18 Desember 2006

AKHIR PEKAN YANG INDAH

“Sebodoh-bodohnya keledai takkan jatuh ke lubang yang sama. Aku jatuh ke lubang yang sama untuk kali kedua.” (Skalie – Kali Kedua)

Tak kuduga akhir pekan kali ini bisa menjadi seindah ini bagiku. Menakjubkan. Iya. Mengingat baru saja aku melewati hari-hari, atau bahkan minggu-minggu, yang benar-benar sulit untuk kunikmati. Ternyata kini aku telah mampu melihat segala sesuatu dengan cara yang tidak lagi membuat dadaku nyeri. Bagiku sendiri ini cukup menakjubkan. Lebih menakjubkan lagi ketika ternyata aku tidak perlu melarikan diri dari masalah. Aku rasa kali ini aku sudah lebih banyak belajar.

Dimulai dari malam minggu, saat aku menghampirinya sekali lagi. Saat itu, bahkan sebelum berangkat menuju tempat ia berada, aku sudah meyakinkan diriku sendiri bahwa pertemuan kali itu memang ingin kueksekusi tanpa pengharapan yang tinggi. Tentu aku bisa kapan saja mengurungkan niat bertemu apabila kutahu di dalam hatiku masih tersimpan harapan-harapan yang dulu pernah ada. Dan pertemuan malam itu terjadi juga.

Kuakui dia memang masih tetap memesona, sama seperti pertama kali aku mengenalnya. Tapi ternyata ketika aku sudah berhenti mengharap agar seluruh pesona yang ia punya hanya terpancar untukku saja, justru pesona itu semakin dapat kurasakan dengan jauh lebih baik. Mungkin karena di situ aku benar-benar bisa menikmati momen yang masih ada. Dan perasaan-perasaan lain, semacam ketakutan akan kehilangan dia, benar-benar telah sirna. Saat itulah aku baru mengerti bagaimana caranya menikmati ‘saat ini’; yakni dengan tidak terlalu mengkhawatirkan apa-apa yang belum terjadi. Memang sesederhana itu saja.

Malam itu dilanjutkan dengan obrolan bersama beberapa kawan lama di suatu bilangan Condet. Terus terang, itu adalah pertama kalinya aku melihat kawanan ini mau untuk tercebur ke dalam obrolan yang cukup dalam. Mereka yang selama ini kukenal sebagai orang-orang yang selalu menolak untuk berpelik-pelik, ternyata malam itu menjadi sama bergairahnya denganku untuk membincangkan hal-hal yang cukup bisa membuat otak kami semua terasa bekerja lebih keras. Barangkali memang sudah waktunya. Barangkali memang ini adalah saatnya manusia-manusia seumuran kami memasuki fase seperti ini. Fase ketika kami perlu berhenti sebentar untuk mencari tahu ke dalam diri sendiri dan ke luar. “Ke dalam, mempertanyakan siapa―atau apa―kita ini sebenarnya. Ke luar, mengetahui apa yang sebenarnya kita cari di sana. Dan kedua hal tersebut haruslah singkron, jika tidak kita bisa sarap (sakit jiwa―pen)”, ujar seorang kawan dalam salah satu obrolan.

Ada perasaan senang ketika mengetahui diriku berada di tempat yang tepat malam itu. Setidaknya aku tidak lagi mesti menyembunyikan apa yang tengah kupikir atau kurasa. Sehingga aku juga tidak perlu lagi merasa asing ketika kawan-kawan yang lainnya justru sedang larut bersama dalam suasana. Aku senang ketika seseorang dari mereka yang dikenal sebagai sosok yang cenderung tertutup malam itu menjadi begitu antusias menceritakan tentang dirinya sendiri lebih banyak dari biasanya. Itu tentu membuatku merasa lebih nyaman juga untuk membuka diri. Ia memang baru mendapatkan sebuah pengalaman baru di dalam hidupnya. Yakni menjalani hubungan hati yang lebih dekat dengan seorang perempuan. Pacaran, istilah populernya. Dan mungkin karena itu baru kali ini ia merasa membutuhkan orang lain untuk diajak saling berbagi.

