04 Mei 2008

Kegalauan Akhir April: Soalan Keyakinan

Ku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan. Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti. —Efek Rumah Kaca, Di Udara


Tanggal 3 Mei saya baru berkeinginan untuk beranjak dari rumah. Dua hari rasanya cukup untuk menghilangkan capek akibat bekerja di lapangan selama sembilanbelas hari. Lagipula saya harus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai. Maka apa yang saya masukkan ke ransel, sebelum meninggalkan rumah pada pagi itu, hanya barang-barang yang ada kaitannya dengan pekerjaan saja. Oleh-oleh untuk seseorang saya keluarkan dari ransel tersebut. Tidak ada tempat yang saya tuju pada hari itu kecuali kantor.

Di kantor, di depan lift, saya berpapasan dengan Zee. Perempuan tomboi yang sangat gemar membahas soalan kamera dengan saya. Saya pernah sekali waktu mengomentari gambar-gambar liputannya yang sudah naik tayang. Dan tanpa saya duga sebelumnya, waktu itu dia menyimak kritik dan saran yang saya lontarkan. Saat itulah saya menilainya sebagai orang yang memiliki kemauan keras dalam belajar menjadi lebih baik. Sejak itu, Zee selalu bertanya apakah saya menonton liputan dia yang tayang tadi. Saya jadi sering merasa tidak enak. Karena saya memang tidak setiap hari menonton televisi.

Dan lagi-lagi kali ini saya musti merasakan hal yang sama. Zee bertanya lagi, "lo nonton liputan gw kemaren, nggak?"

Saya hanya menjawab pertanyaannya dengan cengar-cengir dan garuk-garuk kepala. Saya rasa dia pasti mengerti apa maksudnya. Sebab dia langsung menyebut saya 'payah'. Saya sempat bertanya, mengenai apa liputan dia kemaren itu. Dia menjawab sambil berjalan masuk ke dalam lift, "demo lah, apalagi." Dan pintu lift itu pun tertutup. Menutup kemungkinan bagi saya untuk bertanya lebih banyak lagi.

***

Saya mendapat kabar bahwa JAO tertangkap pada tanggal 1 Mei itu justru dari seorang teman yang tinggalnya jauh dari kota ini. Tanggal 2 di pagi hari, teman saya itu menyelipkan berita soal penangkapan JAO di dalam obrolan kami yang tidak ada hubungannya dengan aktivisme. Saat itu saya berkata pada diri saya sendiri, berarti apa yang diinginkan oleh kawan-kawan di JAO selama ini akhirnya terwujud juga.

Setahun lalu, saat saya ikut di dalam barisan JAO, saya sempat mendengar nada-nada sinis dari seseorang yang juga ikut melakukan long-march dari Tim ke Bunderan HI, dan kembali ke TIM lagi. Sambil berjalan dan mengibar-ngibarkan bendera berwarna hitam-merahnya, ia berkata, "oh, jadi Mayday itu cuman buat jalan-jalan keliling kota Jakarta aja, ya?"

Saya paham dengan apa yang kawan itu maksudkan. Saya paham bahwa saat itu aksi turun-ke-jalannya JAO adalah untuk meredefinisikan Mayday yang selama ini telah diartikan sedemikian banalnya oleh masyarakat Indonesia. JAO ingin mengembalikan makna Mayday yang sebenarnya; dari yang seperti dipahami selama ini oleh masyarakat kita sebagai hari buruh semata, kepada jargon yang lebih radikal dan lebih relevan bagi setiap individu: hari anti kapitalisme. Sehingga pada saat itu tidaklah mengejutkan ketika JAO menjadi satu-satunya 'organ' yang kelihatan nyeleneh di antara organ-organ lain yang memenuhi jalan Thamrin. Spanduk yang saat itu kami bawa-bawa pun menyuarakan sesuatu yang tidak seragam dengan spanduk-spanduk mereka, yang berisi tuntutan-tuntutan soal upah. Terang saja, masyarakat kita telah sedemikian lamanya memahami Mayday sebatas pada hari dimana buruh-buruh akan libur dari pabrik mereka dan menuntut upah yang layak.

