akan ‘pembodohan’ untuk menghisap racun.

Maka tanpa ingin ditunda lebih lama lagi, kami titipkan suara kami di situ, di atas properti kalian semua. Dan sekali lagi, ini bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk mengajak para banci di atas jembatan sana atau orang-orang yang sedang bergoyang mengikuti hentakan bass dangdut di seberang kali sana untuk mengikuti apa yang kami katakan. Bukan untuk membangunkan kota yang terus menerus tertidur ini; yang ironisnya sedang bercita-cita menyamai NewYork yang punya julukan ‘kota yang tidak pernah tidur’.

Ini semua kami lakukan untuk menjaga diri kami agar tetap dalam keadaan sadar. Untuk itulah malam malam kami yang terjaga, dengan hanya bermodalkan beberapa kaleng Pilox di tangan, penutup wajah untuk menghindari rekaman CCTV, kaki yang kuat untuk lari dari kejaran POL PP, dan tentu saja adrenalin.

***