Aku menukar ceritanya dengan menceritakan sesuatu yang sifatnya lebih umum. Entahlah. Mungkin karena masalah-masalahku yang bersifat lebih mendetil dan khusus sudah lebih dahulu aku tukarkan dengan kawan lain di hari-hari sebelumnya ketika intensitas tekanannya sedang keras-kerasnya. Mungkin.

Aku bercerita soal diriku yang akhir-akhir ini sedang lebih sering untuk berefleksi lewat lirik-lirik lagu daripada buku. Satu yang sempat kusinggung adalah lagu dari band salah seorang kawan. Skalie nama band itu. Lagu yang berjudul ‘Kali Kedua’ itu mengisahkan seseorang yang kandas hubungan asmaranya dan ia sedang mengalami patah hati. Bait pertama lagunya menggambarkan seperti itu. Tapi kemudian secara mengejutkan bait tersebut disambung langsung ke reff. Dimana di bait reff tersebut tergambar bahwa ini bukan merupakan pengalaman pertama orang tersebut mengalami hal yang sama dalam hidupnya. Dan ia menganggap dirinya sendiri lebih bodoh dari keledai karena harus mengalami kesalahan lebih dari sekali. Kawan-kawan sempat memintaku menyanyikan bait yang ingin kutekankan tersebut. Tapi aku tidak terlalu percaya dengan kemampuan vokalku sendiri. Sehingga akhirnya hanya kubacakan.

Lagu tersebut membuatku melihat ke dalam diriku sendiri. Bahwa keterpurukan yang kualami akhir-akhir ini memang bukan sesuatu yang sama sekali baru dalam hidupku. Aku pernah mengalami hal serupa sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Ditinggal pergi oleh seseorang yang selama ini kupikir aku sayangi. Sebetulnya aku tidak sedang ingin memprotes lirik lagu tersebut. Walau aku melihat bahwa Skalie ingin mencoba mengatakan bahwa orang yang bisa sampai mengalami kegagalan sama untuk kedua kalinya adalah lebih bodoh dari seekor keledai. Dan aku tidak sepenuhnya setuju dengan itu. Tapi dalam kasus lain bisa jadi demikian.

Skalie boleh saja menyebutku bodoh kalau aku sama sekali sudah tidak punya keinginan untuk belajar dari kesalahan yang pernah kubuat. Aku tidak merasa demikian. Boleh jadi saat ini aku memang masuk ke lubang yang sama. Atau boleh jadi hanya mirip. Tapi saat ini aku telah bisa melihat kejatuhanku tanpa lagi menyalahkan posisi lubang itu yang memang di sana tempatnya. Tidak seperti dahulu. Kini aku cenderung melihat tragedi yang kualami―kalau memang pantas disebut begitu―semata karena kesalahan diriku sendiri.

Maka aku rasa masuk ke lubang yang sama bukan sama sekali sesuatu yang buruk. Sebab apabila dahulu aku menyalahkan lubang itu sebagai akibatku terjatuh, kini ketika jatuh ke ‘lubang yang sama’ sekali lagi aku merasa diberi satu kesempatan untuk berpikir bahwa akulah yang sebetulnya kurang-mahir dalam berjalan. Dan dengan cara melihat yang seperti itu keinginanku untuk memperbaiki diri menjadi lahir. Motivasinya tentu supaya apabila suatu hari menemui lubang semacam ini lagi di tengah-tengah perjalanan, aku sudah tahu bagaimana cara menghadapinya dengan baik.

Itulah yang dapat kubagi pada kawan-kawan lamaku. Sejujurnya, malam itu aku sedang lebih ingin menikmati suasana baru yang bisa kudapatkan di tengah-tengah kawan-kawan lama dalam hidupku. Maka aku lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Dan kami semua baru benar-benar berhenti berbicara saat pagi. Iya. Semenyenangkan itulah.