Saya paham kegalauan sang kawan ketika ternyata aksi kami pada hari itu terasa sangat hambar tanpa diwarnai aksi yang lebih keras. Maka mungkin pulang dengan perasaan tidak mengubah apapun, selain mengubah tembok depan Mc Donald's menjadi coreng-moreng cat semprot, telah menjadi satu bekal bagi JAO untuk merancang taktik yang lebih hebat di momen-momen berikutnya.

***

Tanggal 3 Mei malam harinya, melalui yahoo messenger, Subek menanyai saya mengenai kabar terbaru dari Jakarta. Saat itu tiba-tiba saya merasakan hal yang sama seperti ketika ditanyai oleh Zee dengan pertanyaan soal liputannya. Saya merasa tidak enak untuk menjawab bahwa saya tidak tahu menahu mengenai kabar JAO. Sebab saya tahu bahwa kabar itulah yang ia maksudkan di dalam pertanyaannya. Tapi akhirnya saya jawab juga, apa adanya.

Subek menjawab, "ah, kamu bekerja di tv, tapi kamu nggak tau apa-apa. Ya sudahlah."

Saya terdiam selama beberapa detik. Kata-kata Subek mengganggu pikiran saya yang memang sudah terganggu sejak akhir April kemarin.

***

Menjadi seorang kamerawan news sebuah perusahaan televisi terestrial, memberikan kesempatan bagi impian terpendam saya untuk jadi nyata: keliling Nusantara. Bagian kecil dalam perjalanan hidup saya ini, saya namai dengan 'kebahagiaan'.

Bagaimana mungkin saya tidak mensyukurinya, bila dengan menjadi seperti sekarang ini saya bisa berada di tempat-tempat yang tadinya hanya bisa saya lihat di layar kaca, majalah, ataupun saya dengar namanya saja. Dan bagaimana mungkin tidak mensyukurinya, ketika untuk berada di tempat-tempat itu saya tidak diharuskan untuk mengeluarkan uang seperak pun.

Saya benar-benar menikmati apa yang saya lakukan saat ini. Saya menjalani setiap detik hidup saya saat ini dengan penuh antusiasme, karena selalu ada saja hal-hal baru yang saya temui setiap hari di setiap desa yang baru saya kunjungi pertama kalinya. Sehingga saya tidak merasa bahwa waktu saya telah tercuri. Sesuatu yang sejak dahulu selalu saya hindari. Sesuatu yang juga kawan-kawan saya di JAO hindari, dan karena itulah mereka selalu berusaha untuk merebut kembali apa yang telah tercuri dari hidup mereka: waktu.

Pekerjaan memang seringkali membuat orang menjadi tidak sempat lagi melakukan hal lain selain bekerja itu sendiri. Pekerja seringkali tidak mempunyai waktu lagi untuk mengejar impian-impian terdalamnya, karena sudah tak tersisanya waktu mereka yang bisa dipergunakan untuk itu. Sehingga akhirnya begitu banyak orang yang merasakan kehampaan hidup. Karena hidup yang mereka jalani bukanlah hidup yang memesona mereka lagi. Apa yang mereka temui dari hari ke hari adalah hal yang itu-itu saja. Monoton. Masalah-masalah yang mereka hadapi setiap hari pun adalah masalah yang itu-itu juga. Dan usaha mengatasi masalah pada akhirnya pun tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik. Karena semuanya begitu template.

Tapi pekerjaan saya saat ini sungguh jauh dari ‘pekerjaan’ yang pernah saya dan kawan-kawan di JAO definisikan sebagai sesuatu yang mereduksi hidup. Saya merasa tidak menyia-nyiakan waktu saya dengan bekerja seperti ini. Karena saya menjalani setiap detik hidup saya saat ini dengan penuh antusiasme.

