19 Desember 2006

Menyapamu

Kali ini aku hanya ingin menyapamu. Hanya kamu. Karena empat hari sudah berlalu. Maka rasanya cukup wajar kalau aku sudah mulai lagi merindu. Pagi tadi aku datang lagi ke kantor itu. Mereka bilang sih untuk interview. Aku tiba di sana tepat waktu. Benar-benar tepat waktu.

Sejujurnya aku masih ingin menikmati pagi lebih lama. Menyeruput kopi seduhan sendiri dengan pikiran yang masih belum terpetakan dengan baik. Tidak ingin tergesa-gesa untuk menuju pusat kemacetan lalu-lintas ataupun berurusan dengan deadline. Aku memang masih ingin menikmati pagi-pagi yang hanya untukku sendiri. Seperti dua-tiga bulan terakhir ini. Tapi apa mau dikata, tampaknya persediaan uang yang mulai menipis membuatku mesti segera kompromi. Maka tadi aku tiba di sana tepat waktu. Benar-benar tepat waktu.

Omong-omong interview tadi, entah kenapa, aku tidak mengharap. Entah karena memang dari dalam diriku sendiri masih ingin mempertahankan pagi-pagi bermalas-malasanku. Entah karena memang aku sudah mulai berhenti berpengharapan. Entah.

Siang ini aku menantimu. Sejak tadi. Tapi hingga kini kau belum muncul juga. Entah karena memang kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu. Entah karena memang kau sedang ingin sendiri. Entah. Apapun itu, aku akan selalu mendoakanmu. Semoga kamu bisa selamat keluar dari fase yang mulai terasa berat untuk dilalui ini. Nyaris mustahil bahkan. Tapi tidak ada gunanya menyesali apa-apa yang telah menjadi pilihan kita sendiri, betul katamu semalam. Aku pun tak pernah menyesalinya. Bukankah sedari dulu aku pernah mengatakan ini: 'Aku bersyukur karena dipertemukanmu dalam hidup yang singkat ini'. Iya. Karena dengan suatu cara aku tahu sejak saat itu telah masuk ke hidup yang sebenarnya. Dimana segala hal tidaklah semudah dan sesederhana apa yang bisa dikatakan. Itulah hidup yang memang harus kita rasakan dan coba sendiri. Tidak hanya bisa didengar dari cerita-cerita.

Ini hidupmu, dan semua ada di tanganmu. Bukan di tangan siapapun. Bukan pula aku.[]

2 tanggapan:

Anonim mengatakan...

sudah dua tahun sejak tubrukan gunung es dan pecahnya perahu tempat kita pernah mendayung bersama.
di sini,
rasanya masih seperi kemarin.
panas dinginnya.
mungkin seperti yang pernah kau bilang, butuh seumur hidup atau bahkan hingga perlu ditanya malaikat, "apa ini?", dan kan kujawab, "ini hatiku"

Anonim mengatakan...

sudah hampir empat tahun... masih terlalu susah untuk tidak menahan air mata yang pelan-pelan menetes