Minggu malamnya, aku dan Dry memutuskan bertemu. Kali ini sebuah kafe di Margo City jadi tempat yang kami pilih. Sebenarnya aku merasa kurang tidur. Dia pun terlihat sama.Tapi aku tahu, mengobrol dengannya pasti bisa membuatku melupakan rasa kantuk. Biasanya memang selalu seperti itu. Benar saja, bersama kopi dan rokok yang selalu setia, kami melewatkan beberapa jam untuk membincangkan banyak hal yang tidak bisa kutulis semuanya di sini. Karena aku memang membutuhkan banyak waktu untuk bisa menuliskan hasil obrolan yang terus mengembang seperti itu. Dan sesuatu yang lebih dahulu lama terendap biasanya akan mengalir keluar begitu saja pada waktunya tanpa kurencanakan. Baik itu lewat tulisan ataupun lisan. Karena ia telah menikah dengan pemikiran-pemikiran lain yang telah lebih dahulu ada di dalam kepala. Tak akan ada yang pernah tahu, ketika aku menyampaikan suatu pemikiran, apakah itu adalah murni hasil pemikiranku sendiri atau bukan. Ah, lagipula itu bukan sesuatu yang terlalu perlu dipersoalkan.

Aku tidak yakin apa yang membuatku bisa mengkhianati otakku sendiri yang sebenarnya sejak sore sudah memerintahkan untuk cepat-cepat tidur. Kafeinkah, obrolankah, atau pantulan cahaya lampu-lampu berwarna kuning pada gerimis―yang entah kenapa malam itu menjadi terlalu sayang untuk dilewatkan. Satu yang pasti: aku tidak sedang melihat orang ini sebagai orang yang ingin kuajak berkomitmen. Aku yakin betul. Barangkali aku memang menyayanginya. Tapi, entah kenapa, tidak terbersit di dalam diriku untuk membuat komitmen apapun dengannya. Aku sudah nyaman seperti ini. Dan aku tidak mengharapkan yang lebih dari ini.

Barangkali aku sudah mulai tertular keabu-abuan kalian, Dry… Du… Tapi aku tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang buruk―walau nyata-nyata barusan aku menggunakan kata ‘tertular’ yang konotatif. Karena, terus terang, ini indah sekali memang. Dan rasanya aku ingin berada di sini selamanya.

Oh, untuk menutup tulisan kali ini, aku ingin menyapa beberapa kawan:

Dry, terimakasih banyak buat obrolan-obrolan panjang kita yang membuat gue merasa nyaris ngga terbersit keinginan untuk cepat-cepat mengakhirinya bila itu udah terlanjur dimulai. Sebetulnya masih banyak lagi alasan bagi gue untuk berterimakasih sama lo. Tapi nanti lo akan bosan bila kata itu terus menerus terucap dari mulut gue. Walau kenyataannya emang sebanyak itulah gue merasa perlu untuk menghaturkannya.

Dew, sepertinya saya ngga membutuhkan waktu setahun untuk berputar kembali demi menyelesaikan satu rangkaian proses keikhlasan seperti yang udah kamu lakukan duluan.

Du, saya pernah bertaruh sama diri saya sendiri. Mana yang lebih dulu hilang, rasa sakit di hati atau di kaki saya. Kalau ternyata jawabannya adalah kaki, berarti saya emang pantas disebut lebih bodoh dari keledai. Dan sekarang kaki saya belum sembuh total. Tapi saya udah mulai bisa jalan lagi.

Hari, maaf kalau udah bikin kamu nungguin proses novel kedua yang ternyata sangat lamban. Iya, saya sepertinya emang udah mulai ‘normal’ lagi, seperti kata kamu tadi. Dan terimakasih untuk dukungannya. Walau saya juga sebenernya kurang yakin, tadi kamu menyebut ‘Keep fighting’ atau ‘Keep writing’. Saya tadi agak terburu-buru pulang, untuk menuliskan ini semua. Maaf.

Yoga, band lo udah gue promosiin nih. Jangan lupa ‘bayarannya’ ya. Yah, minimal tiket gratis gig lo lah. Hehe. :P[]


Depok, 18 Desember 2006
1:56 WIB

1 tanggapan:

Unknown mengatakan...

jadi, bayar royalty!!! *loh?!*

selamat datang di dunia yang menyenangkan. atau, bersenang-senang meski bagaimanapun bentuk dunia. ;)