Namun, di akhir April tahun ini saya memang merasa galau. Saya galau. Saya merasa bimbang dengan keyakinan saya. Saya berada di titik bifurkasi. Titik bifurkasi itu bernama akhir April. Di mana saya harus memilih: apakah saya akan ikut turun ke jalan seperti tahun kemarin, atau saya menggunakan waktu itu untuk istirahat setelah pulang dari dinas luar kota saya selama sembilanbelas hari?

Akhirnya saya pun memilih untuk tidak kemana-mana tanggal 1 Mei kemarin. Saya merasa tidak ada yang perlu saya rebut pada hari itu. Karena saya merasa telah memiliki itu di dalam setiap detik hidup saya saat ini. Tapi memang, saya juga tidak dapat menafikkan satu pertanyaan yang muncul dari lidah jiwa saya: ‘apakah ini memang yang kamu kejar sejak dulu, ataukah ini hanya kebahagiaan semu yang menipu?’. Dalam waktu yang sesingkat itu, saya harus menentukan sikap saya. Dan saya telah memilih.

***

Kata-kata Subek mengganggu pikiran saya yang memang sudah terganggu sejak akhir April kemarin. Saya terdiam selama beberapa detik. Dalam detik-detik itu terjadi semacam badai hebat di dalam pikiran saya. Kacau. Semuanya serba kacau. Tidak ada satupun tonggak yang bisa menancap di tengah kecamuk badai sehebat itu. Sehingga saya tidak memiliki satu pun pegangan. Tidak ada satu pun parameter kebenaran yang dapat saya percaya lagi, pun tidak kenyamanan yang saya rasakan dalam pekerjaan saya sebagai kamerawan news, saya kehilangan keyakinan.

Saya mulai merasa perlu untuk tahu bagaimana kabar kawan-kawan saya di JAO saat itu. Di manakah mereka berada sekarang, apabila mereka ditangkap sudahkah mereka dibebaskan kembali, dipukulkah mereka, seberapa keras mereka dipukul, seberapa parah bekas pukulan itu? Segera saya ingin tahu itu semua. Tapi bagaimana caranya, sedang nomor kontak kawan-kawan saya itu telah hilang bersama ponsel CDMA saya yang lama sudah tidak saya gunakan lagi. Saya berpikir dan berpikir, mencari segala cara. Dan pikiran saya tiba-tiba teringat pada ucapan Zee di depan lift itu. Iya, Zee, dia mungkin tahu mengenai penangkapan itu.

Saya segera menghubungi perempuan tomboi itu. Bertanya apakah dalam peliputan dia kemaren, dia meliput soal penangkapan juga. Ternyata tidak. Tapi dia memberi saya nomor kontak orang yang dia ketahui meliputnya. Yakni seorang kontributor. Bule namanya, dan saya tidak mengenalnya. Segera setelah saya memutus percakapan telepon dengan Zee, nyaris tanpa jeda, saya mendial nomer Bule. Saya bertanya apakah ia meliput penangkapan di Kuningan itu. Dia mengiyakan, dan bertanya kenapa. Saya bertanya lagi, organ apa saja yang tertangkap.

“Wah, banyak sih, mas. Nggak cuman satu elemen. Hmm, saya lupa apa aja kalo disuruh nyebutin satu persatu. Iya, JAO. JAO ada… JAO. Ha? Apaan? Udah… udah. Udah dibebasin lagi kok. Kenapa sih emangnya?”

Saya menjelaskan bahwa di antara mereka ada kawan-kawan saya. Dan dia langsung menuduh saya seorang punk rock. Saya hanya tertawa saja menanggapi tuduhan dia itu. Saya bertanya lagi, apa alasan penangkapan itu sebenarnya.

“Gara-gara ada yang bawa petasan. Itu aja. Biasa lah, fight against the system. Ya elah. Dulu banget itu mah, jaman gw muda. Bilangin sama temen-temen lo, money talks, boy!”

Saya hanya menjawab bahwa saya akan menyampaikan pesan itu pada teman-teman saya nanti. Tapi di dalam hati saya berkata, bahwa ini bukan soalan uang. Sama sekali bukan.[]

0 tanggapan: